• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT

B. Hukum Islam

1. Pengertian Perjanjian (Akad)

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam

hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat,

menyambung atau menghubungkan (al-rabt).32 Secara terminologi, akad

memiliki arti umum (al-ma’na al-âm) dan khusus (al-ma’na al-khâs). Adapun arti umum dari akad adalah “segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli,

sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus

(al-ma’na al-khâs) akad adalah Pertalian atau keterikatan antara îjâb dan qabul

sesuai dengan kehendak syarî’ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan

akibat hukum pada obyek akad.33

31

Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h.155. 32

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.68.

33

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.60.

Îjâb dan qabûl dimaksudkan untuk menunjukan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh karena itu, îjâb dan qabûl menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak secara timbal balik. Îjâb adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabûl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.34

Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syarî’ah” dalam definisi di atas, maksudnya adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dipandang sah jika tidak sejalan dengan kehendak atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) misalnya akad untuk melakukan transaksi riba atau transaksi lain yang dilarang. Apabila

ijâb dan qabûl telah dilakukan sesuai dengan kehendak syara’, maka munculah akibat hukum dari perjanjian tersebut.35

2. Pengertian Ijârah

Menurut Ulama Hanafi ijârah adalah transaksi terhadap suatu menfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi’i adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu

34Ibid. 35Ibid.

imabalan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, akad ijârah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijârah itu hanya ditujukan kepada adanya menfaat pada barang maupun bersifat jasa.36

Dasar hukum dibolehkanya akad ijârah terdapat dalam Al-Qur’an yaitu pada surat al-Qasas (28) ayat 26 yang berbunyi:

)

ﻟا

ﺺﺼﻘ

/

28

:

26

(

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya" (al-Qasas/28: 26).

Ijârah yang mempunyai status hukum boleh ini, mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kebolehannya. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:37

1. Harus diketahui kegunaanya, seperti membuat rumah, menjahit pakaian,

memakai kendaraan, dan sebagainya. Transaksi sewa-menyewa mempunyai kesamaan dengan jual beli. Jual beli tersebut harus diketahui kualitas barang yang diperjualbelikannya. Demikian juga sewa-menyewa dalam pengertian harus duketahui kualitas barang yang disewa;

36

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. ke-3. h.112.

37

2. Pemanfaatan barang yang disewa harus yang dibolehkan. Menyewakan seorang budak perempuan untuk disetubuhi, atau untuk meratap, atau menyewakan tanah untuk dibangun gereja atau tempat-tempat yang tidak baik (maksiat) adalah dilarang oleh hukum perdata Islam;

3. Harus diketahui oleh penyewa mengenai jumlah upah atau sewa dari suatu

pekerjaan.

3. Asas-Asas Perjanjian (Akad)

Dalam Hukum Islam, Terdapat asas-asas dari suatu perjanjian yang berpengaruh pada status akad. Dimana ketika asas ini tidak terpenuhi akan berakibat pada batalnya atau tidak sahnya perikatan/perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:

a. Asas Ibâhah(Mabda’ al-Ibâhah)

Asas Ibâhah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang

muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada

asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil Syariah. Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan

muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.38

b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’âqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya, sejauh tidak berakibat makan

harta sesama dengan jalan batil.39 Landasan asas kebebasan berakad

terdapat dalam Q.S. al-Mâidah (5) ayat 1:

☺ ⌧

)

ةﺪﺋﺎﻤﻟا

/

5

:

1

(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Mâidah/5: 1).

c. Asas Konsensualisme (Mabda’ al-Ridâiyyah)

38

Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat,

h.83.

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.40 Landasan asas konsensualisme terdapat dalam Q.S. an-Nisâ (4) ayat 29:

⌧ ☺

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

4

:

29

(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. an-Nisâ’/4: 29).

d. Asas Keseimbangan (Mabda’ al-Tawâzun fi al-Mu’âwadah)

Asas keseimbangan dalam transaksi antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan

harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.41

e. Asas Amanah (Mabda’ al-Amânah)

Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengekploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. 42

f. Asas Keadilan (Mabda’ al-‘Adâlah)

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah

Al-Qur’an yang menegaskan, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat

kepada takwa” (Q.S. al-Maidah/5: 8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.43

4. Syarat Sahnya Perjanjian (Akad)

41Ibid., h.90.

