• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI LIAR A.Syarat dan Rukun Perkawinan

2. Hukum dan Syarat Poligami a.Perspektif Fikih

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, walaupun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang isteri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para isteri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surat an-Nisa ayat 3.

☺ ) ءﺎ ا : 3 (

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja17, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.

An-Nisa:3). An-Nisa ayat 129.

16

Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2003), cet-1, h. 270.

17 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini

poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

30 ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ) ءﺎ ا : 129

(

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa:129).

Dalam pandangan Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak dapat diterima dalam situasi yang ada maka al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang isteri dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.18

Berbeda dengan pandangan fikih, poligami yang dalam kitab-kitab fikih disebut ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan di antara para isteri, dan menurutnya

keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik, misalnya mengunjungi isteri di malam atau siang hari.19

Landasan hukum tentang kebolehan poligami selain terdapat di dalam al-Quran, juga terdapat dalam hadis Nabi yang salah satunya mengenai batas jumlah isteri yaitu hanya boleh empat orang saja.

ﺮ ﺎﻓ ﺎﻓ ةﻮ ﺮ و ا ﺔ ا نﻼ نا ا ﺎ

ﺎً را ﻬ ﺮ نا و ﷲا ﻰ ا

)

ﺬ ﺮ وﺪ ﺣا ور

(

20

Artinya : “Dari Salim dari ayahnya r.a. bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW. menyuruh agar ia

memilih empat orang dari isteri-isterinya.” (HR. Ahmad dan

Turmudzi).

Hadis lain yang mengatur poligami adalah hadis dari Abi Hurairah.

ا

ه

ة

ﷲا ر

لﺎ

:

نأ

ﷲا لﻮ ر

م ص

ةﻮ رأ ﻰ

أ

ن

ﻬ ﺠ

:

ا

أ

ة

و

و ةأﺮ او ﺎ

ﻬﺎ

.

)

ﺔ ﺎ ﺠ ا اور

21

.(

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang empat wanita untuk dipoligami. yaitu, seorang wanita

dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu.”

(HR. Jama’ah).

19Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h.98.

20 Muhammad bin Ismail Shan’ani, Subulu al-Salam,al-Mausilah ila al-Maram min

Jami’adillah al-Hakam, (Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 ), juz 6, h.66.

21Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar

32

Kedua hadis di atas pada dasarnya hanya menjelaskan tentang batas kebolehan beristeri lebih dari seorang dan larangan berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh bahwa hadis di atas merupakan penjelasan lebih lanjut dari ayat al-Quran yang menjelaskan tentang poligami.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya. Kedua, kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW tentang perlunya biaya nikah

(al-ba’ah) bagi calon suami. (HR.al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).22

Jika kita sederhanakan, pandangan normatif al-Quran dan al-Hadis yang selanjutnya diadopsi oleh para ulama fikih setidaknya menjelaskan tiga persyaratan yang harus dimiliki dan diperhatikan suami. Pertama, seorang laki-laki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil, tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. Ketiga,

22 “Poligami” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.

hanya boleh empat orang isteri dengan ketentuan bukan merupakan bibi atau kaka beradik.

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman, setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yaitu:

1. Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk disembuhkan.

2. Isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan.

3. Isteri sakit ingatan (gila).

4. Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri. 5. Isteri memiliki sifat buruk.

6. Isteri minggat dari rumah,

7. Ketika terjadi ledakan perempuan (jumlah perempuan yang banyak) misalnya dengan sebab perang,

8. Kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi menimbulkan kemadharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.23

b. Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan, “seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai

23

34

seorang suami”,24 Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan: Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk poligami walaupun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka. Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan). Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.25

Dengan adanya ayat ini, jelas sekali Undang-Undang Peradilan telah melibatkan pengadilan agama sebagai institusi yang cukup penting untuk

mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden

24

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,

Desember 2003), H.269. 25

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001

historisnya di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan, “Pengadilan agama dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami”.26

Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukkan ada tiga alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan (menurut dokter). Ketiga,

tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:

1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akam berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.

Ayat (2)

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,

26

36

atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilain dari hakim pengadilan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, persyaratan beristeri lebih dari seorang dibatasi hanya sampai empat orang isteri dengan syarat utamanya adalah berlaku adil. Hal ini sesuai dengan pasal 55 yaitu:

1. Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Sedangkan pasal 56 menjelaskan tentang seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat ijin dari pengadilan agama, pasal 58 menjelaskan tentang harus adanya persetujuan isteri baik secara lisan atau tulisan. Apabila seorang isteri tidak mau memberikan persetujuan, maka pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin. Dalam hal penetapan ini, baik suami atau isteri dapat mengajukan banding atau kasasi. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 59.27

Dari penjelasan pasal-pasal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa aturan Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia tentang poligami sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar:

27 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

1. Mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang, pangan dan papan) keluarga (isteri-isteri dan anak-anak), 2. Mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya sehingga isteri-isteri dan

anak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan. Selain itu, suami yang akan melaksanakan poligami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan isteri atau para isteri.

Dokumen terkait