• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan luar negeri cina dalam The United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan luar negeri cina dalam The United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM

THE

UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON

CLIMATE CHANGE

(UNFCCC) PADA KONFERENSI

PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh:

Nova Febriyani

NIM: 107083003348

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN Skripsi yang berjudul:

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE UNITED NATIONS

FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

(5)

ABSTRAK

Cina mempunyai kebijakan luar negeri yang merupakan cerminan dari prinsip dan tujuan negaranya dan diaplikasikan dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen. Skripsi ini menjawab pertanyaan: Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan diplomasi lingkungan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan data-datanya terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berasal dari buku, jurnal, surat kabar dan berbagai artikel yang relevan. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dalam bentuk analisa deskriftif.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas, dijabarkan terlebih dahulu mengenai UNFCCC serta faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen. Pada konferensi Copenhagen, Cina menggunakan prinsip diplomasi lingkungan yaitu prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun, dan tanggung jawab negara-negara maju untuk mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut dijabarkan dalam tujuan kebijakan luar negeri Cina dan diimplementasikan dalam kebijakan luar pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen tahun 2009.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robill ‘Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi

Perubahan Iklim di Copenhagen Tahun 2009”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua (Bapak Baskoro dan Ibu Mulyati) yang senantiasa memberikan motivasi dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis, dan memberikan dukungan materi serta mengiringi penulis melalui doa dan restu.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Dina Afrianty, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

(7)

4. Friane Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing skrispsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. Waktu pembuatan skripsi memang singkat sehingga bagi penulis sangat berkesan sekali bisa bersilaturahmi dengan Bu Rara. “Bu terima kasih atas waktu bimbingan yang selalu diberikan setiap saat dan kadang menjadi “editor” yang begitu pengertian walaupun penulis mengetahui bahwa pada saat-saat tertentu, ibu sudah lelah mengajar”. Bagi penulis Bu Rara merupakan salah satu dosen terbaik di HI UIN. Love U Bu…

5. Kiky Rizky, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan waktu luang kepada penulis untuk bertukar pikiran dan membuka wawasan dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi. Kenangan belajar bersama Bapak/Ibu Dosen akan selalu terpatri dalam hati penulis selamanya.

7. Drs. Armein Daulay, M.Si. yang selalu memberikan motivasi dan info seminar yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya, terima kasih kepada Rahmi Fitriyani, M.Si. yang bersedia memberikan second opinion dan selalu memberi semangat kepada penulis. 8. Rendra Kurnia, S.H, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer,

(8)

9. Dr. drh. Yanuarso Eddy, M.Sc., Ag dan drh. Erma Najmiyati yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama magang di Balai Teknologi Lingkungan (BTL) Puspiptek. Terima kasih atas semua bimbingan dan ilmu yang diberikan mengenai lingkungan hidup secara lebih mendalam yang selama ini belum diketahui oleh penulis.

10.Dr. Fadilah Hasim dan Yasunobu Kobuki selaku Presiden Indonesian Education Promoting Foundation (IEPF). Terima kasih atas pengertian yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skrispi ini sehingga antara kuliah dan pekerjaan bisa berjalan beriringan.

11.Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dikala penulis jenuh saat penulisan skripsi ini. Untuk kedua adik-adik penulis yang tersayang Novi Tasari dan Shita Shahifa Iqlima. Tak lupa juga untuk nenek dan kakek penulis yang selalu mendo’akan dengan setulus hati.

12.Pungo ku tersayang, Muhammad Zubir yang selalu memberikan bantuan dan dukungan yang luar biasa di dalam kehidupan penulis baik dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih karena telah menjadi “ojek cinta” selama 3,5 tahun dan bersedia mengantarkan penulis untuk mencari bahan-bahan dalam penulisan skrispsi ini.

13.Sahabat-sahabat terbaik penulis, Alwiyah Binti Aly, Azzahratul Azizah, Diana Raesha, dan Faiza Hasan yang selalu memberi motivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan yang indah selama empat tahun ini.

(9)

kebersamaan, keakraban, kepedulian dan silaturahmi yang telah terjalin selama ini. Penulis akan selalu mengingat dan merindukan kalian semua.

15.Teman-teman Mahasiswa/i Hubungan Internasional mulai angkatan 2006 hingga 2010. Senang bisa kenal dan bersilaturahmi dengan kalian semua. 16.Fera Bayu Wati selaku rekan kerja di Indonesian Education Promoting

Foundation (IEPF) yang selalu memberikan pengertian dan kelonggaran waktu kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

17.Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan kedepan.

Jakarta, Agustus 2011

(10)

DAFTAR ISI

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC.…….. 22

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009 …………...………...……..………. 25

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC A. Faktor Internal 1. Kondisi Geografis dan Demografis China ………..………... 33

2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah …..………….. 35

a. Dasar-dasar Negara ………..………...….... 36

b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah ………..…………... 37

3. Kondisi Ekonomi ………..……..……... 40

a. Konsep Sistem Ekonomi China pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009) …..………... 40

4. Kebijakan Pemerintah China dalam Bidang Energi dan Lingkungan ………...…... 46

a. Kebijakan Energy Security ………...…………..…….... 48

b. Naskah Putih ………..……… 52

B. Faktor Eksternal 1. China dalam Sistem Ekonomi Internasional …….……….. 55

2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global ……….…………. 56

(11)

4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu

Lingkungan Global …………,.…….………….………. 59 BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC PADA

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC …… 65 2. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri China dalam

UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009…. 67 3. Tujuan Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC

pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009 …..……...…. 68 4. Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada

Konferensi Copenhagen Tahun 2009 .….……….... 70 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 75

DAFTAR PUSTAKA ………... xv

(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Struktur UNFCCC 18

(13)

DAFTAR TABEL

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Copenhagen Accord

Lampiran II : Policy Speech PM Wen Jiabao di Jakarta 30 April 2011 Lampiran III : Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan

(15)

