Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999), 2009.
T E S I S
Oleh
SAHRIANI
077011084/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA
AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SAHRIANI
077011084/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)
Nama Mahasiswa : Sahriani Nomor Pokok : 077011084 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
(Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA) (
Anggota Anggota
Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999), 2009.
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
ABSTRAK
Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum krabat. Banyak pendapat tentang hukum dari wasiat ini. Antara lain, pendapat ulama Jumhur yaitu sunat hukumnya dan boleh untuk melakukan wasiat kepada siapa saja yang dikehendaki oleh si pemberi wasiat. Pendapat ibn Hazm mengatakan wasiat itu hukumnya wajib terutama untuk kaum krabat yang terhalang untuk mendapatkan warisan.
Berawal dari pemikiran ibn Hazm, maka muncul wasiat wajibah yaitu wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat, akan tetapi penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberikan putusan wasiat wajibah kepada kaum krabat tertentu. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara No. 51.K/AG.1999.
Wasiat wajibah yang diberikan Mahkamah Agung tersebut adalah untuk
saudara kandung non muslim. Padahal, wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang untuk dapat saling mewarisi.
Setelah diteliti dari data-data yang telah dikumpulkan, Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim berdasarkan pemahaman Al-Quran surah Al-Baqarah /2:180., artinya wasiat suatu hal yang menjadi kewajiban bagi pemilik harta apabila ia telah mendekati ajalnya. Menurut ibn Hazm, kewajiban ini ditujukan untuk ayah dan ibu (orang tua) dan karib krabat terutama yang tidak dapat mewarisi apabila si pewaris sebelumnya tidak berwasiat.
Pendapat ibn Hazm itulah jadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Pertimbangan lainnya untuk menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan. Serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.
Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas. Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim.
mengatur tentang peralihan kekayaan antar generasi dan kedudukan masing-masing kaum krabat.
Persoalannya adalah Apakah masih ada hakim di peradilan agama yang menggunakan fikih dengan syariah untuk memutus perkara diperadilan agama?. Jika masih ada, tentunya putusan yang dihasilkan oleh peradilan agama akan berbeda-beda, meskipun dalam perkara yang sama, sehingga tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menerbitkan suatu undang-undang sebagai pedoman bagi hakim peradilan agama dalam membuat keputusan bagi saudara kandung non muslim.
ABSTRACT
The last will is Islamic legacy law is place where the inter-generation relationship and the position of respective relatives can be accommodated. There are many opinions concerning this Islamic legacy law. According to the Jumhur Islamic scholars, it is sunat which means that the last will can be given to anybody desired by the will giver while Ibn Hazm argued that the will is wajib to give the will especially to the relatives who have constraint to receive the legacy.
The opinion of Ibn Hazm, resulted in the wasiat wajibah, a will whose implementation is not influenced or does not depend on the desire of the will giver but the judge as a government apparatus as an authority to force or decide to give the wasiat wajibah to a certain relative. This practice has been implemented by the Supreme Court of the Republic of Indonesia for the case No. 51.K.AG.1999.
The wasiat wajibah given by by the Supreme Court is for a non- Moslem brother of the same parents even though, in the Compilation of Islamic Law, its analogy is for adopted parents and the different religion is still on of the constraints to mutually inherit.
The result of the study on the collected data shows that the supreme Court gave the wasiat wajibah to a non-moslem brotherof the same parents was based on the understanding of Al-Quran surah Al-Baqarah 2:180 which means will is a must for the owner of property when he/she is dying. According to Ibn Hazm, this is compulsory to the ather or mother ( parents) and the relatives especially who cannot inherit if the property owner has not made his/her will.
This opinion of Ibn Hazm became the consideration for the supreme Court in the process of giving the wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parents whose share is equal to that of his Moslem brother of the same parents. The other consideration was that it is important to maintain the unity of the family and to accommodate the social reality in the plural Indonesian community consisting of various ethicities and faiths and the good things to meet the feeling of justice.
The provision of wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parent has given a new contribution in the restricted development of Islamic law in Indonesia, meaning, that a non-moslem heir still a person who are constrained to have is/her share from the heritage belonged to his Moslem brother of the same parents.
This is a positive step to show that Islamic las is exclusive and discriminative to the non- moslem because the Islamic law can give a protection and the feeling of justice to the non-moslems. The existence of the Islamic legacy law is an important aspect in the development of Islamic law in Indonesia because it regulated the inter generation property transfer and the position of respective relatives.
The question is whether or not there is a judge in the religious (Islamic) court who still uses fikih and syariah as the base to make a court decision in the religious (Islamic) court? There still is, the decision made by the judge in the religious (Islamic) court must be different, even in the same case, that there will be no legal certainty. Hence, the government and the legislative members need to issue a law as a guidance for the judges saerving in the religious (Islamic) court in making their decision for the non-moslem brother of the same parents.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarahkatuh
Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kepada kita semua kesehatan, Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG
YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 51 K/AG/1999)”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Program Studi Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam Penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan
pengarahan dan bantuan dari semua pihak maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing
yaitu kepada Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD selaku Ketua Komisi
Pembimbing Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA. Serta Bapak Notaris
Syahril Sofyan, SH, MKn, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing,
yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan demi kesempurnaan
Selanjutnya ucapan terima kasih atas semua bimbingan, bantuan dan
dorongan penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM & H.,Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,MSc. Selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas diberikannya penulis
kesempatan menjadi mahasiswi Sekolah Pascasarjana Program Studi
Magister Kenotariatan.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Selaku Ketua Program
studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum Selaku Sekretaris Program
studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak – Ibu Guru Besar dan Staff pengajar pada Program Studi Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada orang-orang yang saya sayangi Babah Saem Manurung dan Umi Siti
tersayang Bambang Sukmawijaya SE serta anak-anakku yang tercinta, Bobi
Pratama Wijaya, Dwiki Nugraha Wijaya, Dini Tria Anggraini, Alya Fadillah.
Yang telah memberikan doa, dorongan dan bantuan moril maupun materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya atas bantuan semua pihak semoga mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan khazanah baru dan
sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam perkembangan kewarisan Islam.
