PENINGKATAN KADAR
PROSTATIC SPECIFIC
ANTIGEN
LEBIH SERING TERJADI PADA PASIEN
BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY
DENGAN
PENINGKATAN USIA, INFEKSI SALURAN KEMIH,
INFLAMASI DAN OBESITAS DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
JIMMY CANDRA PUTRA NIM 0914028204
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
1.1 Latar Belakang Masalah
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari
kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan
gangguan miksi. BPH ini dapat dialami oleh sekitar 70 % pria diatas usia 60
tahun. Walaupun jarang menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan kualitas
hidup penderita secara signifikan. Menurut data dari WHO 1995 angka prevalensi
dari penderita BPH antara 0,5-1,5/100.000 penduduk dunia, dengan angka
kematian yang sangat jarang. Di RSUP Sanglah Denpasar selama tahun 2013
terdapat 103 penderita dengan BPH yang menjalani operasi, diantara 1161 total
keseluruhan penderita urologi yang menjalani operasi.
Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan ada hubungan erat
dengan peningkatan hormon dihidrotestosteron dan proses ketuaan. Faktor-faktor
resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada
predisposisi genetik atau perbedaan ras. Sekitar 50% laki-laki berusia dibawah 60
tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan
besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita dengan orang tua yang
menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang
terjadinya hiperplasia prostat. Salah satu hipotesa yang banyak dibahas
akhir-akhir ini adalah teori inflamasi, di mana teori ini pertama kali dikemukakan pada
tahun 1937. Dengan adanya berbagai penyebab, sel-sel inflamasi yang terdapat
pada jaringan prostat dapat teraktivasi dan mencetuskan pengeluaran
mediator-mediator inflamasi, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan, memacu
pembentukan growth factor, peningkatan proliferasi dan diferensiasi sel, sehingga
terjadi hiperplasia kelenjar prostat (De Nunzio, dkk. 2011).
Prostate Spesific Antigen (PSA) adalah protease yang diproduksi sebagian
besar di sel epitel prostat, sehingga PSA dianggap sebagai suatu pemeriksaan
yang spesifik untuk organ prostat. Dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa
nilai PSA serum secara konsisten dapat memprediksi risiko pembesaran prostat
yang berhubungan dengan adanya retensi urin dan tindakan operasi. Nilai normal
kadar PSA serum adalah <4 ng/ml. Pada pasien dengan PSA serum lebih dari 4
ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah 89%, sementara pasien
dengan PSA kurang dari 2 ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah
33% (Oelke dkk, 2012). Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting
dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker
prostat (Carroll dkk, 2013). Pada pasien dengan BPH, 25% di antaranya memiliki
PSA serum di atas 4 ng/ml. Dikatakan bahwa pada pasien dengan PSA di antara
4,1 sampai 10 ng/ml dan dengan pemeriksaan colok dubur yang normal, 80%
adalah jinak (Ozden dkk, 2007).
Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat dapat menyebabkan lebih banyak
serum. Penyakit pada prostat yang paling umum terjadi adalah prostatitis, BPH,
dan kanker prostat, di mana penyakit-penyakit tersebut dapat dihubungkan dengan
peningkatan kadar PSA serum. Kondisi lain yang dapat meningkatkan kadar PSA
secara sekunder di antaranya adalah aktifitas fisik, infeksi, dan pemakaian
obat-obatan (Oelke dkk, 2000).
Oleh karena peningkatan serum PSA dipengaruhi oleh beberapa sebab atau
penyakit seperti yang dijelaskan diatas, maka untuk mendeteksi dan menegakkan
kanker prostat secara dini selain dengan pengukuran kadar PSA yang tinggi
diperlukan juga biopsy prostat dengan transrektal biopsi (Ornstein dkk, 2001).
Terdapat suatu dugaan bahwa PSA merupakan antigen yang menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya proses inflamasi pada prostat. Sebuah penelitian
menemukan bahwa PSA memberikan respon pada proliferasi dari CD4 sel T pada
pasien dengan prostatitis (Ponniah dkk, 2000).
