• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

II.5 Hubunngan Presiden dan DPR

53

Pola hubungan presiden dan parlemen (check and balance) akan dipengaruhi oleh peta konfigurasi dan pola ikatan koalisi di parlemen. Hubungan presiden dan DPR dalam pemerintahan Indonesia dapat dilihat dari bagaimana masalah-masalah

52

Jurnal Indonesia Report 2009, Op,cit,.hal: 95 53

Syamsidin Haris, Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia, Yogjakarta: CV ANDI OFFSET, 2014, hal: 179

yang dihadapi Indonesia pasca Orde Baru, terutama sesudah amandemen ke empat konstitusi pada tahun 2002. Persoalannya, pemilihan langsaung presiden oleh rakyat dalam konteks Multipartai hampir selalu mengahassilkan presiden minoritas, yaitu presiden dengan basis politik minoritas di parlemen. Hai itu sudah di alami oleh Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), ketika PKB yang menjadi Basis politik Abdurrahman Wahid hanya menguasai 51 kursi dari 500 kursi DPR, dan PDI-P yang menjadi basis politik Megawati Soekarnoputri, hanya memiliki 153 kursi, tidak sampai sepertiga dari total Kursi DPR. Kecenderungan yang sama dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca amanden konstitusi, ketika Partai Demokrat yang menjadi basis politiknya hanya memperoleh 55 dari 550 kursi DPR pada pemilu 2004, dan 148 kursi dari 560 kursi DPR pada Pemilu 2009, padahal Partai Demokrat berhasil memenangankan pemilu legislatif tersebut. Realitas politik ini yang melatarbelakangi keputusan Predisen Adurrahman Wahid, Megawati dan Yudhoyono menbentuk kabinet yang bersifat koalisi partai partai politik.

Pada era pemerintahan SBY-Boediono yang menjadi fokus penelitian ini, secara institusi potensi persaingan legitimasi antara Presiden dan DPR cenderung semakin kuat, meskipun disisi lain peluang bagi pemakzulan terhadap presiden oleh parlemen semakin terbatas dan dipersulit oleh konstitusi. Hal ini dimungkinkan bukan hanya karena semakin melembaganya pemisahan kekuasaan relative antara Presiden dan DPR, melainkan juga karena pasangan Presiden dan Wakil Presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga memiliki legitimasi yang relative lebih kuat

presiden-presiden sebelumnya. Dalam hubungan ini Juan Linz mengatakan bahwa Presiden yang merasa dipiliha langsung oleh rakyat dari seluruh wilayah negara melalui prinsip “pemenang mengambil semua” (the winning takes all) bisa membuatnya tidak toleran terhadap oposisi dari parlemen yang terpilih dari daerah- daerah tertentu saja di dalam wilayah negara.54

54

Syamsudin Haris, Ibid,..Hal: 181

Salah satu celah yang dimanfaatkan DPR untuk terus memperkuat dan memperbesar otoritasnya adalah Pasal 20 UUD 1945 Hasil amandemen yang mengubah locus fungsi pembentukan undang-undang (UU) dari Presiden ke DPR, kendati tetap harus melalui persetujuan Presiden. Melalui celah ini, DPR terus- menerus semakin memperbesar kekuaasaannya sendiri dengan cara merancang UU yang member hak politik bagi DPR untuk turut menyeleksi menentukan pejabat public, otoritas yng seharusnya merupakan domain dari presiden dalam kerangaka sistem presidensial. Maka pada masa pemerintahan SBY-Boediono hampir semua anggota dan pimpinan komisi-komisi negara seperti KPK, KPU, KPI,KY dan seterunya lebih ditentukan oleh DPR ketimbang Presiden.