DAFTAR SINGKATAN

UNFCCC : The United Nations Framework Convention on Climate Change

SEPA : State Environmental Protecting Agency

COP : Conference of the Parties

UNEP : United Nations Environment Program

UNCED : United Nations Conference on Environment and Development

CBD : The Convention on Biological Diversity

UNCCD : The United Nations Convention to Combat Desertification

GEF : The Global Environment Facility

IPCC : The Intergovernmental Panel on Climate Change

AWG-KP : The Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I

Parties under the Kyoto Protocol

AWG-LCA : The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

SBSTA : Body for Scientific and Technological Advice

SBI : Subsidiary Body for Implementation

CMP : The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol

EIT : Economic in Transition

OECD : Organization for Economic Cooperation and Development

NDRC : The National Development and Reform Commission

NEA : National Energy Administration

NEC : National Energy Commission

CNOOC : China National Offshore Oil Corporation

Sinopec : China Petroleum and Chemical Company

CNPC : China National Petroleum Company

MFA : Ministry of Foreign Affairs

CDM : Clean Development Movement

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian negara berkembang di Asia seperti Cina dan India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat di kawasannya. Globalisasi ekonomi1 yang terjadi telah merubah sistem perekonomian suatu negara dari yang mulanya lebih fokus pada perekonomian dalam negeri menjadi terlibat dalam pasar global. Dampak globalisasi ini terhadap perekonomian Cina adalah penggunaan sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat (Irham 2009, 2). Dampak dari keterlibatan dalam pasar dunia ini, Cina memproduksi berbagai macam barang dengan produksi masal tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, Cina mempunyai slogan gaige kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2). Wibowo menjelaskan negara yang menganut sistem ekonomi terpusat selama 30 tahun ini secara konsisten mulai mengurangi peran negara serta memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan ekonomi yang terpusat, tidak menentukan harga barang dan jasa, dan tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Kebijakan ekonomi Cina pada masa ini menarik perusahaan swasta dan perusahaan asing untuk masuk dan berinvestasi di Cina agar perkembangan industrinya semakin pesat (Wibowo 2010, 31).

1

Menurut Jackson & Sorenson (2005, 267), globalisasi ekonomi adalah pergeseran kualitatif menuju perekonomian dunia yang tidak lagi berdasarkan pada perekonomian nasional yang otonom, melainkan berdasarkan pada pasar global yang kuat bagi produksi, distribusi dan konsumsi.

(17)

Menurut Wibowo faktor pendukungnya adalah jumlah penduduk yang besar (Cina merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia) dan tidak adanya serikat buruh sehingga mereka dapat digaji murah.

Wibowo (2007, 163) menjelaskan bahwa dampak pengembangan industri di Cina terhadap lingkungan, antara lain; polusi udara yang meningkat, tercemarnya air sungai oleh limbah, serta pembukaan lahan hutan yang merupakan salah satu contoh bagaimana pembangunan ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Xhou Shengxian (Kepala Badan Lingkungan negara Cina), mengatakan bahwa kondisi lingkungan di Cina mengancam kesehatan masyarakat serta kestabilan sosial (Sommerville 2006).

Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara terbesar di dunia yang diakibatkan oleh berkembangnya industri mereka (Saragih 2010). Karena Cina menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, maka Cina pun menjadi sorotan masyarakat internasional dan dituntut untuk mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara.

Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi berbasis industri tidak hanya terjadi di Cina sehingga menyebabkan terjadinya perubahan iklim global yng membuat negara-negara di dunia merasa khawatir akan berbagai bencana yang terjadi. Pemanasan global mengakibatkatkan mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar, coral bleaching, dan gelombang badai besar (Greenpeace, n.d.).

(18)

diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilaksanakan di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 (Erwin 2009, 171). Konferensi ini merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global yang melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan membentuk lembaga United Nations Environment Program (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.

Kelanjutan dari konferensi Stockholm adalah pelaksanaan berbagai konferensi lanjutan untuk membahas masalah perubahan iklim. Pada tanggal 21 Maret 1992 dilaksanakan konferensi lingkungan hidup di Rio de Jainero yang mengangkat topik permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan meluasnya penggundulan hutan (Erwin 2009, 173). Menurut Erwin (2009, 173) Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi ini dapat berimbas pada kepentingan politik, ekonomi, dan sosial secara meluas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diharapkan hasil akhir dari setiap konferensi dapat menciptakan perubahan yang lebih baik untuk pelestarian lingkungan dan dapat dilaksanakan oleh seluruh negara yang menandatangani hasil konferensi tersebut.

(19)

Pada Desember 1997 dilaksanakan Conference of the Parties (COP) ketiga di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Protokol2 Kyoto (Eionet 2011). Protokol Kyoto merupakan persetujuan di mana negara-negara industri akan mengurangi enam macam gas emisi GRK mereka secara kolektif minimal sebesar 5 persen dan terbagi dalam dua kategori (Eionet 2011). Kategori pertama adalah pengurangan tiga gas yang paling penting yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan oksida nitrat (N20) yang akan diukur berdasarkan tahun 1990. Kategori kedua adalah pengurangan tiga gas industri berumur panjang yaitu hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan heksafluorida sulfur (SF6) yang akan diukur berdasarkan pengukuran karbon tahun 1990 atau awal 1995. Setiap negara yang menyetujuinya harus mencapai target tersebut pada periode tahun 2008 - 2012.

UNFCCC hingga saat ini mempunyai 194 negara anggota dan satu anggota dari organisasi integrasi ekonomi regional (UNFCCC n.d. 3). Selain itu, pertemuan

Conference of the Parties (COP) masih rutin dilaksanakan secara bergantian di negara-negara anggotanya. Pada periode 2007 hingga 2009 dilaksanakan pertemuan COP-13 (Bali, Indonesia) pada tahun 2007, pertemuan COP-14 (Poznan, Polandia) pada tahun 2008, dan COP-15 (Copenhagen, Denmark) pada tahun 2009.

(20)

Menurut Heggelund (2007, 155) Cina tidak akan membuat suatu komitmen di waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini membuat komitmen untuk mengurangi emisi.

Namun, pada tahun 2007 Presiden Hu Jintao (dalam Naisbitt 2010, 80) menyatakan bahwa model yang menjadikan Cina bintang pertumbuhan ekonomi global telah usang karena Cina sedang menata model baru yaitu model pertumbuhan pembangunan yang ilmiah. Sejak saat itu, pembangunan ilmiah diterapkan dalam pembangunan ekonomi di Cina dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA). Selain itu, pada tahun 2007 Cina juga mengeluarkan kebijakan Naskah Putih yang mempunyai tujuan low input, low consumption, and high efficiency untuk mendorong konservasi energi negaranya (Mursitama & Yudono 2010, 56).

Meskipun pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan Naskah Putih namun pada tahun 2009 negara ini tetap menjadi negara penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010). Oleh karena itu, Cina ikut serta dalam pembuatan komitmen pengurangan emisi GRK pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 yang tentunya karena mendapat tekanan dari dunia internasional. Kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada tahun 2009 menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini.

(21)

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan oleh peneliti adalah:

1. Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009?

