• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

B. Penyajian Data dan Analisis

4) Hukum dalam jual beli barang fashion palsu

“saya tidak tau dek apa itu, yang dari pemerintah kalau masalah larangan, asal diganti barang lain saya mau dek. Kalau misalkan ada larangan gimana dong dek? Nanti saya mau jualan apa dong? Apalagi ini satu-satunya jualan saya”.77

Hal serupa juga dikatakan oleh Bu Holiq:

“harus ada musyawarah dengan pedagang dek, nanti kan bisa ngomong secara baik-baik, apa pemerintah tega membunuh pedagang kecil seperti kami”.78

Demikian juga Bu Suti berpendapat:

“tidak tau tentang hukum-hukum saya nduk, pokok jualan aja laku, kenapa bukan sales aja nduk yang kena kan salesnya yang bawa kesini nduk”.79

Dengan demikianjika penjualan barang palsu dihentikan karena melanggar hukum, seperti menurut ibu Sutik selaku pengguna barang fashion palsu serta pemilik usaha konveksi jahitan baju, mengatakan:

“kalau barang palsu di hentikan produksinya atau ditarik dari dari pasaran banyak pedagang menganggur karena banyak pedagang yang terbantu beban ekonomi karena beerjualan barang palsu tersebut”.80

Hal serupa disampaikan oleh sofi selaku pencinta barang fashion palsu:

“tidak setuju saya mbak, karena untuk anak muda seeperti saya pasti butuh barang kayak gitu kalaupun

77Mbak Su, Wawancara, Jember, 21 Januari 2018.

78Bu Holiq, Wawancara, Jember, 21 Januari 2018.

79Bu Suti, Wawancara, Jember, 21 Januari 2018.

80Bu Sutik, Wawancara, Jember, 22 Januari 2018.

melanggar hukum seharusnya pihak produksi yang harus bertanggung jawab terhadap pemilik merek tersebut”.81 Seperti yang dikatakan oleh Selfi:

“kalau pun barang palsu melanggar hukum barang yang asli pun tidak akan laku dan juga saya sebagai orang desa tidak akan tertarik untuk membeli apalagi kebanyakan dari kita orang desa tidak akan peduli dengan merek”.82 Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa sekalipun barang palsu ditarik dari pasaran karena melanggar hukum tidak akan berpengaruh buat pemakainya, paling tidak pedagang yang tertindas.

b. Jual beli barang fashion palsu menurut Undang-Undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek

Dalam suatu negara, perlindungan hukum merupakan persoalan penting dan mendesak untuk dibicarakan. Mengingat adanya perlindungan barang fashion original memiliki lisensi hak merek akan tapi dengan mudahnya banyak yang memalsukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Merek (Trademark) merupakan definisi hukum yang memberikan perlindungan dan upaya pemulihan jika suatu tanda perdagangan digunakan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk itu.

81Sofi, Wawancara, Jember, 22 Januari 2018.

82Selfi, Wawancara, Jember, 22 Januari 2018.

Seperti yang dikatakan oleh mbak Su bahwa:

“Saya kurang tau dek barang palsu itu yang gimana saya gak paham. Pokok saya jualan aja dek”.83

Bahkan ketidaktahuan hukum tentang larangan penjualan barang palsu sangat minim bagi sebagian penjual. Wardah selaku penjualpun berkata demikian:

“saya tau tapi tidak setuju kalau ada larangan gitu mbak, soalnya saya sebagai pedagang tidak bisa bertindak apa-apa apa-apalagi barang tersebut kiriman dari sales”.84

Ketidaktahuan seperti ini menjadi penyebab semakin berkembangnya peredaran barang-barang palsu tersebut. Padahal pemilik hak terdaftar dapat menggugat tuntutan ganti rugi terhadap orang yang menggunakan merek dengan persamaan yang menonjol baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut. Gugatan terhadap pelanggaran merek oleh penerima lisensi merek terdaftar seperti tercantum dalam Pasal 76hingga Pasal 78 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001Tentang Merk.

Penjelasan dalam pasal 76 bahwa jenis bentuk tuntutan gugatan ganti rugi atas pelanggaran berupa pemalsuan merek terdaftar, dimana ganti rugi dapat berupa uang dan tuntutan penggunaan merek dengan tanpa hak. Gugatan atas pelanggaran merek terdaftar memerlukan

83Mbak Su, Wawancara, Jember, 20 Januari 2018.

84Wardah, Wawancara, Jember, 20 Januari 2018.

badan peradilan khusus yaitu ke Pengadilan Niaga agar penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat.

Pasal 77 bahwa gugatan dapat dilakukan oleh pemilik merek yang bersangkutan maupun secara bersama-sama.

Pasal 78 bahwa, hakim dapat menghentikan tergugatproduksi perdagangan guna mencegah semakin luasnya peredaran merek, bahkan dituntut menyerahkan barang yang tanpa hak.

Penerima lisensi merek berhak menuntut ganti rugi kepada orang lain yang menggunakan mereknya tanpa hak untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Kebutuhan untuk melindungi merek terdaftar terhadap tindakan pemalsuan merek menjadi sangat penting karena hal itu dapat merugikan semua pihak, tidak saja pemilik merek berhak, tetapi juga konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa.

Berbeda dengan Bahrul selaku pemilik toko yang paham akan peredaran barang palsu bahwa sebenarnya tidak boleh diedarkan lagi akan tetapi ada saja oknum yang memproduksi barang tersebut. Dia menyampaikan bahwa:

“sebenernya kan sudah tidak boleh diedarkan mbak, tapi tetep dijual. Saya tau gini karena baca info dari internet, baca berita soalnya kalau barang kw diedarkan nanti yang ori tidak laku mbak. Tidak setuju saya mbak nanti pasti ada lagi yang jual meskipun sudah dilarang”.85

Hal serupa disampaikan oleh sofi selaku pencinta barang fashion palsu:

85Bahrul, Wawancara, Jember, 20 Januari 2018.

“tidak setuju saya mbak, karena untuk anak muda seeperti saya pasti butuh barang kayak gitu kalaupun melanggar hukum seharusnya pihak produksi yang harus bertanggung jawab terhadap pemilik merek tersebut”.86

Dengan begitu pihak produksi barang fashion palsu harus membuat pertimbangan agar usahanya tetap diterima oleh masyarakat.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang berbunyi:

Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Padahal sudah jelas pihak merek dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya atau mendaftarkan merek yang akan diproduksi agar tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini juga dapat menjerat pihak-pihak yang beriktikad tidak baik yang dengan tanpa sengaja memproduksi dan/atau memperdagangkan barang palsu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 hingga Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Di dalam Pasal 90 hingga 93 sudah dijelaskan bahwa kepada siapa saja yang menggunakan merek dengan memproduksi atau memperdagangkan tanpa hak akan dikenai pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun mupun denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan, pengunaan tanda yang sama atau sejenis

86Sofi, Wawancara, Jember, 20 Januari 2018.

secara keseluruhan dengan indikasi-geografis maka pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Di dalam Pasal 94 jika seseorang atau badan hukum yang diketahui memperdagangkan barang dan/jasa akan dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,000 (dua ratus juta rupiah).

Dengan adanya sanksi pidana maupun denda diharapkan kepada pihak produsen lebih berhati-hati lagi dalam menjiplak suatu merek.

c. Praktek jual beli barang fashion palsu menurut pandangan Hukum Islam

Di dalam jual beli barang, jumhur ulama menyatakan rukun jual beli itu ada empat, yaitu:87

a) Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)

b) Ada shighat (lafal ijab dan qabul) c) Ada barang yang dibeli

d) Ada nilai tukar pengganti barang.

87Lihat hal 17,Rukun dan syarat jual beli.

Mengenai barang yang diperjual belikan dalam jual beli barang fashion palsu memang ada barang barang yang dijual penjual kepada pembeli tapi disini yang menjadi masalah adalah barang fashion palsu, yang mana barang yang dijual tidak ada izin dari pemilik barang atau pemegang lisensi merek itu sendiri.

Dari sini peneliti mengambil kesimpulan bahwa jual beli barang fashion palsu merupakan jual beli fudhul dimana barang fashion palsu yang dijual oleh para pedagang menjualnya tanpa ada izin dari pemilik barang atau pemegang lisensi merek sehingga ditegaskan bahwa jual beli fudhul tidak sah. Selain itu, jual beli seperti ini juga termasuk membohongi dan menipu publik bahkan termasuk meyelisihi aturan pemerintah. Maka dari itu sebagai konsumen kita harus bisa membedakan atau bertanya kepada penjual, begitu juga penjual harus menjelaskan bahwa yang dijual adalah barang palsu.

Karena, kejujuran adalah penyempurna iman dan pelengkap keislaman seseorang agar dapat menghindari perilaku buruk dan menyakiti kaum muslimin semacam itu untuk menghindari perbuatan tidak terpuji.

Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surah AL-Ahzab ayat 58:



























Artinya:“Dan orang-orang yang menyakiti orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka

sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 58).

Selain jual beli fudhul, jual beli barang fashion palsu dilarang sebab Ma’qud’Alaih. Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud’alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, dan tidak bersangkutan dengan milik orang lain. Dalam jual beli barang fashion palsu yang terjadi di pasar Sempolan, ada dua jenis transaksi yang melibatkan dari sifat ma’qud‘alaih. Pertama, penjual hanya menjual barangnya saja dan pembeli memang menginginkan barang tersebut, yang mana barang dapat dilihat dari kebermanfaatannya dan nilai ekonomis yang digunakan. Dalam hal ini jual beli barang fashion palsu menjadi sah, sebab yang dibeli adalah sifat-sifat yang terlihat dan pembelinya sudah mengetahui indikasi kepalsuan merek dan harga yang di tetapkan jauh dari harga normal. Kedua, jual beli terdapat unsur gharar dimana pembeli berniat membeli suatu barang dengan sifat asli tetapi diberikan barang dengan merek yang palsu, bahkan pembeli tidak mengetahui harga barang aslinya karena yang ada di toko adalah barang palsu. Jual beli barang fashion palsu menjadi bathil dan tidak sah sebab terjadi penipuan dan penyamaran sifat ma’qud

‘alaih oleh penjual.

Dalam hukum Islam, hak milik merek dipandang sebagai salah satu huquq maliyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashur) sebagai mal (kekayaan). Hak milik merek mendapat perlindungan hukum Islam sebagaimana hak cipta atas ciptaan yang

tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana mal, hak milik merek dapat dijadikan objek akad (al-maqud alaih), baik akad mu’awadhah (pertukaran komersial) maupun akad tabarruat (nonkomersia), serta diwakafkan dan diwarisi. Setiap pelanggaran terhadap merek, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya haram.

Dokumen terkait