• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Hubungan Struktur Dan Kinerja

Untuk melihat hubungan antara struktur dengan kinerja maka digunakan analisis Struktur-Perilaku-Kinerja. Analisis SCP melihat bagaimana struktur dan kinerja pasar, dimana struktur pasar adalah karakteristik dan komposisi pasar dan industri dalam suatu perekonomian sedangkan kinerja pasar mengacu pada tingkat keberhasilan pasar dalam memberikan manfaat kepada konsumen, misalnya dengan memberikan harga yang rendah. Paradigma SCP berpendapat bahwa penguasaan pasar yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja pasar yang buruk , yaitu konsumen harus membayar harga yang sangat tinggi. Pendekatan SCP mengatakan bahwa struktur akan mempengaruhi profitabilitas secara positif. Struktur pasar dianalisis dengan mengunakan CR4 yang menunjukkan bahwa industri mi instan termasuk ke dalam tipe oligopoli ketat.

Kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Di negara-negara yang sedang berkembang kinerja laba sulit untuk diukur sehingga untuk memudahkan bagaimana melihat kinerja industri itu digunakanlah variabel proksi keuntungan (PCM) untuk mengukurnya.

Hubungan struktur dan kinerja dapat dilihat dengan suatu model ekonometrika yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya tidak adanya autokolerasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas sehingga model ekonometrika tersebut memang layak untuk digunakan. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di Indonesia

Keterangan : Menggunakan taraf nyata 10 %

Dari hasil regresi Tabel 5.1. diperoleh persamaan sebagai berikut :

PCM = 4.808103 - 0.150710 CR4t + 0.416685 XEFFt + 0.093031 PRODt + 0.228412 PRODt-1 - 0.004662 log EKSPORt - 3.549973 log IMPORt + 0.924177 GRSt

Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch- Godfrey Correlation LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan maka hasil regresi ini tidak mengandung autokorelasi. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,694413 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi.

Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan maka hasil regresi tidak mengandung

Variabel Koefisien Prob T-statistic

D(CR4) -0.150710 0.2130 XEFF 0.416685 0.0088 D(PROD,2) 0.093031 0.0810 D(PROD(-1),2) 0.228412 0.0018 LEKSPOR -0.004662 0.9328 D(LIMPOR) -3.549973 0.4656 GRS 0.924177 0.0503 C 4.808103 0.5366

Adjusted R-squared 0.794310 Prob (F-Statistic) 0.005279

Uji Breusch-Godfrey Correlation LM Prob Obs*R-Squared 0.694413

heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,378155 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung heteroskedastisitas.

Syarat yang terakhir dalam metode Ordinary Least Square (OLS) adalah pengujian multikolinearitas. Multikolinearitas muncul apabila di antara masing- masing variabel independen saling berhubungan secara linear. Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien kolerasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks kolerasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikolinieritas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari 0.8.

Tabel 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen

Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 5.2. dalam model regresi ini tidak ditemukan adanya gejala multikolinearitas hal ini dapat dilihat tidak adanya nilai antar variabel eksogen yang nilainya lebih besar dari 0.8 artinya tidak terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya.

Setelah dilakukan uji ekonometrika pada model penelitian langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM pada industri mi instan (Tabel 5.1.). Berdasarkan hasil pengolahan model dengan

D(CR4) XEFF D(PROD,2) D(PROD(-1),2) LEKSPOR D(LIMPOR) GRS

D(CR4) 1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234 -0.145939 0.084288 0.541802 XEFF -0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276 -0.053333 -0.357949 -0.380939 D(PROD,2) 0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100 0.068384 -0.099889 0.033702 D(PROD(-1),2) 0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000 -0.098078 -0.310727 0.105764 LEKSPOR -0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078 1.000000 0.180454 -0.192395 D(LIMPOR) 0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727 0.180454 1.000000 0.152505 GRS 0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764 -0.192395 0.152505 1.000000

menggunakan software E-Views 4 telah didapatkan nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square) sebesar 0,794310. Ini menunjukkan bahwa variasi endogen yaitu PCM industri mi instan sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar 79.43 persen oleh variabel-variabel bebasnya (CR4, Xeff, Prod, Tx, Tm dan GRS) secara bersamaan. Sisanya sebesar 20,57 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

Nilai probability F-statistic adalah sebesar 0,005279. nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (10 persen) menunjukkan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

Berdasarkan hasil estimasi, CR4 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa strategi menjual produk dengan harga yang murah demi menjaga ketersediaan produk pada segmen pasar tertentu akan berdampak pada volume penjualan yaitu walaupun tingkat penjualannya meningkat tetapi membuat margin keuntungan menurun.

Efisiensi-X (Xeff) signifikan pada taraf 10 persen dan nilai koefisiennya sebesar 0,416685 menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, maka PCM sebagai indikator kinerja akan meningkat sebesar 0,416685 persen. Hal ini karenakan semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan untuk suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam

jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat.

Nilai produktivitas signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,093031 menunjukkan setiap kenaikan produktivitas sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,093031 persen. Nilai produktivitas pada periode sebelumnya signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,228412 yang artinya setiap kenaikan produktivitas pada periode sebelumnya sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,228412 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukkan adanya efisiensi dan kinerja yang meningkat pula. Kinerja yang meningkat akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan.

Variabel ekspor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan.

Variabel impor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Sebab adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Hal ini didukung oleh kemampuan konsumen dalam negeri yang tinggi. Artinya daya beli konsumen dalam negeri tinggi, sehingga volume penjualan barang-barang di dalam negeri juga dapat mengimbangi kerugian ke pasar luar negeri.

Variabel GRS berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien ynag cukup besar yaitu sebesar 0,924177. Artinya setiap kenaikan pertumbuhan sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,924177 persen. Karena jumlah penduduk setiap tahunnya akan semakin bertambah sehingga tingkat konsumsinya akan semakin meningkat dan produsen mi instan berusaha untuk memenuhi permintaan pasar dengan meningkatkan kapasitas produksi. Meningkatnya penjualan akan berpengaruh juga pada peningkatan laba perusahaan.

Walaupun dilanda krisis moneter hal ini tidak terlalu berpengaruh bagi keberadaan industri mi instan di Indonesia. Karena semakin maju perkembangan zaman masyarakat lebih suka dengan yang serba cepat dalam mengolah makanan salah satunya contohnya didapat dari mi instan sebagai makanan pokok pengganti yang praktis, murah harganya dan mudah didapat di warung-warung. Penjualan mi instan terus meningkat dan semakin banyak bermunculan produsen mi instan baru yang akan bersaing memasuki pasar. Hal ini menunjukkan bahwa industri mi instan merupakan salah satu industri yang tahan terhadap kondisi krisis.

Dokumen terkait