• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999), 2009.

T E S I S

Oleh

SAHRIANI

077011084/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA

AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SAHRIANI

077011084/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)

Nama Mahasiswa : Sahriani Nomor Pokok : 077011084 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

(Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA) (

Anggota Anggota

Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)

(4)

Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999), 2009.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

(5)

ABSTRAK

Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum krabat. Banyak pendapat tentang hukum dari wasiat ini. Antara lain, pendapat ulama Jumhur yaitu sunat hukumnya dan boleh untuk melakukan wasiat kepada siapa saja yang dikehendaki oleh si pemberi wasiat. Pendapat ibn Hazm mengatakan wasiat itu hukumnya wajib terutama untuk kaum krabat yang terhalang untuk mendapatkan warisan.

Berawal dari pemikiran ibn Hazm, maka muncul wasiat wajibah yaitu wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat, akan tetapi penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberikan putusan wasiat wajibah kepada kaum krabat tertentu. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara No. 51.K/AG.1999.

Wasiat wajibah yang diberikan Mahkamah Agung tersebut adalah untuk

saudara kandung non muslim. Padahal, wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang untuk dapat saling mewarisi.

Setelah diteliti dari data-data yang telah dikumpulkan, Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim berdasarkan pemahaman Al-Quran surah Al-Baqarah /2:180., artinya wasiat suatu hal yang menjadi kewajiban bagi pemilik harta apabila ia telah mendekati ajalnya. Menurut ibn Hazm, kewajiban ini ditujukan untuk ayah dan ibu (orang tua) dan karib krabat terutama yang tidak dapat mewarisi apabila si pewaris sebelumnya tidak berwasiat.

Pendapat ibn Hazm itulah jadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Pertimbangan lainnya untuk menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan. Serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.

Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas. Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim.

(6)

mengatur tentang peralihan kekayaan antar generasi dan kedudukan masing-masing kaum krabat.

Persoalannya adalah Apakah masih ada hakim di peradilan agama yang menggunakan fikih dengan syariah untuk memutus perkara diperadilan agama?. Jika masih ada, tentunya putusan yang dihasilkan oleh peradilan agama akan berbeda-beda, meskipun dalam perkara yang sama, sehingga tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menerbitkan suatu undang-undang sebagai pedoman bagi hakim peradilan agama dalam membuat keputusan bagi saudara kandung non muslim.

(7)

ABSTRACT

The last will is Islamic legacy law is place where the inter-generation relationship and the position of respective relatives can be accommodated. There are many opinions concerning this Islamic legacy law. According to the Jumhur Islamic scholars, it is sunat which means that the last will can be given to anybody desired by the will giver while Ibn Hazm argued that the will is wajib to give the will especially to the relatives who have constraint to receive the legacy.

The opinion of Ibn Hazm, resulted in the wasiat wajibah, a will whose implementation is not influenced or does not depend on the desire of the will giver but the judge as a government apparatus as an authority to force or decide to give the wasiat wajibah to a certain relative. This practice has been implemented by the Supreme Court of the Republic of Indonesia for the case No. 51.K.AG.1999.

The wasiat wajibah given by by the Supreme Court is for a non- Moslem brother of the same parents even though, in the Compilation of Islamic Law, its analogy is for adopted parents and the different religion is still on of the constraints to mutually inherit.

The result of the study on the collected data shows that the supreme Court gave the wasiat wajibah to a non-moslem brotherof the same parents was based on the understanding of Al-Quran surah Al-Baqarah 2:180 which means will is a must for the owner of property when he/she is dying. According to Ibn Hazm, this is compulsory to the ather or mother ( parents) and the relatives especially who cannot inherit if the property owner has not made his/her will.

This opinion of Ibn Hazm became the consideration for the supreme Court in the process of giving the wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parents whose share is equal to that of his Moslem brother of the same parents. The other consideration was that it is important to maintain the unity of the family and to accommodate the social reality in the plural Indonesian community consisting of various ethicities and faiths and the good things to meet the feeling of justice.

The provision of wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parent has given a new contribution in the restricted development of Islamic law in Indonesia, meaning, that a non-moslem heir still a person who are constrained to have is/her share from the heritage belonged to his Moslem brother of the same parents.

This is a positive step to show that Islamic las is exclusive and discriminative to the non- moslem because the Islamic law can give a protection and the feeling of justice to the non-moslems. The existence of the Islamic legacy law is an important aspect in the development of Islamic law in Indonesia because it regulated the inter generation property transfer and the position of respective relatives.

The question is whether or not there is a judge in the religious (Islamic) court who still uses fikih and syariah as the base to make a court decision in the religious (Islamic) court? There still is, the decision made by the judge in the religious (Islamic) court must be different, even in the same case, that there will be no legal certainty. Hence, the government and the legislative members need to issue a law as a guidance for the judges saerving in the religious (Islamic) court in making their decision for the non-moslem brother of the same parents.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarahkatuh

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan

kepada kita semua kesehatan, Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul “PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG

YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam Penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan

pengarahan dan bantuan dari semua pihak maka pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing

yaitu kepada Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD selaku Ketua Komisi

Pembimbing Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA. Serta Bapak Notaris

Syahril Sofyan, SH, MKn, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing,

yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan demi kesempurnaan

(9)

Selanjutnya ucapan terima kasih atas semua bimbingan, bantuan dan

dorongan penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM & H.,Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,MSc. Selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas diberikannya penulis

kesempatan menjadi mahasiswi Sekolah Pascasarjana Program Studi

Magister Kenotariatan.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Selaku Ketua Program

studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum Selaku Sekretaris Program

studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak – Ibu Guru Besar dan Staff pengajar pada Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada orang-orang yang saya sayangi Babah Saem Manurung dan Umi Siti

(10)

tersayang Bambang Sukmawijaya SE serta anak-anakku yang tercinta, Bobi

Pratama Wijaya, Dwiki Nugraha Wijaya, Dini Tria Anggraini, Alya Fadillah.

Yang telah memberikan doa, dorongan dan bantuan moril maupun materil

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu saya dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya atas bantuan semua pihak semoga mendapat balasan yang setimpal dari

Allah SWT. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan khazanah baru dan

sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam perkembangan kewarisan Islam.