BAB III

ANALISIS DATA

III.1 Pemerintahan SBY-Boediono

Diketahui bersama bahwa secara teori sistem pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan presidensial (presidential system). Walaupun dalam tatanan implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid system). Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif. Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio- politik suatu negara.55

Terkhusus untuk indonesia, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan indonesia justru lebih mendekati corak parlementer. Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan indonesia menjadi sistem presidnesial murni.56

55Hendarman Ranadideksa, Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara yang gagal

melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Jakarta, 2007, hal.100

56

Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan yang memberikan wewenang yang besar kepada yang menjalankan fungsi eksekutif, yang dimaksud disini adalah predisen. Presiden memiliki peran sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Idealnya sistem presidensial ini diterapkan dalam negara yang menjalankan sistem kepartaian dwipartai, seperti di negara Amerika Serikat, dimana sistem presidensial dan dwipartai berjalan dengan stabil dan kondusif. Hal ini terlihat dari adanya partai yang menjadi pemerintah dan adanya partai yang mengawasi tugas pemerintah, agar mekanisme control dapat berjalan seimbang karena adanya kekuatan pengontrol pemerintah.

Namun di negara Indonesia, berbeda dengan apa yang di jalan dalam pemerintahan di Amerika Serikat. Indonesia secara konstitusi dalam ketatanegaraannya menjalankan cirri-ciri dari sebuah negara yang menganut sistem presidensial. Sistem presidensial yang dijalankan oleh Indonesia disandingkan dengan sistem multi partai, bukan dwipartai. Padahal dealnya sistem multipartai diterapkan pada sistem pemerintahan parlementer, karena dalam sistem multi partai disyaratkan untuk membentuk koalisi dalam memilih perdana menteri.

Bila sistem pemerintahan presidensial bejalan denagn siste multipartai, maka konsekuensinya adalah terbentuknya koalisi dikarenakan tidak adanya partai pemenang dengan persentase suara yang sangat mayoritas. Koalisi merupakan suatu gabungan, persekutuan atau aliansi beberapa unsure dari berbagai latar belakang yang mana dalam bekerjasama, setiap unsure mempunyai kepentinganyang berbeda-beda. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam

pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam sejarah pemerintahan, umumnya negara yang menganut sistem multipartai roda pemerintahannya dibangun atas koalisi sejumlah partai politik. Hal ini disebabkan karena dukungan suara yang diberikan oleh warga negara dalam pemilihan umum terpecah-pecah melalui banyak partai sehingga sangat sulit dicapai suara mayoritas. Koalisi adalah praktik yang sangat lumrah dalam perpolitikan sebuah negara demokrasi. 57

Koalisi di DPR merupakan suatu hal yang tidak dapat di hindari dalam sistem presidensial yang menganut sistem banyak partai. Sistem kepartaian sangat berhubungan erat dengan stabilitas dan instabilitas dalam partai politik. Partai sendiri berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu, tergantung sistem apa yang dipakai oleh suatu negara untuk mengatur partai politik. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang interaksi antar partai dan struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan pemerintahan sesuai dengan konstruksi regulasi yang berlaku di negara tersebut. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektifitas dalam partai politik. Stabilitas atau instabilitas sangat tergantung dari pengaturan dalam tubuh partai politik itu sendiri sebelum keluar dari internal tubuh untuk mengatur kehidupan bernegara. Jika dalam suatu partai politik cenderung kurang mengakar dalam

57

Hafied Cangara. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press.Hal., 268.

kehidupan masyarakat dan banyaknya masalah internal partai maka dapat dipastikan kurang stabilitasnya kehidupan partai politik di negara tersebut.58

Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat 1. Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari- hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundangundangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakankebijakan politik yang berada Bagaimana dengan pemerintahan Indonesia Khususnya pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ketika Partai Demokrat yang menjadi basis politiknya hanya memperoleh 55 dari 550 kursi DPR pada pemilu 2004, Presiden SBY yang pada saat itu didampingin oleh Jusuf Kalla mau tidak mau harus membentuk koalisi pendukung pemerintahan. Pada pemilu 2009, Presiden SBY berpasangan dengan yang berasal golongan non-partai untuk menghindari perbedaan basis dukungan poltis antara presiden dan wakil presiden. Seharusnya, berkurangnya partai dalam parlemen melalui mekanisme parlementary threshold ditambah dengan wakil presiden yang bukan dari partai politik, akan mampu memperkecil ketegangan koalisi yang mungkin terjadi seperti pada periode sebelumnya. Apalagi, partai pendukung SBY yaitu Partai Demokrat adalah partai pemenang pemilu legislatif dengan suara terbanyak di parlemen.