42Ibid., h.91. 43Ibid., h.92.

Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga memiliki syarat-syarat khusus. Akad jual-beli memiliki syarat-syarat-syarat-syarat tersendiri sedang akad

al-ijârah (sewa menyewa) demikian juga. Adapun syarat-syarat umum suatu akad itu adalah:44

1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum

(mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum

mumayyiz secara langsung , hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu hukumnya sah.

2. Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula: a) berbentuk harta, b) dimiliki oleh seseorang, dan c) bernilai harta menurut

syara’. Oleh sebab itu, jika obyek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta

dalam Islam, maka akadnya tidak sah, sepreti khamar (minuman keras).

Disamping itu, jumhur ulama fiqh selain ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa barang najis, seperti anjing, bulu dari babi, bangkai dan darah tidak bisa dijadikan obyek akad, karena najis tidak bernilai harta dalam Syara’.

44

3. Akad itu tidak dilarang oleh nas (ayat atau hadits) syara’. Atas dasar syarat ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong sementara (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’.

4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait

dengan akad itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat khususnya. Misalnya, dalam jual beli, disamping syarat-syarat umum suatu akad terpenuhi, juga harus terpenuhi syarat-syarat khusus yang berlaku dalam akad jual beli.

5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal.

6. Pernyataan îjâb tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabûl. Apabila îjâb

tidak utuh dan shahih lagi ketika qabûl diucapkan, maka akad itu tidak sah. Hal ini banyak dijumpai dalam suatu akad yang dilangsungkan melalui tulisan. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan

suatu transaksi dagang melalui surat. 7. Îjâb dan Qabûl dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang

Ahmad al-Zarqa’,45 majelis itu bisa berbentuk tempat dilangsungkannya akad dan bisa juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak dalam satu tempat.

8. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Di mana tujuan akad ini terkait erat dengan tujuan berbagai bentuk akad yang dilakukan. Misalnya dalam akad nikah, tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita, dalam jual beli tujuannya adalah untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli dengan imbalan,

dalam akad ijârah (sewa menyewa) tujuannya adalah pemilikan manfaat

bagi orang yang menyewa dan hak yang menyewakan mendapat imbalan. 5. Hapusnya/Berakhirnya Perjanjian (Akad)

Menurut hukum Islam,46 akad hapus/berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad (tahqîq gharad al-‘aqd), fasakh, infisâkh, kematian, dan

ketidak-izinan (‘adam al-ijâzah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad

mauqûf.

1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan

45

Mustafa bin Ahmad bin Muhammad az-Zarqa (1904-1999 M). Mustafa az-Zarqa adalah seorang ulama fiqh dan mujtahid asal Syiria. Beliau merupakan salah satu guru besar fiqh Islam di Universitas Amman, Yordania. di antara karangannya adalah Madkhal Fiqhi Âm al-Islâmi fi Tsaubihi al-Jadîd.

46

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.75-77.

harganya telah menjadi milik penjual. Demikian juga, akad berakhir

disebabkan intihâ’muddah al-‘aqd (berakhir masa akad). Jika masa

kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi berakhir/selesai dengan sendirinya.

2. Fasakh. sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difaskah:

a. Disebabkan akad dipandang fasâd, misalnya menjual sesuatu yang tidak jelas spesifikasi atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasâd, dan karenanya harus (wajib) difasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang dibelinya.

b. Disebabkan adanya khiyâr. Pihak yang memiliki hak khiyâr, baik

khiyâr syarat, khiyâr ‘aib, kyiyâr ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.

c. Disebakan iqâlah. yaitu fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan

kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya.

d. Disebabkan ‘adam al-tanfîdz yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh

akad tidak dipenuhi oleh pihak atau salah satu pihak yang bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh.

