• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA

PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN

ETNIS PRIBUMI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SOFIA GANDHI

051301139

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRAK

Trust merupakan suatu harapan bahwa seseorang dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku konsisten dan dapat diprediksi. Trust

yang dimiliki berhubungan dengan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut. Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi trust. Social categorization merupakan salah satu faktor penyebab munculnya prasangka, dan prasangka itu sendiri merupakan suatu sikap negatif yang ditunjukkan oleh suatu anggota kelompok kepada anggota kelompok lain. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Kategori sosial yang jelas ini akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangkadengan trust.

Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sejumlah 173 orang yang pernah berbelanja di

department store. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prasangka dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tahapan proses pengambilan keputusan membeli dari Engel, Blackwell dan Miniard (1995) dan Hansen dan Deutscher (1986). Skala proses pengambilan keputusan membeli memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.889 dan nilai

reliabilitas skala citra department store (rxx)=0.939.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.504 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.

(3)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRACT

Trust is the expectation that someone can be trusted in all relationship, show consistent behavior and predictable . This makes the department store has attraction so that many consumers shop at the department store (Richert, Meyer dan Haines, 1962). Consumer who shops at a department store more concern about the quality of product, ease to shop, and satisfaction after purchasing (Lamb, Hair and McDaniel, 2001). Dodds, Monroe and Grewal proposed that good store image creates good store name too. Store image is the perception toward a store. If a consumer possesses positive perception, it will creates perceived quality, perceived values and finally the willing to buy.

This research is a correlation research that aims to know the correlation between department store image and process of purchasing decision at a department store.

The samples taken in this research are the student of University of North Sumatera, Psychology Faculty student who had ever shopped at a department store. The total of sample is 173. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of processing of purchasing decision scale and department store image scale. The researcher created the scales based on processing of purchasing decision stage from Engel, Blackwell and Miniard (1995) and Hansen and Deutscher (1986). Process of purchasing decision scale has reliability (rxx)=0.889 and reliabilility of

department store image (rxx)=0.939.

The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.504 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between department store image and process of purchasing decision.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi” ini. Skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini merupakan pengalaman pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam skripsi ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara penulisannya, yang masih banyak terdapat kesalahan.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak. Bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Ibu Rika Eliana, M.Psi, Psi selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih banyak atas segala waktu yang telah Ibu luangkan untuk mengarahkan dan membimbing penulis. Ibu telah dengan sangat sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis. Dukungan dan semangat yang Ibu berikan telah mengiring penulis sampai kepada hari ini. Penulis telah banyak belajar dari Ibu. Terima kasih Bu atas semuanya. Semoga Tuhan memberkati Ibu.

4. Terima kasih kepada Kak Ridhoi yang selalu mendukung dan menyemangati penulis. Terima kasih kak atas kebaikan hati Kakak yang berusaha menenangkan hati penulis di kala penulis merasa putus asa. Semoga Tuhan memberkati kakak.

5. Bapak Ferry Novliadi, M.si selaku dosen pembimbing akademik penulis. Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya.

6. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Psikologi, terima kasih atas ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis.Tanpa kalian semua, penulis bukanlah apa-apa. Terima kasih kepada kak Ade, kak Ari, kak Devi, Pak Aswan, Pak Iskandar yang telah membantu penulis.

7. Kepada sahabat-sahabatku, Vera (terima kasih atas semua perhatian, bantuan, dukungan, dan bimbingannya. Kamu adalah sahabat yang hebat), Eliza (terima kasih atas dorongannya

(6)

Terima kasih atas cinta, perhatian, kasih sayang dan pengorbanannya. Semoga kuliahnya lancar dan bisa cepat selesai. Amin. Kepada keluarga BJ (Bapak, Ibu, Icha dan Puput) terima kasih karena selalu mendukung dan memberi semangat serta doa kepada penulis.

9. Kepada sahabat-sahabatku Isha dan Yolandha (semangat seminarnya ya), Endah (terima kasih atas bantuannya dalam nyebarin skala, menjadi tempat bersemayamnya skala, tempat ngeprint skripsi penulis di saat printer penulis ngambek karena kebanyakan ngeprint), Dee-Dee dan Ita (terima kasih atas bantuannya dan dukungannya) dan terima kasih atas kebersamaan yang ada selama menjalani perkuliahan. Bersama kita dalam suka dan duka. Semangat ya. Semoga kita semua sukses. Amin. Tetap saling komunikasi ya. Buat Elsa, Sofia (terima kasih atas editan English -nya ya) dan Paidi(06) serta semua teman-teman yang telah membantu penelitian penulis, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Bantuan kalian semua sangat berharga bagi penulis. Buat angkatan 05, tetap kompak ya teman-teman. Jangan lupa diisi database buat buku alumni 05. OK. Buat teman-teman seperjuangan Almarhumah Angel (semoga engkau tenang di sisi-Nya sahabatku yang sangat gigih), Mayang, Mbak Yu dan khususnya bang Joko yang banyak membantu penuli, terima kasih atas bantuan dan dukungan satu sama lain.

(7)

atas segala bantuan dan perhatiannya serta kenangan manis dan lucu di tahun-tahun pertama penulis kuliah.

Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara semua. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan , Januari 2009

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR DIAGRAM ... xi

DAFTAR TABEL ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Tujuan Penelitian ...8

C. Manfaat Penelitian ...9

D. Sistematika Penulisan ...9

BAB II Landasan Teori A. Trust...11

1. Pengertian Trust...11

2. Jenis-jenis Trust...12

3. Elemen-elemen Trust...13

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Building Process...14

5. Cara Meningkatkan Trust...15

B. Prasangka... ...18

1. Pengertian Prasangka ...18

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka...19

3. Aspek-aspek Prasangka...25

4. Tipe-tipe Prasangka...26

5. Target Prasangka...29

(9)

1. Pengertian Golongan Etnis...32

2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi ...32

D. Pengusaha dan Karyawan ...33

1. Definisi Pengusaha...33

2. Definisi Karyawan ...34

E. Hubungan Prasangka Terhadap Karyawan Etnis Pribumi dengan Trust Pada Pengusaha Tionghoa...34

F. Hipotesa...36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Identifikasi Variabel...41

B. Definisi Variabel Penelitian ...41

1. Prasangka ...41

2. Trust ...42

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel...43

1. Karakteristik Subjek Penelitian...43

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3. Jumlah Sampel Penelitian ...44

D. Metode Pengumpulan Data ...45

1. Skala Keputusan Membeli...45

2. Skala Citra Department Store...48

E. Uji Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur...51

1. Uji Validitas ...51

2. Uji Daya Beda Item...52

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ...52

(10)

1. Hasil Uji Coba Skala Prasangka ...53

2. Hasil Uji Coba Skala Trust ...54

G. Prosedur Penelitian...56

1. Persiapan Penelitian ...56

2. Pelaksanaan Penelitian ...57

3. Tahap Pengolahan Data...58

H. Metode Analisa Data...58

1. Uji Normalitas...58

2. Uji Linieritas ...58

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ...59

A. Gambaran Subjek Penelitian ...59

1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...59

2. Usia Subjek Penelitian ...60

B. Hasil Penelitian...60

1. Hasil Uji Asumsi ...61

2. Hasil Uji Analisa Data ...62

3. Hasil Tambahan ...68

C. Pembahasan ...69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...74

(11)

B. Saran ...75

1. Saran Metodologis ...75

2. Saran Praktis ...76

(12)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 : Faktor yang mempengaruhi proses

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Distribusi Aitem-aitem Skala Proses

Pengambilan Keputusan Membeli ... 47

Tabel 2 : Distribusi Aitem-aitem Skala Prasangka ... 50

Tabel 3 : Distribusi item skala proses pengambilan keputusan membeli setelah uji coba...53

Tabel 4 : Distribusi item skala proses pengambilan keputusan membeli untuk penelitian ...54

Tabel 5 : Distribusi item skala citra department store setelah uji coba...55

Tabel 6 : Distribusi item skala citra department store untuk penelitian...56

Tabel 7 : Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin...59

Tabel 8 : Penyebaran subjek berdasarkan usia...60

Tabel 9 : Uji normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov...61

Tabel 10 : Tabel ANOVA...62

Tabel 11 : Nilai empirik dan hipotetik proses pengambilan Keputusan membeli di department store...63

Tabel 12 : Nilai empirik dan hipotetik citra department store...65

Tabel 13 : Norma kategorisasi prasangka...66

Tabel 14 : Kategorisasi data prasangka...66

Tabel 15 : Norma trust...67

(14)

Tabel 17 : Hasil analisa regresi kesembilan aspek citra

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Gambaran Subjek Penelitian Lampiran B : Reliabilitas

Lampiran C : Skala Penelitian Lampiran D : Data Hasil Penelitian

(16)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRAK

Trust merupakan suatu harapan bahwa seseorang dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku konsisten dan dapat diprediksi. Trust

yang dimiliki berhubungan dengan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut. Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi trust. Social categorization merupakan salah satu faktor penyebab munculnya prasangka, dan prasangka itu sendiri merupakan suatu sikap negatif yang ditunjukkan oleh suatu anggota kelompok kepada anggota kelompok lain. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Kategori sosial yang jelas ini akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangkadengan trust.

Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sejumlah 173 orang yang pernah berbelanja di

department store. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prasangka dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tahapan proses pengambilan keputusan membeli dari Engel, Blackwell dan Miniard (1995) dan Hansen dan Deutscher (1986). Skala proses pengambilan keputusan membeli memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.889 dan nilai

reliabilitas skala citra department store (rxx)=0.939.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.504 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.

(17)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRACT

Trust is the expectation that someone can be trusted in all relationship, show consistent behavior and predictable . This makes the department store has attraction so that many consumers shop at the department store (Richert, Meyer dan Haines, 1962). Consumer who shops at a department store more concern about the quality of product, ease to shop, and satisfaction after purchasing (Lamb, Hair and McDaniel, 2001). Dodds, Monroe and Grewal proposed that good store image creates good store name too. Store image is the perception toward a store. If a consumer possesses positive perception, it will creates perceived quality, perceived values and finally the willing to buy.

This research is a correlation research that aims to know the correlation between department store image and process of purchasing decision at a department store.

The samples taken in this research are the student of University of North Sumatera, Psychology Faculty student who had ever shopped at a department store. The total of sample is 173. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of processing of purchasing decision scale and department store image scale. The researcher created the scales based on processing of purchasing decision stage from Engel, Blackwell and Miniard (1995) and Hansen and Deutscher (1986). Process of purchasing decision scale has reliability (rxx)=0.889 and reliabilility of

department store image (rxx)=0.939.

The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.504 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between department store image and process of purchasing decision.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa etnis sebagai masyarakatnya, diantaranya, etnis Jawa, Sunda, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Tionghoa (Taum, 2006). Masyarakat dengan etnis berbeda bukan hanya memiliki bentuk fisik yang berbeda, tetapi agama yang dianut, bahasa yang digunakan, budaya dan adat istiadat yang dimiliki juga berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut telah mendorong munculnya semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, walaupun kita berbeda, kita tetap dipersatukan di bawah dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Namun sayang, istilah dan pernyataan tersebut hanya merupakan kata-kata belaka. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sendiri telah menciptakan konflik yang didasarkan pada etnis yang berbeda (Susetyo, 1999). Hal itu terbukti dengan adanya istilah dikotomis yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu etnis Pribumi dan etnis non-Pribumi. Etnis Pribumi adalah semua etnis yang ada di Indonesia di luar etnis Tionghoa, sedangkan etnis non-Pribumi biasanya diasosiasikan dengan etnis Tionghoa (Mendatu, 2007). Pemakaian istilah yang

(19)

semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo, 1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999)

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakan-gerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).