C. Kerangka Teori

Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu lingkungan hidup menjadi salah satu isu yang berkembang dalam politik internasional. Hal ini terjadi khususnya sejak penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development

(UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (Isnaeni & Wardoyo 2008, 225). Banyak kesepakatan atau perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui proses panjang dari sebuah negosiasi dan kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup yang pada hakekatnya merupakan refleksi atas pilihan yang dibuat oleh suatu negara dalam kebijakan luar negerinya untuk menyikapi dinamika isu lingkungan di tingkat global. Skripsi ini menggunakan teori kebijakan luar negeri untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Selain itu, juga digunakan konsep diplomasi untuk melihat bagaimana diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh Cina untuk menghasilkan suatu kesepakatan pada saat konferensi berlangsung.

(22)

bangsa dan lingkungan internasional. Selain itu, menurut Roy Jones (dalam Clarke & White (ed.) 1995, 3), kebijakan luar negeri seperti menembus semua asas untuk melanjutkan kehidupan manusia dan untuk mensejahterakan manusia di masa depan. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri merupakan suatu jembatan penting untuk menghadapi setiap masalah negara bangsa dan eksistensi hubungan antara negara-negara di lingkungan internasional guna melanjutkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakatnya pada masa depan.

Menurut Holsti (1992, 272), terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; internal (domestik) dan eksternal. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.

(23)

Sementara, faktor eksternal menurut Holsti (1992, 272) terdiri dari struktur sistem, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, serta hukum internasional dan opini dunia (Holsti 1992, 272). Struktur sistem menggambarkan posisi dan peranan Cina dalam sistem ekonomi internasional. Tujuan dan tindakan aktor-aktor lain menggambarkan respon dari negara berkembang dan negara industri maju terhadap isu lingkungan hidup global. Masalah regional dan global menggambarkan tentang masalah isu lingkungan hidup global serta bagaimana dampaknya bagi kehidupan masyarakat global. Hukum internasional dan opini publik dunia menggambarkan bahwa globalisasi ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta dampaknya bagi kehidupan global. Gambaran faktor internal dan eksternal tersebut dapat melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.

Setiap negara yang ikut serta dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya mempunyai kebijakan yang merupakan wujud dari kepentingan negaranya. Menurut Hill (2003, 23), kebijakan luar negeri dapat ditafsirkan sebagai sebuah instrumen ataupun sarana untuk menghubungkan tarik-menarik kepentingan yang terus berjalan simultan antara tuntutan internasional dan eksternal terhadap pemerintah. Oleh karenanya, menentukan pilihan atas cara yang lebih demokratis atau lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak mudah dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri.

Menurut Watson (2005, 1-2), diplomasi adalah response to the recognition by several decision-making beings that the performance of each one is matter of

(24)

kepentingan negaranya dalam politik internasional, termasuk pada saat pelaksanaan konferensi lingkungan global.

Menurut Susskind (1994, 44), terdapat tiga keuntungan bagi suatu negara yang berperan aktif dan terlibat dalam negosiasi pembuatan suatu kesepakatan pada konferensi lingkungan global. Pertama, suatu negara dapat membentuk kebijakan internasionalnya yang merupakan hasil dari respon dan kepentingan domestiknya. Kedua, suatu negara dalam negosiasi dapat memilih antara membuat pencitraan positif bagi negaranya dengan menjadi negara yang patuh terhadap kesepakatan atau memilih untuk menolak dan berusaha mencari opsi lain sesuai dengan kepentingan nasional negaranya dengan cara mengajak negara lain yang mempunyai tujuan sama untuk membentuk suatu aliansi. Ketiga, negara berkembang dalam negosiasi lingkungan global dapat meminta agar negara maju menjadi penanggung jawab penyebab utama masalah lingkungan global dengan memberikan kompensasi.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Menurut Irham (2009, 22) metode ini bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya keterkaitan antara suatu gejala dengan gejala lainnya yang relevan dengan masalah penelitian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena perubahan iklim pada tingkat global dan bagaimana mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina. Penelitian ini juga untuk melihat seberapa besar sumbangan emisi Cina terhadap peningkatan pemanasan global.

(25)

dan sekunder. Moleong menjelaskan lebih lanjut bahwa data primer berasal dari wawancara dan dokumen-dokumen. Sedangkan data sekunder berasal dari sumber-sumber kepustakaan, seperti; buku, jurnal, hasil penelitian, dan data dari situs-situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kedua sumber tersebut digunakan dalam penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Teori D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON

CLIMATE CHANGE (UNFCCC)

A. Sejarah UNFCCC B. Prinsip UNFCCC C. Tujuan UNFCCC D. Struktur UNFCCC E. Komitmen UNFCCC

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG

MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA

DALAM UNFCCC A. Faktor Internal

1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina 2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah

a. Dasar-dasar Negara

(26)

3. Kondisi Ekonomi

a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009)

4. Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan a. Kebijakan Energy Security

b. Naskah Putih B. Faktor Eksternal

1. Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional 2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global

3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global

4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global

BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009

A. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC

B. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009

D. Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen tahun 2009

(27)

BAB II

THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE

CHANGE (UNFCCC)

A. Sejarah UNFCCC

Pembentukan UNFCCC merupakan salah satu agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konferensi Rio di Brazil pada tahun 1992 (UNFCCC n.d. 2). Konferensi ini menghasilkan tiga perjanjian internasional yang berada dalam konvensi Rio, yaitu: The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD) dan the United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).

Dari ketiga perjanjian internasional tersebut, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda. UNFCCC menitikberatkan pada pengurangan tingkat pemanasan global dan suhu bumi yang disebabkan oleh pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara akibat industri di negara-negara maju yang mengakibatkan perubahan iklim (UNFCCC n.d.2). Sedangkan CBD menitikberatkan pada pelaksanaan perjanjian keanekaragaman hayati dengan memfokuskan kepada pelestarian spesies mahluk hidup dan transfer teknologi. Selanjutnya, UNCCD memberikan perhatian utama pada masalah penggurunan dan berupaya mengatasi degradasi lahan dengan cara pengelolaan lahan yang tidak subur.

(28)

sesuai Pasal 233 PBB, maka konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Maret 1994.

Konvensi UNFCCC menetapkan suatu kerangka menyeluruh bagi negara-negara anggotanya untuk mengatasi perubahan iklim (UNFCCC n.d. 4). Di bawah konvensi ini, negara-negara anggota mengumpulkan dan membagi informasi tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Setiap negara anggota dapat membuat kebijakan dan strategi nasional untuk dapat mengatasi emisi GRK di negaranya sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap dampak dari perubahan iklim. Negara-negara anggota UNFCCC bekerjasama untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim dengan cara menyediakan dukungan keuangan bagi perbaikan lingkungan yang rusak dan transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

Sekertariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996 (UNFCCC n.d. 5). Sekretariat secara institusional berhubungan langsung dengan PBB dan melaporkan secara rutin setiap hasil yang dicapai dalam konferensi namun PBB memberikan kewenangan kepada UNFCCC untuk menyelenggarakan suatu konferensi tanpa terintegrasi dengan program apapun. Sekretariat mempunyai sekitar 400 karyawan dari seluruh dunia. Kepala dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretaris Eksekutif UNFCCC yang bertugas pada tahun 2006 – 2010 adalah Yvo de Boer.