58

dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.59

Dalam konstitusi disebutkan bahwa presiden memiliki beberapa kewenangan. Pertama, kewenangan dibidang eksekutif dan politik administratif yaitu kewenangan presiden memimpin dan menyelenggarakan pemerinttah serta mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet. Kewenangan ini biasa disebut dengan hak prerogatif presiden. Kedua, kewenangan yang bersifat legislatif, yaitu kewenangan presiden mengatur kepentingan publik. Ketiga, kewenangan bersifat yuridis, yaitu kewenangan mengurangi hukuman, memberikan pengampunan atau mengahpuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan (grasi abolisi dan amnesti). Keempat, kewenangan bersifat diplomatik, yaitu kewenangan menjalankan hubungan dengan negara lain dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun dalam kondisi damai.

Posisi politik presiden pasca reformasi secara politis kuat karena dijamin konstitusi. Prinsif normative sistem presidensial dalam konstitusi memberi kekuasaan- kekuasaan prerogatif kepada presiden Yudhoyono, termasuk kekuasaan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian mentri. Rumusan normative sistem presidensial mengenai kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan terdapat dalm konstitusi.

60

59

Syamsuddin Haris., op.,cit. Hal.3 60

Jimly Asshiddiqie. Pergumulan pergumulan peran pemerintahan dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Jakarta : FH UI press. Hal. 89.

Kewenangan Presiden SBY yang paling utama mengalami kompromi sebagai konsekuensi diterapkan dalam kondisi multipartai

pragmatis saat ini adalah kewenangan dalam penyusunan cabinet, khususnya hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Pada proses penyusunan kabinet, presiden SBY didorong untuk berkompromi dengan partai mitra koalisi pemerintah. Selain hak prerogatif dalam menyusun cabinet, kewenangan presiden dalam bidang legislasi pun relatif lemah dihadapan DPR. Presiden dalam konstruksi presidensialisme Indonesia tidak memiliki hak veto secara eksplisit terhadap UU, seperti umumnya dimiliki presiden di negara-negara yang menganut sistem presidensial.61

Dikasus lain. Pada tanggal 5 Juni 2012 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan penjelasan pasal 10 UU No.39 tahun 2008 tentang Kmenterian Negara yang berbunyi: yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota cabinet. Pasal ini dinilai menimbulkan ketidak pastian hokum sehingga bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Pengangkatan wamen

Namun, faktanya, kabinet masih didominasi figur-figur dari parpol.

Seperti faktanya yang terjadi, koalisi yang terbentuk tetap saja rapuh seperti periode sebelumnya. Dapat dilihat pada fragmentasi yang tajam seperti ketika kasus Bank Century. Hingga akhirnya, pemerintahan perlu membentuk Sekretariat Gabungan (Sekgab) sebagai lembaga koordinasi antara koalisi pendukung pemerintah pasca pengajuan hak angket DPR dalam penyelematan bailout Bank Century karena koalisi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah.

61

pula tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan UU no 39/2008 bahwa presiden dalam pembentukan kementerian Negara harus efektif dan efesien.

Kasus terbebut sedikit banyak juga mengisaratkan bahwa SBY masih terjebat dalam logika politik insentif. Presiden masih menggunakan model trnsaksional; loyalitas dukungan dari partai koalisi ditukar dengan akomodasi posisi dalam cabinet pemerintahan. Sehingga posisi dalam cabinet adalah insentif untuk loyal.