Medan, Agustus 2009 Wassalam

Penulis

SAHRIANI, SH 077011084

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Sahriani

Tempat/Tgl. Lahir : Perhutaan Silau, 29 Januari 1970

Alamat : Jl. Pinang Mas 14/16 Blok Z. Perumahan Villa Palem Kencana- Medan – Binjai km. 11,5.

JenisKelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Kawin

II. ORANG TUA

Ayah : Saem Manurung

Ibu : Siti Asiyah

III. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

a. Tahun 1983 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Nomor 013850. Perhutaan Silau, Asahan

b. Tahun 1986 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Lanjut Pertama, di SMP Negeri 2 Kisaran.

c. Tahun 1989 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas, SMA Swasta Diponegoro Kisaran

d. Tahun 1994 : Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Kerangka Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 20

1. Spesifikasi Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Alat Pengumpulan Data ... 22

(13)

BAB II KONSEP WASIAT DALAM HUKUM ISLAM ……... 23

A. Arti Dan Pengertian Wasiat ... 23

B. Dasar Hukum Wasiat ... 25

C. Syarat Dan Rukun Wasiat ... 28

D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim. ... 34

E. Batas Pelaksanaan Wasiat ... 41

F. Kedudukan Wasiat Dalam Hukum Islam ... 43

G. Kedudukan Wasiat Dalam KUHPerdata ... 45

BAB III WASIAT WAJIBAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM WARIS ISLAM ……… 49

A. Pengertian Wasiat Wajibah ... 49

B. Wasiat Wajibah Dalam Prospektif Fikih ... 52

C. Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam ... 55

D. Kelompok yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah ... 66

BAB IV ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 51 K/AG /1999... 67

A. Wasiat Wajibah Kepada Saudara Kandung Non Muslim Menurut Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 ... 67

B. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 ... 83

C. Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/1999. ... 96

D. Kedudukan Yurisprudensi Dalam Pembentukan Hukum ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan... 114

B. Saran ... 115

(14)

DAFTAR ISTILAH

Alagrabin : Kerabat Dekat

Adoptan atau adoptandus : Anak Angkat

Adoptie atau adopt : Pengangkatan Anak atau adopsi

Al-Laqith : Anak yang dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas

Al-musa bih : Harta yang diwasiatkan

Al-musa lah : Yang menerima wasiat

Al-mushaharah : Hasil perkawinan yang sah

Al-musi : Orang yang berwasiat

Al-qarabah : Hubungan kekerabatan atau keturunan

Array : Susunan urut data

Door echscheiding onbontden : Pecah karena perceraian

Eudomonisme atau Ulitarisme : Manfaat, keuntungan/kebahagiaan bagi

masyarakat

Extended family : Bentuk keluarga besar

Hak opsi : Memilih hak apa yang akan di berlakukan

terhadap harta warisan

Husnul Khatimah : Amal Kebaikan

Imperatif : Bersifat harus ditaati, mengikat dan memaksa

lawan dari persuasif rekomendatif.

Ittikhadzahu ibnan : Menjadikannya sebagai anak

Kafir Harbi : Orang kafir yang memusuhi islam

Law : Hukum atau undang-undang

Law of Rule : Supremasi Hukum

Legitime portie : Bagian mutlak dalam warisan

Library research : Penelitian kepustakaan

Luqata : Mengambil anak pungut, artinya pengangkatan anak yang belum dewasa.

Mafhum mukhalafah : Logika “a contracio” suatu metode pemahaman kalimat dengan menangkap makna dibalik yang tersirat

Mahram : Orang yang haram di nikahi

Maqashid : Pemeliharaan tujuan

Mashlahah : (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari

kata manfa’at atau lawan dari kata mafsadat (kerusakan)

Muhkamat : Jelas penetapan hukumnya

Maslahat : Kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar

(15)

Menisbahkan : Menghubungkan

Nasab : Nama keturunan

Nebis in idem : Gugatannya ditolak / tidak dapat diterima

Nuclear family : Bentuk keluarga inti

Political power : Kekuatan politik

Problem : Permasalahan

Qati : Pasti hukumnya

Rule : Kebijakan

Self evident : Kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik

Shighat : Lafal Ijab dan Kabul (ikrar)

Stare Decicis : Suatu azas bahwa keputusan hakim terdahulu harus diikuti oleh hakim yang memutus hukum kindan dalam perkara yang sama

Staatsblaad : Lembaran Negara

Tabanny : Anak angkat

Tarikh : Sejarah Islam

Testament : Surat wasiat

Tirkah : Harta peninggalan

Yudex facti : Putusan Hakim Sebelumnya

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penghalang tidak saling mewarisi menurut hukum waris Islam

adalah perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris. Penghalang mewarisi

ialah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi

harta peninggalan. Namun ketiadaan penghalang bukan berarti harus memberikan hak

waris kepada seseorang. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang -

penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak

seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.

Ahli waris yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli

waris) yang mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat

menggugurkan kelayakan mewarisi. Seperti karena ia pembunuh atau sebab berbeda

agama. Orang semacam ini disebut sebagai orang yang diharamkan mendapatkan

warisan, keberadaannya dianggap bagaikan tidak ada, dan dia tidak dapat

menghalangi ahli waris yang lainnya.1

1

Komite Fakultas Syariah Universitas Al – Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawarist

(17)

Penghalang mewarisi terbagi menjadi dua bagian :

I. Bagian yang telah disepakati.

Bagian yang telah disepakati para ulama sebagai penghalang-penghalang mewarisi

dimasukkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :

1. Berlainan agama

2. Perbudakan

3. Pembunuhan.

II. Bagian yang diperselisihkan.

Para ulama fikih telah bersepakat bahwa bagian ini merupakan penghalang mewarisi

harta peninggalan, namun perselisihannya hanya berada pada penamaan saja. Bagian

ini dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu :

1. Yang disepakati sebagai penghalang, namun terjadi perselisihan dalam

penamaannya dengan mani (penghalang). Penghalang seperti ini adalah

murtad (keluar dari agama). Para ulama fikih sepakat bahwa murtad

merupakan penghalang mewarisi harta peninggalan.

2. Yang diperselisihkan dalam menghalangi mewarisi dan dalam

penamaannya sebagai mani (penghalang), adalah ketidak jelasan waktu

kematian dan berlainan Negara.

