• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KELURAHAN SUKARAMAI II TAHUN 1970-2005

3.1 Kehidupan Sosial Etnis Tionghoa di Kelurahan Sukaramai II tahun 1970-2005

3.1.5 Hubungan Sosial Politik

Berbagai macam kebijakan pemerintah Orde Baru tersebut secara langsung berdampak pada etnis Tionghoa baik secara cultural identity maupun juga political identity.Secara cultural identity, etnis Tionghoa tidak bisa mengekspresikan dirinya sebagai kelompok etnis karena

terdapat pemaksaan asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk bisa diakui menjadi Indonesia.Sedangkan sebagai political identity, etnis Tionghoa merupakan objek

19Wawancara, Paidjin (Penduduk asli kelurahan Sukaramai II) tanggal 20 Juni 2019

subordinasi kekuasaan negara yang dibatasi mobilitas, status, maupun juga kewajibannya sehingga memuncukan stigma warga negara kelas dua.

Perubahan politik negara terhadap etnis Tionghoa kemudian berubah pasca rezim Orde Baru berakhir. Adalah Presiden K.H Abdurrahman Wahid yang kemudian mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dengan Keppres Nomor 6/2000 yang memperbolehkan etnis Tionghoa untuk bisa berekspresi di ruang publik. Selain itu, kebijakan yang digulirkan oleh Presiden K.H Abdurrahman Wahid adalah Keputusan Presiden Nomor 19/2001 yang mengatur mengenai pengaturan hari libur fakultatif untuk Hari Imlek.Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti saat Presiden Megawati berkuasa dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 yang menyatakan bahwa Hari Imlek adalah hari libur nasional. Dalam era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, negara mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 yang merubah istilah China sebagai Tiongkok dan Etnis “Cina” sebagai Etnis Tionghoa. Namun demikian, dalam level daerah terdapat peraturan diskriminatif terhadap larangan kepemilikan tanah bagi warga Tionghoa karena dianggap bukan pribumi

Adanya kebijakan afirmatif yang dilakukan oleh negara di tingkat nasional tersebut secara tidak langsung juga merubah lanskap kebijakan makro yang lebih luas yakni perubahan dari pola asimilasi menuju multikulturalisme. Perubahan tersebut secara langsung berimbas pada proses perlahan kembalinya partisipasi aktif maupun pasif masyarakat etnis Tionghoa dalam ruang publik. Secara kultural, budaya dan etnis Tionghoa kini mendapatkan ruang ekspresi dengan pengakuan Konghucu sebagai agama keenam yang diakui. Namun secara politis, harus diakui bahwa masih terdapat praktik diskriminasi yang sifatnya laten dari masyarakat. Artinya, meskipun secara formal dan seremonial, etnis Tionghoa sudah mendapatkan tempat.Namun secara informal,

masih terdapat sikap prasangka sosial yang dialamatkan kepada masyarakat terhadap etnis Tionghoa tersebut.

Adanya kondisi tereksklusikan secara sosial tersebut karena kebijakan negara masih bersifat seremonial berdampak pada penguatan etnis Tionghoa Indonesia secara komunal. Hal itu bisa dilihat dari adanya peran jejaring komunitas Tionghoa berbasis sub etnis yang berupaya menjadi self –servicing community bagi sesamanya. Kondisi tersebut merupakan tindak lanjut dari upaya konsolidasi internal bagi etnis Tionghoa sebelum berintegrasi secara utuh dengan kelompok masyarakat lainnya.

Penajaman terkait masalah terlatak pada seberapa signifikansi politik negara dalam upaya menjaga integrasi dan kebangsaan secara administratif maupun juga konstitutif.Hal ini dikarenakan warisan kebijakan Orde Baru masih membekas dalam pikiran bawah sadar untuk melihat etnis Tionghoa sebagai “aseng”.Pengertian tersebut sebenarnya merujuk pada pemahaman bahwa konteks pribumi dan non pribumi masih ada, terutama itu muncul apabila menyangkut terkait isu-isu sensitif semisal masalah ekonomi dan politik. Kedua hal itu masih menjadi

“penghalang” laten antara etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya di Indonesia.