3. Infisâkh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat

dilaksanakan (istihâlah al-tanfîdz) disebabkan âfat samawiyah (force

majeure). Dalam akad jual beli misalnya, barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan ke tangan pembeli.

4. Kematian

Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad yang dimaksud:

a. Akad sewa menyewa (ijârah). b. Akad rahn dan kafâlah.

5. Tidak ada persetujuan (‘adam al-ijâzah). Akad mauqûf berakahir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan akad.

6. Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perjanjian Islam (akad), pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu pertama dengan jalan perdamaian (sulhu); yang kedua dengan jalan arbitrase (tahkîm); dan yang terakhir melalui proses peradilan (al-Qadhâ’).47

a. Sulhu (Perdamaian)

47

Jalan pertama dikakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu

akad adalah menggunakan jalan perdamaian (sulhu) antara kedua pihak.

Dalam fiqh pengertian sulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri

perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri sengketa.48

Perdamaian (sulhu) ini diisyaratkan berdasarkan Al-Qur’an surat al-Hujurât (49) ayat 9, yang berbunyi:

⌧ ☺ ☺ ☺ ☺ ☺

)

تاﺮﺠﺤﻟا

/

:

(

Artinya: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Hujurat/49: 9).

48

A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan. (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983), h.135.

Dalam suatu riwayat Umar r.a pernah berkata: ”Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan menembangkan kedengkian di antara mereka”.49

b. Tahkîm (Arbitrase)

Istilah Tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologis tahkîm berarti pengangkatan seorang atau lebih yang bersengketa, sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bukan oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang bersengketa. Penyelesaian yang dilakukan oleh hakam dikenal di abad modern dengan arbitrase.50

Dasar hukum dari tahkîm ini yaitu QS. an-Nisâ’ (4) ayat 35:

☺ ☺ ☯ ☺ ⌧ ☺

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

4

:

35

(

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah

49

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 2007), jilid 3, h.938. 50

memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. an-Nisa/4: 35).

C. Al-Qadhâ’ (Pengadilan)

Al-qadhâ’ secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fiqih kata ini berarti menetapkan hukum

syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara-perkara atau masalah keperdataan, termasuk ke dalamnya Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada

pengadilan semacam ini dikenal qâdhi (hakim). Penyelesaian sengketa

melalui peradilan melawati beberapa proses, salah satu proses yang penting adalah pembuktian.51 Alat bukti menurut Islam yaitu:52

1. Ikrâr (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu); 2. Syahâdat (persaksian);

3. Yamîn (sumpah);

4. Watsâiq Rasmiyyah Tsâbitah (pegangan resmi yang telah ditetapkan pemerintah).

51Ibid., h.89-90. 52

BAB III

PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA

A. Profil Singkat Perusahaan Daerah Pasar Jaya a. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya1

Perusahaan Daerah Pasar Jaya, pada awalnya adalah perusahaan pasar hasil reorganisasi di lingkungan Djawatan Perekonomian Rakyat DKI Jakarta yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.3/2/15/66 Tanggal 24 Desember 1966, dan kemudian disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Ekbang 8/8/13305 Tanggal 23 Desember 1967.

Seiring dengan perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan dan persaingan usaha yang makin kompetitif, status dan kedudukan hukum PD. Pasar Jaya ditingkatkan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1982 dan disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 511.2331 - 181 Tanggal 19 April 1983.

Dalam upaya meningkatkan peranan PD. Pasar Jaya sebagai perusahaan daerah yang lebih profesional serta mengantisipasi tuntutan perkembangan bisnis

1

Administrator PD. Pasar Jaya, “Sejarah PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.

perpasaran di DKI Jakarta yang makin kompetitif dan untuk meningkatkan fungsi dan peranannya maka Perusahaan Daerah Pasar Jaya ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 Tanggal 30 Desember 1999.