Sekretariat UNFCCC terdiri dari tujuh fungsi utama, yaitu; fungsi pertama adalah membuat peraturan mengenai pelaksanaan pada setiap sesi dalam konferensi (UNFCCC n.d. 5). Fungsi kedua adalah memantau pelaksanaan

33

(29)

komitmen di bawah konvensi4 dan protokol5 melalui pengumpulan, analisis, dan peninjauan atas informasi dan data yang diberikan oleh negara-negara anggota UNFCCC. Fungsi ketiga adalah membantu negara-negara anggota UNFCCC dalam melaksanakan komitmen mereka. Fungsi keempat adalah mendukung negosiasi dalam kerangka kerja UNFCCC untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Fungsi kelima adalah mempertahankan agar negara-negara yang sudah meratifikasi isi protokol untuk berkomitmen dan benar-benar melaksanakan hasil kesepakatan protokol tersebut dalam mengurangi kredit emisi6. Fungsi keenam adalah memberikan dukungan kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk mematuhi Protokol Kyoto. Kemudian, Fungsi terakhir adalah berkoordinasi dengan sekertariat badan internasional lain yang relevan, khususnya the Global Environment Facility (GEF) serta lembaga pelaksana (UNDP, UNEP, dan Bank Dunia), the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), maupun konvensi lain yang terkait.

B. Prinsip UNFCCC

Konvensi UNFCCC menekankan kesetaraan dan keprihatinan (precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan (Deptan 2010). Pada konvensi ini juga terdapat prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda.

4

(30)

Selain itu, UNFCCC mempunyai lima prinsip untuk mencapai tujuan konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan konvensi (UNFCCC n.d. 6). Kelima prinsip ini merupakan pedoman bagi negara-negara anggota UNFCCC.

Pertama: Negara anggota UNFCCC harus melindungi sistem iklim7 bagi

kepentingan generasi umat manusia pada masa sekarang dan pada masa depan. Perlindungan ini atas dasar kesetaraan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan bersama di mana masing-masing negara mempunyai tanggung jawab berbeda. Hal ini berarti bahwa negara industri maju harus menjadi pemimpin dalam mengurangi perubahan iklim dan efek dari perubahan iklim tersebut.

Kedua: Adanya kebutuhan dan keadaan khusus bagi negara berkembang

(khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil dan negara yang mengandalkan sumber pemasukan negaranya pada minyak) karena mereka rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara berkembang akan menanggung beban berat terhadap dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim sehingga mereka harus diberi pertimbangan penuh di bawah konvensi UNFCCC.

Ketiga: Negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan pencegahan untuk

mengatisipasi, mencegah, atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim dan mengurangi dampak negatifnya.

Keempat: Negara anggota UNFCCC memiliki hak untuk dan harus

mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Pembangunan berkelanjutan merupakan implementasi dari pembangunan nasional namun dalam pelaksanaannya tetap harus diintegrasikan (digabungkan) dengan kebijakan untuk

7

(31)

melindungi sistem iklim. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi seharusnya berintegrasi dengan langkah-langkah dalam mengatasi perubahan iklim.

Kelima: Negara anggota UNFCCC harus bekerja sama untuk meningkatkan sistem

ekonomi internasional yang terbuka sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara berkembang. Dengan adanya sistem ekonomi internasional yang terbuka ini, maka negara berkembang akan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di negaranya.

C. Tujuan UNFCCC

UNFCCC mempunyai beberapa tujuan (UNFCCC n.d. 7), yaitu:

1. Meminimalisasi efek dari perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan karena adanya kerusakan pada ketahanan, komposisi, atau produktifitas ekosistem alam yang semuanya disebabkan pelaksanaan sistem sosial ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia.

2. Mendorong negara-negara anggota UNFCCC untuk berkomitmen mengurangi pelepasan emisi GRK ke dalam atmosfer dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam konvensi.

(32)

D. Struktur UNFCCC

Bagan 2.1. Struktur UNFCCC

Execut

Note: BRM, Bali Road Map, which includes support to the Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) and the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA); COP, Conference of the Parties, CMP, Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol; SBSTA, Subsidiary Body for Scientific And Technological Advice; SBI, Subsidiary Body for Implementation

(Sumber: UNFCCC n.d. 8)

Bagan 2.1 di atas menggambarkan bahwa dalam struktur, Bali Road Map Support (BRM) yang di dalamnya didukung oleh Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

(AWG-LCA), Conference of the Parties (COP), Conference of the Parties serving as the meeting of the parties to the Kyoto Protocol (CMP), Subsidiary Body for Scientific And Technological Advise (SBSTA), dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) . AWG-KP merupakan kelompok kerja yang dibentuk oleh

(33)

merupakan kelompok kerja Ad Hoc yang berkomitmen lebih lanjut bagi negara-negara Annex I yang berada di bawah Protokol Kyoto untuk mendiskusikan komitmen pada masa depan bagi negara-negara industri yang berada di bawah Protokol Kyoto.

Sementara, AWG-LCA dibentuk dalam COP-13 tahun 2007 di Bali, Indonesia (UNFCCC n.d. 10). COP-13 di Bali ini menghasilkan Bali Action Plan.

Bali Action Plan merumuskan proses yang komprehensif agar memungkinkan pengimplementasian secara penuh dan efektif di bawah konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang (mulai tahun 2007 hingga tahun 2012) sesuai dengan keputusan yang diambil pada sesi kelima belas dari COP-13. Pada sesi kelima belas, diputuskan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan suatu badan pendukung yaitu, AWG-LCA. AWG-LCA akan menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 2009 dan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP untuk diadopsi pada pertemuan COP-15 di Copenhagen, Denmark.

Pada bagan di atas terdapat Conference of the Parties (COP) yang merupakan otoritas utama dan sebagai badan tertinggi konvensi UNFCCC (UNFCCC n.d. 11). COP bertugas meninjau secara teratur pelaksanaan konvensi setiap negara anggota UNFCCC. Dalam melakukan tugas ini, COP dapat mengadopsi dan membuat mandat atau suatu keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari konvensi. COP bertanggung jawab untuk mengkaji ulang implementasi konvensi dan instrumen legal lain terkait dengan konvensi. COP juga berkewajiban membuat keputusan yang diperlukan untuk meningkatkan implementasi konvensi.