Dengan demikian, sebenarnya proses afirmasi dan penerimaan terhadap etnis Tionghoa masih berjalan di tempat. Dalam kerangka regulasi yang lebih teknis, pola-pola diskriminatif yang sifatnya minor masih ditemui terutama menyangkut pelayanan publik bagi etnis Tionghoa.Hal itulah yang kemudian membangkitkan adanya semangat komunitarianisme dalam jaringan etnis Tionghoa melalui organisasi-organisasi berbasis etnis. Dengan kata lain, sebenarnya dalam politik negara terhadap etnis Tionghoa masih terdapat bias otoritatif dan bias substansi regulasi.

3.2 Kehidupan Ekonomi Etnis Tionghoa di Kelurahan Sukarame II Tahun 1970-2005

Dikarenakan adanya keterkaitan semua aktivitas dan motif manusia dalam semua aspek ekonomi, maka prinsip ekonomi yang dianut masyarakat di Kelurahan Sukaramai II harus mengikuti pandangan Agama Budha, mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu etika.Pada dasarnya agama Budha adalah agama yang mementingkan etika dan perkembangan karakter individu. Semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia yang bervariasi, pada akhirnya harus ditunjukan pada perkembangan moral dan perkembangan batin. Materi bukanlah satu-satunya tujuan utama yang harus dikejar-kejar dengan semua cara, materi sebaiknya digunakan sebagai sarana penunjang untuk mendapatkan kebahagian spiritual yang lebih tinggi.

Ajaran-ajaran moral inilah yang akhirnya menjadi falsafah hidup etnis Tionghoa pada umumnya dan penganut agama Budha khususnya.Mulai dari kehidupan sehari-hari hingga perilaku mereka dalam menjalankan dan mengembangkan perekonomiannya, dan mencapai pencapaian yang luar biasa dalam bidang tersebut.Berikut paparan Erfan Sutono mengenai ajaran-ajaran Budha yang berpengaruh dalam kehidupan keseharian umatnya, bahkan dalam pengembangan usaha dan bisnisnya.20

Etnis Tionghoa memulai segalanya dari bawah, dari yang tadinya tidak mempunyai apa-apa akhirnya menjadi orang terkaya dan berhasil.Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, tetapi dengan perjuangan yang keras.Mereka menahan diriuntuk tidak tidur dan berhemat.Mereka mengorbankan waktu luang dan mengambilresiko untuk dapat memajukan perdagangan.Pedagang Tionghoa juga mengalami masa-masa sulit. Kadang kala, mereka rugi dan di lain waktu untung.

Bapak David Aritanto menjelaskan bahwa :

Etnis Tionghoa berhasil bukan karena faktor keturunan, bukan juga karena lebih pandai daripada etnis lain di Medan. Akan tetapi, karena mereka sebagai imigran yang mulanya miskin, sehingga muncul perasaan kurang aman dan keinginan berjuang untuk bertahan

20Wawancara, Erfan Sutono (Mahasiswa/Pemuda Budha), tanggal 09 Juni 2019

hidup di daerah orang, dan yang terutama adalah ajaran falsafah dan agama yang mereka dapat sejak kecil.21

Walaupun sistem jaringan perdagangan yang digunakan etnis Tionghoa adalah sistem keluarga, ini tidak menjadikan mereka bermalas-malasan dan hanya melanjutkan usaha keluarga tanpa adanya inovasi, kreativitas dan ide-ide dinamis

lainnya. Mereka akan terus mengevaluasi kinerja diri dan karyawannya, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan sekecil apapun yang mungkin ada. Dengan begitu, dijamin pengingkatan mutu dan pelayanan dalam bisnis dan usaha akan berkembang dengan baik. Pelanggan akan terus bertambah seiring dengan kepercayaan akan kwalitas produksi dan kinerja perusahaan yang kompetitif. Semuanya tidak lepas dari ajaran agama yang mengajarkan keuletan (Uthana Sampada), serta perbaikan diri setiap saat.