Penelitian tesis ini, hanya memfokuskan tentang berlainan agama yang

memperoleh pembagian harta warisan dari orang muslim. Para ahli fikih telah

bersepakat berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang

(18)

Dengan demikian non muslim tidak bisa mewarisi harta muslim dan seorang muslim

tidak dapat mewarisi harta non muslim. Sabda Nabi Muhammad saw sebagai

berikut :

“Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya

hak waris atas orang Islam” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Imam

Muslim)2

a. Ulama Jumhur tetap berpendapat terhalang mempusakai, lantaran

timbulnya hak mempusakai itu adalah sejak kematian orang yang

mempusakakan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta pusaka. Persoalan yang muncul dalam Hadits diatas adalah jika pewaris tersebut

awalnya beragama non muslim, kemudian ia beragama Islam. Tapi, setelah kematian

si pewaris tersebut harta peninggalannya belum dibagi-bagikan. Lantas, bagaimana

dengan ahli warisnya?. Ada beberapa pendapat ulama tentang kedudukan ahli

warisnya adalah sebagai berikut:

2

Moh.Machfudin Aladip, Terjemah Bulughul Maram,.Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al.

(19)

Padahal disaat kematian orang yang mewariskan, dia masih dalam

keadaan kafir, jadi mereka dalam keadaan berlainan agama.

b. Imam Ahmad berpendapat bahwa pewaris tersebut tidak terhalang

mempusakai, sebab predikat “berlainan agama” sudah hilang sebelum

pembagian harta pusaka.

c. Fuqaha’ aliran Imamiyah berpendapat bahwa harta peninggalan itu belum

menjadi milik ahli waris secara tetap sebelum dibagi-bagikan kepada

orang yang bersangkutan. Oleh karena itu ia tak terhalang mempusakai3

Hadits Nabi yang berbunyi :

“Tidak dapat saling mewarisi dua ahli waris yang berbeda-beda (Hadis

diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Empat, kecuali Imam Turmudzi)”4

Berdasarkan pendapat kebanyakan jumhur ulama, maka orang-orang non

muslim satu sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak. Allah

swt berfirman, “…..Tidak ada sesudah kebenaran itu , melainkan kesesatan….”

(Yunus [10]:32). Hal ini dikarenakan tentang warisan antara orang tua dan anak

3

Fatchur Rahman, ilmu Waris, Penerbit PT. AlMa’Arif Bandung, 1975, hal. 98

4

(20)

ataupun sebaliknya, sudah disebutkan didalam kitab Allah secara umum (baik Taurat,

Injil, maupun Al-Quran). Dengan demikian, tidak sesuatu pun yang ditinggalkan,

melainkan sesuatu yang dikecualikan oleh syariat. Adapun sesuatu yang tidak

dikecualikan oleh syariat, tetap berada pada keumuman.5

Para ahli fikih bersepakat bahwasanya non muslim dapat saling mewarisi

satu sama lain ketika mereka berada pada satu kepercayaan, misalnya mereka

sama-sama beragama Nasrani. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, “Orang Islam tidak

boleh mewarisi harta orang kafir,” hadits ini memiliki arti bahwa non muslim

dapat saling mewarisi satu sama lain. Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan

ahli fikih.

Pengamalan dari keumuman hadits diatas, bila seseorang mati meninggalkan

anak laki-laki yang non muslim dari paman yang muslim, niscaya harta peninggalan

si mayit semuanya diberikan untuk paman, sehingga anak laki-laki yang non muslim

tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya. Begitu juga, bila seorang non

muslim meninggalkan anak laki-laki yang muslim dan paman yang non muslim,

maka seluruh harta peninggalan diwariskan kepada paman yang non muslim, dan

anak laki-laki simayit yang muslim tidak mendapatkan apa-apa dari harta

peninggalan ayahnya karena berlainan agama, antara anak dan orang tua.

6

5 Ibid

6

(21)

Ahli waris non muslim dapat saja menikmati harta warisan muslim dengan

cara pemberian wasiat wajibah. Seperti kasus sengketa warisan yang telah diputus

oleh Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999.

Hanya, Amar putusan tersebut diatas menimbulkan kontroversi karena tidak

ada satu dalil (nash) yang mengatur tentang pemberian wasiat wajibah bagi orang

yang berbeda agama. Dalam Kompilasi Huku m Islam (KHI) saja tidak ada mengatur

tentang wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama. Wasiat wajibah yang

terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur tentang anak angkat dan

orang tua angkat, yang bunyinya adalah sebagai berikut :

(1). Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai

dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

warisan anak angkatnya.

(2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.7

sederajat dengan yang diganti

Anak angkat dan orang tua angkat dalam KHI tersebut diatas seimbang dengan

kedudukan pergantian tempat dalam KHI, yang bunyinya sebagai berikut :

(1). Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya

dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang

8

7

Pasal 209, Kompilasi Hukum Islam

8

(22)

Selain KHI, Undang Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 tahun 1946

tentang wasiat wajibah, tidak memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung

yang berbeda agama, tapi wasiat wajibah diberikan bagi cucu yang ayah atau ibunya

telah meninggal dunia lebih dahulu atau bersamaan waktunya dengan pewaris

(kakek/nenek mereka). Pasal 78 Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir nomor 71

tahun 1946, mengatur tentang kewajiban melaksanakan wasiat wajibah tersebut tanpa

tergantung perizinan ahli waris, kendatipun si pewaris tidak mewasiatkannya, setelah

dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang dan wasiat wajibah tersebut

harus didahulukan daripada wasiat-wasiat lainnya.9

1. Hak hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan

pewaris ?

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan

latar belakang tersebut, untuk mengkaji dasar-dasar hukum tentang pembagian harta

warisan saudara kandung yang muslim kepada non muslim dalam putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan judul penelitian : “ Pembagian Harta

Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektik Hukum Islam (Studi kasus

Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan (problem) yang

dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

9

(23)

2. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama?

3. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat wajibah

untuk orang yang berbeda agama ?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi

tujuan penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui hak-hak yang diperoleh saudara kandung non muslim

terhadap harta pewaris yang muslim

2. Untuk mengetahui dasar hukum wasiat wajibah yang membenarkan saudara

kandung non muslim memperolah harta dari pewaris yang muslim

3. Untuk mengetahui besarnya bagian harta warisan yang diperoleh bagi saudara

kandung non muslim melalui wasiat wajibah.