Medan, Agustus 2009 Wassalam
Penulis
SAHRIANI, SH 077011084
RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Sahriani
Tempat/Tgl. Lahir : Perhutaan Silau, 29 Januari 1970
Alamat : Jl. Pinang Mas 14/16 Blok Z. Perumahan Villa Palem Kencana- Medan – Binjai km. 11,5.
JenisKelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
II. ORANG TUA
Ayah : Saem Manurung
Ibu : Siti Asiyah
III. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
a. Tahun 1983 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Nomor 013850. Perhutaan Silau, Asahan
b. Tahun 1986 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Lanjut Pertama, di SMP Negeri 2 Kisaran.
c. Tahun 1989 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas, SMA Swasta Diponegoro Kisaran
d. Tahun 1994 : Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR ISTILAH ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 9
1. Kerangka Teori ... 9
2. Kerangka Konsepsi ... 18
G. Metode Penelitian ... 20
1. Spesifikasi Penelitian ... 20
2. Sumber Data ... 21
3. Alat Pengumpulan Data ... 22
BAB II KONSEP WASIAT DALAM HUKUM ISLAM ……... 23
A. Arti Dan Pengertian Wasiat ... 23
B. Dasar Hukum Wasiat ... 25
C. Syarat Dan Rukun Wasiat ... 28
D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim. ... 34
E. Batas Pelaksanaan Wasiat ... 41
F. Kedudukan Wasiat Dalam Hukum Islam ... 43
G. Kedudukan Wasiat Dalam KUHPerdata ... 45
BAB III WASIAT WAJIBAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM WARIS ISLAM ……… 49
A. Pengertian Wasiat Wajibah ... 49
B. Wasiat Wajibah Dalam Prospektif Fikih ... 52
C. Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam ... 55
D. Kelompok yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah ... 66
BAB IV ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 51 K/AG /1999... 67
A. Wasiat Wajibah Kepada Saudara Kandung Non Muslim Menurut Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 ... 67
B. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 ... 83
C. Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/1999. ... 96
D. Kedudukan Yurisprudensi Dalam Pembentukan Hukum ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114
A. Kesimpulan... 114
B. Saran ... 115
DAFTAR ISTILAH
Alagrabin : Kerabat Dekat
Adoptan atau adoptandus : Anak Angkat
Adoptie atau adopt : Pengangkatan Anak atau adopsi
Al-Laqith : Anak yang dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas
Al-musa bih : Harta yang diwasiatkan
Al-musa lah : Yang menerima wasiat
Al-mushaharah : Hasil perkawinan yang sah
Al-musi : Orang yang berwasiat
Al-qarabah : Hubungan kekerabatan atau keturunan
Array : Susunan urut data
Door echscheiding onbontden : Pecah karena perceraian
Eudomonisme atau Ulitarisme : Manfaat, keuntungan/kebahagiaan bagi
masyarakat
Extended family : Bentuk keluarga besar
Hak opsi : Memilih hak apa yang akan di berlakukan
terhadap harta warisan
Husnul Khatimah : Amal Kebaikan
Imperatif : Bersifat harus ditaati, mengikat dan memaksa
lawan dari persuasif rekomendatif.
Ittikhadzahu ibnan : Menjadikannya sebagai anak
Kafir Harbi : Orang kafir yang memusuhi islam
Law : Hukum atau undang-undang
Law of Rule : Supremasi Hukum
Legitime portie : Bagian mutlak dalam warisan
Library research : Penelitian kepustakaan
Luqata : Mengambil anak pungut, artinya pengangkatan anak yang belum dewasa.
Mafhum mukhalafah : Logika “a contracio” suatu metode pemahaman kalimat dengan menangkap makna dibalik yang tersirat
Mahram : Orang yang haram di nikahi
Maqashid : Pemeliharaan tujuan
Mashlahah : (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari
kata manfa’at atau lawan dari kata mafsadat (kerusakan)
Muhkamat : Jelas penetapan hukumnya
Maslahat : Kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar
Menisbahkan : Menghubungkan
Nasab : Nama keturunan
Nebis in idem : Gugatannya ditolak / tidak dapat diterima
Nuclear family : Bentuk keluarga inti
Political power : Kekuatan politik
Problem : Permasalahan
Qati : Pasti hukumnya
Rule : Kebijakan
Self evident : Kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik
Shighat : Lafal Ijab dan Kabul (ikrar)
Stare Decicis : Suatu azas bahwa keputusan hakim terdahulu harus diikuti oleh hakim yang memutus hukum kindan dalam perkara yang sama
Staatsblaad : Lembaran Negara
Tabanny : Anak angkat
Tarikh : Sejarah Islam
Testament : Surat wasiat
Tirkah : Harta peninggalan
Yudex facti : Putusan Hakim Sebelumnya
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penghalang tidak saling mewarisi menurut hukum waris Islam
adalah perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris. Penghalang mewarisi
ialah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi
harta peninggalan. Namun ketiadaan penghalang bukan berarti harus memberikan hak
waris kepada seseorang. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang -
penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.
Ahli waris yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli
waris) yang mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat
menggugurkan kelayakan mewarisi. Seperti karena ia pembunuh atau sebab berbeda
agama. Orang semacam ini disebut sebagai orang yang diharamkan mendapatkan
warisan, keberadaannya dianggap bagaikan tidak ada, dan dia tidak dapat
menghalangi ahli waris yang lainnya.1
1
Komite Fakultas Syariah Universitas Al – Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawarist
Penghalang mewarisi terbagi menjadi dua bagian :
I. Bagian yang telah disepakati.
Bagian yang telah disepakati para ulama sebagai penghalang-penghalang mewarisi
dimasukkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :
1. Berlainan agama
2. Perbudakan
3. Pembunuhan.
II. Bagian yang diperselisihkan.
Para ulama fikih telah bersepakat bahwa bagian ini merupakan penghalang mewarisi
harta peninggalan, namun perselisihannya hanya berada pada penamaan saja. Bagian
ini dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Yang disepakati sebagai penghalang, namun terjadi perselisihan dalam
penamaannya dengan mani (penghalang). Penghalang seperti ini adalah
murtad (keluar dari agama). Para ulama fikih sepakat bahwa murtad
merupakan penghalang mewarisi harta peninggalan.