Pedagang Tionghoa rata-rata memiliki sikap yang konservatif. Meskipun tampak agresif dalam menjalankan suatu urusan dagang, mereka masih berpegang

teguh pada beberapa adat kebiasaan dan pantangan yang ada dalam falsafah dan etika agama yang mereka anut. Etnis Tionghoa berpegang teguh pada konsep janji mesti ditepati dan utang harus diselesaikan.Utang menyebabkan banyak perdagangan mengalami kegagalan dan keruntuhan.

Hubungan antara pedagang yang satu dan yang lain adalah simbiosis, yaitu saling membutuhkan dan saling ketergantungan.

Dalam jaringan perdagangan etnis Tionghoa, para pedagang harus bahu-membahu dan saling membantu. Bapak Yonggris menambahkan :

Salah satu budaya etnis Tionghoa adalah Kwan Shi, yang sering disebut kongsi.Yang artinya relationship atau hubungan, yaitu bagaimana kita membangun hubungan yang baik dengan pihak lain dan khususnya dengan keluarganya sendiri. Jaringan bisnis etnis Tionghoa itu adalah jaringan etnis.Misalnya, saya ingin membangun bisnis, maka saya bisa

21 Wawancara, David Aritanto (Budayawan Tionghoa), tanggal 21 Juni 2019

bersama-sama dengan etnis Tionghoalainnya di seluruh dunia.Kontak bisnis yang kita lakukan itu cepat, karena adanya Kwan Shi itu.22

Salah satu keuntungan pelaku bisnis etnis Tionghoa adalah prinsip Kwan Shi ini, mereka merasa bahwa mereka berasal dari satu etnis yang sama sehingga adaketerikatan untuk saling memperjuangkan nasib sesama etnis Tionghoa. Meskipun mereka berbeda kewarganegaraan, mereka akan dengan mudah menjalin kerjasama.Dengan demikian, jaringan mereka menjadi luas dan tidak terbatas pada satu regionalsaja, dan secara tidak langsung memperluas wilayah penyebaran usaha mereka.

Etnis Tionghoa yakin bahwa dengan membantu orang lain sukses, mereka

juga akan sukses. Bisa diamati, toko-toko di sepanjang jalan di Kelurahan Sukaramai II contohnya di Komplek Asia Mega Mas Jalan Asia, Jalan Kapten Jumhana, Jalan Sutrisno dan Jalan Asia Permai, adalah toko-toko dengan usaha yang relatif sejenis. Meski begitu, mereka tetap berdagang dengan jujur, ulet, tidak curang dan saling membantu sesamanya.Bapak Hasdy menuturkan :

Etnis Tionghoa percaya bahwa setiap orang itu memiliki rejeki masing-masing, sehingga meski usahanya sama mereka tidak akan berbuat curang. Bahkan, jika ada barang yang mereka tidak punya merekaakan menyarankan pelanggan itu ke toko etnis Tionghoa lainnya yang kemungkinan barang tersebut ada.23

Selain itu etnis Tionghoa juga percaya, dengan melakukan kebaikan danmemberikan sedekah kepada orang-orang miskin, akan dapat memajukan perdagangan. Maka, menjadi kebiasaan para pedagang Tionghoa menyumbangkan keuntungan yang diperoleh, dan pemberian itu harus dilakukan dengan hati yang ikhlas dan bersih.Pedagang harus mengatakan hal-hal yang baik, berpikiran positif dan memiliki hati yang bersih. Bapak Robert Wijaya menuturkan :