(34)

(SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) (Deptan 2010). COP terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan biasanya bertemu setiap tahun selama jangka waktu dua minggu. Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah negara anggota UNFCCC, pengamat organisasi, dan wartawan. COP mengevaluasi status perubahan iklim dan efektivitas perjanjian. COP mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh setiap negara anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diambil. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau komunikasi nasional8 dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk melanjutkan mengatasi perubahan iklim.

Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh beberapa badan resmi, yaitu (UNFCCC n.d. 11):

a. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sebagai penasehat COP mengenai masalah-masalah iklim, lingkungan, teknologi, dan metode. SBSTA dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

b. Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang membantu meninjau bagaimana konvensi diimplementasikan, misalnya dengan menganalisis komunikasi nasional yang disampaikan oleh negara anggota. Selain itu, SBI juga berkaitan dengan masalah keuangan dan administrasi. SBI dan COP bertemu dua kali dalam setahun.

c. Kelompok ahli berdasarkan konvensi UNFCCC, ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Consultative Group of Experts (CGE). CGE membangun komunikasi nasional dari negara non-Annex yang merupakan

8

(35)

negara berkembang untuk menyiapkan laporan nasional mengenai isu perubahan iklim. Kelompok kedua adalah Least Developed Country Expert Group (LEG). LEG memberikan saran pada negara-negara berkembang dalam mengintegrasikan program-program nasionalnya dengan menjaga sistem iklim sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Kelompok ketiga adalah Expert Group on Technology Transfer (EGTT). EGTT bertugas untuk memacu transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang.

d. Global Environment Facility (GEF) merupakan mitra instansi COP yang bertugas mendanai proyek-proyek di negara-negara berkembang yang memiliki manfaat bagi lingkungan global.

Pada dasarnya, COP merupakan badan tertinggi konvensi UNFCCC dan juga terdapat the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP) yang merupakan badan tertinggi dalam Protokol Kyoto yang sama-sama tergabung di dalam bagan struktur UNFCCC (UNFCCC n.d. 12). Fungsi CMP yang berkaitan dengan Protokol Kyoto sama dengan yang dilakukan COP untuk konvensi. COP dan CMP sama-sama bertemu setiap tahun dalam periode yang sama. Sama seperti COP, badan tetap yang membantu CMP berdasarkan konvensi adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan the Subsidiary Body for Implementation (SBI).CMP bertugas mempersiapkan sidang para negara-negara anggota yang telah meratifikasi Protokol Kyoto9. Peserta pada konvensi yang bukan merupakan negara dalam Protokol Kyoto, dapat berpartisipasi dalam CMP tetapi tidak mempunyai hak

9

(36)

dalam pengambilan keputusan. Pertemuan pertama CMP dengan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diadakan di Montreal, Kanada, pada Desember 2005 bersamaan dengan dilaksanakannya COP-11.

E. Komitmen UNFCCC

Terdapat lima komitmen yang harus dilaksanakan oleh UNFCCC (UNFCCC n.d. 13), yaitu:

1. Memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk mengambil tindakan pengurangan emisi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim pada tingkat global, regional, dan nasional.

2. Memberikan dukungan penuh bagi pemerintah negara-negara anggota UNFCCC dalam mengimplementasikan konvensi dan Protokol Kyoto. 3. Membantu negara-negara anggota untuk menciptakan dan memelihara

kondisi domestik yang kondusif sehingga dapat lebih efektif dan efisien pada saat mengimplementasi Protokol Kyoto.

4. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan data yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di dunia tentang perubahan iklim serta upaya-upaya untuk mengatasinya.

5. Mempromosikan dan meningkatkan keterlibatan aktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bisnis dan industri, serta keterlibatan masyarakat internasional dalam penanggulangan perubahan iklim melalui komunikasi yang efektif.

F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC

(37)

n.d. 3). Negara-negara yang menjadi anggota UNFCCC ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu; kelompok negara Annex I, kelompok negara non-Annex, dan

observer.

Annex I merupakan negara-negara industri maju yang telah menjalankan industrinya sejak tahun 1950-an dan merupakan anggota dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)10, ditambah dengan negara-negara dengan ekonomi dalam transisi (Economic in Transition/EIT), seperti; pecahan Uni Soviet dan beberapa negara dari Eropa Tengah dan Timur (UNFCCC n.d. 15). Kelompok negara Annex I ini harus menyediakan keuangan untuk negara-negara berkembang dalam melakukan kegiatan pengurangan emisi sesuai amanat konvensi serta membantu mereka untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim.

Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1

No. Kelompok Annex I Negara

1. Negara yang tergabung dalam OECD

Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Denmark, Estonia, European Union, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.

2. Negara yang

tergabung dalam EIT

Latvia, Lithuania, Malta, Belarus, Romania, Kroasia, Lietchtenstein, Monako, Federasi Rusia, dan Ukraina.

(Sumber: UNFCCC n.d. 14)

Kelompok kedua adalah kelompok negara non-Annex. Kelompok ini terdiri dari negara-negara berkembang dan beberapa di antaranya diakui oleh konvensi sebagai negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena

10

(38)

merupakan negara kepulauan kecil yang mempunyai daratan rendah dan rentan terhadap penggurunan dan kekeringan (UNFCCC n.d. 15). Selanjutnya, dalam kelompok non-Annex terdapat 49 negara anggota UNFCCC yang diklasifikasikan sebagai Least Development Countries (LDCs) oleh PBB yang diberi pertimbangan khusus di bawah konvensi karena negara-negara tersebut mempunyai keterbatasan dalam merespon dan beradaptasi pada efek perubahan iklim.

Dalam hal ini, Cina digolongkan ke dalam kelompok negara non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia (Saragih 2010), sehingga Cina mempunyai pengaruh di dalam pembuatan kesepakatan dalam konferensi perubahan iklim. Jika melihat posisi Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, maka konferensi perubahan iklim tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju namun juga oleh segelintir kelompok negara berkembang yang mempunyai peranan penting terutama dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Denmark.

(39)

Dalam konferensi perubahan iklim, observer yang diizinkan untuk menghadiri konvensi UNFCCC adalah lembaga antarpemerintah, seperti; the United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations Environment Programme (UNEP), the World Meteorogical Organization (WMO),

the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), the International Energy Agency, dan the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) (UNFCCC n.d. 15). Hingga saat ini, lebih dari 50 lembaga antarpemerintah dan organisasi internasional menghadiri sesi dari COP. Selain itu, lebih dari 600 LSM yang terakreditasi dapat berpartisipasi dalam pertemuan yang berkaitan dengan konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC.