(20)

kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa (Gerungan, 2002).

Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono, 1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak dapat dipercaya (Sarwono, 1999).

(21)

fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di mana ia sendiri menjadi minoritas.

Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan

(22)

akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup) berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).

Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya

trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya (Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher & Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.

Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.

(23)

prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).

Berikut adalah penuturan dua staf Human Resources dari dua perusahaan yang berbeda mengenai prasangka atasan masing-masing terhadap karyawan Pribumi:

Ini kan perusahaan milik Tionghoa, jadi kebanyakan atasan meminta karyawan yang beretnis Tionghoa juga, jadi tugas kita adalah merekrut karyawan yang beretnis Tionghoa...jadi itu bukan kemauan kita, itu permintaan atasan. Kalau masalah jabatan, mereka orang Pribumi gak kan

pernah bisa menduduki posisi atas, jadi mereka tetap jadi bawahan....tapiii....untuk departement tertentu yang perlu berhubungan dengan pemerintahan seperti departemen pembuatan STNK, departemen faktur, staffnya, bahkan pemimpin departement tersebut juga adalah orang Pribumi. Sedangkan untuk departement keuangan, departement IT, kasir, dan akuntan, semua anggotanya adalah orang Tionghoa. Gak ada satu orang Pribumi disana. Kata atasan kami, orang Pribumi itu tidak jujur, mereka bisa saja menyeludupkan uang atau bahkan melaporkan aset perusahaan kepada pihak pemerintahan... padahal yang aku tahu, orang Tionghoa juga banyak yang gak jujur loh..hehe.

Kalau soal kompetensi kerja, kita etnis Tionghoa gak bisa langsung

menjudge kalau karyawan etnis Pribumi tidak berkompeten. Banyak kok

hasil tes yang tidak mendukung pandangan tersebut.

Sebenarnya dasar dari semua ini cuma satu, prasangka... (Komunikasi Personal dengan staf HR perusahaan ”A”, 01 November 2008)

(24)

Hasil kutipan kedua wawancara tersebut menunjukkan bahwa pengusaha Tionghoa tidak percaya (distrust) kepada karyawan etnis Pribumi yang merupakan kelompok outgroup sehingga karyawan etnis Pribumi hanya ditempatkan pada level-level dan departemen tertentu. Pengusaha Tionghoa lebih percaya (trust) kepada kelompok ingroup, yaitu karyawan yang beretnis Tionghoa. Kepercayaan terhadap kelompok ingroup tersebut meliputi kepercayaan akan kompetensi kerja mereka dan kejujuran mereka dalam menjalankan pekerjaan.

Permasalahan antara pengusaha etnis Tionghoa dengan karyawan etnis pribumi juga terlihat jelas pada salah satu Bank Swasta terkenal di Indonesia yang pemiliknya merupakan seorang etnis Tionghoa juga. Pada bank tersebut, kebanyakan karyawan yang bekerja di sana adalah karyawan etnis Tionghoa sedangkan karyawan Pribumi ditempatkan di kelas nomor dua, bahkan terjadi diskriminasi pemberlakuan sistem gaji, kepangkatan antara karyawan etnis Pribumi dan karyawan etnis Tionghoa (Pengusaha Pribumi, 1998). Dengan demikian jelas bahwa apa yang dikemukakan Fynn & Chatman (2002) dan Brewer & Miller dalam Mendatu (2007) di atas bahwa trust memang dipengaruhi oleh social categorization yang merupakan salah satu sumber prasangka.

(25)

terhadap etnis tertentu apabila proporsi karyawannya yang etnis tertentu lebih besar dibandingkan proporsi karyawan etnis lainnya.

Berkaitan dengan fenomena dan penjelasan di atas, bahwa salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization, dan social categorization itu sendiri menurut Flynn & Chatman (2002) dan Brewer & Miller (dalam Mendatu, 2007) dipengaruhi oleh trust, maka peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan antara prasangka terhadap karyawan etnis Pribumi dengan

trust pada pengusaha etnis Tionghoa.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”apakah terdapat hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi?”.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara trust dengan prasangka pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.

(26)

a. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat hubungan antara prasangka terhadap karyawan etnis Pribumi dengan trust pada pengusaha Tionghoa. b. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang

prasangka dan trust, khususnya antara pengusaha Tionghoa dan karyawan etnis Pribumi.

c. Sebagai bahan pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pengusaha Tionghoa, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai prasangka mereka terhadap karyawan yang beretnis Pribumi dan bagaimana hubungannya dengan perasaan trust yang dirasakan pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis Pribumi.

b. Bagi karyawan yang beretnis Pribumi, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana perasaan trust atasan terhadap diri mereka serta bagaimana usaha untuk meningkatkan trust tersebut.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Hasil penelitian ini akan disusun dalam sistematika sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

(27)

penelitian ini terdiri dari manfaat praktis dan manfaat teoritis. Selain itu, terdapat pula sistematika penulisan di akhir Bab I.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori tentang trust dan prasangka. Pembahasan teori tentang trust

mencakup pengertian, jenis-jenis trust, elemen-elemen trust, faktor-faktor yang mempengaruhi trust-building process dan cara untuk meningkatkan trust. Sedangkan pembahasan teori prasangka mencakup pengertian prasangka, pendekatan teoritik terhadap prasangka, aspek prasangka, tipe-tipe prasangka, target diskriminasi, dan usaha untuk mengurangi diskriminasi. Selain itu penulis juga membahas mengenai pengertian pengusaha dan karyawan serta pengertian golongan etnis.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

(28)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PRASANGKA 1. Pengertian Prasangka

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut.

Brehm dan Kassin dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap target prasangka semata-mata berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Ini berarti bahwa prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan pada karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

(30)

lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka yang pada mulanya hanya merupakan sikap perasaan negatif itu lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.

Sherif dan Sherif dalam Ahmadi (1991) mengemukakan bahwa prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Lebih lanjut Sherif menjelaskan bahwa prasangka disini dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar (outgroup).

