• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG

B. Faktor Eksternal

3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup

4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global

BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

A. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC

B. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

D. Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen tahun 2009

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB II

THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE

CHANGE (UNFCCC)

A. Sejarah UNFCCC

Pembentukan UNFCCC merupakan salah satu agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konferensi Rio di Brazil pada tahun 1992 (UNFCCC n.d. 2). Konferensi ini menghasilkan tiga perjanjian internasional yang berada dalam konvensi Rio, yaitu: The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD) dan the United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).

Dari ketiga perjanjian internasional tersebut, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda. UNFCCC menitikberatkan pada pengurangan tingkat pemanasan global dan suhu bumi yang disebabkan oleh pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara akibat industri di negara-negara maju yang mengakibatkan perubahan iklim (UNFCCC n.d.2). Sedangkan CBD menitikberatkan pada pelaksanaan perjanjian keanekaragaman hayati dengan memfokuskan kepada pelestarian spesies mahluk hidup dan transfer teknologi. Selanjutnya, UNCCD memberikan perhatian utama pada masalah penggurunan dan berupaya mengatasi degradasi lahan dengan cara pengelolaan lahan yang tidak subur.

Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai konvensi UNFCCC. Pasca penandatanganan kesepakatan Rio, PBB memberi tenggang waktu antara tanggal 20 Juni 1992 hingga 19 Juni 1993 kepada seluruh negara di dunia untuk menyetujui dan bergabung di dalam UNFCCC (UNFCCC n.d. 3). Selanjutnya, 12

sesuai Pasal 233 PBB, maka konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Maret 1994.

Konvensi UNFCCC menetapkan suatu kerangka menyeluruh bagi negara-negara anggotanya untuk mengatasi perubahan iklim (UNFCCC n.d. 4). Di bawah konvensi ini, negara-negara anggota mengumpulkan dan membagi informasi tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Setiap negara anggota dapat membuat kebijakan dan strategi nasional untuk dapat mengatasi emisi GRK di negaranya sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap dampak dari perubahan iklim. Negara-negara anggota UNFCCC bekerjasama untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim dengan cara menyediakan dukungan keuangan bagi perbaikan lingkungan yang rusak dan transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

Sekertariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996 (UNFCCC n.d. 5). Sekretariat secara institusional berhubungan langsung dengan PBB dan melaporkan secara rutin setiap hasil yang dicapai dalam konferensi namun PBB memberikan kewenangan kepada UNFCCC untuk menyelenggarakan suatu konferensi tanpa terintegrasi dengan program apapun. Sekretariat mempunyai sekitar 400 karyawan dari seluruh dunia. Kepala dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretaris Eksekutif UNFCCC yang bertugas pada tahun 2006 – 2010 adalah Yvo de Boer.

Sekretariat UNFCCC terdiri dari tujuh fungsi utama, yaitu; fungsi pertama adalah membuat peraturan mengenai pelaksanaan pada setiap sesi dalam konferensi (UNFCCC n.d. 5). Fungsi kedua adalah memantau pelaksanaan

33

Pasal 23 PBB berisi setelah hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, dan persetujuan maka mulai berlaku suatu konvensi.

komitmen di bawah konvensi4 dan protokol5 melalui pengumpulan, analisis, dan peninjauan atas informasi dan data yang diberikan oleh negara-negara anggota UNFCCC. Fungsi ketiga adalah membantu negara-negara anggota UNFCCC dalam melaksanakan komitmen mereka. Fungsi keempat adalah mendukung negosiasi dalam kerangka kerja UNFCCC untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Fungsi kelima adalah mempertahankan agar negara-negara yang sudah meratifikasi isi protokol untuk berkomitmen dan benar-benar melaksanakan hasil kesepakatan protokol tersebut dalam mengurangi kredit emisi6. Fungsi keenam adalah memberikan dukungan kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk mematuhi Protokol Kyoto. Kemudian, Fungsi terakhir adalah berkoordinasi dengan sekertariat badan internasional lain yang relevan, khususnya the Global Environment Facility (GEF) serta lembaga pelaksana (UNDP, UNEP, dan Bank Dunia), the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), maupun konvensi lain yang terkait.