G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009

UNFCCC hingga tahun 2009, telah melaksanakan Conference of the Parties (COP) selama lima belas kali. COP-15 diadakan di Copenhagen, Denmark. Sebelum COP-15 berlangsung, terdapat beberapa konferensi sebelumnya yang dilaksanakan oleh UNFCCC. Salah satunya yang terpenting adalah COP-3 pada tahun 1997 yang dilaksanakan di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Kyoto yang dipandang sebagai langkah penting pertama menuju rezim pengurangan emisi secara global yang akan menstabilkan emisi GRK dan menyediakan arsitektur penting dalam setiap perjanjian internasional tentang perubahan iklim di masa mendatang (UNFCCC n.d. 16).

(40)

pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC. Untuk itu, baik pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Erantis 2009). Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya.

Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120 kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500 orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput konferensi ini (UNFCCC n.d. 17). Dengan banyaknya undangan yang hadir dan mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat.

Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi (UNFCCC n.d. 17). Pertama adalah konferensi sidang COP-15 (15th Conference of the Parties – COP15) yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim, UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari 1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari 300 konferensi pers.

Menurut Rendra Kurnia,11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara

11

(41)

negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock (jalan buntu) ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan

green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi.

Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara tertinggal (Ashadi 2010). Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia, Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 (YD 2009).

Dalam Copenhagen Accord, negara-negara anggota UNFCCC membuat komiten tentang pengurangan perubahan iklim dan harus disepakati oleh seluruh negara anggotanya (UNFCCC n.d. 18). Berikut ini adalah kedua belas poin

Copenhagen Accord yang harus disepakati:

(42)

mendesak untuk segera diselesaikan dengan prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda. Prinsip ini merupakan tujuan utama dalam konvensi guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir hingga pada level yang tidak berbahaya bagi sistem iklim. Karena itu, temperatur global harus diturunkan sebesar dua derajat celsius dengan cara meningkatkan kerja sama jangka panjang untuk menanggulangi perubahan iklim antarnegara-negara anggota UNFCCC sehingga mereka akan mampu mengadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Kedua: Kami setuju untuk mengurangi tingkat emisi global yang merupakan kewajiban semua negara-negara UNFCCC (terutama negara industri maju) sehingga akan mampu menurunkan tingkat suhu global sebesar dua derajat celcius. Kami akan bekerja sama untuk mencapai pengurangan tingkat emisi global dan emisi nasional karena semakin cepat semakin baik. Kami mengakui bahwa saat ini kerangka puncak pelepasan emisi terbesar akan berada di negara-negara berkembang karena mengingat bahwa pembangunan sosial, ekonomi, dan pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas utama negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penerapan pengembangan strategi emisi rendah12 di negara berkembang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan.

Ketiga: Setiap negara harus beradaptasi untuk menghadapi efek negatif dari perubahan iklim dan mereka harus mampu merespon dengan meningkatkan kerjasama internasional yang merupakan kewajiban dalam pengimplementasian

12

(43)

konvensi. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di negara kurang berkembang, negara kepulauan kecil berkembang, dan Afrika. Kami setuju bahwa negara-negara industri maju harus dapat menyediakan dan menyokong sumber keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tindakan adaptasi di negara-negara berkembang.

Keempat: Negara-negara Annex I berkomitmen baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama dengan negara lain untuk mengukur seberapa besar target emisi yang akan dihasilkan dari perekonomian pada tahun 2020. Hasil komitmen tersebut akan disampaikan dan dimasukkan oleh negara-negara Annex I dalam lampiran I (Appendix I) yang akan diserahkan kepada Sekertariat UNFCCC pada tanggal 31 Januari 2010. Negara-negara Annex I yang tergabung dalam Protokol Kyoto akan memperkuat penggurangan emisi yang telah diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pengurangan emisi dan bantuan pendanaan dari negara industri maju ke negara-negara berkembang akan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (buktikan) sesuai dengan garis pedoman selanjutnya yang telah diadopsi oleh Conference of the Parties (COP).

(44)

oleh negara-negara non-Annex, termasuk laporan inventaris nasional yang akan dikomunikasikan agar terjaga konsistensi komunikasi nasional.

Keenam: Kami mengakui bahwa terdapat peran penting untuk mengurangi emisi dari penebangan dan degradasi hutan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kembali penyerapan GRK oleh hutan maka harus segera membuat suatu mekanisme agar memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara industri maju.

Ketujuh: Kami memutuskan untuk mengejar berbagai pendekatan termasuk kesempatan untuk menggunakan pasar guna meningkatkan efektivitas biaya dan untuk mempromosikan tindakan mitigasi kepada seluruh negara di dunia. Pendekatan ini khususnya ditujukan bagi negara-negara berkembang karena kondisi perekonomian mereka lemah maka harus diberikan insentif (dorongan) agar mereka terus melanjutkan pengembangan pada jalur emisi rendah.

(45)

dengan menyalurkan dana 100 milliar USD pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan di negara-negara berkembang. Dana ini berasal dari berbagai sumber baik publik maupun swasta di mana sebagian dana tersebut harus mengalir melalui

Copenhagen Green Climate Fund.

Kesembilan: Untuk tujuan ini, suatu High Level Panel akan dibentuk di bawah bimbingan COP dan akan bertanggung jawab pada COP. Tujuan pertemuan High Level Panel untuk mempelajari kontribusi dari sumber-sumber pendapatan yang potensial, termasuk sumber pembiayaan alternatif.

Kesepuluh: Kami memutuskan bahwa Copenhagen Green Climate Fund akan dibentuk sebagai suatu eksistensi mekanisme keuangan dalam konvensi.

Copenhagen Green Climate Fund yang berfungsi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan, dan kebijakan-kebijakan lainnya di negara berkembang yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, pengembangan, serta transfer teknologi.

Kesebelas: Dalam rangka meningkatkan tindakan dalam transfer serta pengembangan teknologi, maka kami memutuskan untuk mendirikan Technology Mechanism untuk mempercepat transfer dan pengembangan teknologi guna mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi yang akan dipandu oleh pendekatan negara pemberi (negara industri maju) berdasarkan pada keadaan nasional dan prioritasnya.

(46)

Pada skripsi ini, pembahasan difokuskan pada kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi Copenhagen berlangsung. Pada COP-15 di Copenhagen, Cina memiliki peranan penting. Bab selanjutnya akan membahas faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi UNFCCC, khususnya pada COP-15.