Inflamasi pada prostat atau prostatitis seringkali tidak terdiagnosa dan cenderung
diabaikan, terutama pada pasien dengan BPH. Seringkali prostatitis ditemukan
secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan
pemeriksaan histopatologi pada jaringan prostat. Hal ini disebabkan karena
keluhan pasien dengan prostatitis dan BPH saling tumpang tindih, sehingga sulit
dibedakan antara keluhan saluran kemih bagian bawah yang muncul disebabkan
oleh BPH atau prostatitis. Selain itu, tidak semua prostatitis menimbulkan gejala.
Prostatitis kategori IV merupakan prostatitis asimtomatis dan hanya bisa
didiagnosa dengan biopsi jaringan prostat. Prostatitis kategori IV ditemukan pada
operasi (Yalcinkaya dkk, 2011). Terdapat kemungkinan bahwa diagnosa protatitis
lebih awal dapat mendeteksi adanya proses inflamasi pada prostat yang dapat
memperburuk keluhan dan kondisi pasien (Sauver dkk, 2008). Pasien dengan
prostatitis dilaporkan mengalami hiperplasi prostat jinak sebanyak 83%. Secara
umum, adanya prostatitis meningkatkan risiko terjadinya BPH sebesar 8 kali lipat
(Krieger dkk, 2008). Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut
gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi,
tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat
1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2
terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area
inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya,
inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel
inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan
epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan
derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011).
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologis spesifik.
Pada obesitas terutama obesitas sentral berkaitan dengan sindroma metabolik,
sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi
obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan
hipertensi (Sugondo dkk, 2014).
Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya
terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien
dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan
sekresi hormone leptin, hormone leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan
prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012).
Dari keterangan hal diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan kadar
PSA pada pasien dengan BPH berhubungan atau dipengaruhi dengan banyak
faktor, pada penelitian ini penulis mencoba mencari apakah peningkatan kadar
PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan usia >50 tahun, infeksi saluran
kemih, inflamasi , obesitas. Dengan mengontrol faktor resiko diatas seperti infeksi
saluran kemih, inflamasi, obesitas, kita dapat menghambat progresivitas dari BPH
sehingga dapat memberikan terapi yang efektif dan meningkatkan kualitas hidup
penderita.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita
BPHdengan usia> 50 tahun?
2. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH
dengan infeksi saluran kemih ?
3. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH
dengan inflamasi prostat ?
4. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah peningkatan kadar PSA pada penderita BPH
lebih sering terjadi dengan bertambahnya usia (> 50 tahun), infeksi saluran
kencing, inflamasi, obesitas .
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita
BPH dengan peningkatan usia .
2. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita
BPH dengan infeksi saluran kemih.
3. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita
BPH dengan inflamasi prostat.
4. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita
BPH dengan obesitas.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa peningkatan
kadar PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia,
infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas.
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian
Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering
terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih,
menghambat progresivitas dari BPH, oleh karena peningkatan kadar PSA
berbanding lurus dengan peningkatan volume prostat pada BPH.
Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering
terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih,
inflamasi, obesitas dapat disimpulkan bahwa peningkatan PSA diatas nilai normal
tidak bisa dipakai sebagai acuan satu-satunya untuk mendiagnosa ke arah kanker
2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari
kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan
gangguan miksi.
2.1.1 Insidensi & Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya
berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada
laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90%
pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun
keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50 tahun + 25%
laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat
hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau
Gambar 2.1. Angka Kejadian BPH Berdasarkan Usia di Beberapa Negara ( modifikasi dari Roehrborn, 2012).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013
terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien
urologi yang menjalani operasi.
Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa
penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50%
laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor
keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita
yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar
2.1.2 Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah
atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional, zona preprostatik dan
zona anterior (Mc Neal, 1988). Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos,
fibroblas, pembuluh darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat
menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat.