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis dan

secara praktis.

1. Secara Teoritis

Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai pembagian

harta warisan orang yang berbeda agama dalam persfektif hukum Islam,

setidaknya tesis ini dapat menambah wawasan berfikir dan kajian pembaca

mengenai aturan dan besarnya bagian warisan terhadap saudara kandung yang

(24)

2. Secara Praktis

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan,

ataupun setidaknya menjadi bahan acuan bagi para hakim, ulama,

cendikiawan muslim dalam menyelesaikan perselisihan mengenai pembagian

harta warisan terhadap saudara kandung yang berbeda agama dalam kaitannya

dengan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

“PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKETIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999)” ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain dalam judul dan permasalahan yang sama. Permasalahan ini perlu

dibahas, mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beragam agama

dan suku yang sangat rentan dengan persoalan warisan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal

dunia, baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan

periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali). Hal ini dapat

(25)

1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh

para ulama dan sarjana hukum Islam.

2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para sarjana

hukum Islam.

Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang

telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang

perempuan10

1. Anak laki-laki adalah :

Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut :

2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah

3. Bapak

4. Kakek shaih dan seterusnya keatas

5. Saudara laki-laki sekandung

6. Saudara laki-laki sebapak

7. Saudara laki-laki seibu

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.

10.Paman sekandung.

11.Paman sebapak

12.Anak laki-laki paman sekandung

10

(26)

13.Anak laki-laki paman sebapak

14.Suami

15.Orang laki-laki yang memerdekakan budak

Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut :

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan pancar laki-laki

3. Ibu

4. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas

5. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas

6. Saudara perempuan sekandung

7. Saudara perempuan sebapak

8. Saudara perempuan seibu

9. Isteri

10.Orang perempuan yang memerdekakan budak.

Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh)

tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris

ashhabul furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka

menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka

disebut ahli waris ashabah.

Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga

(27)

bagiannya (fardh), ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal dengan sebutan ahli

waris dzawil al-arham.

Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak

perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat (1) KHI

dinyatakan bahwa ayah, anak laki-laki paman dan kakek (golongan laki-laki), juga

ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) adalah

kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan

demikian tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang

ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum

Kewarisan Islam dalam KHI.11

a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim

dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam

peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa

diketahui hal ihwalnya.

Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan jika

memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :

b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan

keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal.

11

(28)

c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau

dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan

berhak waris.

d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud

adalah Berbeda agama, Membunuh, serta Menjadi budak orang lain.

Lajnah ulama Mesir mengemukakan,

Seperti halnya waladin dan aqrabin yang kafir, atau mereka mukmin tapi terhijab untuk mendapatkan warisan, misalnya ibnu Akhi (anak laki-laki dari saudara laki-laki) karena ada akhun (saudara laki-laki), atau kalau mereka termasuk dzawil arham.

Menurut Al-Qurthubi (1967:262), artinya :

………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya kafir atau hamba sahaya, dan bagi krabat yang tidak mendapatkan warisan.12

Suparman usman mengemukakan bahwa waladin dan aqrabin yang terkena mawani’ul irtsi karena kafir dan hamba sahaya masih dapat menerima harta warisan melalui wasiat wajibah, sedangkan mereka yang terkena mawani’ul irtsi karena pembunuhan tidak berhak menerimanya.13

Berdasarkan uraian diatas, yang berhak menerima wasiat wajibah adalah

mereka yang tidak mendapatkan harta peninggalan, baik karena dzawil ahram dan

mahjub yang orang tuanya atau mudlabihnya telah meninggal lebih dahulu dari

(29)

Sejak Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/1999, ketentuan wasiat

wajibah sudah mulai dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat

dari kenyataan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan

bahwa ketentuan wasiat wajibah mulai memasyarakat. Wasiat wajibah menurut

Undang-Undang wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 tersebut telah dikodifikasi

kedalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal Pasal tertentu seperti tentang anak

angkat dan penggantian tempat.

Syaid Sabiq sebagaimana dikutip oleh Drs. Chairuman Pasaribu dan

Suhrawardi K. Lubis mengemukakan pengertian wasiat itu adalah pemberian

seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk

dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang diberi wasiat meninggal dunia.

Menurut ketentuan hukum Islam, bagi seseorang yang merasa dekat ajalnya dan ia

meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk

membuat wasiat bagi kedua orang tuanya (demikian juga bagi krabat yang lainnya),

terutama sekali apabila ia telah pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka

(kedua orang tuanya dan krabatnya) tidak cukup untuk keperluan mereka.

Menyangkut pelaksanaan wasiat ini harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

1. Ijab kabul

2. Ijab kabul harus tegas dan pasti

3. Ijab kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan untuk itu

4. Ijab dan kabul tidak mengandung ta’liq………14

14

Ibid. hal 46

(30)

Ketentuan Al-Quran dan Hadits sebagaimana dikemukakan diatas, yang jelas

tergambar bahwa tidak mesti ada Kabul (penerimaan) dari pihak penerima wasiat,

hal tersebut dapat dipahamkan dari ungkapan hadits yang berbunyi : “Hak bagi

seseorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah

bermalam selama dua malam” , hal ini dipertegas lagi oleh ungkapan Umar “Tidak

berlalu bagiku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah saw, mengucapkan

hadits itu kecuali wasiatku selalu berada disisiku”.

Menurut pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum

sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa

dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.

Bahkan dalam praktiknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang

tidak dikehendaki dibelakang hari, sering wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta

authentik, yaitu diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau dihadapan notaris

atau disimpan dalam protokol notaris.15

1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyebutkan persyaratan-persyaratan

yang harus dipenuhi dalam perlaksanaan pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut :

2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat

3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.16

15

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007., hal 47

16

(31)

Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan

tersebut adalah sebagai berikut :

1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis

dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.

2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan

kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan

dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau

dihadapan Notaris. 17

5) Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta

warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi

wasiat dari si meninggal, barulah kemudian (setelah dikeluarkan wasiat) harta

tersebut dibagikan kepada para ahli waris.

Orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah mereka yang tidak

mendapatkan bagian harta warisan dari pewaris. Sedangkan mereka yang

mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris tidak berhak untuk menerima

wasiat wajibah tersebut. Mengenai yang tidak mendapatkan warisan seperti

dikemukakan diatas masih bersifat umum.