2. Yang diperselisihkan dalam menghalangi mewarisi dan dalam
penamaannya sebagai mani (penghalang), adalah ketidak jelasan waktu
kematian dan berlainan Negara.
Penelitian tesis ini, hanya memfokuskan tentang berlainan agama yang
memperoleh pembagian harta warisan dari orang muslim. Para ahli fikih telah
bersepakat berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang
Dengan demikian non muslim tidak bisa mewarisi harta muslim dan seorang muslim
tidak dapat mewarisi harta non muslim. Sabda Nabi Muhammad saw sebagai
berikut :
“Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya
hak waris atas orang Islam” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Imam
Muslim)2
a. Ulama Jumhur tetap berpendapat terhalang mempusakai, lantaran
timbulnya hak mempusakai itu adalah sejak kematian orang yang
mempusakakan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta pusaka. Persoalan yang muncul dalam Hadits diatas adalah jika pewaris tersebut
awalnya beragama non muslim, kemudian ia beragama Islam. Tapi, setelah kematian
si pewaris tersebut harta peninggalannya belum dibagi-bagikan. Lantas, bagaimana
dengan ahli warisnya?. Ada beberapa pendapat ulama tentang kedudukan ahli
warisnya adalah sebagai berikut:
2
Moh.Machfudin Aladip, Terjemah Bulughul Maram,.Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al.
Padahal disaat kematian orang yang mewariskan, dia masih dalam
keadaan kafir, jadi mereka dalam keadaan berlainan agama.
b. Imam Ahmad berpendapat bahwa pewaris tersebut tidak terhalang
mempusakai, sebab predikat “berlainan agama” sudah hilang sebelum
pembagian harta pusaka.
c. Fuqaha’ aliran Imamiyah berpendapat bahwa harta peninggalan itu belum
menjadi milik ahli waris secara tetap sebelum dibagi-bagikan kepada
orang yang bersangkutan. Oleh karena itu ia tak terhalang mempusakai3
Hadits Nabi yang berbunyi :
“Tidak dapat saling mewarisi dua ahli waris yang berbeda-beda (Hadis
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Empat, kecuali Imam Turmudzi)”4
Berdasarkan pendapat kebanyakan jumhur ulama, maka orang-orang non
muslim satu sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak. Allah
swt berfirman, “…..Tidak ada sesudah kebenaran itu , melainkan kesesatan….”
(Yunus [10]:32). Hal ini dikarenakan tentang warisan antara orang tua dan anak
3
Fatchur Rahman, ilmu Waris, Penerbit PT. AlMa’Arif Bandung, 1975, hal. 98
4
ataupun sebaliknya, sudah disebutkan didalam kitab Allah secara umum (baik Taurat,
Injil, maupun Al-Quran). Dengan demikian, tidak sesuatu pun yang ditinggalkan,
melainkan sesuatu yang dikecualikan oleh syariat. Adapun sesuatu yang tidak
dikecualikan oleh syariat, tetap berada pada keumuman.5
Para ahli fikih bersepakat bahwasanya non muslim dapat saling mewarisi
satu sama lain ketika mereka berada pada satu kepercayaan, misalnya mereka
sama-sama beragama Nasrani. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, “Orang Islam tidak
boleh mewarisi harta orang kafir,” hadits ini memiliki arti bahwa non muslim
dapat saling mewarisi satu sama lain. Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan
ahli fikih.
Pengamalan dari keumuman hadits diatas, bila seseorang mati meninggalkan
anak laki-laki yang non muslim dari paman yang muslim, niscaya harta peninggalan
si mayit semuanya diberikan untuk paman, sehingga anak laki-laki yang non muslim
tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya. Begitu juga, bila seorang non
muslim meninggalkan anak laki-laki yang muslim dan paman yang non muslim,
maka seluruh harta peninggalan diwariskan kepada paman yang non muslim, dan
anak laki-laki simayit yang muslim tidak mendapatkan apa-apa dari harta
peninggalan ayahnya karena berlainan agama, antara anak dan orang tua.
6
5 Ibid
6
Ahli waris non muslim dapat saja menikmati harta warisan muslim dengan
cara pemberian wasiat wajibah. Seperti kasus sengketa warisan yang telah diputus
oleh Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999.
Hanya, Amar putusan tersebut diatas menimbulkan kontroversi karena tidak
ada satu dalil (nash) yang mengatur tentang pemberian wasiat wajibah bagi orang
yang berbeda agama. Dalam Kompilasi Huku m Islam (KHI) saja tidak ada mengatur
tentang wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama. Wasiat wajibah yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur tentang anak angkat dan
orang tua angkat, yang bunyinya adalah sebagai berikut :
(1). Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkatnya.
(2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.7
sederajat dengan yang diganti
Anak angkat dan orang tua angkat dalam KHI tersebut diatas seimbang dengan
kedudukan pergantian tempat dalam KHI, yang bunyinya sebagai berikut :
(1). Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
8
7
Pasal 209, Kompilasi Hukum Islam
8
Selain KHI, Undang Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 tahun 1946
tentang wasiat wajibah, tidak memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung
yang berbeda agama, tapi wasiat wajibah diberikan bagi cucu yang ayah atau ibunya
telah meninggal dunia lebih dahulu atau bersamaan waktunya dengan pewaris
(kakek/nenek mereka). Pasal 78 Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir nomor 71
tahun 1946, mengatur tentang kewajiban melaksanakan wasiat wajibah tersebut tanpa
tergantung perizinan ahli waris, kendatipun si pewaris tidak mewasiatkannya, setelah
dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang dan wasiat wajibah tersebut
harus didahulukan daripada wasiat-wasiat lainnya.9
1. Hak hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan
pewaris ?
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan
latar belakang tersebut, untuk mengkaji dasar-dasar hukum tentang pembagian harta
warisan saudara kandung yang muslim kepada non muslim dalam putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan judul penelitian : “ Pembagian Harta
Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektik Hukum Islam (Studi kasus
Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999)
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan (problem) yang
dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
9
2. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama?
3. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat wajibah
untuk orang yang berbeda agama ?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui hak-hak yang diperoleh saudara kandung non muslim
terhadap harta pewaris yang muslim
2. Untuk mengetahui dasar hukum wasiat wajibah yang membenarkan saudara
kandung non muslim memperolah harta dari pewaris yang muslim
3. Untuk mengetahui besarnya bagian harta warisan yang diperoleh bagi saudara
kandung non muslim melalui wasiat wajibah.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis dan
secara praktis.
1. Secara Teoritis
Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai pembagian
harta warisan orang yang berbeda agama dalam persfektif hukum Islam,
setidaknya tesis ini dapat menambah wawasan berfikir dan kajian pembaca
mengenai aturan dan besarnya bagian warisan terhadap saudara kandung yang
2. Secara Praktis
Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan,
ataupun setidaknya menjadi bahan acuan bagi para hakim, ulama,
cendikiawan muslim dalam menyelesaikan perselisihan mengenai pembagian
harta warisan terhadap saudara kandung yang berbeda agama dalam kaitannya
dengan Kompilasi Hukum Islam.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
“PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKETIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999)” ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain dalam judul dan permasalahan yang sama. Permasalahan ini perlu
dibahas, mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beragam agama
dan suku yang sangat rentan dengan persoalan warisan.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori
Para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal
dunia, baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan
periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali). Hal ini dapat
1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh
para ulama dan sarjana hukum Islam.
2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para sarjana
hukum Islam.
Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang
telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang
perempuan10
1. Anak laki-laki adalah :
Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut :
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
3. Bapak
4. Kakek shaih dan seterusnya keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.
10.Paman sekandung.
11.Paman sebapak
12.Anak laki-laki paman sekandung
10
13.Anak laki-laki paman sebapak
14.Suami
15.Orang laki-laki yang memerdekakan budak
Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan pancar laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas
5. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas
6. Saudara perempuan sekandung
7. Saudara perempuan sebapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Isteri
10.Orang perempuan yang memerdekakan budak.
Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh)
tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris
ashhabul furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka
menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka
disebut ahli waris ashabah.
Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga
bagiannya (fardh), ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal dengan sebutan ahli
waris dzawil al-arham.
Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak
perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat (1) KHI
dinyatakan bahwa ayah, anak laki-laki paman dan kakek (golongan laki-laki), juga
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) adalah
kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan
demikian tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang
ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum
Kewarisan Islam dalam KHI.11
a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim
dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam
peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa
diketahui hal ihwalnya.
Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan jika
memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :
b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan
keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal.
11
c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau
dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan
berhak waris.
d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud
adalah Berbeda agama, Membunuh, serta Menjadi budak orang lain.
Lajnah ulama Mesir mengemukakan,
Seperti halnya waladin dan aqrabin yang kafir, atau mereka mukmin tapi terhijab untuk mendapatkan warisan, misalnya ibnu Akhi (anak laki-laki dari saudara laki-laki) karena ada akhun (saudara laki-laki), atau kalau mereka termasuk dzawil arham.
Menurut Al-Qurthubi (1967:262), artinya :
………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya kafir atau hamba sahaya, dan bagi krabat yang tidak mendapatkan warisan.12
Suparman usman mengemukakan bahwa waladin dan aqrabin yang terkena mawani’ul irtsi karena kafir dan hamba sahaya masih dapat menerima harta warisan melalui wasiat wajibah, sedangkan mereka yang terkena mawani’ul irtsi karena pembunuhan tidak berhak menerimanya.13
Berdasarkan uraian diatas, yang berhak menerima wasiat wajibah adalah
mereka yang tidak mendapatkan harta peninggalan, baik karena dzawil ahram dan
mahjub yang orang tuanya atau mudlabihnya telah meninggal lebih dahulu dari
Sejak Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/1999, ketentuan wasiat
wajibah sudah mulai dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari kenyataan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan
bahwa ketentuan wasiat wajibah mulai memasyarakat. Wasiat wajibah menurut
Undang-Undang wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 tersebut telah dikodifikasi
kedalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal Pasal tertentu seperti tentang anak
angkat dan penggantian tempat.
Syaid Sabiq sebagaimana dikutip oleh Drs. Chairuman Pasaribu dan
Suhrawardi K. Lubis mengemukakan pengertian wasiat itu adalah pemberian
seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang diberi wasiat meninggal dunia.
Menurut ketentuan hukum Islam, bagi seseorang yang merasa dekat ajalnya dan ia
meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk
membuat wasiat bagi kedua orang tuanya (demikian juga bagi krabat yang lainnya),
terutama sekali apabila ia telah pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka
(kedua orang tuanya dan krabatnya) tidak cukup untuk keperluan mereka.
Menyangkut pelaksanaan wasiat ini harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1. Ijab kabul
2. Ijab kabul harus tegas dan pasti
3. Ijab kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan untuk itu
4. Ijab dan kabul tidak mengandung ta’liq………14
14
Ibid. hal 46
Ketentuan Al-Quran dan Hadits sebagaimana dikemukakan diatas, yang jelas
tergambar bahwa tidak mesti ada Kabul (penerimaan) dari pihak penerima wasiat,
hal tersebut dapat dipahamkan dari ungkapan hadits yang berbunyi : “Hak bagi
seseorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah
bermalam selama dua malam” , hal ini dipertegas lagi oleh ungkapan Umar “Tidak
berlalu bagiku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah saw, mengucapkan
hadits itu kecuali wasiatku selalu berada disisiku”.
Menurut pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum
sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa
dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.
Bahkan dalam praktiknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang
tidak dikehendaki dibelakang hari, sering wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta
authentik, yaitu diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau dihadapan notaris
atau disimpan dalam protokol notaris.15
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyebutkan persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi dalam perlaksanaan pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut :
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat
3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.16
15
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007., hal 47
16
Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan
dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau
dihadapan Notaris. 17
5) Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta
warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi
wasiat dari si meninggal, barulah kemudian (setelah dikeluarkan wasiat) harta
tersebut dibagikan kepada para ahli waris.
Orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah mereka yang tidak
mendapatkan bagian harta warisan dari pewaris. Sedangkan mereka yang
mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris tidak berhak untuk menerima
wasiat wajibah tersebut. Mengenai yang tidak mendapatkan warisan seperti
dikemukakan diatas masih bersifat umum.
17
Faktor-faktor yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan warisan adalah
karena :
1. terkena’ mawani’ul irtsi seperti perbudakan, pembunuhan dan perbedaan
agama
2. terkena’ hijab yakni karena ada ahli waris lain ia tidak menerima warisan.
3. termasuk kelompok dzawil arham, yaitu setiap krabat yang tidak termasuk
ashabul furudh atau ashabah
Penegasan mengenai yang berhak menerima wasiat wajibah dapat dilihat dari
pernyataan Hasanain Muhammad Makhluf (1958:21) mengatakan :
“….maka wajiblah wasiat bagi kedua orang tua apabila keduanya tidak menerima warisan, misalnya ada perbedaan agama. Demikian pula bagi krabat yang tidak menerima warisan, sepert karena hamba sahaya, kufur, atau terhijab untuk menerima warisan, yaitu dari keturunan anak yang meninggal dunia pada saat saat bapaknya masih hidup “18
18
Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Op. Cit., hal 174
Penelitian maupun pembahasan tentang wasiat telah banyak dilakukan oleh
para peneliti maupun para pakar dibidang fikih terdahulu baik dalam bentuk buku
yang sekaligus merupakan bagian dari pembahasan fikih mawaris. Penelitian tentang
wasiat wajibah cukup menarik terutama setelah lahirnya putusan Mahkamah Agung
No. 51 K/AG/1999 yang kontroversial karena berlainan dengan pemikiran
Bahan kajian terdahulu yang pembahasannya erat kaitannya dengan judul tesis
ini antara lain, artikel berjudul: Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan (Suatu
Telaah Atas Pembaharuan Hukum Islam), yang didalam isinya menguraikan tentang
kedudukan anak angkat dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang
mendapat warisan dengan jalan wasiat wajibah dengan ketentuan besarnya maksimal
sepertiga dari harta warisan. Ketentuan ini diberikan apabila sebelumnya si pewaris
tidak melakukan wasiat terhadap anak atau orang tua angkatnya tersebut. Produk
hukum seperti ini adalah merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia.19
Dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180
Beberapa penelitian dan tulisan diatas nampak belum ada penelitian yang
membahas tentang wasiat wajibah kepada ahli saudara kandung non muslim.
2. Kerangka Konsepsi
20
19
Pagar,”Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan. Suatu Telaah Atas Pembaharuan Hukum Islam Indonesia,”dalam Mimbar Hukum no. 54 Tahun 2001, hal.. 14
20
Quran dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya “Diwajibkan atas kamu , apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib krabatnya secara ma’ryf (ini adalah) keweajiban atas orang-orang yang bertakwa.
dapat dipahami bahwa
kewajiban berwasiat adalah dengan ketetapan agama yang harus dilaksanakan dan
bukan karena keputusan hakim, namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat
negara yang mempunyai kekuasaan di dalam satu pemerintahan, mempunyai hak dan
putusan wajib wasiat, yang dikenal dengan istilah “wasiat wajibah” kepada orang
tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.
Konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk krabat.
Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah buku rangkuman dari tiga buku yang
berisikan : Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan
dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum berlangsungnya
perkawinan. Harta bawaan dapat menjadi harta warisan jika tidak ada perjanjian
kawin. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.
Berlainan agama adalah berlaianan agama yang menjadi kepercayaan, antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya, agama orang yang
bakal mewarisi bukan Islam, baik agama Nasrani maupun agama atheis yang tidak
mengakui agama yang hak, sedang agama orang yang bakal diwarisi harta
peninggalannya adalah Islam.
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
Ahli Waris adalah Orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua
angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atas anak
angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif, karena tesis ini
didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan dengan jalan mengumpulkan
data skunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan
hukum tertier.
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat dilihat
merupakan suatu “penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan
menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek
pelaksanaannya”.21
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu
baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data
tersebut terdiri dari :
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang
berbeda terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan ahli waris dan pembagian warisan terahadap saudara
kandung yang berbeda agama.
2. Bahan hukum skunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer, berupa
hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, buku-buku fikih
yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan, buku tafsir
Al-quran serta artikel-artikel, baik yang berdasarkan civil law maupun common law
yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan skunder.
21
3. Alat Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan Studi dokumen, yaitu untuk
melakukan penelitian dokumen yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 51K/AG/1999
4. Analisis Data
Penelitian ini berusaha untuk mendiskripsikan dan menganalisa secara kritis
dan mendalam tentang wasiat wajibah untuk saudara kandung non muslim dalam
posisi hukum waris Islam dan hukum positif di Indonesia dengan pendekatan
penelitian perbandingan hukum, menurut Bambang Sunggono bahwa setiap kegiatan
ilmiah lazim menerapkan metode perbandingan dimana sebelum penelitian
mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan diteliti dan hal itu
berarti adalah menerapkan metode perbandingan. Sehingga masalah yang dianggap
paling penting yang akan diteliti. Berdasarkan metode ini, maka penulis untuk
melakukan penelitian tesis dengan membandingkan antara konsep wasiat wajibah
BAB II
KONSEP WASIAT DALAM HUKUM ISLAM
A. Arti Dan Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa adalah “menyampaikan, menyambungkan” yang
artinya “menyambungkan” karena pewasiat menyambungkan kebaikan dunianya
dengan kebaikan akhiratnya22
1. Menjadikan,
.
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, secara etimologi mempunyai beberapa
macam arti, antar lain :
Artinya; Aku menjadikan harta untuk si Pulan
2. Menaruh kasih sayang,
Artinya ; Aku menaruh kasih sayang untuk puteranya
3. Menyuruh,
Artinya ; Aku menyuruhnya untuk mengerjakan shalat
4. Menghubungkan
Dikalangan fukaha sunni seperti kelompok pro syafi-iyah mendefenisikan
pengertian wasiat dengan pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap
harta miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya
kematian sipemberi wasiat.