B. Prinsip UNFCCC

Konvensi UNFCCC menekankan kesetaraan dan keprihatinan (precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan (Deptan 2010). Pada konvensi ini juga terdapat prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda.

4

Selain itu, UNFCCC mempunyai lima prinsip untuk mencapai tujuan konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan konvensi (UNFCCC n.d. 6). Kelima prinsip ini merupakan pedoman bagi negara-negara anggota UNFCCC.

Pertama: Negara anggota UNFCCC harus melindungi sistem iklim7 bagi

kepentingan generasi umat manusia pada masa sekarang dan pada masa depan. Perlindungan ini atas dasar kesetaraan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan bersama di mana masing-masing negara mempunyai tanggung jawab berbeda. Hal ini berarti bahwa negara industri maju harus menjadi pemimpin dalam mengurangi perubahan iklim dan efek dari perubahan iklim tersebut.

Kedua: Adanya kebutuhan dan keadaan khusus bagi negara berkembang

(khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil dan negara yang mengandalkan sumber pemasukan negaranya pada minyak) karena mereka rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara berkembang akan menanggung beban berat terhadap dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim sehingga mereka harus diberi pertimbangan penuh di bawah konvensi UNFCCC.

Ketiga: Negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan pencegahan untuk

mengatisipasi, mencegah, atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim dan mengurangi dampak negatifnya.

Keempat: Negara anggota UNFCCC memiliki hak untuk dan harus

mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Pembangunan berkelanjutan merupakan implementasi dari pembangunan nasional namun dalam pelaksanaannya tetap harus diintegrasikan (digabungkan) dengan kebijakan untuk

7

Sistem iklim merupakan keseluruhan dari hidrosfer, biosfer, atsmosfer dan geosfer dan mereka saling berinteraksi

melindungi sistem iklim. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi seharusnya berintegrasi dengan langkah-langkah dalam mengatasi perubahan iklim.

Kelima: Negara anggota UNFCCC harus bekerja sama untuk meningkatkan sistem

ekonomi internasional yang terbuka sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara berkembang. Dengan adanya sistem ekonomi internasional yang terbuka ini, maka negara berkembang akan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di negaranya.

C. Tujuan UNFCCC

UNFCCC mempunyai beberapa tujuan (UNFCCC n.d. 7), yaitu:

1. Meminimalisasi efek dari perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan karena adanya kerusakan pada ketahanan, komposisi, atau produktifitas ekosistem alam yang semuanya disebabkan pelaksanaan sistem sosial ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia.

2. Mendorong negara-negara anggota UNFCCC untuk berkomitmen mengurangi pelepasan emisi GRK ke dalam atmosfer dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam konvensi.

3. Mengikutsertakan organisasi integrasi ekonomi regional (Uni Eropa) untuk mengimplementasikan konvensi atau protokol yang telah disepakati oleh negara-negara UNFCCC agar berjalan lebih efektif.

D. Struktur UNFCCC

Bagan 2.1. Struktur UNFCCC Execut

Note: BRM, Bali Road Map, which includes support to the Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) and the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA); COP, Conference of the Parties, CMP, Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol; SBSTA, Subsidiary Body for Scientific And Technological Advice; SBI, Subsidiary Body for Implementation

(Sumber: UNFCCC n.d. 8)

Bagan 2.1 di atas menggambarkan bahwa dalam struktur, Bali Road Map Support (BRM) yang di dalamnya didukung oleh Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

(AWG-LCA), Conference of the Parties (COP), Conference of the Parties serving as the meeting of the parties to the Kyoto Protocol (CMP), Subsidiary Body for Scientific And Technological Advise (SBSTA), dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) . AWG-KP merupakan kelompok kerja yang dibentuk oleh