17

(32)

Faktor-faktor yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan warisan adalah

karena :

1. terkena’ mawani’ul irtsi seperti perbudakan, pembunuhan dan perbedaan

agama

2. terkena’ hijab yakni karena ada ahli waris lain ia tidak menerima warisan.

3. termasuk kelompok dzawil arham, yaitu setiap krabat yang tidak termasuk

ashabul furudh atau ashabah

Penegasan mengenai yang berhak menerima wasiat wajibah dapat dilihat dari

pernyataan Hasanain Muhammad Makhluf (1958:21) mengatakan :

“….maka wajiblah wasiat bagi kedua orang tua apabila keduanya tidak menerima warisan, misalnya ada perbedaan agama. Demikian pula bagi krabat yang tidak menerima warisan, sepert karena hamba sahaya, kufur, atau terhijab untuk menerima warisan, yaitu dari keturunan anak yang meninggal dunia pada saat saat bapaknya masih hidup “18

18

Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Op. Cit., hal 174

Penelitian maupun pembahasan tentang wasiat telah banyak dilakukan oleh

para peneliti maupun para pakar dibidang fikih terdahulu baik dalam bentuk buku

yang sekaligus merupakan bagian dari pembahasan fikih mawaris. Penelitian tentang

wasiat wajibah cukup menarik terutama setelah lahirnya putusan Mahkamah Agung

No. 51 K/AG/1999 yang kontroversial karena berlainan dengan pemikiran

(33)

Bahan kajian terdahulu yang pembahasannya erat kaitannya dengan judul tesis

ini antara lain, artikel berjudul: Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan (Suatu

Telaah Atas Pembaharuan Hukum Islam), yang didalam isinya menguraikan tentang

kedudukan anak angkat dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang

mendapat warisan dengan jalan wasiat wajibah dengan ketentuan besarnya maksimal

sepertiga dari harta warisan. Ketentuan ini diberikan apabila sebelumnya si pewaris

tidak melakukan wasiat terhadap anak atau orang tua angkatnya tersebut. Produk

hukum seperti ini adalah merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia.19

Dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180

Beberapa penelitian dan tulisan diatas nampak belum ada penelitian yang

membahas tentang wasiat wajibah kepada ahli saudara kandung non muslim.

2. Kerangka Konsepsi

20

19

Pagar,”Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan. Suatu Telaah Atas Pembaharuan Hukum Islam Indonesia,”dalam Mimbar Hukum no. 54 Tahun 2001, hal.. 14

20

Quran dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya “Diwajibkan atas kamu , apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib krabatnya secara ma’ryf (ini adalah) keweajiban atas orang-orang yang bertakwa.

dapat dipahami bahwa

kewajiban berwasiat adalah dengan ketetapan agama yang harus dilaksanakan dan

bukan karena keputusan hakim, namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat

negara yang mempunyai kekuasaan di dalam satu pemerintahan, mempunyai hak dan

(34)

putusan wajib wasiat, yang dikenal dengan istilah “wasiat wajibah” kepada orang

tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

Konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya

pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk krabat.

Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah buku rangkuman dari tiga buku yang

berisikan : Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan

dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum berlangsungnya

perkawinan. Harta bawaan dapat menjadi harta warisan jika tidak ada perjanjian

kawin. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.

Berlainan agama adalah berlaianan agama yang menjadi kepercayaan, antara

orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya, agama orang yang

bakal mewarisi bukan Islam, baik agama Nasrani maupun agama atheis yang tidak

mengakui agama yang hak, sedang agama orang yang bakal diwarisi harta

peninggalannya adalah Islam.

Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan

hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang

(35)

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris

dan harta peninggalan.

Ahli Waris adalah Orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau

lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan

perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua

angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atas anak

angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif, karena tesis ini

didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan dengan jalan mengumpulkan

data skunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan

hukum tertier.

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat dilihat

(36)

merupakan suatu “penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan

menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek

pelaksanaannya”.21

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu

baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data

tersebut terdiri dari :

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang

berbeda terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan

perundang-undangan berkaitan dengan ahli waris dan pembagian warisan terahadap saudara

kandung yang berbeda agama.

2. Bahan hukum skunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer, berupa

hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, buku-buku fikih

yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan, buku tafsir

Al-quran serta artikel-artikel, baik yang berdasarkan civil law maupun common law

yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan skunder.

21

(37)

3. Alat Pengumpulan Data

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan Studi dokumen, yaitu untuk

melakukan penelitian dokumen yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung

Nomor 51K/AG/1999

4. Analisis Data

Penelitian ini berusaha untuk mendiskripsikan dan menganalisa secara kritis

dan mendalam tentang wasiat wajibah untuk saudara kandung non muslim dalam

posisi hukum waris Islam dan hukum positif di Indonesia dengan pendekatan

penelitian perbandingan hukum, menurut Bambang Sunggono bahwa setiap kegiatan

ilmiah lazim menerapkan metode perbandingan dimana sebelum penelitian

mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan diteliti dan hal itu

berarti adalah menerapkan metode perbandingan. Sehingga masalah yang dianggap

paling penting yang akan diteliti. Berdasarkan metode ini, maka penulis untuk

melakukan penelitian tesis dengan membandingkan antara konsep wasiat wajibah

(38)

BAB II

KONSEP WASIAT DALAM HUKUM ISLAM

A. Arti Dan Pengertian Wasiat

Wasiat menurut bahasa adalah “menyampaikan, menyambungkan” yang

artinya “menyambungkan” karena pewasiat menyambungkan kebaikan dunianya

dengan kebaikan akhiratnya22

1. Menjadikan,

.

Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, secara etimologi mempunyai beberapa

macam arti, antar lain :

Artinya; Aku menjadikan harta untuk si Pulan

2. Menaruh kasih sayang,

Artinya ; Aku menaruh kasih sayang untuk puteranya

3. Menyuruh,

Artinya ; Aku menyuruhnya untuk mengerjakan shalat

4. Menghubungkan

Dikalangan fukaha sunni seperti kelompok pro syafi-iyah mendefenisikan

pengertian wasiat dengan pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap

harta miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya

kematian sipemberi wasiat.