Dalam penelitian ini, prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi. Target prasangka jelas adalah golongan etnis Pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini merupakan prasangka rasial.

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka

Menurut Soeboer (1990) terdapat beberapa pendekatan teoritik yang membahas masalah prasangka dan diskriminasi. Secara garis besar, pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

(31)

Pendekatan sosial berusaha menerangkan bagaimana diskriminasi dilahirkan serta dipelihara oleh lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya dan terpeliharanya prasangka dan diskriminasi diantaranya dapat ditinjau dari :

1. Teori ketidaksamaan sosial (social inequalities)

Teori ini beranggapan bahwa ketidak samaan status akan menghasilkan prasangka. Para budak dianggap bodoh, tidak bertanggung jawab, tidak memiliki ambisi oleh majikan mereka. Anggapan ini tetap dipertahankan agar struktur sosial yang telah mapan (menguntungkan para majikan) terpelihara. Dengan demikian prasangka terhadap kelompok bawah dapat dipakai untuk membenarkan superioritas ekonomi dan sosial bagi mereka yang kaya dan memiliki kekuasaan (Myers dalam Soeboer, 1990)

2. Teori konflik realistik (realistic conflict theory)

(32)

Soeboer, 1990). Kondisi semacam ini pada akhirnya akan membawa individu dari kelompok yang satu menjadi berprasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap individu dari kelompok lain.

3. Ingroup bias

Ingroup bias merupakan anggapan bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang paling baik. Ingroup bias dapat merefleksikan kesukaan terhadap ingroup, ketidaksukaan terhadap outgroup, atau kombinasi dari keduanya. Implikasinya adalah loyalitas kepada kelompoknya akan diikuti dengan penilaian yang rendah terhadap kelompok lain. Dari sinilah muncul prasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap kelompok yang dinilai negatif tersebut.

4. Konformitas norma sosial

(33)

Biasanya norma ini juga akan terwujud melalui dukungan-dukungan institusi seperti adanya pemisahan sekolah antara anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam di Amerika.

5. Teori belajar sosial (social learning theory)

Menurut teori belajar sosial, prasangka terhadap kelompok lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Bandura dalam Soeboer 1990). Prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang di sekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengukuhan positif dari orang-orang tersebut bila menunjukkan sikap berprasangka.

b. Pendekatan Emosional dan Psikodinamik

(34)

memindahkan agresivitasnya kepada orang lain yang memiliki status yang lebih rendah (kelompok minoritas) sebagai kambing hitam sehingga konsekuensinya lebih ringan atau tanpa sanksi. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut juga sebagai scape goat theory.

c. Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini menekankan bagaimana individu yang berprasangka menerima dan memproses informasi yang berkaitan dengan target prasangka (Feldman dalam Soeboer 1990). Pendekatan ini lebih memperhatikan mengenai pengalaman subjektif individu yang berprasangka terhadap dunia di sekitar mereka dan orang-orang yang hidup di dalamnya. Secara umum, pendekatan ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu:

1. Kategorisasi sosial (social categorization)

(35)

kecenderungan individu untuk mengkotak-kotakkan individu lain dalam dua kategori tersebut berasal dari keinginan individu untuk menaikkan harga diri mereka dengan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Cara ini akan berhasil hanya jika individu tersebut memandang kelompok yang dipilihnya ini sebagai lebih superior daripada kelompok lain, atau kelompok pesaing. Bila masing-masing kelompok menganggap kelompoknya lebih superior, maka yang timbul pada akhirnya adalah prasangka antar kelompok. Tafjel menamakan proses ini sebagai kompetisi sosial untuk membedakannya dari teori konflik realistik. Penelitian yang dilakukan Meindl dan Lerner (1985) menunjukkan bahwa pengalaman akan kegagalan pada individu akan mengintensifkan kebutuhan individu untuk menaikkan harga dirinya dan akan membawanya pada kategorisasi sosial. Subjek yang mengalami kegagalan akan berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menilai anggota dari kelompok lain secara ekstrim. Hasil penelitian ini mendukung adanya pandangan bahwa individu cenderung membagi dunia sosial ini menjadi dua kelompok ”kita” dan ”mereka” yang pada akhirnya memainkan peran dalam pengembangan prasangka rasial, etnik, atau agama.

2. Attribution error

(36)

minoritas yang diprasangkai (Feldman dalam Soeboer, 1990). Menurut Pettigrew (dalam Soeboer, 1990), individu yang berprasangka cenderung membuat ultimate attribution error. Ultimate attribution error

menunjukkan bahwa bila individu yang berprasangka melihat target prasangka sedang melakukan suatu tindakan yang negatif, ia akan cenderung memberikan atribusi bahwa perilakunya memang merupakan karakteristik yang stabil pada disposisinya, dan sebaliknya cenderung menganggap perilakunya yang negatif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional.

3. Illusion of outgroup homogeneity

(37)

3. Aspek-aspek Prasangka

Menurut Ahmadi (1991), prasangka terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Aspek kognitif

Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu.

b. Aspek Afektif

Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek Konatif

Prasangka merupakan suatu tendensi / kecenderungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya.

4. Kategori Prasangka

Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Oskamp (2000), Oskamp mengkategorikan prasangka dalam dua kategori: orang yang memiliki prasangka tinggi dan orang yang memiliki prasangka rendah.

(38)

Orang yang memiliki prasangka tinggi percaya dan turut mendukung stereotip yang ada terhadap kelompok minoritas. Sedangkan orang yang memiliki prasangka rendah akan menunjukkan sikap yang netral dan menganggap semua orang memiliki derajat yang sama.