Model insentif itu ternyata tidak selamanya berhasil karena dalam perjalannya, partai koalisi justru seringkali terbelah dan berubah-ubah dalam menyikapi kebijakan SBY. Bahkan partai koalisi seringkali terlibat dalam pusaran konflik pengambilan keputusan di parlemen. Presiden SBY sering kali mengambil dua pilihan strategis: pertama, mengancam untuk menghukum (punishment) partaiyang tidak loyal untuk dikeluarkan dari kabinet pemerintahan. Kedua, memperbesar politik akomodasi (insentif) dalam pembagian kekuasaan sehingga partai koalisi tetap loyal dengan kebijakan presiden. Kedua strategi ini ditunjukan dengan wacana reshuffle kabinet serta akomodasi kepentingan partai koalisi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), sampai saat ini, penggunaan ancaman untuk membangun kepatuhan partai koalisi, hanya menghentikan keributan, tetapi tidak sepenuhnya efektif. Dalam momen berikutnya, partai-partai tetap saja bermanuver di parlemen dengan beragam kepentingannya. Hal ini sudah dipastikan terjadi karena presiden tidak mampu mengkonsolidasikan koalisi dalam mendukung kebijakannya. Presiden SBY seharusnya menggunakan modal popular vote dan jumlah kursi yang dikuasai Partai Demokrat di parlemen, untuk mengkonsolidasikan kebijakannya.

Maka tidak aneh bila selama tampuk kekuasaannya banyak diwarnai oleh kondisi-kondisi tidak stabil. Mosi tidak percaya public tidak dapat dihindari. Mulai darai aksi demonstrasi, hingga keluarnya wacana pemakzulan. Isu-isu krusialpun menuali berbagai pandangan di palemen, seperti pro-kontra hak abngket Bank Century, penggunaan hak interpelasi dalam hal pemnerantasan korupsi yang melibatkan banyaklembaga Negara seperti KPK dan Polri, hak Interpelasi mafia pajak dan lain-lain.hal lain yang juga menjadi perhatian adalah citra presiden yang dianggap lamban dalam mengmbil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan denga sector publik diindrkasikan karena tari-menarik kepentingan dalam tubuh pemerintah dan parlemen.

III. 2 Hubungan Dewan Perwakilan Rayat dan Presiden dalam Konstruksi Sistem Multipartai Pada Pemerintahan SBY-Boediono tahun 2009-2014

Secara politik fungsi control atau pengawasan yang dimiliki oleh DPR diperlukan dalam rangka melembagakan terbangunnya sistem check an balance, terutama dalam hubungan DPR dan Presiden. Ruang lingkup pengawasan DPR terhadap pemerintah tentu tidak terbatas pada penggunaan hak-hak interpelasi, angket dan hak menyatakan pendapat. Dapat dikatakan, hampir keseluruhan kerja DPR terkait fungsi legislasi, fungsi anggaran, tak bisa dipisahkan dari kedudukan sentral DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memperoleh mandat untuk mengontrol kerja pemerintah yag dihasilkan oleh pemilihan oleh pemilihan umum.

Dengan demikian, ruang lingkup pengawasan DPR mencakup enam wilayah, yakni:62

1. Kewenangan yang melekat pada fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A UUD 1945 hasil amandemen. Dalam pasal yang sama ayat 2 diatur bahwa dalam melaksanakan fungsi- fungsinya, termasuk fungsi pengawasan, DPR memiliki hak interpelaasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.

2. Kewenangan yang melekat pada fungsi legislasi. Otoritas DPR dalam fungsi pembentukan UU, berikut pembahasan dan persetujuan bersama dengan Presiden, tidak hanya memungkinkan DPR memiliki inisiatif dalam merancang kebijakan, melainkan juga memberikan kritik, koreksi, dan rancangan alternative atas RUU yng diajukan pemerintah. Pasal 20 ayat 5 bahkan mengatur bahwa UU dinyatakan sah jika dalam 30 hari Presiden tidak disahkan atau ditandatangani oleh Presiden.