22

(39)

Kelompok Hanabilah menambahkan defenisi tersebut dengan pemberian yang

tidak melebihi 1/3 harta yang hal ini juga disepakati kelompok Malikiyah dan

Hanafiyah.23

Hazairin sependapat dengan sunni; menetapkan keharusan wasiat dalam situasi khusus terhadap ahli waris seperti ahli waris yang lebih memerlukan harta (karena sakit parah, biaya pendidikannya, dan lain sebagainya) dimana selain ia akan menerima harta waris, ia juga dapat menerima wasiat sebesar tidak lebih dari 1/3 harta sebagai tambahan bagi dirinya karena keperluannya lebih banyak.

24

Ulama mazhab Hambali berpendapat wasiat adalah menyuruh orang lain agar melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, seperti berwasiat kepada seseorang agar memelihara putera-puteranya yang masih kecil, atau mengawinkan puteri-puterinya atau membagikan sepertiga hartanya dan lain sebagainya25

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah pemberian suatu benda

dari pewaris kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris

meninggal dunia

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadis, VI, Tintamas, Jakarta, 1982, hal. 57-58

25

Zainuddin. Op.Cit. hal. 293

26

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam

Lingkungan Peradilan agama (Jakarta . Yayasan Al-Hikmah, 1973). hal. 348

Defenisi wasiat diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa wasiat adalah

merupakan penyerahan harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang kepada

pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Disinilah perbedaan

antara perpindahan kepemilikan harta dengan jalan wasiat dan perpindahan

(40)

Perbedaaan tersebut pada akad tentang cara pemindahan harta tersebut.

Meskipun akad wasiat dibuat pada saat sipemberi wasiat masih hidup, tapi menurut

hukumnya wasiat tersebut baru dilaksanakan setelah orang yang berwasiat meninggal

dunia. Artinya, selama si pewasiat masih hidup, wasiat itu tidak dapat dilaksanakan

dan akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek apapun bagi perpindahan hak milik

kepada orang yang diberi wasiat, sedangkan pada akad jual beli , hibah, serta sewa

menyewa, akadnya serta merta tanpa harus menunggu pihak penjual, penghibah atau

yang menyewakan meninggal dunia terlebih dahulu.

B. Dasar Hukum Wasiat

Dasar hukum wasiat dalam Syari’at Islam, menurut para ahli fikih antara lain :

a. Dalil dalam Alquran

Kewajiban bagi seseorang yang akan meninggal dunia untuk menyampaikan

wasiat kepada ibu dan bapak atau kaum krabat lainnya dapat ditemukan ketentuannya

(41)

Artinya :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib krabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Quran Surat Al-Baqarah).27

Artinya : Hai orang-orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil diantara kamu , atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu ditimpa bahaya kematian

Ayat ini memberikan penegasan bahwa seseorang yang hendak (akan)

meninggal dunia mestilah ia meninggalkan wasiat menyangkut harta yang ia miliki,

ayat ini juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum (wajibnya) wasiat wajibah,

terutama sekali kepada ahli waris yang penghubungnya dengan pewaris terputus,

sehingga mereka menjadi terdinding disebabkan oleh ahli waris yang lain, seperti

kasus cucu yang terdinding untuk mendapatkan harta warisan dari datuk (kakeknya)

dikarenakan oleh pamannya (saudara kandung ayahnya) masih ada.

Surat al-Maidah/5: 106

28

Artinya : “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya), akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka”

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahannya. (Jakarta Departemen Agama RI, 1980), hal. 44

28

Ibid, hal. 181

29

(42)

Dari uraian ayat-ayat diatas menunjukkan secara jelas mengenai hukum

wasiat serta tehnik pelaksanaannya dan materi yang menjadi objek wasiat. Namun

dapat dipahami adanya perbedaan pendapat dari para ulama dalam memahami dan

menafsirkan ayat-ayat wasiat diatas yang berimplikasi pada perbedaan dalam

menentukan hukum wasiat.

b. Sunnah

Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ibnu Umar

Artinya :

Rasulullah saw bersabda “Bukanlah hak seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya. (H.R Bukhari Muslim).

Hadis riwayat ibn Majah dari Jabir

Artinya :

Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa meninggal dan Berwasiat, maka ia mati pada jalan dan sunnah, meninggal pada jalan taqwa dan persaksian dan juga meninggal dalam keadaan diampuni (dosa-dosanya)”

c. Ijma

Perjalanan sejarah umat Islam, dimulai sejak masa Rasulullah hingga

sekarang kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan wasiat adalah merupakan syari’at

Allah dan RasulNya sehingga mereka banyak melakukan wasiat, perbuatan seperti itu

tidak pernah diingkari oleh siapapun, ketiadaan pengingkaran seseorang adalah

menunjukkan adanya ijma30

30

(43)

C. Syarat Dan Rukun Wasiat

Para ulama telah bersepakat bahwa “pemberian wasiat kepada ahli waris

hukumnya adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah SWT

telah membagikan faraid.”31

“Wasiat untuk selain ahli waris hukumnya boleh dan sah dengan jumlah maksimal, sepertiga dari harta waris atau kurang dari 1/3 . Namun apabila ahli waris membolehkan wasiat melebihi dari ketentuan sepertiga bagian, yang demikian sah saja karena mereka mempunyai hak untuk memutuskannya. Akan tetapi bila mereka tidak menghendaki, niscaya ketentuan yang melebihi bagian sepertiga menjadi gugur”.

Maka pembagian wasiat untuk ahli waris dikategorikan

sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, karena wasiat itu akan memberikan

tambahan kepada sebagian ahli waris yang telah diberikan harta waris kepadanya.

32

Menyangkut pelaksanaan wasiat ini menurut beberapa penulis harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: pemberi wasiat (al-musi), penerima wasiat

(al-musa lahu), barang yang diwasiatkan (al-musa bihi) dan sighat atau pernyataan

ijab dan kabul 33

Orang yang memberi wasiat menurut kalangan ulama mazhab Hanafi

mempunyai beberapa persyaratan yaitu orang yang cakap memberikan milik kepada

orang lain, seperti dewasa, berakal sehat, tidak mempunyai hutang yang

menghabiskan seluruh hartanya, tidak main-main dan tidak ada paksaan, bukan budak

1. Pemberi Wasiat

31

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Mesir, Op.Cit. hal. 73

32

Ibid. hal. 74. 33

(44)

dan pada waktu berwasiat tidak tersumbat mulutnya. Apabila pemberi wasiat itu

orang yang kurang kecakapannya, karena ia masih anak-anak, gila, hamba sahaya,

karena dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya tidak sah. 34

1. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa orang yang lemah akal, orang dungu dan

orang yang menderita penyakit epilepsi yang terkadang sadar, diperbolehkan untuk

berwasiat dengan ketentuan dia mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang

mereka wasiatkan, demikian pula anak kecil bila dia mengetahui apa yang

diwasiatkan.