2. Personal Standard

Orang yang memiliki prasangka yang rendah dengan orang yang memiliki prasangka yang tinggi berbeda dalam personal standard, yaitu pemikiran mereka mengenai bagaimana seharusnya kelompok yang diprasangkai (stigmatized groups) diperlakukan. Ketika kelompok yang diprasangkai diperlakukan dengan tidak baik, maka orang yang memiliki prasangka rendah merasa dirinya bertanggung jawab atas hal tersebut, bahkan apabila standard

untuk tidak berprasangka (nonprejudiced standard) telah menginternalisasi, maka mereka cenderung merasa bersalah dan mengkritik diri sendiri apabila kelompok yang diprasangkai diperlakukan tidak baik.

5. Tipe-tipe Prasangka

Menurut Gaertner, Jones, dan Kovel dalam Soeboer (1990) secara umum, cara individu berpikir dan bersikap terhadap kelompok tertentu dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

a. Tipe Dominative

(39)

tindakan penyerangan atau agresivitas terhadap target prasangka. Kelompok tipe ini juga berusaha menempatkan kelompok yang diprasangkainya tetap pada tempatnya.

b. Tipe Ambivalen

Individu seperti ini dapat mengekspresikan perasaan tidak suka terhadap target prasangka tetapi pada saat yang sama bersimpati terhadap keadaan mereka. Individu seperti khawatir bila target prasangka hidup bertetangga dengannya akan mengakibatkan timbulnya tindakan destruktif dari target prasangka terhadap dirinya.

c. Tipe Aversive

(40)

6. Target Prasangka

Menurut Hogg & Vaughan (2002), terdapat lima target dari prasangka yang kemudian menjalar menjadi diskriminasi, antara lain:

a. Sexism

Sexism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada jenis kelamin mereka. Menurut Deaux & LaFrance dalam Hogg & Vaughan (2002), penelitian tentang sexism lebih difokuskan pada prasangka dan diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dikarenakan kebanyakan korban dari sexism adalah wanita dan juga karena adanya perbedaan posisi atau jabatan antara pria dan wanita dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan. Sexism terhadap wanita berawal dari

stereotype masayarakat terhadap peran wanita. Pada jaman dahulu, tugas wanita adalah menjaga rumah, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria keluar rumah seharian untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pada jaman sekarang, pekerjaan wanita juga banyak yang diasosiasikan dengan pekerjaan pelayan di restoran, operator telepon, seketaris, suster, babysitter, dan guru Sekolah Dasar ataupun Taman Kanak-kanak, sedangkan pekerjaan pria lebih diasosiasikan dengan dokter gigi, teknisi, pengacara, supir truk, akuntan, dan

(41)

b. Racism

Racism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada ras dan etnis mereka. Genocide yang pernah terjadi di Jerman, Yugoslavia, Irak, dan Rwanda merupakan salah satu akibat dari adanya diskriminasi. Racism berawal dari adanya stereotype

terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda ras atau etnsis. Pada saat sekarang, racism dilihat dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dalam masyarakat. Walaupun demikian, racism tidak akan hilang begitu saja. Setiap orang dalam setiap generasi akan racist dalam hatinya, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda (Crosby, dkk dalam Hogg & Vaughan, 2002).

c. Ageism

Ageism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan usianya. Pada kebudayaan tertentu yang menganut sistem

extended family, orang yang berusia lebih tua akan dianggap sebagai orang yang bijaksana karena lebih berpengalaman, sedangkan pada nuclear family

tidak demikian. Pada nuclear family, orang-orang muda dinilai lebih baik, sedangkan orang-orang tua diberi stereotype yang kurang menarik. Orang-orang tua biasanya akan dianggap tidak berharga dan lemah dan mereka juga tidak mendapatkan hak mereka.

d. Prasangka Terhadap Homoseksual

(42)

dianggap legal dan dapat diterima. Pada sekitar tahun 1980-an, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang untuk tidak melayani orang-orang yang sesat dan menyimpang salah staunya adalah homoseksual.

e. Prasangka Terhadap Penderita Cacat Fisik

Pada jaman dahulu, prasangka dan diskriminasi terhadap penderita cacat fisik adalah mereka dianggap sebagai orang yang rendah. Akan tetapi pada saat sekarang orang-orang sudah mulai bisa menghargai penderita cacat fisik. Pada kebanyakan negara, disediakan tempat jalan khusus untuk penderita cacat fisik. Selain itu, penderita cacat fisik juga diperbolehkan untuk mengikuti ajang perlombaan Olimpiade. Pada dasarnya, orang-orang tidak mendiskriminasi penderita cacat fisik, hanya saja orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka karena takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka.

7. Usaha Mengurangi Prasangka

Berdasarkan pendekatan teoritik mengenai diskriminasi yang telah diuarikan, maka Soeboer (1990) mengemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka dan diskriminasi:

a. Mengadakan kontak atau berinteraksi dengan target prasangka

(43)

efektif bila didukung oleh beberapa kondisi atau syarat. Kontak yang diasumsikan akan efektif terjadi bila status partisipan dalam kondisi yang sama, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang intim dan bukan hubungan yang superficial, situasi kontak yang melibatkan aktivitas yang interdependen serta kooperatif, adanya tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapai, serta situasi kontak yang menyenangkan dan saling mendukung. Yang paling utama adalah adanya iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis dalam kontak tersebut.

b. Melalui pendekatan belajar sosial

Saran lain yang dapat diusulkan adalah mengajarkan pada anak untuk tidak membenci. Peranan orang tua, guru, media massa, atau orang dewasa yang dianggap penting bagi anak-anak (significant others) memainkan peranan penting bagi terbentuknya sikap menyukai atau tidak menyukai kelompok lain melalui contoh-contoh perilaku yang ditunjukkannnya. Dengan adanya kesadaran dari orang tua atau guru mengenai pentingnya peran mereka sebagai model yang tidak berprasangka, maka dapat diharapkan bahwa anak-anak belajar untuk tidak berprasangka melalui model dan pengukuhan positif yang diberikan oleh orang dewasa (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

c. Belajar untuk mengerti adanya perbedaan

(44)

semata-mata berdasarkan kenaggotaan orang tersebut dalam kelompok tertentu (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

B. TRUST

1. Pengertian Trust

Menurut Holmes & Rampel (dalam Fletcher & Clark, 2001) mengatakan bahwa trust merupakan harapan bahwa seseorang bisa dipercaya dalam segala hubungan dan pekerjaan serta responsif terhadap kebutuhan orang yang mempercayainya.