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus
prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari
corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi
parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra
posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada
otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut
banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis mempertahankan
berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan uretra posterior dan
mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Cooperberg dkk, 2013).
2.1.3 Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor
dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan
stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik
dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1) Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2003)
2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2003)
3) Interaksi stromal-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo,
2003)
4) Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat (Purnomo, 2003)
5) Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk
sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang
tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
maupun sel epitel (Purnomo, 2003)
Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH
dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada
BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif
antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang
mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih
sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang
mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH
(Cooperberg, 2013).
6) Teori Inflamasi
Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit
inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan
LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi pada histopatologi dari
3942 pasien BPH (De Nunzio dkk, 2011). Sementara penelitian dari Daniels,
dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan
bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk
Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada
prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya
retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai
dengan proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga
dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat derajat inflamasi,
semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini
masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio dkk,
2011).
2.1.4 Patologi
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat
dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang
berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri
dari jaringan kolagen dan otot polos (Cooperberg dkk, 2013).
Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam
menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-bloker memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot
polos, sementara bila komponen yang dominan adalah ephitel, memberikan
Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat (modifikasi dari Cooperberg, 2013)
Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat
yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona
transisional dengan zona perifer, dan juga merupakan batas dilakukannya
prostatektomi terbuka.
2.1.5 Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat
dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi
mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat
penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi
bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi
pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap
timbulnya gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita.
Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf
adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga
penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi. Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons
sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan
hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen, pada
inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai trabekulasi, apabila
berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor
yang mengakibatkan terbentuknya divertikel (Cooperberg dkk, 2013)
2.1.6 Gejala Klinis
Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria berusia
di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia
kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami
Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat , dan Obstruksi Kandung Kemih Pada Pria Berusia Lebih Dari 40 Tahun
(modifikasi dari Roehrborn, 2012).
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Syndrome (LUTS) (Cooperberg, 2013)
LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan
pascamiksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang
diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada
penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan.
Kondisi lain baik kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi
terhadap adanya LUTS (Oelke dkk, 2012).
Gambar 2.4. Penyebab LUTS pada Pria (Modifikasi dari Oelke, 2012).
Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi
untuk mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode tersebut di
antaranya adalah Boyarsky, Madsen–Iversen, Maine Medical Assessment
Program (MMAP), Danishsymptom score (DAN-PSS-1), AUA symptom score,
IPSS, Bolognese instrument (Donovan dkk, 1996).
digunakan. IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang
ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. Telah dilaporkan
bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan cukup sederhana, di
mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi (Ozturk
dkk, 2011).
IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya sendiri,
dengan hasil yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari petugas kesehatan.
Ozturk dkk membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi oleh pasien
sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh pasien dengan bantuan petugas
kesehatan tidak berbeda secara signifikan. IPSS saat ini telah divalidasi dan
diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara.
Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa
IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai
tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi), dan empat gejala
pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang
lemah). IPSS juga menilai tingkat dari gangguan yang dirasakan, dengan satu
pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup (McVary dkk, 2010).
IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk
menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif
dalam skala 0-5.Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran kemih
bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat
beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor diagnostik untuk menegakkan
adanya BPH (Oelke dkk, 2012).
Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan
etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan
kanker prostat. Bozdar dkk melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP
dalam hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang disertai
dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5 (rentang 20-35).
IPSS pascaoperasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu. Pada evaluasi 6
minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS
sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi kedua (12 minggu pasca
TURP), terdapat 88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang,
dan 1,5% dengan LUTS berat (Bozdar dkk, 2010). Sampai saat ini belum ada
penelitian yang menilai IPSS pasien BPH pasca TURP di Indonesia.
Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang
menetap setelah TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang paling
banyak adalah adanya hiperaktivitas detrusor (54%), residual obstruksi bladder
outlet (16%), kelemahan sfingter (8%), dan hipokontraktilitas detrusor (4%)
Gambar 2.5. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia (Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003)
2.1.7 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran
dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan
kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy
(Cooperberg dkk, 2013).
Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk
diagnose BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna
untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2002)
menyatakan bahwa perkiraan volume prostat menggunakan colok dubur adalah
tidak akurat, sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk mengukur volume
prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002).
Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan
untuk mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan
dengan transrectal ultrasound (TRUS).
2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan
hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi
renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan dibutuhkan
pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki
resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA
serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi
(Cooperberg dkk, 2013).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan
prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada
menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar
PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk
diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013).
Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA
(Gui-zhong dkk, 2011).
Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran
kemih.Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari
ginjal, sistem pengaliran (kaliks, pyelum, dan ureter), dan kandung kemih
(penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih melalui uretra
yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari kandung kemih ke
uretra melewati jaringan prostat (Shoskes dkk, 2011).
2.1.9 Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila
didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria,
ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan
untuk dianostik tetapi digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan
berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien yang
dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post
miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).
2.1.10 Diagnosa Banding
Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur
uretritis atau trauma harus dieksklusi untuk menyingkirkan striktur uretra atau
kontraktur leher buli. Hematuria dan nyeri umumnya berhubungan dengan batu
buli-buli,keganasan prostat dapat terdeteksi awal dari colok dubur dan
peningkatan PSA.
Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH. Dapat
diidentifikasi dari urinalisis dan kultur, walaupun infeksi saluran kemih ini dapat
merupakan komplikasi dari BPH. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan dengan
keganasan kandung kemih terutama karsinoma in situ, di mana pada urinalisis
didapatkan hematuria. Riwayat kelainan neurologis, stroke, DM dan cedera tulang
belakang dapat mengarah ke neurogenic bladder. Umumnya didapatkan
penurunan sensibilitas pada perineum dan ekstremitas inferior dan penurunan
tonus sphincter ani dan reflek bulbokavernosus, mungkin didapatkan perubahan
pola defekasi (Cooperberg dkk, 2013).
2.1.11 Penatalaksanaan
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga tindakan
operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk pembedahan
berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang rekuren, gross
hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan divertikel
buli.(Cooperberg, 2013).
1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa
blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
Tabel 2.1. Klasifikasi Terapi Medikamentosa pada BPH (Modifikasi dari
Cooperberg, 2013)
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin
saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal
(indikasi operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah
yang menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi
operasi relatif (Oelke dkk, 2013).
a. TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara endoskopi, di
mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama perawatan yang
relatif singkat. TURP menjadi baku emas tindakan operatif pada penderita BPH.
Dikatakan TURP dapat mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah dan
menurunkan IPSS pada 94,7% kasus (Bozdar dkk, 2010).
Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH. Pada pasien dengan
keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP
lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga
100% . Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan
yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi.
Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45
gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit.
Sindroma TUR terjadi kurang dari 1% (IAUI Guidelines, 2003).
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1%
buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan
disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4%
pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84
tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk
anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan
jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun (IAUI Guidelines, 2003).
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde sekitar
75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa perdarahan,
striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom
TURP (Cooperberg dkk, 2013).
b. Transurethral Incicion of the Prostate
Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil seringkali
memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di mana hal ini
merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya berupa tindakan lebih
cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko ejakulasi retrograde lebih rendah
(25%) (Cooperberg dkk, 2013).
c. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan
endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau
didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan
yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure)
4) Terapi Minimal Invasive.
Dapat berupa Terapi laser (TULIP), Transurethral Electrovaporization of
the Prostat, Microwave Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the
Prostat, High Intencity Focused Ultrasound, Stent Intraurethral (Purnomo,
2003)
2.2 Prostate Spesific Antigen (PSA)
Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas
untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu
ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara
spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan
juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum, seperti misalnya BPH atau prostatitis
(Amirrasouliet dkk, 2010).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan
prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada
struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma,
menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar
PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk
diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).