Conference of the Parties (COP) pada tahun 2005 (UNFCCC n.d. 9). AWG-KP ini BRM Support

Executive Direction and M anagement

Office of the Deputy Executive Secretary COP/ M OP Support Information Services Conference Affairs Services Sustainable Development M echanisms Legal Affairs Financial and Technical Support Administrative Services Reporting, Data and Analysis Adaptations, Technology, and Science SBSTA Support SBI Support BRM Support

merupakan kelompok kerja Ad Hoc yang berkomitmen lebih lanjut bagi negara-negara Annex I yang berada di bawah Protokol Kyoto untuk mendiskusikan komitmen pada masa depan bagi negara-negara industri yang berada di bawah Protokol Kyoto.

Sementara, AWG-LCA dibentuk dalam COP-13 tahun 2007 di Bali, Indonesia (UNFCCC n.d. 10). COP-13 di Bali ini menghasilkan Bali Action Plan.

Bali Action Plan merumuskan proses yang komprehensif agar memungkinkan pengimplementasian secara penuh dan efektif di bawah konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang (mulai tahun 2007 hingga tahun 2012) sesuai dengan keputusan yang diambil pada sesi kelima belas dari COP-13. Pada sesi kelima belas, diputuskan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan suatu badan pendukung yaitu, AWG-LCA. AWG-LCA akan menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 2009 dan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP untuk diadopsi pada pertemuan COP-15 di Copenhagen, Denmark.

Pada bagan di atas terdapat Conference of the Parties (COP) yang merupakan otoritas utama dan sebagai badan tertinggi konvensi UNFCCC (UNFCCC n.d. 11). COP bertugas meninjau secara teratur pelaksanaan konvensi setiap negara anggota UNFCCC. Dalam melakukan tugas ini, COP dapat mengadopsi dan membuat mandat atau suatu keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari konvensi. COP bertanggung jawab untuk mengkaji ulang implementasi konvensi dan instrumen legal lain terkait dengan konvensi. COP juga berkewajiban membuat keputusan yang diperlukan untuk meningkatkan implementasi konvensi.

(SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) (Deptan 2010). COP terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan biasanya bertemu setiap tahun selama jangka waktu dua minggu. Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah negara anggota UNFCCC, pengamat organisasi, dan wartawan. COP mengevaluasi status perubahan iklim dan efektivitas perjanjian. COP mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh setiap negara anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diambil. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau komunikasi nasional8 dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk melanjutkan mengatasi perubahan iklim.

Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh beberapa badan resmi, yaitu (UNFCCC n.d. 11):

a. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sebagai penasehat COP mengenai masalah-masalah iklim, lingkungan, teknologi, dan metode. SBSTA dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

b. Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang membantu meninjau bagaimana konvensi diimplementasikan, misalnya dengan menganalisis komunikasi nasional yang disampaikan oleh negara anggota. Selain itu, SBI juga berkaitan dengan masalah keuangan dan administrasi. SBI dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

c. Kelompok ahli berdasarkan konvensi UNFCCC, ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Consultative Group of Experts (CGE). CGE membangun komunikasi nasional dari negara non-Annex yang merupakan

8

Komunikasi nasional yaitu setiap anggota UNFCCC harus menyampaikan laporan nasional atas pelaksanaan konvensi yang biasanya berisi tentang keadaan nasional, sumber daya keuangan dan transfer teknologi, pendidikan dan kesadaran masyarakat kepada COP.

negara berkembang untuk menyiapkan laporan nasional mengenai isu perubahan iklim. Kelompok kedua adalah Least Developed Country Expert Group (LEG). LEG memberikan saran pada negara-negara berkembang dalam mengintegrasikan program-program nasionalnya dengan menjaga sistem iklim sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Kelompok ketiga adalah Expert Group on Technology Transfer (EGTT). EGTT bertugas untuk memacu transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

d. Global Environment Facility (GEF) merupakan mitra instansi COP yang bertugas mendanai proyek-proyek di negara-negara berkembang yang memiliki manfaat bagi lingkungan global.

