• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP WASIAT DALAM HUKUM ISLAM

D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim

Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis tentang wasiat diatas, para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan hukum dasar dari wasiat. Dan beberapa literatur yang penulis jumpai pendapat para ulama fikih tersebut dapat dikelompokkan kepada beberapa kelompok.:

I. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah wajib.

40

Dalam pandangan ibnu Hazm, ayat wasiat tersebut menemukan suatu kewajiban hukum yang defenitif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada krabat dekat yang bukan ahli waris. Selanjutnya ia berpendapat, “jika orang yang meninggal gagal untuk memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuat wasiat atas namanya.” 41

“Ketika orang yang sudah meninggal tidak menuliskan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak termasuk ahli waris, maka pengadilan harus bertindak seolah-olah wasiat itu telah dibuat orang yang meninggal tersebut”.

Logika hukum dari pendapat ini menyatakan bahwa :

42

39

Mughniyah, Op.Cit. hal. 505

40

H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, 2008., hal 123.

41

Ibid.

42

NJ.Couson. succession in The Muslim Familly Cambrige, The University Press, 1971.hal. 146.

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum dasar wasiat itu adalah tidak wajib kecuali kepada orang yang berhutang, maka bagi orang yang berhutang wajib untuk menuliskan wasiatnya, sedangkan bagi orang yang tidak berhutang maka kepadanya tidak ada kewajiban untuk berwasiat, sebagaimana alasan ibn Munzir bahwa : “sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk menunaikan amanat kepada ahlinya, yang dimaksud amanat disini adalah hutangnya”.43

43

H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan. Op. Cit. hal. 10

II. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah tidak wajib

Kelompok ini menyatakan bahwa hukum dasar dari wasiat adalah tidak wajib. Kelompok yang berpendapat seperti ini adalah jumhur ulama fukaha seperti Imam Malik, as-Syafi’I, as-Sauri dan Abu Dawud dan ulama-ulama salaf lainnya, mereka berargumentasi bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dipahami hanya mengandung hukum sunah yang dikuatkan dengan tidak dijumpainya satu riwayat pun dari para sahabat yang menunjukkan bahwa wasiat itu adalah wajib, sebagaimna pendapat Imam al-Nakha’I yang dikutip oleh al-Qurtubi bahwa Rasullullah saw wafat dengan tidak meninggalkan wasiat, walaupun Abubakar telah berwasiat, dengan demikian berwasiat adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi jika tidak berwasiat juga tidak apa-apa.

Alasan yang lain bahwa wasiat itu tidak wajib adalah karena mayoritas para sahabat dalam praktiknya tidak menjalankan wasiat terhadap hartanya, menurut jumhur ulama bahwa kebiasaan seperti ini dinilainya adalah ijma sukuti.44

Hukum wasiat menurut ulama Syafi’i, ada 5:

Hukum wasiat sebagaimana diuraikan diatas adalah hukum menurut dasar semula, namun jika ditinjau dari segi harta dan orang yang akan menerima wasiat serta dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, hukum wasiat tidak terlepas dari ketentuan ahkamul khamsah yaitu wajib, sunat, haram, mubah dan makruh. Para ulama dari mazhab yang empat bahkan kalangan ulama Syiah terutama mazhab Zaidiyah telah menggolongkan kepada hukum-hukum tersebut.

45

Wasiat yang hukumnya wajib adalah wasiat yang menetapkan tugas menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya, seperti berwasiat dengan barang-barang titipan, hutang-hutang. Wasiat seperti itu diperkirakan mewajibkan untuk mengembalikan barang-barang tadi kepada pemiliknya, sebab jika tidak diwasiatkan

yaitu Wajib, Haram, Makruh,

Sunat, Mubah.

44

Ijma Sukuti adalah ketika sebahagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengan memfatwakan atau mempraktikkannya, sedangkan sebahagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan juga tidak mengemukakan penentangannya. Ijma sukuti ini termasuk ijma I’tibari yaitu masih relatif, sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju, karena itu kedudukan ijma sukuti ini masih diperselisihkan. Jumhur Ulama menetapkannya bukan sebagai hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa ijma sukuti itu dapat dijadikan sebagai hujjah, apabila mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia berdiam diri itu karena takut atau mengambil muka atau lain sebaginya. Lihat Mukhtar Yahya, dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung, Al- Ma’arif,1986), hal. 65.

45

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hal. 254

dan kemudian orang yang bersangkutan meninggal, maka barang-barang tadi akan hilang dari pemiliknya, akhirnya orang tadi akan berdosa karena sikap perbuatannya.

Wasiat yang hukumnya haram adalah wasiat untuk suatu motif kejahatan, maksiat, maka wasiat seperti ini dianggap batal, dan tidak harus dikejakan oleh orang yang menerima wasiat.

Wasiat yang hukumnya makruh, adalah wasiat yang yang melebihi dari 1/3 harta yang dimiliki.