Dalam keyakinan kita, moral itu sangatlah penting.Kalau mau untung banyak harus dengan kejujuran dan hasil keringat sendiri, bukan karena tipu muslihat dan curang. Dengan begitu, harta itu akan kekal, tidak cepat habis.Pedagang juga tidak boleh marah, karena marah itu akan menghalau rezeki dan menyebabkan para pelanggannya berpindah ke

22 Wawancara, Ir. Yonggris, M.M. (Usahawan dan Agamawan Buddha), tanggal 21 Juni 2019

23Wawancara, Hasdy (Usahawan), tanggal 21 Juni 2019)

pedagang lain. Dalam berdagang, perbaikan diri sendiri itu adalah salah satu hal penting.Misalnya, marah harus dikendalikan agar pelanggan suka dan senang sama kita.

Dan juga dalam menjaga pergaulan, kita harus ramah dan sopan.24

Berdagang adalah pekerjaan yang memiliki seni tersendiri, dalam artianbahwa berdagang itu tidak jauh berbeda dengan bergaul dengan orang banyak dan

tentunya memiliki karakter berbeda-beda. Sehingga pedagang dituntut untuk bisa

mendalami dan memahami karakter para pelanggannya serta bisa melayani mereka sesuai keinginan dan kebutuhan mereka. Pelanggan adalah raja, yang menginginkan pelayanan yang terbaik dan memuaskan dari pedagang atau pengusaha.Maka, seorang pedangang haruslah individu-individu yang memiliki kepribadian yang supel, terbuka, mudah bergaul, murah senyum dan sopan.Pedagang akan kesulitan dalam melariskan dagangannya jika ia tidak memiliki karakter tersebut karena pelanggan pasti akan merasa enggan berbelanja dan dilayani dengan muka masam dan cemberut.

Etnis Tionghoa percaya, bahwa selain kepandaian, perencanaan dan kerja

keras, nasib dan bakti juga memainkan peranan yang cukup dominan dalammenentukan berhasil atau tidaknya suatu urusan dagang. Oleh karena itu, diadakanlah upacara sembahyang untuk mendapatkan restu dan berkah dari Tuhan dan Dewa-dewa yang mereka yakini.Di samping itu, mereka memuliakan dan menghormati para leluhur mereka baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup.

3.2.1 Jenis Aktivitas Ekonomi yang Dilakukan oleh Etnis Tionghoa di Kelurahan Sukarame II Tahun 1970-2005

Identitas orang Cina di Kelurahan Sukaramai II pada dekade 1970-an tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas ekonomi orang Cina di Kota Medan. Peranan usaha orang Cina

24Wawancara, Robert Wijaya(Usahawan), tanggal 21 Juni 2019

yang pesat tersebut secara khusus bisa mempengaruhi identitas orang Cina.Kita dapat memperkirakan bahwa semakin kuat tingkat integrasi atau asimilasi, semakin penting pula sumbangannya pada identitas kelas di dalam negeri. Kalau integrasi lemah atau bila pemerintah nasional dianggap mendiskriminasikan warga negara peranakan Cina, suatu jenis kepentingan kelas yang lain akan muncul dan para elite ekonomi peranakan Cina akan tergoda untuk melakukan bisnis menurut garis etnis dengan sesama Cina di negara lain. Ini akan cenderung memperkuat identitas etnis orang Cina di Kota Medan, dan bahkan di beberapa bagian dunia yang lain dengan mengorbankan identitas lokal elite ekonomi pribumi.

Kegiatan perdagangan yang dijalankan di Kelurahan Sukaramai II dengan menampung barang-barang lokal dari wilayah pedalaman (milik masyarakat pribumi) dan menampung barang-barang impor yang bernilai tinggi dari wilayah luar.Penduduk setempat menggali semua potensi sumber daya alam yang di miliki oleh wilayah ini kemudian mereka mulai menjual dagangannya.Masyarakat Etnis Tionghoa diawal tahun 1970-1998 mulai membangun pasar tradisional dengan menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari seperti:

 Sayur-mayur, cabai, bawang dan lain-lain

 Daging

 Ikan basah dan kering

 Barang-barang pokok seperti: beras, telur, minyak, bumbu dapur (instan), dan lain-lain

 Makanan ringan seperti: kue-kue, manisan, keripik dan lain-lain

 Buah-buahan

 Pakaian

 Sepatu/tas

 Sepeda

 Barang pecah belah seperti: piring, gelas, peralatan dapur, dan lain-lain

Sedangkan jenis-jenis barang dagangan yang bertambah di Pasar Sukaramai II pada tahun 2000-2005 adalah sebagai berikut, antara lain:

 Aksesoris (kalung, jepitan rambut, alat-alat make up dan lain-lain)

 Alat-alat tulis Kantor dan lain-lain

 Lukisan, Kaligrafi dan bunga-bunga hias (plastik)

 Cinderamata untuk pesta pernikahan, miniatur rumah adat lokal dan keramik hias (pajangan lemari dan tempat kue)

 Emas dan berlian (Perhiasan)

 Barang-barang elektronik

 Peralatan olahraga (sport) 3.2.2 Keragaman Ekonomi

Keragaman ekonomi adalah aset perekonomian bangsa yang perlu kita lestarikan untuk memenuhi kebutuhannya disebut kegiatan ekonomi atau tindakan ekonomi.

Kegiatan ekonomi sehari-hari terdiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi.China telah menjadi macan ekonomi dunia yang luar biasa dan sulit ditandingi. Nyaris tidak ada negara di dunia saat ini yang tidak dibanjiri produk china.Namun dari berbagai studi di masa lalu, china terbukti tidak pernah menjadi kolonialis seperti barat.Ketika negeri ini masih disebut nusantara, interaksi dengan kekaisaran tiongkok sudah lama terjalin.Dalam praktik dagangnya sekarang, china juga tidak pernah terbukti melakukan praktik dumping.Kunci utama berbisnis dengan china adalah adanya keuntungan bersama (win-win solution).

Di Kelurahan Sukaramai II, banyak jenis-jenis usaha yang bisa dijumpai antara lain sebagai berikut:

 Usaha ekstraktif, yakni jenis usaha yang mengambil serta menanfaatkan secara langsung kekayaan yang ada di alam. Contohnya adalah ikan hasil tangkapan nelayan langsung dijual dipasaran

 Pertanian, Perkebunan dan Peternakan. Di Pasar Sukaramai terdapat barang dagangan hasil pertanian seperti padi, peternak ayam danada pula yang berjualan buah.

 Usaha Industri, yakni jenis usaha yang menghasilkan produk ata barang baru atau pun hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Usaha bidang ini banyak dijual di pasar Sukaramai II seperti usaha pembuatan kerajinan dari kulit, usaha kerajinan berbahan rotan dan lain lain.

 Usaha dagang, yakni usaha di mana pelakunya menjual komoditas tertentu.

Komoditas yang dijual mulai dari bahan pokok sampai bahan bangunan.

 Usaha jasa, yakni sektor yang fokus pada pelayanan terhadap konsumen. Profesi terkait usaha jasa di Kelurahan Sukaramai II cukup banyak seperti supir, jasa asuransi, bank, pegadaian, perkreditan, pengiriman, sampai tukang pijat.

3.2.3 Persaingan Ekonomi

Biasanya struktur pasar dibagi menjadi empat jenis.Pasar persaingan sempurna pada kutub ekstrem yang satu, pasar monopoli murni pada kutub ekstrem yang lain, dan pasar persaingan monopolistik serta oligopoli yang berada di tengah-tengahnya. Jenis-jenis struktur atau organisasi pasar ini didefinisikan berdasarkan jumlah serta ukuran pembeli dan penjual produk, jenis produk yang dibeli dan dijual (yaitu, terstandardisasi atau homogen,

berlawanan dengan produk terdiferensiasi), tingkat mobilitas sumber daya (yaitu, kemudahan bagi perusahaan atau pemilik faktor produksi untuk memasuki atau keluar dari pasar), serta tingkat pengetahuan tentang harga, biaya, dan kondisi permintaan dan penawaran yang dimiliki oleh agen-agen ekonomi (yaitu, perusahaan, pemilik faktor produksi, dan konsumen). Ciri-ciri pasar di atas digunakan untuk mendefinisikan empat jenis struktur pasar sebagai berikut: (Suparno: 2010)