Sejarah perkembangan dari Prostatic Specific Antigen (PSA) sebagai berikut:
Hara et al menemukan gamma seminoprotein yang diisolasi dari seminal plasma
protein dari plasma seminal. Pada tahun 1979, Wang et al dapat memurnikan
protein dari jaringan prostat. Nadji et al melapaorkan bahwa ada hubungan antara
PSA dan kanker prostat tahun 1981. Pada tahun 1985 Lilja et al mendeskripsikan
fungsi dan karakteristik dari PSA. Myrtle menetapkan referensi range dari PSA
pada tahun 1986. Pada tahun 1987, Stamey melakukan study klinis untuk
mengetahui efektifitas PSA sebagai tumor marker. Setelah itu tahun 1990
ditemukan dan dipromosikan 3 alat untuk deteksi kanker prostat (DRE,
PSA,TRUS) oleh Cooner . Pada tahun 1992 Carter memperkenalkan konsep dari
PSA velocity dan Benson mengemukakan PSA density. Setahun kemudian
Brawer et al dan Catalona et al mempublikasikan studi kegunaan PSA saja untuk
mendeteksi kanker prostat. Tahun 1997, Partin memperlihatkan aplikasi klinis
PSA sebagai final pathologic stage (David dkk, 2001)
2.2.1 Hubungan PSA dengan Umur
Total PSA meningkat pada pria dengan pembesaran prostat tanpa adanya
kanker, beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan
usia, hal ini berhubungan dengan peningkatan prevalensi pembesaran prostat pada
usia tua (Oesterling dkk, 1998).
Pada penelitian yang dilakukan di Jordania oleh Battikhi, dilaporkan
bahwa ada hubungan linear progresif antara peningkatan total PSA dan free PSA
dengan bertambahnya usia. Pada penelitiannya hanya didapatkan sekitar 26%
laki-laki dengan kadar TPSA 4,1-9,9 ng/ml yang mengalami kanker prostat pada
bertambahnya usia dikemukakan oleh beberapa studi yang dilakukan pada
laki-laki kulit putih dan kulit hitam di Amerika dan di Japan (Battikhi, 2003).
Gambar 2.6 Korelasi kadar serum TPSA dan usia pada pasien dengan klinis bukan kanker prostat di Jordania (Modifikasi dari Battikhi, 2003)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Khezri dkk di Iran juga melaporkan
bahwa PSA sebagai marker yang berguna untuk diagnose dan managemen kanker
prostat, meskipun peningkatan kadar PSA tidak spesifik kanker prostat tetapi
organ spesifik. Peningkatan kadar PSA ditemukan pada pasien dengan BPH dan
prostatitis, dan juga PSA meningkat seiring dengan usia karena peningkatan
Gambar 2.7 Hubungan antara usia dan kadar PSA pada pasien di Iran (Modifikasi dari Khezri dkk, 2009)
Ornstein et al menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan usia
pasien, hal ini sehubungan dengan pria diatas 50 tahun didapatkan rasio volume
zona transisional ke zona periferal yang meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Free PSA dilepaskan oleh zone transisional sehinggan free PSA meningkat
(Ornstein,1998).
Tabel 2.2 Rata-rata serum PSA dari berbagai populasi
2.2.2 Hubungan PSA dengan Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih sangat sering terjadi baik pada wanita maupun
laki-laki. Faktor-faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih antara lain
obstruksi saluran kencing (batu ginjal,batu buli, BPH), gangguan pengosongan
kandung kemih, kelemahan pada system imunitas (diabetes, kemoterapi, dan
lain-lain), hubungan intim, pemasangan alat instrument pada tubuh (pemasangan
kateter urine), kelainan anatomi atau trauma (striktur uretra) (DiVito, 2014).
Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada
prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem
sirkulasi. Beberapa penelitian atau studi menggambarkan peningkatan level PSA
pada pasien dengan keluhan dan gejala infeksi saluran kemih dengan kultur
bakteri yang positif tetapi dengan pengobatan yang baik dapat menurunkan kadar
PSA. Beberapa infeksi yang dekat dengan kelenjar prostat, termasuk infeksi
saluran kemih dapat mengiritasi sel prostat sehingga mengakibatkan peningkatan
kadar PSA (Bell dkk, 1998).