Pada dasarnya, COP merupakan badan tertinggi konvensi UNFCCC dan juga terdapat the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP) yang merupakan badan tertinggi dalam Protokol Kyoto yang sama-sama tergabung di dalam bagan struktur UNFCCC (UNFCCC n.d. 12). Fungsi CMP yang berkaitan dengan Protokol Kyoto sama dengan yang dilakukan COP untuk konvensi. COP dan CMP sama-sama bertemu setiap tahun dalam periode yang sama. Sama seperti COP, badan tetap yang membantu CMP berdasarkan konvensi adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan the Subsidiary Body for Implementation (SBI).CMP bertugas mempersiapkan sidang para negara-negara anggota yang telah meratifikasi Protokol Kyoto9. Peserta pada konvensi yang bukan merupakan negara dalam Protokol Kyoto, dapat berpartisipasi dalam CMP tetapi tidak mempunyai hak

9

dalam pengambilan keputusan. Pertemuan pertama CMP dengan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diadakan di Montreal, Kanada, pada Desember 2005 bersamaan dengan dilaksanakannya COP-11.

E. Komitmen UNFCCC

Terdapat lima komitmen yang harus dilaksanakan oleh UNFCCC (UNFCCC n.d. 13), yaitu:

1. Memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk mengambil tindakan pengurangan emisi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim pada tingkat global, regional, dan nasional.

2. Memberikan dukungan penuh bagi pemerintah negara-negara anggota UNFCCC dalam mengimplementasikan konvensi dan Protokol Kyoto. 3. Membantu negara-negara anggota untuk menciptakan dan memelihara

kondisi domestik yang kondusif sehingga dapat lebih efektif dan efisien pada saat mengimplementasi Protokol Kyoto.

4. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan data yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di dunia tentang perubahan iklim serta upaya-upaya untuk mengatasinya.

5. Mempromosikan dan meningkatkan keterlibatan aktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bisnis dan industri, serta keterlibatan masyarakat internasional dalam penanggulangan perubahan iklim melalui komunikasi yang efektif.

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC

UNFCCC hingga saat ini memiliki 194 negara anggota dan satu organisasi integrasi ekonomi regional yang menjadi anggota konvensi UNFCCC (UNFCCC

n.d. 3). Negara-negara yang menjadi anggota UNFCCC ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu; kelompok negara Annex I, kelompok negara non-Annex, dan

observer.

Annex I merupakan negara-negara industri maju yang telah menjalankan industrinya sejak tahun 1950-an dan merupakan anggota dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)10, ditambah dengan negara-negara dengan ekonomi dalam transisi (Economic in Transition/EIT), seperti; pecahan Uni Soviet dan beberapa negara dari Eropa Tengah dan Timur (UNFCCC n.d. 15). Kelompok negara Annex I ini harus menyediakan keuangan untuk negara-negara berkembang dalam melakukan kegiatan pengurangan emisi sesuai amanat konvensi serta membantu mereka untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim.

Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1

No. Kelompok Annex I Negara

1. Negara yang tergabung dalam OECD

Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Denmark, Estonia, European Union, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.

2. Negara yang

tergabung dalam EIT

Latvia, Lithuania, Malta, Belarus, Romania, Kroasia, Lietchtenstein, Monako, Federasi Rusia, dan Ukraina.

