• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gangguan Jiwa

2.5 Hubungan Spiritualitas Dengan Koping Keluarga

Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhan akan semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan kecuali semakin mendekat kepada-Nya (Hidayat, 2006).

Spiritualitas diasumsikan sebagai hal yang sangat penting pada saat sakit dibandingkan saat-saat lain dalam kehidupan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan

kesehatan. Dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi juga aspek spiritual yang dapat membantu membangkitkan semangat pasien maupun keluarga pasien dalam proses penyembuhannya (Hidayat, 2006).

Penelitian telah membuktikan bahwa sebuah studi dari India, yang mengevaluasi faktor yang terkait dengan kursus dan hasil skizofrenia, menunjukkan bahwa keluarga pasien yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam kegiatan keagamaan cenderung merasa lebih tenang dalam mengahadapi pasien yang mengalami gangguan jiwa (Ruchita Shah, Parmanand Kulhara, Sandeep Grover, Suresh Kumar, Rama Malhotra & Shikha Tyagi, 2010). Dengan demikian, dapat dimengerti ada hubungan antara dua variabel yaitu spiritualitas dengan strategi koping keluarga.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan (Mardjono, 1992 dalam Hawari, 2007). Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan secara invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Setyonegoro, 1992 dalam Hawari, 2001).

Menurut Kartono (1989), yang disebut gangguan mental adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimulus ekstern dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, suatu organ, atau sistim kejiwaan/mental.

Dalam statistik yang dikemukakan oleh WHO pada tahun 1990 (Hawari, 2007) menyebutkan bahwa setiap saat 1% penduduk di dunia berada dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan serta pengobatan untuk gangguan jiwa. Sementara 10% dari penduduk memerlukan pertolongan medis pada suatu waktu dalam hidupnya. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia

adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperkirakan ada 19 juta penderita gangguan jiwa di Indonesia. Satu juta di antaranya mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis. Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapatkan data pasien gangguan jiwa rawat inap di RSJ Provsu pada tahun 2011 dari Januari hingga Desember sebanyak 2.216 orang sedangkan pasien gangguan jiwa rawat jalan sebanyak 15.966 orang, dimana pria lebih banyak mengalami gangguan jiwa dibanding wanita.

Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berfikir dan berkomunikasi menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berprilaku yang tidak dapat diterima secara rasional (Isaacs, 2005). Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif yaitu bertambahnya kemunculan tingkah laku yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi dan gangguan kognitif dan persepsi. Gejala negatif yaitu penurunan kemunculan suatu tingkah laku yang juga berarti penyimpangan dari fungsi psikologis yang normal seperti : berkurangnya keinginan bicara, malas merawat diri. Afek datar dan terganggunya relasi personal (Hawari, 2007).

Kondisi penyakit yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat menyebabkan anggota keluarga lain mengalami tekanan, baik kondisi penyakit yang dialami bersifat akut maupun kronik (Falvo, 1985). Begitu juga halnya bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dan harus dilakukan terapi.

peran, masalah keuangan dan perubahan aktivitas sosial lainnya (White et al, 2004). Keadaan ini dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa bersalah, depresi dan stres di dalam keluarga (Friedman, 1998).

Stres pada keluarga klien yang menjalani perawatan atau pengobatan di rumah sakit dapat disebabkan oleh mereka yang belum pernah menghadapi penyakit gangguan jiwa sebelumnya, ketakutan akan kematian atau kehilangan dari anggota keluarga yang sakit dan tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penyakit dan terapi pengobatan yang dijalani, komplikasi-komplikasi yang terjadi, dan perubahan gaya hidup pada klien gangguan jiwa (Black, Matassarin, Jacob, 1993).

Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa menimbulkan suatu keadaan yang krisis dan dalam hal ini keluarga membutuhkan proses koping sebagai respon adaptasi terhadap keadaan yang terjadi. Koping keluarga didefinisikan sebagai respon yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi dan respon prilaku yang digunakan keluarga dan sub sistemnya untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa. Strategi koping keluarga meliputi tipe strategi koping keluarga internal dan strategi koping keluarga eksternal (Mobilitik Family) (McCublen et al, dikutip dari Pritzlaff, 2001).

Strategi koping yang digunakan keluarga untuk mengatasi anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dilakukan secara internal maupun eksternal. Strategi koping keluarga internal dengan mengandalkan kelompok

keluarga & melakukan pemecahan terhadap masalah secara bersama-sama. Hal ini terlihat ketika keluarga informan melakukan musyawarah dalam keluarga. Sedangkan strategi koping keluarga secara eksternal dengan mencari dukungan dari luar keluarga (Stuart and Sundent, 2000). Hal ini dilakukan apabila keluarga tidak dapat mengatasi sendiri sewaktu penderita kambuh. Maka keluarga berusaha untuk menyembuhkan penderita dengan memeriksakan ke dokter atau, meminta bantuan pada orang-orang terdekat dari keluarga dan ke paranormal.

Proses koping ketika keluarga menghadapi stres suatu masalah bagaimana hubungan keluarga terhadap stres yang dipengaruhi oleh sumber-sumber yang ada di dalam keluarga seperti pengetahuan keluarga, skil, bentuk komunikasi yang efektif dan rasa saling membutuhkan di dalam keluarga mempengaruhi proses penyelesaian masalah di dalam keluarga (Kozier, 2004). Respon koping yang timbul dari keluarga pasien yang menjalani pengobatan atau perawatan tidak lepas dari hubungan spritualitas mereka kepada Tuhan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

Menurut Potter and Perry (1972, dalam Hover 2000) menyatakan bahwa ada hubungan antara keyakinan dan praktek spiritual individu dengan semua aspek kehidupan termasuk kondisi kesehatan dan penyakit ketika tubuh sakit dan emosi diluar kontrol spiritualitas mungkin menjadi salah satu dukungan yang tersedia untuk mengatasi masalahnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hart (2002), diketahui bahwa spiritualitas dapat meningkatkan keterampilan koping dan dukungan sosial, meningkatkan optimisme dan harapan, mempromosikan prilaku sehat, mengurangi depresi dan kecemasan serta mendukung perasaan relaksasi.

Disamping itu keyakinan spiritual secara positif dapat mempengaruhi sistem imun, kardiovaskuler, hormonal dan sistem saraf. Pernyataan tersebut juga telah dibuktikan bahwa sebuah studi dari India, yang mengevaluasi faktor yang terkait dengan kursus dan hasil skizofrenia, menunjukkan bahwa keluarga pasien yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam kegiatan keagamaan cenderung merasa lebih tenang dalam menghadapi pasien yang mengalami gangguan jiwa (Ruchita Shah, Parmanand Kulhara, Sandeep Grover, Suresh Kumar, Rama Malhotra & Shikha Tyagi, 2010). Dengan demikian, dapat dimengerti ada hubungan antara dua variabel yaitu spiritualitas dengan strategi koping keluarga.

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah ada atau tidaknya hubungan spritualitas dengan strategi koping keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan.

Dokumen terkait