• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Spiritualitas dengan Resiliensi Survivor Remaja Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 29-37)

E. Pembahasan Hasil Penelitian

3. Hubungan Spiritualitas dengan Resiliensi Survivor Remaja Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa Pandansari, Ngantang-Malang. Para survivor remaja memiliki tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi karena, didukung oleh tingkat spiritualitas yang tinggi pula.

Peristiwa bencana erupsi telah menambah atau paling tidak memunculkan kembali nilai-nilai spiritualitas para penyintas. Penyerahan diri secara total kepada Tuhan menjadi sumber kekuatan yang besar bagi para penyintas untuk bangkit tidak terlarut dalam kesedihan, trauma, dan stress yang menjurus ke arah depresi. (Faturrochman, 2012:180)

Adanya tingkat spiritualitas survivor remaja yang tinggi terdiri dari beberapa aspek yaitu pengamalan ibadah, universalitas atau hubungan diri

sendiri dengan alam semesta, dan keterkaitan diri dengan realitas antar-generasi dan masa serta komitmen menjaga hubungan interpersonal dengan oranglain. Hal ini telah dimiliki oleh sebagian besar survivor remaja. Dalam tahap perkembangan spiritual remaja, sebenarnya survivor remaja belum menyadari akan pentingnya memiliki spiritualitas yang baik bagi kehidupan, karena lebih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya dan masa perkembangannya masih mempertanyakan segala dogma yang diterima sejak kecil, disebabkan mulai mampu berpikir abstrak dan secara mendalam. Menurut Piaget (121) memandang perkembangan masa remaja secara gamblang dalam Hurlock (1980) yaitu :

“Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di masa anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam rangkaian yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.”

Dalam posisi tersebut, survivor remaja berada pada kebimbangan terhadap keyakinannya selama ini. Akan tetapi, melihat perkembangan spiritual remaja di pedesaan yang berbeda karena tetap menjaga pemahaman

agama disebabkan lingkungan tempat yang ia tinggali mengkondisikan dalam mempertahankan pemahaman dan tradisi agama yang ada, jadi survivor remaja mau tidak mau tetap mengikuti norma yang dijalankan di lingkungannya.. Selain itu, survivor remaja dalam menjalankan mulai dengan perasaan sukarela dan bahagia dengan ditunjukkan intensitas melibatkan diri dalam menjalankan ibadah walaupun tidak sesering saat mereka masih kanak-kanak, perasaan memiliki kekuatan diri setelah beribadah juga mulai dirasakan, hanya saja perlu adanya peningkatan intensitas hubungan vertikal melalui kesadaran transendental. Kemudian, universalitas atau keterikatan diri dengan alam semesta dengan memaknai tujuan hidup, bertanggungjawab menjaga alam semesta, dan kesadaran akan kematian juga masih butuh proses pemahaman lagi. Dan, survivor remaja masih perlu meyakinkan diri sendiri tentang keterkaitan dirinya sendiri dengan generasi dan kelompok tertentu, dan meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal.

Gambaran yang mencerminkan perilaku pasca bencana erupsi gunung Kelud, beberapa remaja korban bencana laki-laki sepulang sekolah bahkan setiap hari Minggu banyak yang turun ke sungai Sambong untuk mencari

plonto (batu berukuran sedang). Mereka kebanyakan meniru orangtua atau

teman sebaya mencari sumber penghasilan lain pasca erupsi gunung Kelud karena kontur lahan pertanian yang dikelola orangtua mereka belum pulih. Sedangkan, ketika di malam hari, banyak yang begadang di dekat balai dusun sembari merokok, atau mencari hiburan dengan menonton atraksi jaran kepang hingga dini hari. Sedangkan, bagi remaja perempuan menjalani

aktifitas seperti biasa dan berbeda di setiap dusun. Di dusun Plumbang masih banyak yang melanjutkan sekolah, di Klangon, Pait, Bales dan Sedawun sudah banyak yang menjadi ibu rumahtangga dan bekerja di luar desa, di Kutut banyak yang menjadi buruh ternak susu.

Hasil korelasi antara spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud menunjukkan angka rxy = .603 dengan p = 0,000. Hal tersebut menyatakan bahwa hubungan antara keduanya adalah positif dan signifikan. Dikatakan positif karena hubungan antara kedua variabel linier atau searah, jadi jika variabel X-nya tinggi maka variabel Y-nya tinggi pula yang dalam hal ini jika diketahui tingkat spiritualitasY-nya tinggi atau baik maka tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud tinggi pula.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa spiritualitas mempunyai hubungan positif yang signifikan terhadap resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud. Artinya, survivor remaja di desa Pandansari,Ngantang,Malang, memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi sehingga mengakibatkan resiliensi yang tinggi pula.

Sebagaimana dijelaskan Piedmont, spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Jadi, jika survivor remaja hendak meningkatkan spiritualitasnya harus

termotivasi atau berasal dari motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik datang dari kemauan diri sendiri tanpa perlu diberikan stimulus eksternal terlebih dahulu. Spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang bisa menempatkan diri pada tempat yang sesuai atau pas dan melakukan apa yang seharusnya dilaukan, serta mampu menemukan hal-hal yang ajaib. (Aman, 2013:25)

Maka, dapat peneliti katakan bahwa semakin tinggi atau kuat spiritualitas akan terwujud ke dalam cara berpikir, mengolah rasa, berperilaku melalui tindakan yang baik. Termasuk dalam kaitannya dengan kemampuan individu untuk berada di luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas dan objektif akan semakin menambah kuatnya resiliensi pasca bencana erupsi Gunung Kelud.