1. Persaingan sempurna (perfect competition) adalah bentuk organisasi pasar di mana (a) terdapat banyak pembeli dan penjual suatu produk, masingmasing terlalu kecil untuk memengaruhi harga suatu produk; (b) produknya bersifat homogen; (c) terdapat mobilitas sumber daya yang sempurna; (d) agen ekonomi memiliki pengetahuan yang sempurna tentang kondisi pasar.

2. Monopoli (monopoly) adalah bentuk organisasi pasar di mana hanya ada satu perusahaan yang menjual sebuah produk yang tidak memiliki substitusi dekat.

Perusahaan baru sangat sulit atau bahkan tidak mungkin masuk ke dalam industri ini (terbukti dengan fakta bahwa dalam industri tersebut terdapat perusahaan tunggal).

3. Persaingan monopolistik (monopolistic competition) mengacu pada kasus di mana terdapat banyak penjual produk yang terdiferensiasi dan perusahaanperusahaan cukup mudah keluar dan masuk ke dalam industri dalam jangka panjang.

4. Oligopoli (oligopoly) adalah kasus ketika terdapat sedikit penjual sebuah produk yang homogen ataupun terdiferensiasi. Meskipun kemungkinan selalu ada bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri ini, untuk melakukannya tidaklah mudah (terbukti dengan fakta bahwa dalam industri tersebut hanya terdapat sedikit perusahaan).

Monopoli, persaingan monopolistik, dan oligopoli sering disebut sebagai persaingan tidak sempurna (imperfect competition) untuk membedakannya dari pasar persaingan sempurna.Sesuia dengan ciri-ciri pasar diatas kegiatan perekonomian di Kelurahan Sukaramai II termasuk dalam pasar persaingan sempurna.

BAB IV

Perkembangan Etnis Tionghoa Di Kelurahan Sukaramai II Tahun 1970-2005

4.1 Bidang Ekonomi

EtnisTionghoa dating ke Medan dan sekitarnyapada abad ke-15 pada masaDinasti Tang.Mereka datang secara bertahap, mereka semula hanya datang untuk berdagang, namun lama

kelamaan mereka mulai bermukim.Etnis Tionghoa mempelajari bahasa Melayu sebagai bahasa asli Medan untuk percakapan sehari-hari, karena mereka harus hidup dan mencari nafkah diantara di negara yang mereka tumpangi.Mereka yang datang umumnya berasal dari bagian Selatan daratan Tiongkok, terutama orang-orang etnis Hokkian yang berasal dari daerah yang terletak di sekitar Fujian dan Quan Dong.Oleh karena itu tidak mengherankan kalau imigran-imigran Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara, khususnya Medan adalah sebagian besar orang-orang dari etnis Hokkian.Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang menguasai perdagangan dan pertukangan.

Andry mengatakan bahwa:

Etnis Tionghoa yang ada di Medan itu memiliki bidang usaha yang berbeda-bedayakni suku Kanton biasanya bekerja sebagai penjual emas, Hainan membuka warung kopi atau warung makan, Hokkian menjadi pedagang kain dan Hakka (Khek) berusaha dalam bidang onderdil.25

Etnis Tionghoa yang merantau kebanyakan menganut kebudayaan agraris dan maritim. Ada juga yang merupakan kaum pekerja, seperti tukang, penambang dan pedagang. Mereka dengan mudah beradaptasi sesuai profesinya, kecuali yang berasal dari kebudayaan agraris. Hal ini disebabkan mereka kesulitan memperoleh

25Wawancara, Andry (Pemuda Agama), tanggal 27 Juni 2019

lahan di pedalamandan juga kesulitan menghadapi tantangan alam yang ada.Selain itu, disebabkan pula pada zaman kolonial, berbagai peluang dalam jajaran birokrasi, ketentaraan dan pendidikan umumnya tertutup bagi etnis Tionghoa. Mereka juga tidak diizinkan menempuh ujian ambtenaar atau calon pegawai negeri.