Fletcher & Clark (2001) menyatakan bahwa trust meliputi prediksi atau kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, kepercayaan bahwa seseorang itu memang jujur dan bisa dipercayai, serta keyakinan atau pendirian bahwa seseorang memang termotivasi secara intrinsik untuk bekerja, bahkan melebihi target kerja.

Deutsch (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa trust

(45)

Dalam penelitian ini, trust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut.

2. Jenis-jenis Trust

Menurut Robbins (2005) terdapat tiga jenis trust dalam hubungan

organizational :

a. Deterrence-Based Trust

Deterrence-based trust merupakan salah satu jenis trust yang paling mudah hilang. Hanya dengan sekali melakukan kesalahan atau tidak konsisten, dapat menghilangkan trust yang dimiliki. Trust jenis ini didasarkan pada rasa takut akan hukuman dan konsekuensi yang akan timbul apabila trust tersebut tidak dijalankan dengan baik. Setiap hubungan biasanya akan diawali dengan deterrence-based trust.

b. Knowledge-Based Trust

Kebanyakan trust yang dimiliki dalam hubungan organizational adalah

knowledge-based trust, yaitu salah satu jenis trust yang didasarkan pada pengalaman interaksi di masa lalu. Knowledge-based trust muncul dengan didasarkan pada informasi yang cukup dan akurat tentang seseorang, dan

(46)

mengenal orang tersebut, maka kita akan semakin mampu untuk memprediksi orang tersebut secara akurat. Trust jenis ini tidak akan rusak karena pasangan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten. Apabila pasangan mampu memberi penjelasan yang masuk akal mengenai kesalahanya, maka dia biasanya akan dimaafkan dan kembali ke hubungan yang baik seperti semula.

c. Identification-Based Trust

Trust jenis merupakan trust level tertinggi yang ditandai dengan adanya ikatan emosional antara kedua belah pihak. Pihak yang satu dapat mewakili pihak yang lain dalam hubungan transaksi yang bersifat interpersonal. Trust jenis ini muncul karena kedua belah pihak saling mengerti, memahami, dan menghargai kebutuhan serta keinginan masing-masing. Kontrol dalam hubungan seperti ini sangat minimal, karena kontrol dianggap sebagai keraguan terhadap rasa kesetiaan salah satu pihak.

3. Elemen-elemen Trust

Menurut Johnson & Johnson (2000) elemen-elemen trust ada lima, yaitu

a. Openness

(47)

Sharing berarti kesediaan untuk menawarkan dan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

c. Acceptance

Acceptance berarti melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan.

d. Support

Support meliputi komunikasi dengan orang lain sehingga kita mengenal kelebihannya dan kita percaya bahwa mereka mampu mengatur secara produktif situasi dimana mereka berada.

e. Cooperative Intentions

Cooperative intention meliputi harapan bahwa orang lain akan bersikap kooperatif dan setiap anggota kelompok juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan kelompok.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Buliding Process

Menurut Busch dan Hantusch (2000) dalam jurnal yang berjudul

Recognizing The Fragility of Trust and Its Importance in The Partnering Process, terdapat beberapa hambatan dalam trust-building process yang bisa ditemukan dalam organisasi:

(48)

Interaksi masa lalu merupakan hambatan terbesar dalam trust-building process. Pengalaman interaksi yang buruk pada masa lalu akan menyebabkan kedua belah pihak saling berprasangka dan berpikir bahwa pihak lain tersebut tidak bisa dipercaya sepenuhnya.

b. Kategorisasi Sosial (Social Categorization)

Individu akan cenderung untuk mengkategorikan orang lain apabila dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang orang tersebut. Kategorisasi tersebut bisa berdasarkan jenis kelamin, ras, profesi, jabatan, dan sebaginya. Kategorisasi ini dibuat untuk menyederhanakan proses membuat keputusan. Dalam kehidupan berorganisasi, seseorang cenderung untuk mengkategorikan orang lain berdasarkan pada kategori tertentu, seperti kategori ini merupakan anggota dari buruh, staf, manager, kontraktor, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menilai anggota outgroup sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka, dan tidak jujur.

c. Generalisasi dan Model Peran

(49)

4. Cara Meningkatkan Trust

Menurut Robbins (2005), terdapat delapan cara untuk meningkat trust, diantaranya :

a. Bersikap terbuka

Dengan bersikap terbuka akan membuat orang lain percaya terhadap kita. Yang dimaksud dengan bersikap terbuka adalah bersikap terbuka terhadap informasi yang dimiliki, memberi tahu secara rasional bagaimana suatu keputusan dibuat, dan berterus terang dalam menyatakan masalah yang sedang dihadapi.

b. Bersikap adil

Sebelum membuat suatu keputusan, harus mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menilai objektifitas dan keadilan keputusan kita.

c. Nyatakan perasaan dengan terus terang

Dengan menyatakan perasaan yang sebenarnya tanpa memandang jabatan atau posisi kita dalam suatu organisasi, akan membuat orang lain lebih menghargai kita, karena semua orang adalah manusia yang memiliki masalah dan perasaan.