22
Kelompok Hanabilah menambahkan defenisi tersebut dengan pemberian yang
tidak melebihi 1/3 harta yang hal ini juga disepakati kelompok Malikiyah dan
Hanafiyah.23
Hazairin sependapat dengan sunni; menetapkan keharusan wasiat dalam situasi khusus terhadap ahli waris seperti ahli waris yang lebih memerlukan harta (karena sakit parah, biaya pendidikannya, dan lain sebagainya) dimana selain ia akan menerima harta waris, ia juga dapat menerima wasiat sebesar tidak lebih dari 1/3 harta sebagai tambahan bagi dirinya karena keperluannya lebih banyak.
24
Ulama mazhab Hambali berpendapat wasiat adalah menyuruh orang lain agar melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, seperti berwasiat kepada seseorang agar memelihara putera-puteranya yang masih kecil, atau mengawinkan puteri-puterinya atau membagikan sepertiga hartanya dan lain sebagainya25
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadis, VI, Tintamas, Jakarta, 1982, hal. 57-58
25
Zainuddin. Op.Cit. hal. 293
26
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Lingkungan Peradilan agama (Jakarta . Yayasan Al-Hikmah, 1973). hal. 348
Defenisi wasiat diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa wasiat adalah
merupakan penyerahan harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang kepada
pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Disinilah perbedaan
antara perpindahan kepemilikan harta dengan jalan wasiat dan perpindahan
Perbedaaan tersebut pada akad tentang cara pemindahan harta tersebut.
Meskipun akad wasiat dibuat pada saat sipemberi wasiat masih hidup, tapi menurut
hukumnya wasiat tersebut baru dilaksanakan setelah orang yang berwasiat meninggal
dunia. Artinya, selama si pewasiat masih hidup, wasiat itu tidak dapat dilaksanakan
dan akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek apapun bagi perpindahan hak milik
kepada orang yang diberi wasiat, sedangkan pada akad jual beli , hibah, serta sewa
menyewa, akadnya serta merta tanpa harus menunggu pihak penjual, penghibah atau
yang menyewakan meninggal dunia terlebih dahulu.
B. Dasar Hukum Wasiat
Dasar hukum wasiat dalam Syari’at Islam, menurut para ahli fikih antara lain :
a. Dalil dalam Alquran
Kewajiban bagi seseorang yang akan meninggal dunia untuk menyampaikan
wasiat kepada ibu dan bapak atau kaum krabat lainnya dapat ditemukan ketentuannya
Artinya :
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib krabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Quran Surat Al-Baqarah).27
Artinya : Hai orang-orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil diantara kamu , atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu ditimpa bahaya kematian
Ayat ini memberikan penegasan bahwa seseorang yang hendak (akan)
meninggal dunia mestilah ia meninggalkan wasiat menyangkut harta yang ia miliki,
ayat ini juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum (wajibnya) wasiat wajibah,
terutama sekali kepada ahli waris yang penghubungnya dengan pewaris terputus,
sehingga mereka menjadi terdinding disebabkan oleh ahli waris yang lain, seperti
kasus cucu yang terdinding untuk mendapatkan harta warisan dari datuk (kakeknya)
dikarenakan oleh pamannya (saudara kandung ayahnya) masih ada.
Surat al-Maidah/5: 106
28
Artinya : “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya), akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka”
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahannya. (Jakarta Departemen Agama RI, 1980), hal. 44
28
Ibid, hal. 181
29
Dari uraian ayat-ayat diatas menunjukkan secara jelas mengenai hukum
wasiat serta tehnik pelaksanaannya dan materi yang menjadi objek wasiat. Namun
dapat dipahami adanya perbedaan pendapat dari para ulama dalam memahami dan
menafsirkan ayat-ayat wasiat diatas yang berimplikasi pada perbedaan dalam
menentukan hukum wasiat.
b. Sunnah
Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ibnu Umar
Artinya :
Rasulullah saw bersabda “Bukanlah hak seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya. (H.R Bukhari Muslim).
Hadis riwayat ibn Majah dari Jabir
Artinya :
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa meninggal dan Berwasiat, maka ia mati pada jalan dan sunnah, meninggal pada jalan taqwa dan persaksian dan juga meninggal dalam keadaan diampuni (dosa-dosanya)”
c. Ijma
Perjalanan sejarah umat Islam, dimulai sejak masa Rasulullah hingga
sekarang kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan wasiat adalah merupakan syari’at
Allah dan RasulNya sehingga mereka banyak melakukan wasiat, perbuatan seperti itu
tidak pernah diingkari oleh siapapun, ketiadaan pengingkaran seseorang adalah
menunjukkan adanya ijma30
30
C. Syarat Dan Rukun Wasiat
Para ulama telah bersepakat bahwa “pemberian wasiat kepada ahli waris
hukumnya adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah SWT
telah membagikan faraid.”31
“Wasiat untuk selain ahli waris hukumnya boleh dan sah dengan jumlah maksimal, sepertiga dari harta waris atau kurang dari 1/3 . Namun apabila ahli waris membolehkan wasiat melebihi dari ketentuan sepertiga bagian, yang demikian sah saja karena mereka mempunyai hak untuk memutuskannya. Akan tetapi bila mereka tidak menghendaki, niscaya ketentuan yang melebihi bagian sepertiga menjadi gugur”.
Maka pembagian wasiat untuk ahli waris dikategorikan
sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, karena wasiat itu akan memberikan
tambahan kepada sebagian ahli waris yang telah diberikan harta waris kepadanya.
32
Menyangkut pelaksanaan wasiat ini menurut beberapa penulis harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: pemberi wasiat (al-musi), penerima wasiat
(al-musa lahu), barang yang diwasiatkan (al-musa bihi) dan sighat atau pernyataan
ijab dan kabul 33
Orang yang memberi wasiat menurut kalangan ulama mazhab Hanafi
mempunyai beberapa persyaratan yaitu orang yang cakap memberikan milik kepada
orang lain, seperti dewasa, berakal sehat, tidak mempunyai hutang yang
menghabiskan seluruh hartanya, tidak main-main dan tidak ada paksaan, bukan budak
1. Pemberi Wasiat
31
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Mesir, Op.Cit. hal. 73
32
Ibid. hal. 74. 33
dan pada waktu berwasiat tidak tersumbat mulutnya. Apabila pemberi wasiat itu
orang yang kurang kecakapannya, karena ia masih anak-anak, gila, hamba sahaya,
karena dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya tidak sah. 34
1. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat
Sayyid Sabiq berpendapat bahwa orang yang lemah akal, orang dungu dan
orang yang menderita penyakit epilepsi yang terkadang sadar, diperbolehkan untuk
berwasiat dengan ketentuan dia mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang
mereka wasiatkan, demikian pula anak kecil bila dia mengetahui apa yang
diwasiatkan.
Argumentasi lain tentang kebolehan hal tersebut menurut para fukaha adalah
kenyataan wasiat tidak sama dengan muamalah pada umumnya yang akadnya itu
mempertukarkan sesuatu dan kemungkinan merugikan disamping kadang
menguntungkan kepada salah satu pihak, wasiat tidak mungkin merugikan orang
yang berwasiat dan tidak mungkin merugikan orang yang diberi wasiat.
2. Penerima Wasiat
Syarat-sayarat bagi orang yang diberi wasiat menurut Sayyid Sabiq adalah
sebagai berikut :
2. Orang yang diberi wasiat itu hidup diwaktu wasiat dilaksanakan baik hidup secara benar-benar ataupun hidup secara perkiraan. Misalnya bila dia mewasiatkan kepada anak yang masih dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat itu diterima.
34
3. Disyaratkan agar orang yang menerima wasiat tidak membunuh orang yang membunuhnya. Apabila orang yang deberi wasiat membunuh orang yang memberinya diharamkan secara langsung, maka wasiat itu batal baginya, sebab orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu 35
Menurut ulama dari kalangan mazhab Hanafi bagi orang yang menerima
wasiat harus mempunyai syarat-syarat antara lain:
1. Mempunyai keahlian memiliki, jadi tidak sah wasiat kepada orang yang tidak
bisa memiliki.
2. Orang yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkannya ijab
wasiat, meskipun dalam perkiraan.
3. Orang yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan kepada orang
yang memberi wasiat, baik pembunuhan yang disengaja maupun karena
kesilapan
Para ulama telah sepakat tentang sahnya wasiat kepada anak yang masih
dalam kandungan, dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, dan sepakat
tentang sahnya wasiat untuk kepentingan-kepentingan umum, akan tetapi terdapat
perbedaan pendapat dalam hal si penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari
pada si pemberi wasiat, mengenai hal ini mazhab yang empat (Syafi-iyah, Hanabilah,
Malikiyah, Hanafiyah.) sepakat bahwa apabila si penerima wasiat mati sebelum
35
meninggalnya si pewasiat, maka wasiat itu batal, sebab wasiat adalah pemberian,
sedangkan pemberian kepada orang yang telah mati adalah tidak sah.
Berbeda dengan pendapat mazhab Syiah Imamiyyah, mereka berpendapat :
“Jika penerima wasiat meninggal dunia lebih dahulu dari pemberi wasiat dan pemberi wasiat tidak menarik kembali wasiatnya, maka ahli waris penerima wasiatnya menggantikan kedudukannya dan menggantikan perannya dalam menerima dan menolak wasiat”.36
a. Benda yang diwasiatkan itu bernilai suatu harta yang sah secara syara’
3. Barang yang Diwasiatkan
Para fuqaha menyatakan bahwa syarat sesuatu benda itu dapat diwasiatkan
antara lain:
b. Benda yang diwasiatkan itu adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik
berupa materi maupun manfaat. Para ulama sepakat dalam masalah ini namun
berbeda pendapat dalam hal wasiat berupa manfaat suatu benda sementara
bendanya sendiri tetap menjadi milik si pewasiat atau keluarganya. Sayyid
Sabiq menegaskan bahwa :
“Mengenai semua harta yang bernilai baik berupa barang ataupun manfaat adalah sah, dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada dalam perut sapi betina”.37
c. Harta yang diwasiatkan tidak melebihi sepertiga harta si pewasiat, dan ini
telah disepakati oleh para ulama.
36
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari Hanafi MIiki Syafi’i Hambali. terj. Masykur A.b. dkk. Jakarta: Lentera, 2004. hal. 509-510.
37
4. Redaksi atau Sighat Wasiat
Ulama ahli fiqih menetapkan bahwa:
“sighat ijab dan kabul yang dipergunakan dalam melaksanakan wasiat dapat menggunakan redaksi (sighat) yang jelas (sarih) dengan kata-kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu sarih), karena menurut mereka bahwa wasiat adalah akad yang boleh (jaiz) dalam arti bahwa wasiat itu dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh si pemberi wasiat”.38
Imam Syafi’i diriwayatkan bahwa kabul (penerimaan) tidak menjadi syarat
sahnya wasiat karena menurut Imam Syafi’I bahwa tidak dipandang menerima atau
menolak seseorang yang diberi wasiat ketika masih hidupnya si pewasiat. Walaupun
Hal ijab, jumhur ulama telah sepakat bahwa ijab adalah merupakan salah satu
syarat dan rukun wasiat. Apakah ijab itu dilakukan secara lisan maupun secara
tertulis bahkan bisa dilakukan dengan isyarat yang bisa dipahami. Tetapi hendaknya
ketika ijab itu dilakukan hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi, apalagi bila
dikaitkan dengan konteks kehidupan saat ini yang paling tepat ijab wasiat itu
dilakukan secara tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Hal ini
diperlukan antara lain untuk memudahkan pembuktian kelak apabila terjadi
sengketa tentang wasiat tersebut.
Tentang kabul ( penerimaan dari pihak yang diberi wasiat), para ulama telah
berbeda pendapat apakah kabul itu merupakan salah satu rukun atau syarat wasiat
atau bukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa ijab dan Kabul itu merupakan
syarat dan rukun wasiat, yang berpendapat seperti ini adalah ulama kalangan mazhab
Maliki, Imam Malik telah menganalogikan wasiat itu sama dengan hibah.