(47)

BAB III

FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC

Pada bab III penulis membahas tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC), khususnya pada konferensi perubahan

iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal dan eksternal yang digunakan didasarkan pada konsep kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992, 272). Kedua faktor tersebut akan menggambarkan sikap dan posisi Cina dalam pengambilan kebijakan luar negerinya pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen. Selanjutnya, kedua faktor tersebut akan dipaparkan lebih lengkap pada pembahasan di bawah ini.

A. Faktor Internal

1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina

Kondisi geografis dan demografis di Cina merupakan salah satu faktor penting bagi masalah lingkungan di negaranya. Secara demografis, Cina merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia dengan hampir 1,3 milliar penduduk dan mayoritasnya bersuku bangsa Han (CIA 2011). Jumlah penduduk Cina yang besar tidak diikuti persebaran penduduk yang rata. Hal ini dilatarbelakangi oleh urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota.

Pada tahun 2009, sekitar 200 juta masyarakat pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan (CIA 2011). Dalam data CIA, kota yang dipilih sebagai

(48)

pada tahun 2009 menyebabkan lima kota besar di Cina yang memiliki penduduk yang paling padat, di antaranya; Shanghai (16.575 juta penduduk), Beijing (12.214 juta penduduk), Chongqing (9.401 juta penduduk), Shenzen (9.005 juta penduduk), dan Guangzhou (8.884 juta penduduk).

Secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada (Naisbitt 2010, 20). Namun, hanya sepertiga wilayah daratan Cina yang dapat ditanami dan dua pertiganya adalah pegunungan serta gurun. Lieberthal (1995, 278) membagi topografi Cina menjadi tiga daerah. Pertama adalah daerah bagian barat laut yang merupakan daerah kering yang disebabkan oleh kencangnya hembusan angin (erosi angin). Kedua adalah daerah bagian barat daya yang merupakan daerah dingin karena terdiri dari dataran tinggi. Terakhir merupakan daerah bagian timur yang merupakan daerah aliran sungai.

Kondisi geografis Cina yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang muncul seperti masalah kekurangan air dibeberapa daerah dan penyebarannya tidak merata. Menurut Presiden Hu (dikutip dalam Naisbitt 2010, 108) menyatakan bahwa: “20 persen jumlah penduduk Cina merupakan populasi dunia, namun Cina hanya memiliki tujuh persen sumber daya air”. Salah satu contohnya adalah daerah Cina Utara. Cina Utara adalah daerah kering secara alami dan hanya memiliki kurang dari 20 persen air dari total jumlah air di Cina tetapi memiliki 40 persen penduduk negaranya.

(49)

hanya satu dari tujuh desa dan hanya setengah dari masyarakat perkotaan di Cina yang dapat mengkonsumsi air bersih. Selanjutnya, Liberthal (1995, 287) menjelaskan berdasarkan survei dari 434 kota di Cina ditemukan bahwa 188 kota diantaranya kekurangan air dan 40 kota mengalami kekurangan air yang parah.

Pesatnya kemajuan industri Cina tidak hanya menyebabkan kekurangan air bersih tetapi juga menyebabkan polusi udara. Menurut Saragih (Darmawan (ed.) 2006, 133) dari 20 kota di Asia yang mempunyai udara kotor, 11 kota diantaranya berada di Cina. Dari kesebelas kota tersebut adalah Beijing, Chengdu, Chongqing, Guangzhou, Harbin, Jinan, Shanghai, Shenyang, Tianjin, Wuhan, dan Xi’an. Faktor penyumbang terbesar polusi di Cina adalah gas buangan dari mesin-mesin dan penggunaan batubara oleh industri.

Dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang telah disebutkan di atas maka hal tersebut mempengaruhi pemerintah Cina untuk turut serta dalam pembuatan komitmen pada saat konferensi perubahan iklim terutama pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Selain itu, pemerintah Cina menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di negaranya jika terus menerus diabaikan maka akan semakin memburuk di masa depan sehingga tentunya sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan masyarakatnya.

2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah

(50)

sesuai dengan amandemen Konstitusi Republik Rakyat Cina yang diadopsi pada sesi pertama pada saat Kongres Rakyat Nasional (KRN) Ketujuh pada tanggal 12 April 1988, sesi pertama Kongres Rakyat Nasional Kedelapan pada tanggal 29 Maret 1993, sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesembilan pada tanggal 15 Maret 1999, dan pada sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesepuluh pada tanggal 14 Maret 2004 (Chinesse Government’s Official Web Portal 2006). Struktur pemerintahan tersebut akan dapat digambarkan mengenai pembuatan kebijakan luar negeri Cina dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.

a. Dasar-dasar Negara

Pasal 1 Konstitusi Cina (dalam Lieberthal 1995, 357) menjelaskan bahwa Cina merupakan negara sosialis yang berdasarkan kelas (persekutuan pekerja dan petani) serta sistem sosialis merupakan sistem dasar negara ini. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 Konstitusi Cina menyatakan bahwa semua badan pemerintahan, prajurit militer, semua anggota politik, organisasi publik, dan semua perusahaan dan institusi harus patuh pada konstitusi dan hukum negara (Lieberhtal 1995, 358). Hal ini berarti Cina menjunjung tinggi hukum agar terciptanya suatu keadilan dan perdamaian di negaranya.

(51)

sendiri. Sosialisme Cina tampak pada Pasal 10 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995, 359) menjelaskan bahwa tanah merupakan milik negara sehingga tidak ada yang dapat memilikinya tetapi hanya dapat menggunakannya.

b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah

Pada sub bab ini dijelaskan mengenai pembagian fungsi dan wewenang pemerintah Cina untuk menjelaskan hirarki pemerintahannya serta siapa aktor yang berperan dalam menjalin hubungan dan kerjasama dalam dunia internasional seperti pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Badan eksekutif Cina terdiri dari Presiden dan Perdana Menteri (PM). Pada tahun 2009 yang menjabat Presiden Cina adalah Hu Jintao (Periode 15 Maret 2008 - sekarang) (CIA 2011). Pada Pasal 62 Konstitusi Cina berisi bahwa presiden berwenang untuk memilih perdana menteri (PM) (Lieberthal 1995, 367).

Pasal 89 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995, 372-373) berisi bahwa PM mempunyai beberapa fungsi, yaitu; mengikuti dan memimpin hubungan luar negeri dan ikut serta dalam perjanjian dan persetujuan dengan negara lain. Dalam hal ini, PM Cina lebih berperan aktif dalam pembangunan hubungan internasional dengan negara lain, seperti mewakili negaranya yang tergabung dalam UNFCCC dengan mengikuti konferensi perubahan iklim.