Argumentasi lain tentang kebolehan hal tersebut menurut para fukaha adalah

kenyataan wasiat tidak sama dengan muamalah pada umumnya yang akadnya itu

mempertukarkan sesuatu dan kemungkinan merugikan disamping kadang

menguntungkan kepada salah satu pihak, wasiat tidak mungkin merugikan orang

yang berwasiat dan tidak mungkin merugikan orang yang diberi wasiat.

2. Penerima Wasiat

Syarat-sayarat bagi orang yang diberi wasiat menurut Sayyid Sabiq adalah

sebagai berikut :

2. Orang yang diberi wasiat itu hidup diwaktu wasiat dilaksanakan baik hidup secara benar-benar ataupun hidup secara perkiraan. Misalnya bila dia mewasiatkan kepada anak yang masih dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat itu diterima.

34

(45)

3. Disyaratkan agar orang yang menerima wasiat tidak membunuh orang yang membunuhnya. Apabila orang yang deberi wasiat membunuh orang yang memberinya diharamkan secara langsung, maka wasiat itu batal baginya, sebab orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu 35

Menurut ulama dari kalangan mazhab Hanafi bagi orang yang menerima

wasiat harus mempunyai syarat-syarat antara lain:

1. Mempunyai keahlian memiliki, jadi tidak sah wasiat kepada orang yang tidak

bisa memiliki.

2. Orang yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkannya ijab

wasiat, meskipun dalam perkiraan.

3. Orang yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan kepada orang

yang memberi wasiat, baik pembunuhan yang disengaja maupun karena

kesilapan

Para ulama telah sepakat tentang sahnya wasiat kepada anak yang masih

dalam kandungan, dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, dan sepakat

tentang sahnya wasiat untuk kepentingan-kepentingan umum, akan tetapi terdapat

perbedaan pendapat dalam hal si penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari

pada si pemberi wasiat, mengenai hal ini mazhab yang empat (Syafi-iyah, Hanabilah,

Malikiyah, Hanafiyah.) sepakat bahwa apabila si penerima wasiat mati sebelum

35

(46)

meninggalnya si pewasiat, maka wasiat itu batal, sebab wasiat adalah pemberian,

sedangkan pemberian kepada orang yang telah mati adalah tidak sah.

Berbeda dengan pendapat mazhab Syiah Imamiyyah, mereka berpendapat :

“Jika penerima wasiat meninggal dunia lebih dahulu dari pemberi wasiat dan pemberi wasiat tidak menarik kembali wasiatnya, maka ahli waris penerima wasiatnya menggantikan kedudukannya dan menggantikan perannya dalam menerima dan menolak wasiat”.36

a. Benda yang diwasiatkan itu bernilai suatu harta yang sah secara syara’

3. Barang yang Diwasiatkan

Para fuqaha menyatakan bahwa syarat sesuatu benda itu dapat diwasiatkan

antara lain:

b. Benda yang diwasiatkan itu adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik

berupa materi maupun manfaat. Para ulama sepakat dalam masalah ini namun

berbeda pendapat dalam hal wasiat berupa manfaat suatu benda sementara

bendanya sendiri tetap menjadi milik si pewasiat atau keluarganya. Sayyid

Sabiq menegaskan bahwa :

“Mengenai semua harta yang bernilai baik berupa barang ataupun manfaat adalah sah, dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada dalam perut sapi betina”.37

c. Harta yang diwasiatkan tidak melebihi sepertiga harta si pewasiat, dan ini

telah disepakati oleh para ulama.

36

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari Hanafi MIiki Syafi’i Hambali. terj. Masykur A.b. dkk. Jakarta: Lentera, 2004. hal. 509-510.

37

(47)

4. Redaksi atau Sighat Wasiat

Ulama ahli fiqih menetapkan bahwa:

“sighat ijab dan kabul yang dipergunakan dalam melaksanakan wasiat dapat menggunakan redaksi (sighat) yang jelas (sarih) dengan kata-kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu sarih), karena menurut mereka bahwa wasiat adalah akad yang boleh (jaiz) dalam arti bahwa wasiat itu dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh si pemberi wasiat”.38

Imam Syafi’i diriwayatkan bahwa kabul (penerimaan) tidak menjadi syarat

sahnya wasiat karena menurut Imam Syafi’I bahwa tidak dipandang menerima atau

menolak seseorang yang diberi wasiat ketika masih hidupnya si pewasiat. Walaupun

Hal ijab, jumhur ulama telah sepakat bahwa ijab adalah merupakan salah satu

syarat dan rukun wasiat. Apakah ijab itu dilakukan secara lisan maupun secara

tertulis bahkan bisa dilakukan dengan isyarat yang bisa dipahami. Tetapi hendaknya

ketika ijab itu dilakukan hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi, apalagi bila

dikaitkan dengan konteks kehidupan saat ini yang paling tepat ijab wasiat itu

dilakukan secara tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Hal ini

diperlukan antara lain untuk memudahkan pembuktian kelak apabila terjadi

sengketa tentang wasiat tersebut.

Tentang kabul ( penerimaan dari pihak yang diberi wasiat), para ulama telah

berbeda pendapat apakah kabul itu merupakan salah satu rukun atau syarat wasiat

atau bukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa ijab dan Kabul itu merupakan

syarat dan rukun wasiat, yang berpendapat seperti ini adalah ulama kalangan mazhab

Maliki, Imam Malik telah menganalogikan wasiat itu sama dengan hibah.

38

(48)

dia menyatakan menerima wasiat pada waktu pewasiat masih hidup dia bisa saja

menyatakan penolakannya pada saat setelah meninggalnya si pewasiat dan juga

sebaliknya apabila dia menyatakan menolak pada saat si pewasiat masih hidup, maka

bisa saja dia menerima pada saat si pewasiat sudah mati karena wasiat tidak wajib

kecuali setelah meninggalnya si pewasiat.