Dengan bergulirnya waktu, pasar terus berkembang. Pada mulanya pasar merupakan tempat bertemunya pedagang dan pembeli dan terjadinya transaksi langsung, namun dari waktu ke waktu, dan tuntutan konsumen pasar yang terus berubah maka pasar tidak hanya sekedar menjadi tempat bertemunya pedagang dan konsumen serta terjadi transaksi barang riil di pasar, akan tetapi pasar merupakan entity business yang lengkap dan kompleks dimana kenyamanan dan kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) yang menjadi tujuan utama.

2. Visi dan Misi PD. Pasar Jaya a. Visi PD. Pasar Jaya2

Sebagai pedoman dan panduan langkah untuk menentukan arah jangka panjang dalam mencapai tujuan perusahaan perlu penyamaan dan pembudayaan visi perusahaan. Visi PD. Pasar Jaya adalah menjadikan pasar tradisional dan modern sebagai sarana unggulan dalam penggerak perekonomian daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

]

2

Administrator PD. Pasar Jaya, “Visi dan Misi PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.

b. Misi PD. Pasar Jaya3

Misi PD. Pasar Jaya adalah menyediakan pasar tradisional dan modern yang bersih, aman, nyaman dan berwawasan lingkungan serta memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang lengkap, segar, murah dan bersaing.

3. Struktur Organisasi PD. Pasar Jaya

Sumber Daya Manusia merupakan aset terpenting bagi perusahaan, maju mundurnya perusahaan sangat tergantung dengan kualitas SDM, teamwork, dan komitmen dalam berorganisasi serta strategi jitu perusahaan dalam menangkap peluang dan memenangkan setiap persaingan yang dihadapi.

Salah satu program utama dalam bidang organisasi adalah restrukturisasi dan pengurangan jumlah karyawan serta pendelegasian tugas dan tanggung jawab secara tepat dan proporsional. Sistem pengelolaan pasar yang semula berdasarkan pendekatan wilayah kotamadya (5 wilayah) diubah menjadi berdasarkan letak geografis yaitu (20 Area). Jumlah karyawan Perusahaan Daerah Pasar Jaya pada bulan Januari 2004 adalah sebanyak 2.241 orang yang tersebar di 151 pasar. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode satu semester sebelumnya yaitu bulan Juli 2003 yang mencapai 3.429 orang.4

3Ibid.

4

Administrator PD. Pasar Jaya, “Organisasi dan SDM PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.

Program restrukturisasi berjalan mulus dan dapat mengurangi beban operasional serta meningkatkan kesejahteraan karyawan yang diimbangi dengan meningkatnya produktivitas kerja. Pada awal tahun 2007 jumlah karyawan 1.876 orang, seiring dengan adanya karyawan yang pensiun, meninggal dunia atau yang mundur atas permintaan sendiri. Jumlah karyawan awal tahun 2009 sebanyak 1541 karyawan.

PD. Pasar Jaya dipimpin oleh 4 orang Direktur yang terdiri atas Direktur Utama, Direktur Administrasi, Direktur Operasi dan Direktur Perencanaan & Hukum yang masing-masing bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pengawas PD. Pasar Jaya. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Kepala Satuan Pengawasan Intern, 7 Manager Divisi dan 19 Manager Area serta 1 Unit Strategic Business Unit / Unit Usaha Perpakiran.5 Berikut ini sturuktur orgnisasi yang berlaku di PD. Pasar Jaya:

a. Badan Pengawas b. Direksi terdiri dari:

1). Direktur Utama 2). Direktur Administrasi 3). Direktur Operasi

4). Direktur Perencanaan dan Hukum

5Ibid.

c. Unsur Staf terdiri dari:

1). Satuan Pengawasan Intern 2). Divisi Satuan Umum dan Humas 3). Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) 4). Divisi Keuangan

5). Divisi Usaha 6). Divisi Teknik 7). Divisi Perencanaan

8). Divisi Hukum dan Keamanan Ketertiban d. Unsur Pelaksana:

1). Unit Area

B. Bentuk Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha

Perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya berkaitan dengan pemakaian tempat usaha terdiri dari dua bentuk perjanjian, yaitu:6

1. Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan

2. Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Penyewa Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan

Dokumen terkait