(50)

Dengan bersikap jujur, berarti kita bisa dipercaya. Apabila kejujuran merupakan hal yang penting dalam membangun trust, maka kita harus menjunjung tinggi kejujuran.

e. Tunjukkan konsistensi

Semua orang menginginkan sesuatu yang bisa diprediksi. Ketidakjujuran terjadi karena kita tidak mampu memprediksi sikap orang tersebut. Pikirkanlah tentang nilai dan kepercayaan yang dimiliki, kemudian biarkan nilai dan kepercayaan tersebut menjadi paduan dalam mengambil. Apabila telah diperoleh suatu tujuan yang jelas, maka sikap yang dimiliki juga bisa diprediksi.

f. Tepati janji

Salah satu aspek dari trust adalah orang tersebut bisa diharapkan, jadi tepatilah setiap komitmen dan janji yang telah diucapkan.

g. Bersikap percaya diri

Setiap orang akan mempercayai orang yang bijaksana dan bisa dipercaya. Apabila kita memberitahukan suatu rahasia kepada orang lain, maka orang lain juga akan meragukan kita, dan tidak akan memberitahu rahasianya kepada kita karena kita dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

h. Tunjukkan kompetensi

(51)

mengembangkan kompetansi kita dalam hal komunikasi, negosiasi, dan kemampuan interpersonal lainnya.

C. GOLONGAN ETNIS 1. Pengertian Golongan Etnis

Koentjaraningrat (1996) antroplog Indonesia mendefinisikan istilah suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka, sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri.

2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi

Istilah ”Cina” dalam bahasa Indonesia memiliki sudah memiliki makna yang negatif, sehingga pada sekitar tahun 1950-an istilah ”Cina” diubah menjadi ”Tionghoa” (sesuai dengan ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina dan ”Tiongkok” untuk ”negara Cina. Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia merujuk kepada orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia”.

(52)

lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkup budaya mereka. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sbagai ”Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat yang bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.

Dalam penelitian ini, etnis Tionghoa didefinisikan sebagai golongan masyarakat keturunan Tionghoa yang kedua orang tuanya juga merupakan keturunan etnis Tionghoa.

Menurut Arief dalam Meinarno (2001), golongan Pribumi merupakan golongan masyarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Dalam penelitian ini, etnis Pribumi didefinisikan sebagai kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di negara Indonesia.

D. PENGUSAHA DAN KARYAWAN 1. Definisi Pengusaha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pengusaha adalah orang yang mengusahakan (perdagangan, industri, dan sebagainya); orang yang berusaha di bidang perdagangan; saudagar; usahawan.

(53)

a. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;

c. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pengertian pengusaha dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Tionghoa yang menjalankan usaha jual beli barang dan / atau jasa dengan pekerjanya 20-99 orang. Menurut Kuncoro (2007), industri menengah merupakan industri yang mempekerjakan 20-99 orang pekerja sebagai tenaga kerjanya. Dengan kata lain, pengusaha dalam penelitian ini merupakan pengusaha yang memiliki dan menjalankan industri menengah.

2. Definisi Karyawan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), karyawan merupakan orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji atau upah; pegawai.

(54)

Pengertian karyawan dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis pribumi yang bekerja pada pengusaha Tionghoa, serta mendapatkan gaji atau upah sebagai imbalan kerjanya.

E. HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN ETNIS PRIBUMI

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan etnis minoritas dan etnis mayoritas yang kemudian akan menyebabkan munculnya prasangka antar etnis. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas yang ada di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Mendatu, 2007).

Prasangka antar etnis di Indonesia bisa saja terjadi pada etnis-etnis minoritas lainnya, akan tetapi khusus untuk prasangka terhadap etnis Tionghoa, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekedar posisi mayoritas dan minoritas. Etnis Tionghoa menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Damayanti, 2008). Selain itu, konflik-konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi pada masa lalu juga turut menyumbang tumbuhnya perasaan tidak menyenangkan terhadap etnis Pribumi (Tan, 2003).

(55)

Tan (dalam Susetyo, 1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi memang terkesan tegang dan saling curiga.

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap sosial yang negatif terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang diprasangkai itu.

Soeboer (1990) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sumber penyebab prasangka, diantaranya dapat dilihat melalui pendekatan sosial, pendekatan emosional dan psikodinamik, dan pendekatan kognitif. Apabila dipandang dari pendekatan kognitif, salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” yang dipersepsikan sebagai ingroup dan “mereka” yang dipersepsikan sebagai outgroup. Dalam prakteknya outgroup

dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima oleh ingroup,

selanjutnya outgroup akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan Chatman, 2002).

(56)

negatif kelompok etnis Pribumi terhadap kelompok etnis Tionghoa dan sebaliknya masih hadir sampai sekarang. Kelompok etnis pribumi menganggap bahwa orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan kelompok Pribumi tidak. Orang Tionghoa lebih kaya dari rata-rata orang pribumi, menguasai kekayaan, mengeruk kekayaan dari orang pribumi, ekslusif, kikir, dan sombong. Sedangkan golongan etnis Tionghoa merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada etnis pribumi. Golongan pribumi dikatakan sebagai pemalas, tidak dapat dipercaya, tidak pantas diberi jabatan yang tinggi, dan sebagainya.

Stereotip yang diungkapkan tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang staf Human Resources dari perusahaan “A”, perusahaan milik etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, terutama posisi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan karena dikatakan secara jelas bahwa karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, karyawan etnis Pribumi juga dinilai sebagai karyawan yang tidak berkompeten, dan dikatakan bahwa alasan dari semua perbedaan perlakuan tersebut adalah prasangka terhadap kelompok etnis Pribumi (Komunikasi Personal, November 2008).

(57)

categorization yang merupakan penyebab dari prasangka memiliki hubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota outgroup tidak bisa dipercaya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi (dalam Irmawati, 1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha akan menyebabkan pengusaha tersebut membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya.

Lebih lanjut, Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi trust-building process. Prasangka yang dimiliki seseorang akibat kategorisasi sosial akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Hal yang diungkapkan oleh staf HR dari perusahaan “A” tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007), Ahmadi (dalam Irmawati, 1996) dan Busch dan Hantusch (2000) mengenai kaitan antara prasangka sebagai wujud dari social categorization

dengan trust. Secara konkrit, prasangka yang dimiliki pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi akan mempengaruhi trust yang dimilikinya terhadap karyawan etnis Pribumi.