Ulama yang menjadikan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun wasiat

menyatakan bahwa kabul dari pihak si penerima wasiat, tidak diisyaratkan segera

setelah ijab dilakukan, menurut mereka kabul baru dianggap sah apabila diucapkan

oleh orang yang menerima wasiat setelah orang yang memberi wasiat meninggal

dunia.

Kabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila

penerima wasiat itu adalah anak kecil atau orang gila, maka kabul wasiat itu harus

diwakili oleh kuasa atau yang menjadi walinya.

Ulama fikih juga sepakat tidak mensyaratkan kabul apabila wasiat itu

ditujukan untuk kepentingan umum, seperti untuk mesjid dan panti-panti asuhan.

Sebagaimana Sayyid Sabiq telah mengemukakan jika wasiat itu tidak tertentu seperti

untuk mesjid, tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit, maka wasiat yang

demikian ini tidak memerlukan Kabul, cukup ijab saja dari orang yang memberikan

wasiat, sebab wasiat yang demikian disamakan dengan sadaqah.

Wasiat melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama mazhab Hanafi dan

mazhab Hambali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu dan tidak

(49)

tidak sah. Akan tetapi ulama mazhab Syafi’I dan Maliki berpendapat bahwa “wasiat

tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat itu

mampu untuk berbicara dan baca tulis”.39

Kelompok ini berpendapat bahwa hukum wasiat itu adalah wajib. “Ulama

yang berpendapat seperti ini adalah ibn Hazm.”

D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim

Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis tentang wasiat diatas, para ulama telah

berbeda pendapat dalam menentukan hukum dasar dari wasiat. Dan beberapa literatur

yang penulis jumpai pendapat para ulama fikih tersebut dapat dikelompokkan kepada

beberapa kelompok.:

I. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah wajib.

40

Dalam pandangan ibnu Hazm, ayat

wasiat tersebut menemukan suatu kewajiban hukum yang defenitif bagi orang Islam

untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada krabat dekat yang bukan

ahli waris. Selanjutnya ia berpendapat, “jika orang yang meninggal gagal untuk

memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuat

wasiat atas namanya.” 41

“Ketika orang yang sudah meninggal tidak menuliskan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak termasuk ahli waris, maka pengadilan harus bertindak seolah-olah wasiat itu telah dibuat orang yang meninggal tersebut”.

Logika hukum dari pendapat ini menyatakan bahwa :

42

39

Mughniyah, Op.Cit. hal. 505

40

H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, 2008., hal 123.

41

Ibid.

42

(50)

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum dasar wasiat itu adalah tidak wajib

kecuali kepada orang yang berhutang, maka bagi orang yang berhutang wajib untuk

menuliskan wasiatnya, sedangkan bagi orang yang tidak berhutang maka kepadanya

tidak ada kewajiban untuk berwasiat, sebagaimana alasan ibn Munzir bahwa :

“sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk menunaikan amanat

kepada ahlinya, yang dimaksud amanat disini adalah hutangnya”.43

43

H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan. Op. Cit. hal. 10

II. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah tidak wajib

Kelompok ini menyatakan bahwa hukum dasar dari wasiat adalah tidak wajib.

Kelompok yang berpendapat seperti ini adalah jumhur ulama fukaha seperti Imam

Malik, as-Syafi’I, as-Sauri dan Abu Dawud dan ulama-ulama salaf lainnya, mereka

berargumentasi bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dipahami hanya mengandung

hukum sunah yang dikuatkan dengan tidak dijumpainya satu riwayat pun dari para

sahabat yang menunjukkan bahwa wasiat itu adalah wajib, sebagaimna pendapat

Imam al-Nakha’I yang dikutip oleh al-Qurtubi bahwa Rasullullah saw wafat dengan

tidak meninggalkan wasiat, walaupun Abubakar telah berwasiat, dengan demikian

berwasiat adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi jika tidak berwasiat juga tidak

(51)

Alasan yang lain bahwa wasiat itu tidak wajib adalah karena mayoritas para

sahabat dalam praktiknya tidak menjalankan wasiat terhadap hartanya, menurut

jumhur ulama bahwa kebiasaan seperti ini dinilainya adalah ijma sukuti.44

Hukum wasiat menurut ulama Syafi’i, ada 5:

Hukum wasiat sebagaimana diuraikan diatas adalah hukum menurut dasar

semula, namun jika ditinjau dari segi harta dan orang yang akan menerima wasiat

serta dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, hukum wasiat

tidak terlepas dari ketentuan ahkamul khamsah yaitu wajib, sunat, haram, mubah dan

makruh. Para ulama dari mazhab yang empat bahkan kalangan ulama Syiah terutama

mazhab Zaidiyah telah menggolongkan kepada hukum-hukum tersebut.

45

Wasiat yang hukumnya wajib adalah wasiat yang menetapkan tugas

menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya, seperti berwasiat dengan barang-barang

titipan, hutang-hutang. Wasiat seperti itu diperkirakan mewajibkan untuk

mengembalikan barang-barang tadi kepada pemiliknya, sebab jika tidak diwasiatkan yaitu Wajib, Haram, Makruh,

Sunat, Mubah.

44

Ijma Sukuti adalah ketika sebahagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengan memfatwakan atau mempraktikkannya, sedangkan sebahagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan juga tidak mengemukakan penentangannya. Ijma sukuti ini termasuk ijma I’tibari yaitu masih relatif, sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju, karena itu kedudukan ijma sukuti ini masih diperselisihkan. Jumhur Ulama menetapkannya bukan sebagai hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa ijma sukuti itu dapat dijadikan sebagai hujjah, apabila mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia berdiam diri itu karena takut atau mengambil muka atau lain sebaginya. Lihat Mukhtar Yahya, dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung, Al-Ma’arif,1986), hal. 65.

45

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 312/K/AG/2008 mengenai sengketa harta peninggalan antara anak angkat dengan saudara kandung orang tua angkat,

Lokasi yang digunakan dalam penelitian dan pengumpulan data adalah Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Adapun alasan kenapa melakukan penelitian dikarenakan obyek