• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 III. TINJAUAN PUSTAKA

B. Hukum dan Regulasi Penyembelihan dalam Islam

Tuntunan penyembelihan hewan harus dipenuhi mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga, yaitu syarat yang berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, syarat yang berkaitan dengan orang yang akan menyembelih, dan syarat yang berkaitan dengan alat untuk menyembelih (Tuasikal 2007).

Syarat hewan yang disembelih, yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati). Allah Ta’ala berfirman,

ﺎ إ

مﺮ

ﺔﺘ ا

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai…” (QS. Al Baqarah: 173) Syarat orang yang akan menyembelih, yaitu yang pertama adalah berakal, baik itu seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Hal ini dikarenakan selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih. Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman,

مﺎ ﻃو

ﺬ ا

اﻮ وأ

بﺎ ﻜ ا

Artinya: Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (QS. Al Ma-idah: 5).

Makna makanan ahlul kitab di sini adalah sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul, Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan. Namun, yang harus diperhatikan adalah

7

sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, misalnya mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ﺔ ا

مﺪ او

و

ﺮ ﺰ ﺨ ا

ﺎ و

هأ

ﺮ ﻐ

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al Ma-idah: 3)

Menurut Shihab (1999), memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya. Mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah. Dalam konteks ini, ditemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,

Artinya: Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas (QS Al-An'am 6: 118-119).

Syarat penyembelihan antara lain menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah (padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan), maka hasil sembelihannya tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al An’am:121,

ﺎ و

اﻮ آﺄ

ﺮآﺬ

ا

ا

إو

8

Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan (QS. Al An’am: 121)

Berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺮﻬ أ

مﺪ ا

ﺮآذو

ا

ا

،

ﻮ ﻜ

Artinya: Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan.

Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (penyebutan nama Allah atau basmalah). Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

نأ

ﺎ ﻮ

اﻮ ﺎ

-ﻰ ﺻ

ﷲا

و

-نإ

ﺎ ﻮ

ﺎ ﻮ ﺄ

ىرﺪ

ﺮآذأ

ا

ا

مأ

لﺎ

»

اﻮ

أ

ﻮ آو

«

.

اﻮ ﺎآو

ﻰﺜ ﺪ

ﺪﻬ

ﺮ ﻜ ﺎ

.

Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.

Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl Al-Kitab (Yahudi atau Nasrani). Namun, pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi’i adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu (Tuasikal 2007).

Syarat penyembelihan berikutnya adalah tidak disembelih atas nama selain Allah. Hal yang dimaksudkan di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ﺔﺘ ا

مﺪ او

و

ﺮ ﺰ ﺨ ا

ﺎ و

هأ

ﺮ ﻐ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)

Terpenuhinya syarat terpancarnya darah dalam penyembelihan juga merupakan syarat penyembelihan yang harus dipenuhi. Dan hal ini akan terwujud dengan dua ketentuan, yaitu alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Syarat alat untuk menyembelih dibagi menjadi dua, yaitu menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong. Hal ini dikarenakan maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan, saluran pernafasan dan saluran darah. Syarat yang kedua, yaitu tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,

9

ﺎ ﺮﻬ أ مﺪ اﺮآذو ا ا ، ﻮ ﻜ ، ا ﺮ ﻈ او، ﻜﺛﺪ ﺄ و ﻚ ذ، ﺎ أ ا

ٌﻈ ﺎ أوﺮ ﻈ اىﺪ ﺔﺸﺒ ا

Artinya: Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang bernama Ethiopia).

Ketentuan kedua adalah dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut. Ketentuan penyembelihan yang ketiga adalah alat untuk menyembelih.

Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) memfatwakan bahwa penyembelihan hewan secara mekanis pemingsanan merupakan modernisasi berbuat ihsan kepada hewan yang disembelih sesuai dengan ajaran Nabi dan memenuhi persyaratan ketentuan syar’i dan hukumnya sah dan halal.

Hadits Nabi Riwayat Muslim dari Syaddad bin Aus tentang penyembelihan, yaitu

“Bahwanya Allah menetapkan ihsan (berbuat baik) atas tiaptiap sesuai (tindakan). Apabila kamu ditugaskan membunuh maka dengan cara baiklah kamu membunuh dan apabila engkau hendak menyemelih maka sembelihlah dengan cara baik. Dan hendaklah mempertajam salah seorang kaum akan pisaunya dan memberikan kesenangan kepada yang disembelinya (yaitu tidak disiksa dalam penyembelihannya)”

C. Hukum dan Regulasi tentang Daging Bangkai dan Darah

Kehalalan produk hewani telah memiliki pedoman baku, terutama bagi umat Islam. Beberapa ayat Al-Quran menerangkan tentang hukum mengkonsumsi daging bangkai dan darah di antaranya Al Baqarah: 173,

Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu daging bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al Baqarah: 173).

10

Surat Al Maidah: 3 menyebutkan,

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al Maidah: 3).

Surat Al An’aam: 145 menyebutkan,

Artinya : Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu daging bangkai, atau darah yang mengalir* atau daging babi, (karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al An’aam: 145).

*Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dan terpancar. Surat An Nahl: 115 menyebutkan,

11

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) daging bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An Nahl: 115).

Sementara itu, perundang-undangan Indonesia juga telah mengatur tentang peredaran produk tidak layak konsumsi atau dalam kajian ini dianggap sebagai daging bangkai. Berikut adalah perundangan Indonesia yang memuat mengenai ketentuan produk tidak layak konsumsi :

1. Undang-Undang No.7 Tahun 1996 pasal 21 tentang Pangan, yakni setiap orang dilarang mengedarkan:

(d). Pangan yang kotor, busuk, tengik, berpenyakit dan berasal dari daging bangkai

Apabila terjadi pelanggaran dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

2. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Di dalam Bab IV pasal 8 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

3. Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner di dalam Bab II pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.

4. Keputusan Menteri Pertanian No.306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya.

Di dalam Bab II pasal 5 disebutkan bahwa unggas ditolak untuk disembelih apabila dalam pemeriksaan ante-mortem ternyata unggas tersebut dalam keadaan sudah mati dan hewan tersebut harus dimusnahkan.

D. Ketentuan Bangkai Belalang dan Ikan dalam Islam

Ada dua binatang yang dikecualikan oleh syariat Islam dari kategori daging bangkai, yaitu belalang dan ikan serta berbagai macam binatang yang hidup di dalam air. Rasulullah SAW ketika ditanya tentang masalah air laut, beliau menjawab: “Laut itu airnya suci dan daging bangkainya halal” (Riwayat Ahmad dan ahli sunnah). Dan firman Allah dalam surat Al Maidah 96,

Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (Al Maidah: 96).

Umar berkata: yang dimaksud shaiduhu, yaitu semua binatang yang diburu, sementara itu yang dimaksud tha’amuhu (makanannya), yaitu barang yang dicarinya. Dan kata Ibnu Abbas pula, bahwa yang dimaksud tha’amuhu, yaitu daging bangkainya (Qardhawi 2005).

12

Makna daging bangkai belalang adalah belalang yang mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. Adapun yang mati dengan sebab racun maka daging bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan. Demikian juga daging bangkai ikan adalah ikan yang mati begitu saja, baik dengan sebab hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai. Adapun yang mati dengan sebab oleh sesuatu yang disebut dengan pencemaran air laut dengan bahan beracun atau hal-hal yang mematikan, maka ini diharamkan, bukan karena substansi daging bangkai ikannya akan tetapi karena racun dari zat-zat yang berbahaya atau yang mematikan tersebut. Terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para ulama mengenai belalang dan ikan yang dikutip pada kitab Taudihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassam, yaitu :

 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut adalah halal seperti ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

 Pendapat Imam Ahmad adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa.

 Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala dalam QS Al Maidah: 96 dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تﻮ ا و داﺮﺠ ا نﺎ ﺎ أ

”Dihalalkan bagi kita dua daging bangkai, (yaitu) belalang dan al huut” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Sementara itu, pengertian al huut adalah ikan. Juga berdasarkan hadits, ـ ا (halal daging bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam Syafi’i) yang lebih kuat.

Syariat Islam menentukan bahwa setiap hewan yang akan dikonsumsi dagingnya harus disembelih dengan memutus saluran pencernaan, saluran pernapasan, dan pembuluh darah nadi. Selain itu juga wajib hukumnya menyebutkan nama Allah dalam proses itu. Aturan ini berlaku untuk semua hewan halal, kecuali ikan dan belalang.

E. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas. Pemotongan hewan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum yang melaksanakan pemotongan hewan selain unggas di RPH milik sendiri, atau pihak lain, atau menjual jasa pemotongan hewan (Direktorat Kesehatan Hewan 1987) . Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.20/1986, tentang syarat-syarat RPH, usaha pemotongan hewan, dan fungsi RPH adalah sebagai berikut:

1. Tempat melaksanakan penyembelihan hewan secara benar, 2. Tempat melaksanakan pemeriksaan antemortem dan postmortem, 3. Tempat pendeteksian dan pemeriksaan penyakit yang dapat menular, dan

4. Tempat mengawasi pemotongan hewan besar betina bertanduk dan betina produktif. Rumah pemotongan hewan (RPH) harus memenuhi beberapa syarat seperti :

(a) berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan serta mudah dicapai dengan kendaraan,

(b) kompleks rumah pemotongan hewan (RPH) harus dipagar untuk memudahkan penjagaan keamanan,

13

(c) memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air,

ventilasi yang cukup,

(d) mempunyai perlengkapan yang memadai,

(e) pekerja yang mempunyai pengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan (f) bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk pemotongan babi harus

terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau dan kambing.

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan unit pelayanan untuk penyediaan daging yang aman, sehat dan utuh untuk masyarakat dan berperan penting terhadap terjaminnya kehidupan masyarakat yang sehat. Ensminger (1991) mengemukakan bahwa kegiatan rumah pemotongan hewan (RPH) meliputi penyembelihan hewan serta pemotongan bagian-bagian tubuh hewan tersebut. Limbah yang dihasilkan dari proses tersebut berupa darah yang akan mengakibatkan tingginya nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan padatan tersuspensi. Secara keseluruhan, limbah-limbah ini memiliki karakteristik kandungan protein yang tinggi.

.

F. Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Berdasarkan sumbernya, limbah RPH termasuk dalam golongan limbah industri. Sementara itu, dilihat dari komposisi dan pengaruhnya terhadap perairan, limbah RPH mirip dengan sampah domesik (domestic sewage). Namun, karena kandungan bahan organiknya yang tinggi, hal ini menyebabkan bahaya kontaminasi mikroorganisme patogen limbah RPH lebih besar dari sampah domestik. Limbah cair RPH yang terbesar berasal dari darah. Jenie dan Rahayu (1993) juga menyebutkan bahwa limbah utama yang dihasilkan oleh RPH adalah berasal dari kegiatan penyembelihan, penanganan isi perut, rendering, pemotongan bagian-bagian yang tidak berguna, pengolahan, dan pekerjaan pembersihan. Darah dapat meningkatkan tingginya nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) serta padatan tersuspensi (Sianipar 2006).

Limbah RPH mengandung darah, lemak, padatan organik dan anorganik serta garam-garam dan bahan kimia yang ditambahkan selama proses pengolahan. Jumlah darah yang dikeluarkan selama proses pemotongan rata-rata adalah 7.7% dari berat sapi (Divakaran 1982). Darah sapi dapat menimbulkan beban BOD sebesar 156,500 mg/L, COD 218,300 mg/L, kadar air 82 % dan pH 7.3 (Sianipar 2006). Menurut standar mutu I limbah cair, nilai BOD adalah sebesar 50 mg/L, COD 100 mg/L, dan memiliki pH yang berkisar antara 6-9 (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/10/1995).

14

G. Fisikokimia Darah

Darah terdiri atas dua fraksi, yaitu sel darah merah dan plasma darah. Fraksi-fraksi darah ini mengandung total protein yang berkisar 28–38%. Data mengenai kandungan darah dan fraksinya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan darah dan fraksinya

Komponen Darah (%) Plasma (%) Sel darah merah (%)

Air 80 90.8 60.8 Garam 0.9 0.8 1.1 Lemak 0.2 0.1 0.4 Protein 17 7.9 35.1 Albumin 2.8 4.2 - Globulin 2.2 3.3 - Fibrinogen 0.3 0.4 - Hemoglobin 10 - 30 Lainnya 1.1 0.4 2.6

(Ockerman dan Hansen 1988)

Hemoglobin merupakan suatu protein yang terdiri dari 4 subunit, masing-masing sub unit tersebut mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida yang terdiri atas protoporfirin, globin dan besi bervalensi 2 (ferro). Hemoglobin mengandung besi 0.335 % atau 3.35 mg/g hemoglobin dan kapasitas oksigen 1.36 cc per g (Sastradipraja et al. 1989). Struktur hemoglobin disajikan pada Gambar2.

Gambar 2.Struktur hemoglobin

Kadar hemoglobin di dalam darah dapat ditentukan dengan berbagai metode. Terdapat tiga metode pengukuran kadar hemoglobin, yaitu metoda Tallqvist, metoda Sahli, dan metoda sianmetmoglobin (spektrofotometrik). Diantara ketiga metode tersebut, metode spektofotometri merupakan metode yang tepat dan paling banyak digunakan dalam laboratorium klinik diagnostik (Sastradipraja et al. 1989). Metode spektrofotometri menggunakan suatu larutan yang mengandung kalium sianida dan kalium ferisida (reagen Drabkins). Ferisianida akan merubah besi dari hemoglobin yang bervalensi 2 menjadi bervalensi 3 dengan kalium sianida membentuk pigmen yang stabil ialah sianmetmoglobin. Intensitas warna campuran ini diukur dengan panjang gelombang 540 nm atau menggunakan filter hijau kekuningan (Sastradipraja et al. 1989).

15

H. Sel Kanker dan Tahapan Pembentukannya (Nurlaila dan Hadi 2008)

Kanker merupakan penyakit yang timbul akibat adanya akumulasi atau penumpukan kerusakan-kerusakan sel tertentu dari tubuh. Kanker berkembang melalui serangkaian proses yang disebut karsinogenesis. Karsinogenesis pada dasarnya dibagi menjadi dua tahap utama yaitu inisiasi dan promosi, namun beberapa literatur menambahkan bahwa tahap promosi kanker diikuti oleh proliferasi, metastasis dan neoangiogenesis.

Tahap inisiasi ialah tahap terdapat agen karsinogenik (zat yang dapat menimbulkan kanker) mulai bekerja mengubah susunan DNA fungsional (gen) sehingga gen itu menjadi berbeda atau terjadi mutasi. Biasanya gen yang berubah susunannya adalah gen yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan tumor (tumor suppressor gene), misalnya gen p53.

Proses mutasi DNA yang terjadi satu kali sebenarnya belum cukup untuk dapat menimbulkan kanker. Ribuan mutasi harus terjadi pada letak gen yang tidak boleh sama sehingga kanker tersebut dapat timbul. Apabila mutasi DNA yang itu telah terjadi, mulailah sel mengalami perubahan sifat secara perlahan-lahan. Sel yang mengantongi gen yang termutasi akan mulai membelah diri (proliferasi) dan membentuk grup tertentu (klonal) di lokasi tertentu dalam tubuh. Tahapan sel kanker membentuk klonal inilah yang dinamakan tahap promosi kanker.

Tahap promosi ini akan diikuti proliferasi (pembelahan diri sel kanker menjadi banyak) yang kemudian satu atau lebih sel bisa memisahkan diri dari markas utamanya untuk berpindah ke tempat lain (metastasis). Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi klonal sel kanker tersebut, dibentuklah pembuluh darah baru (neoangiogenesis).

16

IV. METODOLOGI

A. KEGIATAN MAGANG

Kegiatan magang dilakukan selama empat bulan (7 Februari - 7 Juni 2011) pada Divisi Sosialisasi dan Informasi LPPOM MUI. Kegiatan yang dilakukan antara lain:

1. Mengikuti pelatihan dan diskusi mengenai halal

Pelatihan yang diikuti berupa pelatihan sistem jaminan halal pada tanggal 24 Mei 2011. Materi pelatihan berisi pemahaman dasar mengenai sistem jaminan halal, syarat menjadi auditor halal internal perusahaan, identifikasi bahan baku dan proses, penentuan titik kritis kehalalan produk, dan pengambilan keputusan status halal suatu produk.

2. Membuat media presentasi tentang halal

Media presentasi dibuat dalam tampilan menarik berisi pesan untuk senantiasa mengkonsumsi pangan halal dengan sasaran anak usia TK, usia SMP, dan masyarakat umum.

3. Mempelajari dan membuat artikel titik kritis kehalalan produk makanan

Pembuatan titik kritis dilakukan dengan mengidentifikasi bahan baku dan proses yang dilakukan kemudian mengidentifikasi titik kemungkinan produk tersebut dapat terkontaminasi zat haram.

4. Melakukan survei produk pangan

Survei dilakukan di pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta. Survei ini dilakukan untuk mengetahui peredaran produk yang berlogo halal non-MUI. Data yang dikumpulkan berupa jenis produk, merek produk, nama produsen, asal produk (dalam negeri/luar negeri), jenis izin edar (MD,ML,PIRT), jenis logo halal (MUI, LN), jenis sertifikat halal (MUI, LN), dan tanggal kadaluarsa.

5. Melakukan persiapan dan partisipasi kegiatan yang diselenggarakan Divisi Sosialisasi dan Promosi LPPOM MUI, yaitu :

a. Berpartisipasi dalam kegiatan Halal Food Goes to School yang merupakan program seminar halal dan kompetisi memasak di sekolah menengah atas se-kota Bogor. Kegiatan ini bertujuan untuk menjadikan generasi muda khususnya usia TK sampai SMU dan sederajat peduli halal dan selalu mengonsumsi makanan dan minuman yang halal.

b. Berpartisipasi dalam kegiatan seminar sehari Horeca (Hotel, Restoran dan Catering) dengan tema “Ketersediaan Kuliner Halal dalam Menyukseskan Visit Indonesia 2011”

Dokumen terkait