Pada beberapa studi menyebutkan bahwa kelenjar prostat dan vesika seminalis
sering terjadi ko-infeksi pada laki-laki dan dapat menyebabkan acute febrile UTI.
Selama fase akut infeksi akan terjadi peningkatan konsentrasi serum PSA dengan
beberapa variasi konsentrasi serum PSA untuk kembali ke level normal. Kenaikan
serum PSA tersebut sebagian besar diikuti dengan periode demam. Mekanisme
patologi kenaikan serum PSA dalam darah masih belum jelas, mungkin
infeksi dan inflamasi . Penurunan kadar PSA akan terjadi setelah proses infeksi
akut tertangani dan memerlukan waktu yang berbeda-beda (Ullerryd dkk, 1999)
Tabel 2.3 Level serum PSA selama periode febrile UTI
( Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999)
Tabel 2.4 Level serum PSA setelah periode febrile UTI
(Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999)
2.2.3 Hubungan PSA dengan Inflamasi Prostat
Pada prostat terdapat sel-sel inflamasi (leukosit) yang bertambah seiring
bertambahnya usia. Sel-sel ini terdiri dari limfosit B dan T, makrofag, dan sel
mast. Penyebab adanya infltrasi dari sel inflamasi pada jaringan prostat masih
bakteri, infeksi virus, refluks urin dengan inflamasi kimiawi, faktor makanan,
hormone, respon autoimun, dan kombinasi dari beberapa faktor tersebut (De
Nunzio dkk. 2011).
Telah ditemukan penyebab infeksi seperti E. coli (bakteri gram negatif),
beberapa jenis virus seperti Human Papilloma Virus (HPV), virus herpes simpleks
tipe 2, dan sitomegalovirus, juga organisme yang menyebar secara seksual seperti
Neisseria gonorrhoea, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum, and
Trichomonas vaginalis. Selain infeksi, refluks urin juga bisa menyebabkan
inflamasi dengan adanya kristal asam urat yang mengaktifkan makrofag dan
mencetuskan pengeluaran sitokin. Penyebab lain yang mungkin adalah respon
autoimun. Dengan adanya trauma pada prostat akibat beberapa etiologi yang telah
disebutkan, lapisan epitel yang rusak akan melepaskan antigen yang mencetuskan
terjadinya proses autoimun. Estrogen secara umum telah dipertimbangkan sebagai
hormon proinflamasi, diperkirakan menginduksi inflamasi dengan mempengaruhi
produksi Interferon-γ (IFN-γ) pada limfosit. Estrogen juga menstimulasi Interleukin 4 (IL-4) yang akan menjadi growth factor-β (TGF-β). Faktor makanan yang berpengaruh dalam proses ini adalah makanan yang tinggi lemak, di mana
pada percobaan binatang terbukti meningkatkan distribusi dan aktivitas sel mast
dan makrofag pada prostat (De Nunzio dkk. 2011).
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar dkk, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat
berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum,
pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan asinus ke
interstitial (Gui-zhong dkk, 2011). Salah satu penelitian awal mengenai kadar
PSA dengan inflamasi histologis dilakukan oleh Brawn (1991), dengan
kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA
serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara
agresifitas inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004)
menyimpulkan bahwa luasnya inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA
serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode grading dari Irani, dan
menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada prostat
dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar
free PSA (fPSA). Gui-zhong (2011) menggunakan klasifikasi prostatitis dari
National Institute of Health (NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi
berhubungan dengan peningkatan kadar PSA serum (Gui-zhong dkk, 2011).
Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total
(tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai
PSA density (PSAD). Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor
serine protease seperti α1-antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α 2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA) tidak berikatan dengan protein
serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA
(fPSA/tPSA) disebut sebagai persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya persentase fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal
ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi
akurat dalam membedakan kanker prostat dengan penyakit nonmalignansi
sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tPSA
yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25 (Amirraouli dkk, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan Goran dkk menyebutkan bahwa akurasi PSA
untuk mendiagnosa kanker prostat terbatas sensitifitasnya dan spesifitasnya
sampai dengan kadar PSA 10 ng/ml. Ratio free PSA terhadap total PSA sebagai
alat yang berguna untuk membedakan antara kanker prostat dan BPH, rasio
rendah terdapat pada kanker prostat dibandingkan dengan BPH tetapi ratio yang
rendah bukan hanya didapatkan pada kanker prostat tetapi juga bias terjadi pada
keadaan inflamasi subklinik (Goran dkk, 2014).
Proses inflamasi pada prostat mencetuskan pelepasan sitokin. Sitokin dan
faktor pertumbuhan tidak hanya berinteraksi dengan efektor imunologi, namun
juga dengan sel epitel dan stroma dari prostat. Kramer dkk, pertama kali
mengkonfirmasi bahwa jaringan BPH mengandung limfosit T, limfosit B,
makrofag yang teraktivasi secara kronis dan menyebabkan pelepasan sitokin, yang
menyebabkan pertumbuhan fibromuskular pada BPH. Sitokin proinflamasi yang
terlibat di antaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), IL-8, dan IL-5. Pada saat sel T
mencapai batas tertentu, sel-sel di sekitarnya menjadi target dan dihancurkan,
meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskuler (De Nunzio dkk,
2011).
Penna dkk bahwa sel stroma pada prostat dapat menjadi antigen yang
pertumbuhan autokrin dan IL-8 adalah induktor parakrin dari fibroblast growth
factor 2 (FGF-2). Keduanya merupakan kunci dari pertumbuhan sel epitel dan
stroma prostat. Selain itu, pro inflamasi TGF-β telah tebukti meregulasi proliferasi dan diferensiasi stroma pada BPH. Sumber lain dari mediator inflamasi adalah
adanya hipoksia lokal yang terjadi, di mana mencetuskan adanya neovaskularisasi
dan diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas (De Nunzio dkk, 2011).
Penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari
pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko
delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008). Penelitian dari
Reduce memiliki hasil yang hampir sama, di mana disebutkan 21,6% tidak
didapatkan inflamasi, 78,4% terdapat inflamasi (Nickel dkk, 2008).
Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi
dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran
inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel
inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa
berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area inflamasi yang luas
dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi
menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel,
derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat
infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi
Tabel 2.5. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Modifikasi dari De Nunzio dkk, 2011)
Derajat histologi :
0: Tidak ada inflamasi
1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul 2: Nodul limfoid tanpa penyatuan
3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul
Agresivitas histologi :
0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar
1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel
2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar 3: Kerusakan struktur kelenjar >25%
Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang
menjadi salah satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat.
Sebuah penelitian pada pasien dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4
sel T dengan plasma seminal, di mana antigen yang dikenali berasal dari
postat.CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon proliferatif
terhadap PSA (Ponniah dkk, 2000).
Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis
masih belum diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai
penyebabnya. Namun pada kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis
gagal diterapi dengan obat antibakterial. Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau
sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit autoimun didukung oleh
beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan episodik
konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat
implikasi dari keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga,
telah dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau
dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif terhadap
plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).
Gambar 2.8 (A). Jaringan normal prostat tanpa inflamasi, (B) Inflamasi prostat derajat 1, (C) Inflamasi prostat derajat 2, (C) Inflamasi prostat derajat 3 dengan pewarnaan H&E 200x (Modifikasi dari Stimac dkk, 2014)
2.2.4 Hubungan PSA dan Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi
obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan
hipertensi (Sugondo dkk, 2014).