3. Kewenangan yang melekat pada fungsi anggaran. Melalui kewenangan membahas bersama RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh Presiden, DPR tidak hanya mengontrol sumber-sumber pendapatan negara serta alokasi belanja negara, tetapi juga bisa menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden.

62

4. Kewenangan DPR yang terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tentang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara seperti diamanatkan Pasal 23E UUD 1945 hasil amandemen. Jadi, atas dasar hasil audit APBN oleh BPK, DPR dapat menjadikan indikasi penyimpangan sebagai bagian dari fungsi pengawasan yang dimiliknya.

5. Kewenangan terkait hak konfirmasi dan atau persetujuan DPR atas pengangkatan pejabat public yang diusulkan oleh presiden. Dalam hal ini, DPR tak hanya dapat melakukan uji kemampuan dan kepatutan atas setiap pejabat public yang diusulkan Presiden, melainkan juga dapat menolak nama-nama yang diusulkan.

6. Kewenangan yang melekat pada hak alat kelengkapan DPR, khususnya komisi-komisi, dalam mengundang, memanggil, dan meminta keterangan pemerintah terkait kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan negara ataupun tidak berpihak rasa keadilan masyarakat. Seperti diketahui, sesuai dengan UU dan tatib DPR, komisi-komisi memiliki mekanisme rapat kerja dengan mitranya dari unsure-unsur pemerintah sesuai dengan ruang lingkup bidang komisi yang bersangkutan. Bila diperlukan, komisi-komisi bahkan berwenang membentuk panitia kerja (panja) untuk menidaklanjuti temuan penyimpangan dalam implemetasi kebijakan oleh suatu kementerian atau lembaga pemerintah.

Seperti sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini difokuskan pada bagaimana hubungan Dewan Perwakilan Rayat dan Presiden dalam Konstruksi Sistem Multipartai Pada Pemerintahan SBY-Boediono tahun 2009-2014 Pola hubungan presiden dan parlemen (check and balance) akan dipengaruhi oleh peta konfigurasi dan pola ikatan koalisi di parlemen. Hubungan presiden dan DPR dalam pemerintahan Indonesia dapat dilihat dari bagaimana masalah-masalah yang dihadapi Indonesia pasca Orde Baru, terutama sesudah amandemen ke empat konstitusi pada tahun 2002.

koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono di atas kertas telah menguasai mayoritas kekuatan parlemen 423 kursi di DPR terdiri dari Partai Demokrat 148 kursi, Partai Golkar 106, PKS 57, PAN 46, PPP 38, dan PKB 28 sebesar 75,48 persen dari 560 kursi DPR. Modal politik yang dimiki Presiden di dalam DPR sudah sangat kuat untuk menjalankan pemerintahan yang dapat diharapkan berjalan sesuai dengan yang diharapkan pemerintahan.

Namun pada kenyataannya, yang ditemukan dalam hubungan antara Presiden dengan DPR mengalami dinamika yang menjadi sorotan. Demi memperkuat koalisi yang dibangun untuk mengawal pemerintahan. Presiden mengambil langkah yakni, membentuk Sekretariat Gabungan (Sekgab) yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB. Dengan keberadaan Sekgab di parlemen, diharapkan presiden mendapat dukungan yang produktif dalam pengambilan keputusan karena partai-partai yang tergabung dalam koalisi sekgab itu menguasai lebih dari 75% kursi di DPR.

Dinamika hubungan antara DPR dan Presiden pada masa SBY-Boediono terkesan panas dingin, adakala DPR sangat keras bahkan sampai pada taraf tertentu mengeluarkan isu untuk akan melakukan pemakzulan. Adakalanya DPR juga tenang saja dengan Presiden walaupun kebijakan secara terang merugikan rakyat.