(52)

3. Kondisi Ekonomi

a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada Masa Mao Hingga Saat Ini (tahun 1954-2009)

Menurut Reynolds (1984, 73) Sekitar tahun 1950an, Cina merupakan negara agraris yang sangat luas dan hasil pertaniannya mampu mencapai 35 persen dari gross national product (GNP) dan sekitar 70 persen rakyatnya masih bekerja di ladang. Selanjutnya, Lieberthal (1984, 56) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Mao Zedong (periode 1954-1959), sekitar 80 persen rakyatnya tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani. Pada saat itu, Cina hanya bergantung dari hasil pertanian, sehingga menjadikan negara ini menjadi salah satu negara miskin di dunia.

Menurut Naisbitt (2010, 37) pada masa Mao Zedong terdapat sistem yang disebut da-guo-fan yang berarti di dalam satu kuali besar. Sistem tersebut dipandang sebagai jaminan bahwa kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang akan mendapat jumlah makanan yang sama tanpa memandang nilai kerjanya dalam penciptaannya. Namun, sistem tersebut hampir tidak memberikan hasil apa pun kepada semua orang.

(53)

Reynolds (1984, 71) menjelaskan bahwa sebagai negara agraris, total ekspor yang berasal dari produk hasil pertanian Cina pada awal tahun 1950 sekitar 50 persen, sementara pada tahun 1969 sekitar 37 persen, dan pada tahun 1979 menurun drastis hingga sekitar 23 persen. Namun, pada awal tahun 1980, Cina menjadi negara importir produk pertanian sehingga total nilai impornya melebihi 1 Milliar USD. Hal ini terjadi karena pada tahun 1979 terjadi transformasi perekonomian yang besar di Cina.

Kemudian, menurut Irham (2009, 1) pasca meninggalnya Mao Zedong pada tahun 1976 terjadi transisi politik di Cina dengan munculnya Deng Xiaoping sebagai pemimpin baru. Deng Xiaoping mempunyai visi baru mengenai komunisme negaranya serta menghasilkan kemajuan perekonomian yang signifikan. Visi baru tersebut diwujudkan dengan menjunjung tinggi ideologi komunisme dengan tetap memegang teguh kekuasaan partai namun tetap memulai proses liberalisasi dan modernisasi di Cina.

Elizabeth J. Perry (dikutip dalam Naisbitt 2010, 22) menjelaskan bahwa Cina mengambil bagian-bagian kapitalisme sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai sasaran ekonomi, tetapi tidak melepas pijakan politiknya. Pada sistem pembangunan perekonomiannya, Cina mempunyai sistem ekonomi khusus yang hanya dimiliki oleh Cina. Sistem ekonomi ini muncul pada tahun 1978 masa pemerintahan Deng Xiaoping yang memiliki slogan gaige kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2).

(54)

Xiaoping dilakukan dalam empat bidang modernisasi, yaitu; pertanian, industri, pertahanan nasional, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari kebijakan ini, dapat terlihat dari pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina.

Menurut Irham (2009, 2) pada tahun 1978, Cina mulai menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat yang digagas pada masa Mao Zedong. Sistem ekonomi Cina berorientasi terhadap pasar namun tetap berada dalam bingkai sistem politik yang digariskan oleh Partai Komunis Cina sehingga sistem ini sering juga disebut dengan Sistem Sosialis dengan karakteristik Cina.

Kebijakan ekonomi pasar sosialis ini telah mendorong masyarakat pedesaan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan guna mencari pekerjaan yang lebih baik. Arus urbanisasi inilah, yang menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), merupakan permasalahan utama di Cina sebagai efek samping dari industrialisasi nasional yang di mulai tahun 1978 sehingga Cina menjadi salah satu negara dengan tingkat urbanisasi terbesar di dunia. Meskipun telah melakukan urbanisasi, menurut PM Wen Jiabao, hanya sebagian masyarakat dan wilayah di negaranya yang sudah kaya.

(55)

Pada tahun 2008, sekitar 38,1 persen penduduk Cina bekerja di sektor pertanian (CIA 2011). Menurut data CIA sekitar 34,1 persen penduduk Cina bekerja di sektor jasa, dan terakhir sekitar 27,8 persen bekerja di sektor industri. Dengan besarnya jumlah penduduk Cina, maka timbul persaingan kompetitif untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini tampak pada jumlah pengangguran di tahun 2009 yakni sebesar sebesar 4,3 persen dari sekitar 1,3 milliar jumlah penduduknya (CIA 2011).

Sejak tahun 1978 hingga 2005, perdagangan internasional Cina meningkat 69 kali lipat dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 17 persen (Irham 2009, 3). Pada tahun 2005, Cina menjadi negara pengekspor terbesar ketiga di dunia. Rasio angka impor dibandingkan ekspor dalam gross domestic product (GDP) adalah 63 persen pada tahun 2005. Hal ini, menjadikan Cina masuk dalam jajaran negara-negara yang terintegrasi ke dalam perekonomian dunia. Sementara itu, perolehan devisa melonjak ke angka 1 triliun USD pada akhir tahun 2006. Tabel berikut akan menjelaskan peningkatan jumlah GDP Cina dari tahun 2008 hingga 2010.

Tabel 3.1 GDP Cina tahun 2008, 2009 dan 2010

No. Periode Jumlah GDP Cina Jumlah GDP

Gambar

Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1
Tabel 3.1 GDP Cina tahun 2008, 2009 dan 2010
Tabel 3.2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak Cina

Referensi

Dokumen terkait

Mewujudkan kesejahteraan bersama dengan membuka kesempatan kerja, pemberdayaan penduduk setempat yang lemah, baik di bidang pendidikan dan ketrampilan hidup agar bisa bersaing

Selain itu, organisasi juga mampu menjalankan orientasi layanan organisasional sebagai suatu serangkaian kebijakan, praktek dan prosedur organisasi yang ditujukan

(a) Relationships between annual stem growth respiration rate and sapwood relative growth rate and (b) between annual stem maintenance respiration rates and sapwood relative

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “PENGARUH RASIO PROFITABILITAS, RASIO SOLVABILITAS, RASIO LIKUIDITAS DAN PRICE EARNING RASIO (PER) TERHADAP

Sanggahan sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kalender setelah pengumuman ini dengan tembusan kepada Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Pekerjaan Umum

Strategi Elaborasi adalah proses penambahan perincian sehingga informasi baru akan menjadi lebih bermakna, oleh karena itu pengkodean lebih mudah dan lebih

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan isolat B2, B3 memiliki bentuk irregular, elevasi raised, tepi serate dan entire, permukaan halus dan kasar,warna putih dan