Di tengah-tengah suasana politik kolonial yang diskriminatif itu, bidang yang relatif terbuka bagi etnis Tionghoa adalah perdagangan.Akhirnya mereka beralih juga ke dunia usaha, membuka warung kopi dan toko-toko di perkotaan.Bagi yang menganut kebudayaan maritim, di Medan, mereka tidak lagi menjadi nelayan, tetapi mereka membuka toko alat-alat perikanan dan banyak pula yang menjadi pedagang antarpulau. Pada masa pemerintahan kolonial sampai sekitar 20-an tahun setelah Indonesia merdeka, perdagangan antarpulau di Nusantara memang lebih banyak dikuasai etnis Tionghoa.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, politik rasialis dijalankan secara terang-terangan.Pemerintahan Orde Baru memasang aturan-aturan yang membuat etnis Tionghoa tidak dapat berbuat banyak tidak terkecuali di Medan, antara lain pembedaan tanda pada KTP, pembatasan kesempatan belajar di perguruan tinggi negeri, filter yang ketat untuk masuk pegawai negeri, AKABRI, dan sebagainya yang secara langsung merupakan upaya teror dan indoktrinasi bahwa etnis Tionghoa bukan bagian dari bangsa Indonesia seutuhnya. Akibatnya, malah menjadikan sebagian etnis Tionghoa berhasil dan sukses dalam bidang bisnis.26

Bapak Hasdy menambahkan bahwa :

Faktor-faktor yang menyebabkan mayoritas etnis Tionghoa menjadi pengusaha adalah karena kurangnya kebebasan pada masa orde baru maka mereka fokus pada bisnis dan perdagangan.Dan juga karena merasa berat untuk berpindah lapangan pekerjaan walaupun sekarang telah dibebaskan dan tidak ada lagi diskriminatif.27

26 Thomas Liem Tjoe, Rahasia Sukses Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta:

MedPress, 2007), hal. 32

27 Wawancara, Pdt. Hasdy, S.Si. (Agamawan dan Dosen Agama Buddha), tanggal 21 Juni 2019

Sejak kedatangannya pertama kali, etnis Tionghoa hidup rukun dan berbaur dengan masyarakat pribumi Melayu Medan.Namun, pada tahun 1997 terjadi kerusuhan antar etnis (Tionghoa dan pribumi) di Indonesia, sehingga seluruh etnis Tionghoa merasakan akibatnya termasuk di Medan.

Hal itu juga berdampak negatif terhadap bisnis mereka pada saat itu, toko-toko serta pusat perdagangan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa ikut pula dijadikan sasaran kemarahan warga, dijarah dan dihancurkan.Kini setelah berlangsungnya reformasi dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.Perubahan yang menggembirakan etnis Tionghoa yang selama ini merasa terdiskriminasi sebagai warga negara Indonesia non-pribumi. Dan sejak itu, Undang-undang Kewarganegaraan No. 12/2006 dengan tegas menyatakan

Hal itu juga berdampak negatif terhadap bisnis mereka pada saat itu, toko-toko serta pusat perdagangan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa ikut pula dijadikan sasaran kemarahan warga, dijarah dan dihancurkan.Kini setelah berlangsungnya reformasi dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.Perubahan yang menggembirakan etnis Tionghoa yang selama ini merasa terdiskriminasi sebagai warga negara Indonesia non-pribumi. Dan sejak itu, Undang-undang Kewarganegaraan No. 12/2006 dengan tegas menyatakan

Dokumen terkait