Sebagian besar laki-laki diatas usia 50 tahun mempunyai keluhan yang
berhubungan dengan pertumbuhan dari prostat dan benign prostate hypertrophy
(BPH). Prevalensi dari obesitas dan penumpukan lemak abdominal juga
meningkat sejalan dengan usia dan perubahan metabolism hormon steroid,
regulasi insulin, dan pembesaran prostat yang diakselerasi oleh obesitas. Namun
hasil dari investigaasi beberapa penelitian hubungan antara BMI atau estimasi
visceral adiposity dan klinis BPH masih inkonsisten (Fowke dkk, 2007).
Sampai saat ini, banyak laporan yang membahas hubungan terbalik antara
PSA dan Body Mass Index (BMI) pada pasien dengan kanker prostat. Pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar PSA lebih rendah pada pria
dengan obesitas (Hekal dkk, 2010). PSA diregulasi oleh androgen, beberapa
peneliti mempunyai hipotesis bahwa konsentrasi PSA yang rendah dapat
menyebabkan penurunan dari aktivitas androgenik pada pasien dengan obesitas.
Namun pasien dengan BMI yang tinggi juga memiliki volume plasma yang lebih
besar, yang dapat menurunkan konsentrasi solubel tumor marker, fenomena ini
disebut hemodilusi (Vollmer dkk, 2003).
Bannes dkk (2007) juga menyebutkan bahwa laki-laki dengan BMI yang
tinggi juga menpunyai volume plasma yang besar dan volume vaskular , dimana
Huterer dkk (2007) dan Thompson dkk (2004) mengemukakan bahwa
tidak ditemukannya hubungan statistik yang signifikan antara BMI dan kadar
serum PSA, sedangkan beberapa penelitian lain mengatakan adanya hubungan
terbalik antara BMI dan PSA. Chia dkk (2009) menyebutkan adanya hubungan
terbalik antara BMI dan PSA level, khususnya laki-laki China usia 70-79 tahun
dengan BMI > 25, setiap 1 kg/m2 per tahun terjadi penurunan kadar PSA sekitar
0,011 ng/mL.
Tab 2.6 Hubungan antara BMI dan PSA pada laki-laki Japanese (Modifikasi dari Naito dkk,2012)
Pada penelitian yang dilakukan Naito dkk (2012) menyebutkan bahwa
kadar serum PSA lebih rendah terdapat pada laki-laki dengan obesitas
dibandingkan dengan yang non obesitas, dan pada penelitian tersebut juga
menyebutkan bahwa kadar serum PSA juga lebih rendah pada pasien dengan
diabetes dibandingkan dengan yang non diabetes (Naito dkk, 2012)
Kim dkk menemukan hubungan korelasi antara PSA dan BMI,
Pada beberapa kasus pasien dengan obesitas mempunyai ukuran prostat relatif
lebih besar daripada yang non obesitas, dari beberapa data menyebutkan bahwa
obesitas berhubungan dengan pembesaran ukuran prostat (Hekal dkk, 2010).
Baltimore Longitudinal Study of Aging mengatakan tidak ada hubungan
antara BMI dan volume prostat , walaupun visceral adiposity dan berat badan
berhubungan dengan klinis BPH, sedikit pengetahuan mengenai hubungannya
dengan volume prostat. Lebih jauh lagi, beberapa study terbaru meyakini bahwa
ada beberapa efek obesitas terhadap volume prostat dan juga dapat digunakan
untuk deteksi kanker prostat. Pada penelitian yang dilakukan Fowke dkk
mempunyai kesimpulan bahwa obesitas dan berat badan berhubungan dengan
peningkatan volume prostat (Fowke dkk, 2007).
Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya
peningkatan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, insulin menginduksi
terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien
dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan
sekresi hormon leptin, hormon leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan prostat
dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012). Hiperinsulinemia terjadi
peningkatan aktivitas simpatis dengan peningkatan metabolism glukosa pada
ventromedial hipothalamic neuron yang berkontribusi peningkatan aktivitas
alfa-adrenergik pathway, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot polos pada
struktur genitourinary termasuk prostat, leher buli, uretra dan akan terjadi LUTS
dimana IGF axis berperan dalam regulasi pertumbuhan epitel prostat (Stattin dkk,
2001).