• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Prostate Spesific Antigen (PSA)

2.2.3 Hubungan PSA dengan Inflamasi Prostat

Pada prostat terdapat sel-sel inflamasi (leukosit) yang bertambah seiring bertambahnya usia. Sel-sel ini terdiri dari limfosit B dan T, makrofag, dan sel mast. Penyebab adanya infltrasi dari sel inflamasi pada jaringan prostat masih belum jelas. Beberapa hipotesa telah dikemukakan, di antaranya adalah infeksi

bakteri, infeksi virus, refluks urin dengan inflamasi kimiawi, faktor makanan, hormone, respon autoimun, dan kombinasi dari beberapa faktor tersebut (De Nunzio dkk. 2011).

Telah ditemukan penyebab infeksi seperti E. coli (bakteri gram negatif), beberapa jenis virus seperti Human Papilloma Virus (HPV), virus herpes simpleks tipe 2, dan sitomegalovirus, juga organisme yang menyebar secara seksual seperti

Neisseria gonorrhoea, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum, and

Trichomonas vaginalis. Selain infeksi, refluks urin juga bisa menyebabkan

inflamasi dengan adanya kristal asam urat yang mengaktifkan makrofag dan mencetuskan pengeluaran sitokin. Penyebab lain yang mungkin adalah respon autoimun. Dengan adanya trauma pada prostat akibat beberapa etiologi yang telah disebutkan, lapisan epitel yang rusak akan melepaskan antigen yang mencetuskan terjadinya proses autoimun. Estrogen secara umum telah dipertimbangkan sebagai hormon proinflamasi, diperkirakan menginduksi inflamasi dengan mempengaruhi produksi Interferon-γ (IFN-γ) pada limfosit. Estrogen juga menstimulasi Interleukin 4 (IL-4) yang akan menjadi growth factor-β (TGF-β). Faktor makanan yang berpengaruh dalam proses ini adalah makanan yang tinggi lemak, di mana pada percobaan binatang terbukti meningkatkan distribusi dan aktivitas sel mast dan makrofag pada prostat (De Nunzio dkk. 2011).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar dkk, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah adanya kerusakan integritas dari duktus

pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan asinus ke interstitial (Gui-zhong dkk, 2011). Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis dilakukan oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004) menyimpulkan bahwa luasnya inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar

free PSA (fPSA). Gui-zhong (2011) menggunakan klasifikasi prostatitis dari

National Institute of Health (NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi

berhubungan dengan peningkatan kadar PSA serum (Gui-zhong dkk, 2011). Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total (tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai

PSA density (PSAD). Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor

serine protease seperti α1-antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α 2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA) tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya persentase fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin, dkk melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih

akurat dalam membedakan kanker prostat dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25 (Amirraouli dkk, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan Goran dkk menyebutkan bahwa akurasi PSA untuk mendiagnosa kanker prostat terbatas sensitifitasnya dan spesifitasnya sampai dengan kadar PSA 10 ng/ml. Ratio free PSA terhadap total PSA sebagai alat yang berguna untuk membedakan antara kanker prostat dan BPH, rasio rendah terdapat pada kanker prostat dibandingkan dengan BPH tetapi ratio yang rendah bukan hanya didapatkan pada kanker prostat tetapi juga bias terjadi pada keadaan inflamasi subklinik (Goran dkk, 2014).

Proses inflamasi pada prostat mencetuskan pelepasan sitokin. Sitokin dan faktor pertumbuhan tidak hanya berinteraksi dengan efektor imunologi, namun juga dengan sel epitel dan stroma dari prostat. Kramer dkk, pertama kali mengkonfirmasi bahwa jaringan BPH mengandung limfosit T, limfosit B, makrofag yang teraktivasi secara kronis dan menyebabkan pelepasan sitokin, yang menyebabkan pertumbuhan fibromuskular pada BPH. Sitokin proinflamasi yang terlibat di antaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), IL-8, dan IL-5. Pada saat sel T mencapai batas tertentu, sel-sel di sekitarnya menjadi target dan dihancurkan, meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskuler (De Nunzio dkk, 2011).

Penna dkk bahwa sel stroma pada prostat dapat menjadi antigen yang mengaktivasi alloantigen CD4 untuk memproduksi IFN-γ dan IL-17. IFN-γ dan IL-17 akan mencetuskan produksi IL-6 dan IL-8, di mana IL-6 merupakan faktor

pertumbuhan autokrin dan IL-8 adalah induktor parakrin dari fibroblast growth

factor 2 (FGF-2). Keduanya merupakan kunci dari pertumbuhan sel epitel dan

stroma prostat. Selain itu, pro inflamasi TGF-β telah tebukti meregulasi proliferasi dan diferensiasi stroma pada BPH. Sumber lain dari mediator inflamasi adalah adanya hipoksia lokal yang terjadi, di mana mencetuskan adanya neovaskularisasi dan diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas (De Nunzio dkk, 2011).

Penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008). Penelitian dari Reduce memiliki hasil yang hampir sama, di mana disebutkan 21,6% tidak didapatkan inflamasi, 78,4% terdapat inflamasi (Nickel dkk, 2008).

Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011).

Tabel 2.5. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Modifikasi dari De Nunzio dkk, 2011)

Derajat histologi :

0: Tidak ada inflamasi

1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul 2: Nodul limfoid tanpa penyatuan

3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul Agresivitas histologi :

0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar

1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel

2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar 3: Kerusakan struktur kelenjar >25%

Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang menjadi salah satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana antigen yang dikenali berasal dari postat.CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon proliferatif terhadap PSA (Ponniah dkk, 2000).

Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis masih belum diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai penyebabnya. Namun pada kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial. Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan episodik konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat ditemukan infiltrat dari sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan

implikasi dari keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).

Gambar 2.8 (A). Jaringan normal prostat tanpa inflamasi, (B) Inflamasi prostat derajat 1, (C) Inflamasi prostat derajat 2, (C) Inflamasi prostat derajat 3 dengan pewarnaan H&E 200x (Modifikasi dari Stimac dkk, 2014)

Dokumen terkait