Remaja dengan kebutuhan khusus memiliki ketertarikan yang sama sebagai remaja tanpa kebutuhan khusus. Mereka menginginkan berada di atas segalanya untuk diterima sebagai seseorang dan bukan sebagai sosok tak berdaya. Rasa harga diri orang-orang muda lebih dari sekedar perasaan yang baik atau rasa membanggakan diri; inilah hasil yang sedang diterima satu sama lain, dikenal sebagai orang yang baik, terhormat dan penuh kasih sayang. (Grotberg, 2004:7)

Pengalaman traumatis karena gunung meletus telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan

kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing survivor tidak sama. (Adami, 2006:2)

Sesuai dengan yang dikemukakan Wagnild (2011), walaupun dalam hidup manusia seringkali tidak memiliki kuasa atas kejadian yang terjadi pada dirinya seperti : kecelakaan, bencana alam, kriminalitas, hingga penyakit yang mengarah pada kematian, tetapi setiap individu dapat memilih bagaimana cara menghadapi kejadian tersebut. Kemampuan individu memilih untuk bangkit dan beradaptasi dengan kondisinya ini disebut resiliensi. (dalam Rosyani, C.Rizky.2012:5)

Bangsa ini tidak menghendaki kalau rakyat korban bencana terjebak dalam frustasi atau gangguan kejiwaan (mental disorder) akut akibat gagal memaknai penderitaan pasca bencana. (Mahpur&Habib, 2006:172-173)

Memiliki resiliensi begitu penting, karena hal itu merupakan kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi lebih kuat atau mampu berubah atas kemalangan atau kesengsaraan dalam hidup. (Grotberg, 1995:3)

Senada dengan pendapat Corner yang mengatakan bahwa untuk mengatasi, stress, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang. (dalam Dewi dkk, 2004:103)

Faktor yang mempunyai pengaruh pada tinggi rendahnya tingkat resiliensi survivor remaja salah satunya spiritualitas, dalam hal ini survivor remaja memiliki spiritualitas yang tinggi.

Menurut Jackson (2004:15), remaja harus memiliki kemampuan untuk tetap positif memandang masa depan dan bersikap realistis dalam perencanaannya. (dalam Pasudewi, 2012:15)

Menurut Grotberg (2004:17), resiliensi dipandang pentingnya meningkatkan kesejahteraan anak-anak dan keluarga ketika seorang anak atau remaja memiliki kebutuhan spesial. Dengan menguji kebutuhan ayah sebagai pemberi perhatian, stres dalam pemberian perhatian, dan remaja dengan kebutuhan khusus, peran resiliensi dapat dipandang sebagai bagian kritis dalam mengatasi permasalahan yang lekat dalam sebuah anggota keluarga dengan kebutuhan khusus.

Resiliensi menjadi penting untuk dimiliki karena individu tidak dapat menghindari tantangan dan masalah, namun individu yang resilien dapat kembali berfungsi dengan baik setelah masalah berlalu. (dalam Sidabutar, 2011:3)

Grotberg (2004:12-13) menjelaskan tanda atau gejala pembentuk resiliensi dalam diri individu yang mampu beresilien berdasarkan hasil penelitiannya. Pertama, I HAVE representasi dari dukungan eksternal, ditandai dengan adanya kepercayaan penuh tanpa syarat dari anggota keluarga maupun di luar keluarga pada dirinya, membatasi perilakunya,

orang-orang yang mendukungnya menjadi independen, memiliki panutan yang baik, akses kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial dan keamanan yang dibutuhkannya, dan keseimbangan dalam keluarga dan komunitas. Kedua, I AM merupakan representasi kekuatan internal dalam diri individu, yang ditandai dengan menjadi seseorang yang disukai oranglain, secara umum tetap tenang dan alami, peraih prestasi yang merencanakan masa depan, seseorang yang hormat dengan diri sendiri dan oranglain, empati dan peduli satu sama lain, bertanggungjawab atas perilaku diri sendiri dan menerima segala konsekuensi, percaya diri, optimis, dapat diandalkan, dengan keyakinan agama. Ketiga, I CAN, merupakan representasi kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah yang ditandai dengan melahirkan ide-ide baru atau cara untuk melakukan segala hal, tuntas dalam menyelesaikan tugas, humoris dalam hidup dan menggunakannya untuk mengurangi ketegangan, kecepatan berpikir dan perasaan dalam berkomunikasi dengan oranglain, menyelesaikan masalah dalam beberapa segi seperti akademik, hubungan pekerjaan, pribadi dan sosial. Mengatur perilaku diri meliputi perasaan, gerak, tindakan. Dan meminta pertolongan saat dibutuhkan.

Pada dasarnya, seperti yang dikemukakan Grotberg (2001) tentang sumber-sumber resiliensi salah satunya ialah I AM, yang mana merupakan pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga menunjukkan religiusitas yang tinggi. (Pasudewi, 2012:19)

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ajaran Islam bahwasannya setiap individu memiliki daya lentur (resiliensi) ketika menghadapi permasalahan atau kondisi yang tidak menyenangkan. Seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:

Artinya :

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu

mengikutinya secara bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra;du:11, Al Qur’an Mushaf Aisyah)

Ayat tersebut menegaskan bahwa dengan mendekatkan diri pada Allah SWT dan sadar akan hikmah permasalahan hidup, maka Allah SWT akan mengubah nasib nya. Jadi, ketika mengalami bencana alam tidak serta merta menganggap hidup tidak ada artinya lagi, mencoba melihat lingkungan sekitar dan keluarga maka akan semakin yakin pada takdir-Nya.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 29-37)

Dokumen terkait