Prasangka muncul sebagai akibat adanya kategorisasi sosial yaitu ingroup

(58)

Chatman, 2002). Sejalan dengan penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1996) bahwa anggapan (stereotip) golongan etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi sebagai pemalas, tidak berkompeten, tidak jujur, dan sebagainya pada dasarnya akan mempengaruhi trust pengusaha tersebut terhadap karyawan etnis Pribumi yang diprasangkainya.

F. HIPOTESA

Dalam penelitian ini akan diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

(59)

Diagram 1: PARADIGMA BERPIKIR

= Terdiri dari = Mempengaruhi

= Bersumber dari = Menyebabkan

= Berhubungan

Etnis Pribumi

><

Etnis Non-Pribumi konflik

P R A S A N G K A

Pendekatan

Sosial Pendekatan

Emosional

Pendekatan Kognitif : Social Categorization

Indonesia Negara Multietnis

Ingroup Outgroup

(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain: Variabel Bebas (IV) : Prasangka

Variabel Tergantung (DV) : Trust

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Prasangka

Prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap kelompok etnis pribumi yang menjadi karyawan pengusaha Tionghoa. Dalam penelitian ini, yang menjadi target prasangka adalah adalah golongan etnis pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini adalah prasangka rasial.

(61)

Tingkat prasangka dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala tersebut. Jika semakin tinggi skor skala prasangka yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat prasangka seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah skor skala prasangka yang diperoleh, maka semakin rendah tingkat prasangka seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi.

2. Trust

Ttrust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut.

Trust ini akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari trust yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (2000), yang terdiri dari: openness, sharing, acceptance, support, dan cooperative intentions.

(62)

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki, terdiri dari semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu akan digeneralisasikan(Hadi, 2002).

Populasi dalam penelitian ini adalah pengusaha etnis Tionghoa yang menjalankan usaha industri menengah. Menurut Kuncoro (2007), usaha industri menengah dikarakteristikkan dengan jumlah karyawan yang berkisar antara 19-999 orang. Tujuan pemilihan usaha industri menengah sebagai populasi adalah untuk memberikan batasan terhadap ruang lingkup penelitian.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki peneliti, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dan dianggap representatif (Kerlinger, 2000).

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian ini adalah:

a. Pengusaha etnis Tionghoa yang memiliki karyawan etnis Pribumi dan karyawan etnis Tionghoa.

(63)

non-Pribumi (etnis Tionghoa) lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibandingkan karyawan Pribumi. Pendapat tersebut sejalan dengan ungkapan seorang staf Human Resources dari perusahaan ”A” bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki atau posisi tertentu. Hal tersebut menunjukkan adanya unsur distrust terhadap karyawan etnis Pribumi. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kehadiran karyawan etnis Pribumi dan karyawan etnis Tionghoa dapat terlihat adanya unsur trust

dan distrust pada etnis tertentu.

b. Karyawan tersebut merupakan karyawan yang dibawahi secara langsung.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Adapun upaya untuk memperoleh sampel penelitian dalam penelitian ini, digunakan teknik incidental sampling, dimana hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang diselidiki (Hadi, 2002).

3. Jumlah Sampel Penelitian

(64)

D. INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN

Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2002). Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode skala.

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2006).

Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap dalam suatu penelitian. Pengukuran sikap dalam skala Likert diekspresikan mulai dari yang paling negatif, netral sampai ke yang paling positif dalam bentuk sebagai berikut: sangat tidak setuju, tidak setuju, tidak tahu (netral), setuju dan sangat setuju (Sarwono, 2006). Dalam penelitian digunakan dua buah skala , yaitu dan skala trust dan skala diskriminasi.

1. Skala Trust

(65)

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Trust Sebelum Uji Coba

Komponen Sikap Total Komponen Objek

Setiap aspek-aspek di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan

favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif pilihan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorabel

(66)

2. Skala Prasangka

Skala prasangka disusun berdasarkan tiga aspek yang diungkapkan oleh Ahmadi (1991), yaitu aspek kognitif, afektif, dan konatif.

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Prasangka Sebelum Uji Coba

Komponen Sikap Total

Aspek Sikap

Setiap aspek-aspek di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan

favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif pilihan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorabel

(67)

E. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2006). Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian. Berdasarkan daya beda item dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment

yang diperoleh melalui analisa data dengan menggunakan SPSS version 14.0 for windows. Item yang memiliki daya beda cukup tinggi akan dihitung reliabilitasnya dengan menggunakan reliabilitas koefisien Alpha yang diperoleh melalui analisis data dengan menggunakan SPSS version 14.0 for windows. Item-item dalam skala yang memiliki daya beda cukup tinggi dan reliabel akan digunakan untuk mengukur trust dan prasangka.

1. Uji Validitas Alat Ukur

Gambar

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Trust Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Prasangka Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Trust Sesudah Uji Coba
Tabel 4.Distribusi Aitem Skala Trust Untuk Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi perawat terhadap pasien dengan masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespon rangsangan nyeri, diantaranya: klien melaporkan adanya

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang berasal dari program studi Teknik Pengelasan adalah sebanyak 4 orang atau 13.3%, untuk responden yang berasal

Pada pekerjaan – pekerjaan non kritis akan dilakukan reverse late start , yaitu menyusun kegiatan sesuai dengan late start namun disusun dari waktu mulai paling akhir kegiatan

Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi linkungan yang tidak

Hasil tersebut didapat bahwa nilai signifikan lebih kecil dari 0.05 dengan arah koefisien positif, dengan demikian diperoleh bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial Daerah Provinsi dan DaLrah Kabupaten/Kota, perlu

Stasiun 5 dan 6 dinyatakan cukup sesuai, hal ini berhubungan dengan beberapa parameter seperti kedalaman yang terukur kurang sesuai atau terlalu dalam, pH perairan

Dapat menyelesaikan tugas dengan perbedaan teori-praktik &lt; 25% : skor 100 data sudahd. terkumpul semua, tidak selesai dalam menghitung perbedaan teori-praktik skor: