• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Timbal Balik Komunikasi dan Budaya

Unsur-unsur pokok yang mendasari komunikasi antarbudaya adalah konsep-konsep kebudayaan dan komunikasi. Sarbough dalam Senjaya(2007:7.18) berpendapat bahwapengertian komunikasi antarbudaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan, serta adanya saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini adalah terbukti adanya (1). Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu, (2). Kesamaan tingakah laku antara satu generasi kegenerasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi.

Sementara Smith dalam Senjaya (2007:7.18) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan sebagai berikut :pertama, kebudayaan adalah merupakan suatu kode atau suatu kumpulan atau peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama. Kedua, untuk memperlajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.

Edward T. Hall mengatakan bahwa budaya adalah komunikasi dan kepada masyarakat kepada masyarakat lainnya ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

2.1.2.9. Hambatan Komunikasi Antarbudaya

Menurut Shoelhi (2009:21-23) terdapat beberapa hambatan dalam berkomunikasi antarbudaya, seperti hambatan psikologis, hambatan sosiokultural dan hambatan interaksi verbal. Hambatan yang termasuk hambatan komunikasi psikologis adalah perbedaan kepentingan (interest), prasangka (prejudice), stereotip (stereotype), indiskriminasi (indiscrimination) dan rendahnya motivasi (motivation). Akan timbul sebuah penyakit bagi seseorang yang berpindah tempat ke luar negeri. Penyakit ini bisa disebut gegar budaya (cultur shock) dimana seseorang tersebut akan merasa tak berdaya,mengasingkan diri, rindu kampung halaman dan lain-lain.

Gegar budaya atau cultur shock adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke luar negarannya, gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial . (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174).

Gegar budaya ini sangat mungkin terjadi karena biasanya di negara asal, anda akan mengetahui sesuatu yang harus atau tidak seharusnya anda lakukan dan anda biasanya dapat membedakan orang yang dengan sengaja berlaku tidak jujur dan orang yang mencoba berlaku luruh ( Carte dan Chris, 2006:59). Namun pada saat anda berinteraksi dengan orang dari budaya dan negara berbeda, tidak selalu mudah mengetahui apakah maksud dan tujuan mereka terhadap kita.

Hambatan sosiokultural dalam komunikasi terbagi atas lima unsur yakni;

keragaman etnik, perbedaan norma sosial, kekurangmampuan dalam berbahasa termasuk faktor semantik dan pendidikan yang kurang merata. Dan hambatan interaksi

verbal. Orang mengalami kejutan budaya mungkin tidak memahami beberapa hal yang sangat mendasar, antara lain :

1. Bagaimana minta tolong atau memberikan pujian.

2. Bagaimana menyampaikan atau menerima undangan makan malam.

3. Seberapa dini atau terlambat datang memenuhi janji, atau beberapa lama harus berada disana.

4. Bagaimana membedakan kesungguhan-sungguhan dan senda-gurau dan sopan-santun dari keacuh-tak-acuhan.

5. Bagaimana memesan makanan di restoran atau bagaiman memanggil pelayan.

Bagaimana mungkin juga mengalami kejutan budaya ketika mereka kembali ke kultur asal hidup beberapa lama dalam kultur asing. (DeVito, 1997:488-492).

Tidak berlebihan bila perbedaan-perbedaan dalam orientasi nilai budaya juga dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam berbagai perilaku adaptasi antarbudaya, kerumitan berkomunikasi didasari oleh fakta bahwa komunikasi bersifat omnipresent (ada dimana-mana). Untuk bisa memahaminya, langkah pertama yang harus dilakukan seorang profesional dalam memahami budayanya sendiri (niali-nilai, keyakinan, asumsi dan dorongan internal) berikutnya, barulah mencoba memahami budaya orang lain dari luar budaya atau negara kita . (Mulyana, 2011:12-14).

Proses komunikasi antarbudaya jalarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama. Sebuah kata yang bunyinya sama, bisa jadi berbeda

maknanya.Misalnya kata‖gedhang”, di Jawa artinya pisang, tetapi di Sunda berarti pepaya. Ketika ada orang mengatakan, ― Silakan dimakan‖. Kemudian dijawab

“atos”. Nah, atos di Jawa artinya keras, tetapi di Sunda berarti sudah.