38
dia menyatakan menerima wasiat pada waktu pewasiat masih hidup dia bisa saja
menyatakan penolakannya pada saat setelah meninggalnya si pewasiat dan juga
sebaliknya apabila dia menyatakan menolak pada saat si pewasiat masih hidup, maka
bisa saja dia menerima pada saat si pewasiat sudah mati karena wasiat tidak wajib
kecuali setelah meninggalnya si pewasiat.
Ulama yang menjadikan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun wasiat
menyatakan bahwa kabul dari pihak si penerima wasiat, tidak diisyaratkan segera
setelah ijab dilakukan, menurut mereka kabul baru dianggap sah apabila diucapkan
oleh orang yang menerima wasiat setelah orang yang memberi wasiat meninggal
dunia.
Kabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila
penerima wasiat itu adalah anak kecil atau orang gila, maka kabul wasiat itu harus
diwakili oleh kuasa atau yang menjadi walinya.
Ulama fikih juga sepakat tidak mensyaratkan kabul apabila wasiat itu
ditujukan untuk kepentingan umum, seperti untuk mesjid dan panti-panti asuhan.
Sebagaimana Sayyid Sabiq telah mengemukakan jika wasiat itu tidak tertentu seperti
untuk mesjid, tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit, maka wasiat yang
demikian ini tidak memerlukan Kabul, cukup ijab saja dari orang yang memberikan
wasiat, sebab wasiat yang demikian disamakan dengan sadaqah.
Wasiat melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama mazhab Hanafi dan
mazhab Hambali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu dan tidak
tidak sah. Akan tetapi ulama mazhab Syafi’I dan Maliki berpendapat bahwa “wasiat
tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat itu
mampu untuk berbicara dan baca tulis”.39
Kelompok ini berpendapat bahwa hukum wasiat itu adalah wajib. “Ulama
yang berpendapat seperti ini adalah ibn Hazm.”
D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim
Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis tentang wasiat diatas, para ulama telah
berbeda pendapat dalam menentukan hukum dasar dari wasiat. Dan beberapa literatur
yang penulis jumpai pendapat para ulama fikih tersebut dapat dikelompokkan kepada
beberapa kelompok.:
I. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah wajib.
40
Dalam pandangan ibnu Hazm, ayat
wasiat tersebut menemukan suatu kewajiban hukum yang defenitif bagi orang Islam
untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada krabat dekat yang bukan
ahli waris. Selanjutnya ia berpendapat, “jika orang yang meninggal gagal untuk
memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuat
wasiat atas namanya.” 41
“Ketika orang yang sudah meninggal tidak menuliskan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak termasuk ahli waris, maka pengadilan harus bertindak seolah-olah wasiat itu telah dibuat orang yang meninggal tersebut”.
Logika hukum dari pendapat ini menyatakan bahwa :
42
39
Mughniyah, Op.Cit. hal. 505
40
H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, 2008., hal 123.
41
Ibid.
42
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum dasar wasiat itu adalah tidak wajib
kecuali kepada orang yang berhutang, maka bagi orang yang berhutang wajib untuk
menuliskan wasiatnya, sedangkan bagi orang yang tidak berhutang maka kepadanya
tidak ada kewajiban untuk berwasiat, sebagaimana alasan ibn Munzir bahwa :
“sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk menunaikan amanat
kepada ahlinya, yang dimaksud amanat disini adalah hutangnya”.43
43
H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan. Op. Cit. hal. 10
II. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah tidak wajib
Kelompok ini menyatakan bahwa hukum dasar dari wasiat adalah tidak wajib.
Kelompok yang berpendapat seperti ini adalah jumhur ulama fukaha seperti Imam
Malik, as-Syafi’I, as-Sauri dan Abu Dawud dan ulama-ulama salaf lainnya, mereka
berargumentasi bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dipahami hanya mengandung
hukum sunah yang dikuatkan dengan tidak dijumpainya satu riwayat pun dari para
sahabat yang menunjukkan bahwa wasiat itu adalah wajib, sebagaimna pendapat
Imam al-Nakha’I yang dikutip oleh al-Qurtubi bahwa Rasullullah saw wafat dengan
tidak meninggalkan wasiat, walaupun Abubakar telah berwasiat, dengan demikian
berwasiat adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi jika tidak berwasiat juga tidak
Alasan yang lain bahwa wasiat itu tidak wajib adalah karena mayoritas para
sahabat dalam praktiknya tidak menjalankan wasiat terhadap hartanya, menurut
jumhur ulama bahwa kebiasaan seperti ini dinilainya adalah ijma sukuti.44
Hukum wasiat menurut ulama Syafi’i, ada 5:
Hukum wasiat sebagaimana diuraikan diatas adalah hukum menurut dasar
semula, namun jika ditinjau dari segi harta dan orang yang akan menerima wasiat
serta dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, hukum wasiat
tidak terlepas dari ketentuan ahkamul khamsah yaitu wajib, sunat, haram, mubah dan
makruh. Para ulama dari mazhab yang empat bahkan kalangan ulama Syiah terutama
mazhab Zaidiyah telah menggolongkan kepada hukum-hukum tersebut.
45
Wasiat yang hukumnya wajib adalah wasiat yang menetapkan tugas
menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya, seperti berwasiat dengan barang-barang
titipan, hutang-hutang. Wasiat seperti itu diperkirakan mewajibkan untuk
mengembalikan barang-barang tadi kepada pemiliknya, sebab jika tidak diwasiatkan yaitu Wajib, Haram, Makruh,
Sunat, Mubah.
44
Ijma Sukuti adalah ketika sebahagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengan memfatwakan atau mempraktikkannya, sedangkan sebahagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan juga tidak mengemukakan penentangannya. Ijma sukuti ini termasuk ijma I’tibari yaitu masih relatif, sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju, karena itu kedudukan ijma sukuti ini masih diperselisihkan. Jumhur Ulama menetapkannya bukan sebagai hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa ijma sukuti itu dapat dijadikan sebagai hujjah, apabila mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia berdiam diri itu karena takut atau mengambil muka atau lain sebaginya. Lihat Mukhtar Yahya, dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung, Al-Ma’arif,1986), hal. 65.
45