(Sumber: UNFCCC n.d. 14)

Kelompok kedua adalah kelompok negara non-Annex. Kelompok ini terdiri dari negara-negara berkembang dan beberapa di antaranya diakui oleh konvensi sebagai negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena

10

OECD merupakan forum di mana pemerintah negara-negara anggota dapat bekerja sama dan mendorong perubahan ekonomi (meningkatkan produktivitas, arus perdagangan global dan investasi), sosial, dan

merupakan negara kepulauan kecil yang mempunyai daratan rendah dan rentan terhadap penggurunan dan kekeringan (UNFCCC n.d. 15). Selanjutnya, dalam kelompok non-Annex terdapat 49 negara anggota UNFCCC yang diklasifikasikan sebagai Least Development Countries (LDCs) oleh PBB yang diberi pertimbangan khusus di bawah konvensi karena negara-negara tersebut mempunyai keterbatasan dalam merespon dan beradaptasi pada efek perubahan iklim.

Dalam hal ini, Cina digolongkan ke dalam kelompok negara non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia (Saragih 2010), sehingga Cina mempunyai pengaruh di dalam pembuatan kesepakatan dalam konferensi perubahan iklim. Jika melihat posisi Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, maka konferensi perubahan iklim tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju namun juga oleh segelintir kelompok negara berkembang yang mempunyai peranan penting terutama dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Denmark.

Konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC selain dihadiri oleh negara-negara anggota juga dihadiri oleh kelompok observer. Observer merupakan kelompok atau lembaga yang diizinkan untuk menghadiri dan bahkan berbicara di pertemuan internasional tetapi tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (UNFCCC n.d. 15). Observer termasuk orang yang berasal dari organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sebagai observer dapat mewakili kepentingan bisnis dan industri, kelompok lingkungan hidup, pemerintah daerah, lembaga penelitian dan akademik, badan-badan keagamaan, organisasi buruh, dan kelompok penduduk seperti masyarakat adat.

Dalam konferensi perubahan iklim, observer yang diizinkan untuk menghadiri konvensi UNFCCC adalah lembaga antarpemerintah, seperti; the United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations Environment Programme (UNEP), the World Meteorogical Organization (WMO),

the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), the International Energy Agency, dan the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) (UNFCCC n.d. 15). Hingga saat ini, lebih dari 50 lembaga antarpemerintah dan organisasi internasional menghadiri sesi dari COP. Selain itu, lebih dari 600 LSM yang terakreditasi dapat berpartisipasi dalam pertemuan yang berkaitan dengan konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC.

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009

UNFCCC hingga tahun 2009, telah melaksanakan Conference of the Parties (COP) selama lima belas kali. COP-15 diadakan di Copenhagen, Denmark. Sebelum COP-15 berlangsung, terdapat beberapa konferensi sebelumnya yang dilaksanakan oleh UNFCCC. Salah satunya yang terpenting adalah COP-3 pada tahun 1997 yang dilaksanakan di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Kyoto yang dipandang sebagai langkah penting pertama menuju rezim pengurangan emisi secara global yang akan menstabilkan emisi GRK dan menyediakan arsitektur penting dalam setiap perjanjian internasional tentang perubahan iklim di masa mendatang (UNFCCC n.d. 16).

Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-limabelas (COP-15) diselenggarakan oleh pemerintah Denmark pada tanggal 7 – 19 Desember 2009 di Copenhagen

pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC. Untuk itu, baik pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Erantis 2009). Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya.

Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120 kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500 orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput konferensi ini (UNFCCC n.d. 17). Dengan banyaknya undangan yang hadir dan mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat.

Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi (UNFCCC n.d. 17). Pertama adalah konferensi sidang COP-15 (15th Conference of the Parties – COP15) yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim, UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari 1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari 300 konferensi pers.

Menurut Rendra Kurnia,11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara

11

Unit M it igasi dan Pelest arian Fungsi dan Pelest arian Fungsi At mosfer, Kement erian Lingkungan Hidup dalam w aw ancara di Jakart a, 19 April 2011.

negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock (jalan buntu) ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan

green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi.

Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara tertinggal (Ashadi 2010). Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia, Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 (YD 2009).

Dokumen terkait