Perlu diketahui bahwa hubungan yang kurang efektif dari Presiden dengan DPR dapat dirunut ari sejarah amandemen konstitusi yang hasilnya banyak memberikan kewenangan yang dalam hal tertentu sangat berlebihan. Perubahan UUD 1945 yang terjadi memberi kewenangan yang berlebih pada DPR berbeda dengan kewenagan yang didapat oleh DPR pada Orde baru. Kondisi DPR yang memiliki peranan yang besar ini dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia sejak amandemen konstitusi dapat dilihat dati keterlibatan DPR dalam proses pengambilan keputusan fungsi-fungsi non konstitusional presiden, seperti pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur Bank Indonesia dan Duta besar.

Persoalan teoritis bahwa koalisi yang dibangun oleh presiden SBY sangat rapuh meski menguasai kekuatan mayoritas di DPR, dimana konsep koalisi lazimnya merupakan skema sistem demokrasi parlementer, paling kurang ada empat faktor problematik dibalik desain koalisi yang dibentuk SBY, yakni;63

Problematik basis koalisi, sifat kesepakatan dan kontrak politik, cakupan materi kesepakatan, dan problematik mekanisme internal koalisi. Pertama,

63

Syamsuddin Haris. Koalisi dalam sistem demokrasi presidensial Indonesia. Factor-faktor kerapuhan

koalisi era Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Jurnal penelitian politik. Vol.8,no1, 2011. Hal.8-10.

problematik basis koalisi. Sudah menjadi pengetahuan umum koalisi politik pendukung pemerintah yang dibentuk oleh SBY lebih berbasiskan kepentingan mengamankan kelangsungan pemerintahan hasil pemilu daripada faktor kesamaan ideologi dan haluan politik tentang arah reformasi dan penataan bangsa kedepan dari parpol-parpol yang tergabung didalamnya. Sebagai kompensasi dukungan politik parpol terhadap pemerintah, SBY membagikan kursi menteri kabinet kepada parpol pendukung secara proporsional, yakni sesuai perolehan suara setiap parpol dalam pemilu legislatif. Skema basis koalisi seperti ini dibangun SBY.

Konsekuensi logis dari skema koalisi berbasis kepentingan jangka pendek seperti ini adalah lemahnya ikatan dan soliditas koalisi sehingga dukungan parpol terhadap pemerintah acapkali ditentukan oleh “mood politik” para politik anggota koalisi, apakah sedang kecewa dengan presiden atau sebaliknya sedang baik dengan SBY. Tidak mengherankan jika Partai Golkar dan PKS misalnya, seolah-olah tak memiliki beban untuk sewaktu-waktu berbeda sikap politik dengan partai koalisi lainnya, PD, PAN, PPP, dan PKB, seperti tampak dalam setiap kebijakan pemerintah dan upaya pengusulan hak angket pajak yang akhirnya kandas di DPR. Implikasi lain dari koalisi yang bersifat pragmatis seperti ini adalah tidak munculnya kompetisi antarpartai diparlemen sehingga tidak tampak perjuangan ideologis partai politik dalam mempengaruhi, mengubah, ataupun membentuk kebijakan.

Kedua, problematik sifat kesepakatan dan kontrak politik. Koalisi yang dibentuk oleh SBY didasarkan pada sejumlah kesepakatan politik yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik anggota koalisi. Selain kesepakatan pada tingkat

pimpinan partai politik tersebut, SBY juga mengikat para menteri dari partai politik anggota koalisi dengan kontrak politik yang bersifat individual, yaitu dokumen pakta integritas yang harus ditandatangani sebagaimana lazimnya kewajiban yang dibebankan bagi setiap pejabat publik.

Problem mendasar dari sifat kesepakatan politik tersebut adalah bahwa komitmen koalisi lebih merupakan keputusan pimpinan partai politik ditingkat pusat ketimbang suatu komitmen partai politik secara institusi yang disosialisasikan dan dilembagakan secara internal partai politik masing-masing. Disisi lain, kontrak politik yang bersifat individual antara SBY dan para menteri dari partai politik pada dasarnya tidak bisa mengikat partai politik secara institusi karena sesuai UUD 1945 hasil

Dokumen terkait