Wasiat yang hukumnya sunnah adalah wasiat dengan hak-hak Allah, seperti wasiat dengan kifarat-kifarat, zakat, fidyah puasa atau berwasiat untuk menunaikan ibadah haji serta ibadah-ibadah taqarrub lainnya.

Wasiat yang mubah adalah berwasiat kepada orang-orang kaya dari lingkungan keluarga dan kerabat atau dari selain mereka, adapun wasiat yang makruh ialah wasiat kepada orang-orang yang melakukan perbuatan fisik dan kemaksiatan- kemaksiatan.

Ulama Mazhab Maliki membagi hukum wasiat kepada lima.46

A. Wasiat wajib, yaitu wasiat bagi orang yang mempunyai hutang atau yang memiliki barang titipan.

Yaitu:

B. Wasiat yang haram, yaitu berwasiat dengan perbuatan yang haram seperti berwasiat untuk meratapi mayit.

C. Wasiat yang sunnah yaitu berwasiat dengan ibadah taqarrah yang wajib

46

D. Wasiat yang makruh yaitu wasiat yang dilakukan seseorang yang memiliki harta yang sedikit sementara ia mempunyai ahli swaris

E. Wasiat yang mubah, yaitu berwasiat dengan segala sesuatu yang hukumnya mubah

Ulama mazhab Hambali membagi hukum wasiat menjadi lima47

A. Wasiat yang wajib, yaitu wasiat yang bila tidak dilakukan membawa akibat hilangnya hak-hak atau peribadatan, seperti berwasiat untuk melunasi hutang, demikian juga berwasiat bagi orang yang sudah memiliki kewajiban untuk berzakat, haji, kifarat atau nazar.

, yaitu

B. Wasiat yang sunnah, yaitu berwasiat kepada kerabat yang fakir yang tidak bisa mewarisi, dengan syarat orang yang berwasiat memiliki harta peninggalan yang banyak dan tidak melebihi seperlima harta

C. Wasiat yang makruh, yaitu wasiat dari orang yang tidak memiliki harta yang banyak, sedangkan ia memiliki ahli waris yang sangat membutuhkannya. D. Wasiat yang haram, yaitu wasiat yang melebihi sepertiga harta, haram bagi

orang yang mempunyai ahli waris untuk berwasiat melebihi sepertiga harta kecuali suami atau isteri

E. Wasiat yang mubah, yaitu wasiat selain dari wasiat yang telah disebutkan diatas.

47

Larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan pembagian warisannya, menurut para ahli fikih agar tidak ada kesan bahwa wasiat itu menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris, yang pada akhirnya dapat menyulut perselisihan diantara ahli waris yang ditinggalkan oleh sipewaris.

Keluarga Rasulullah saw menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berwasiat kepada ahli warisnya yang mendapat pembagian warisan, kecuali apabila diizinkan oleh ahli waris lainnya.

Sebahagian ulama yang lain berpendapat boleh memberikan wasiat kepada ahli waris, terutama kepada yang dipandang sangat membutuhkan. Seperti jika sebagian mereka itu kaya dan sebagian lagi miskin, maka layaklah apabila kepada si miskin selain dia mendapatkan warisan dia juga diberikan tambahan dengan jalan wasiat, atau kepada anak yang bapaknya telah menceraikan ibunya sementara ibunya tidak memiliki anggota keluarga yang lain selain anaknya itu.

Satria Efendi M. Zein mengemukakan pendapat yang dianut kalangan Malikiyah dan Zahiriyah yaitu bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidaklah gugur dengan adanya izin dari ahli waris yang lain. Larangan seperti ini adalah merupakan hak Allah yang tidak bisa gugur dengen kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah para ahli waris.

“Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang oleh Allah, seandainya ahli waris menyetujuinya juga maka statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi menjadi hibah dari ahli waris itu sendiri”.48

Mazhab Imamiyyah berpendapat bahwa boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris maupun bukan ahli waris dan tidak bergantung kepada persetujuan para ahli waris yang lainnya sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.

49

Para fukaha sepakat bahwa batas maksimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga dari harta milik peninggalan sipewasiat dan wasiat tersebut dilaksanakan setelah penunaian hutang-hutang si pewasiat. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para fukaha tentang wasiat kepada ahli waris; ada yang berpendapat boleh dengan syarat wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris, tetapi sebagian lagi berpendapat tidak boleh.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu bahwa : Wasiat adalah penyerahan harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

Para ahli fikih berpendapat, mengenai hukum dasar wasiat terbagi dua pendapat yaitu Ibn Hazm berpendapat bahwa hukum asal wasiat adalah wajib, sedangkan ulama jumhur berpendapat hukum asal wasiat adalah tidak wajib.

Rukun wasiat ada empat yaitu: pemberi wasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sighat atau pernyataan ijab dan kabul. Walaupun menurut ulama mazhab Hanafi bahwa rukun wasiat hanya satu yaitu ijab dan Kabul.

48

Satria Effendi M. Zein, Analisa Yurisprudensi Analisa Fiqh, dalam mimbar hukum Nomor 45 Thn IX 1999,hal. 92

49

Dokumen terkait