Dengan demikian antara budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa yang bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, tetapi juga makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat berganbtung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi.

Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.

2.1.3.0. Teori Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi psikologi. Walau dalam sejarah interaksi simbolik, Cooley dan Thomas merupakan tokoh yang terpenting, tetapi hanya filosof George Herbert Mead yang dianggap paling berpengaruh dalam perspektif ini. (Poloma, 2004:254-255), menurut Basrowi dan Suwandi (2008:56-57) ditinjau dari orientasi filosofinya, Interaksionalisme simbolik pada dasarnya lebih banyak beroreintasi pada wawasan behaviouristik yang menyikapi makna sebagai gejala eksternal sebagaimana dalam berperilaku yang berkaitan dengan stimulus dan respons. Sebagaimana etnometodologis, strategi dalam interaksionalisme simbolik menekankan pada keikutsertaan peneliti dalam aktivitas kelompok sasaran penelitian dalam kehidupan sehari-hari serta pengamatan secara on going.

Teori interaksi simbolik pertama kali dipelopori oleh George Herbert Mead (1863-1931) di Amerika. Terdapat kemiripan antara teori interaksionalisme simbolik yang dipelopori oleh Mead dengan teori pendahulunya yaitu teori tindakan sosial yang berkembang di Eropa dipelopori oleh Weber. Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionalisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa abad ke-19, meskipun interaksionalisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbert Mead tidaklah secara harafiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenaui tindakan manusia. (Mulyana, 2003:60).

Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan ataupun kelompok. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. (Sudikin, 2002:114). Esensi sebenarnya dari interaksi simbolik adalah aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. (Mulyana, 2008:68).

Herbert Blumer ( dalam Poloma, 2004: 258) mengungkapkan tiga premis yang mendasari pemikiran interaksi simbolik, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari‖interaksi sosial seseorang dengan orang lain‖.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung .

Interaksi simbolik berasumsi bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dengan simbol-simbol. Sebuah makna dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang dan makna tersebut muncul karena adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. Jadi tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, melainkan juga dilakukan dengan sengaja.

Esensi interaksi simbolik ini adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. (Mulyana, 2003 : 68 ) . Jadi perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat dari proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

2.1.3.1. Metode Studi Kasus

Metode studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data ( sebanyak mungkin data ) yang bisa digunakan untuk meneliti , menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa yang sitematis (Rachmat Kriyantono, 2010:65)

Menurut Rachmat Kriyantono dalam Robert K. Yin. (2000 : 18 ) memberikan batasan mengenai studi kasus sebagai riset yang menyelidiki fenomena di alam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan jelas, dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan .

Sedangkan menurut Rachmat Kriyantono dalam Mulyana (2001: 201) studi kasus periset berupaya secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah variabel mengenai suatu kasus khusus. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian, periset bertujuan memberikan uraian lengkap dan mendalam mengenai subyek yang diteliti. Karena itu, studi kasus mempunyai ciri-ciri :

1. Partikulastistik, artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program atau fenomena tertentu.

2. Deskriptif, artinya hasil akhir meode ini adalah diskripsi detail dari topik yang diteliti.

3. Heuristik, artinya metode studi kasus membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti. Interpretasi baru, perspektif baru, makna baru merupakan tujuan dari studi kasus.

4. Induktif , artinya studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam tataran konsep atau teori.

Dalam penelitian ini obyek penelitian yang akan diteliti adalah adanya pada Gereja Katolik Santo Servaitus Kampung Sawah Bekasi, dimana terdapat fenomena dan keunikan yaitu adanya kegiatan-kegiatan misa inkulturasi budaya Betawi, kegiatan

Kegiatan misa inkulturasi buday Betawi sering dilaksanakan terutama pada peringatan-peringatan khusus gereja seperti minggu palma, peringatan ―sedekah bumi‖

yang dilaksanakan setiap tahun sekali .

Peneliti melihat kegiatan-kegiatan inkulturasi tersebut merupakan merupakan sesuatu yang unik karena kegaitan inkulturasi budaya Betawi tersebut tidak terjadi pada Gereja Katolik yang lain di wilayah Bekasi Khususnya, Namun hanya terjadi di Gereja Katolik Santo Servatius Kampung Sawah Bekasi.

Dokumen terkait