• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun hukum jual beli adalah sebagai berikut:

a. Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli.

b. Wajib, misalnya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa.

c. Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang.

d. Sunnah.misalnya jual beli kepada sahabat atau keluarga yang dikasihi dan kepada orang yang membutuhkan barang itu.18

Adapun Komisi Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang hukum jual beli beli dengan disertai hadiah, sebagai berikut:

1. Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa perdagangan (perniagaan/jual beli/al-bai’) adalah suatu kegiatan perekonomian yang dihalalkan (diperbolehkan) oleh syari’at Islam. Dalam Q.S al-Baqarah/2:275:

ْا ٰوَب ِ رلٱ َم َّرَح َو َعۡيَبۡلٱ ُ َّللَّٱ َّلَحَأ َو

Terjemahnya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.19

2. Suatu transaksi perdagangan dinilai sah dan halal jika memenuhi rukun-rukun (unsur-unsur) dan syarat-syarat jual beli sebagai berikut:

17 Gemala Dewi , Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di

Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006), h. 78-84 18 Sulaiman Rasjid, Fiqhi Islam, h. 289-290.

19Mushaf Fatimah, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Cet. I; Jakarta: Insan Media Pustaka, 2013), h. 2.

a. Rukun jual beli ada empat yaitu; adanya pihak penjual (al-ba’ii’); pihak pembeli (al-musytari); barang yang diperjual belikan (al-mabi’); dan transaksi (‘aqad);

b. Transaksi (‘aqad) antara pihak penjual (al-ba’ii’) dan pembeli (al-musytari) harus dilakukan atas dasar suka sama suka (‘an-taraadh), dan tidak ada paksaan.

c. Barang yang diperjual belikan (al-mabi’) harus suci dan mempunyai nilai manfaat;

d. Barang-barang tersebut diperjual belikan dengan harga yang wajar.

e. Barang yang diperjual belikan (al-mabi’) harus transparan sehingga tidak ada unsur kesamaran (gharar), atau penipuan (al-ghasy), atau pengkhianatan (al-khiyanah).

3. Jual beli sesuatu benda yang disertai hadiah baik secara langsung maupun diundi dengan tujuan agar para konsumen tertarik untuk membeli produk-produk yang dipasarkan adalah sah dan halal dengan syarat-syarat sebagai berikut: Hadiah yang diberikan harus halal dan sesuai dengan yang dijanjikan. Jika hadiah berupa benda yang haram seperti minuman keras dan barang yang najis, maka tidak sah. Demikian juga jika hadiah yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka hal itu dinilai sebagai penipuan sehingga mengandung unsur dosa. Hadiah tidak mengandung unsur judi. Dalam arti, hadiah tersebut benar-benar merupakan pemberian yang bersifat Cuma-Cuma sebagai bagian dari promosi penjualan (sales promotion). Dengan demikian, seandainya para konsumen tidak beruntung mendapatkan hadiah, maka mereka

tidak dirugikan. Kualitas barang yang diperjual belikan harus sesuai dengan standart dan harganya tidak lebih tinggi dari harga pasaran.

4. Jika transaksi jual beli yang disertai hadiah secara diundi, dilakukan terhadap suatu benda yang kualitasnya di bawah standart dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah dan tidak halal karena mengandung unsur judi. Karena dengan demikian, kupon hadiah yang akan diundi untuk mendapatkan hadiah bukan merupakan pemberian cuma-cuma, melainkan secara tidak langsung dijual kepada pembeli barang dengan uang (harga) yang sudah ditambahkan ke dalam harga penjualan barang. Dengan demikian, secara tidak langsung kupon undian tersebut diperjual belikan kepada pembeli barang, yang jika dia tidak mendapat hadiah maka akan rugi, sedangkan pihak penjual akan beruntung. Inilah yang disebut judi, karena definisi judi sebagaimana dijelaskan Mohammad Ali ash-Shabuni dalam kitabnya. Sebagaimana dikutip oleh Hamzah K, Tafsir Rawai’ al-Bayan Juz I:

“Setiap permainan yang menimbulkan keuntungan bagi sebagian orang dan kerugian bagi sebagian yang lain, maka itulah yang disebut perjuadian

yang diharamkan (oleh Allah swt).20

Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:

a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamar.

b. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dan betina agar dapat memperoleh turunan.

20 Hamzah K, Fiqih Islam Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Berkah Utami, 2015), h. 270-273

c. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.

d. Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah disini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah.

e. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jual beli.

f. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo akan merugikan pemilik padi kering.

g. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjual-belikan. Menurut Syafi’i penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku ini seharga $ 10,- dengan tunai atau $ 15,- dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku”.

h. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja disini di anggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”.

i. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya jelek.

j. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya, misalnya A menjual seluruh pohon-pohonan yang ada di kebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas.

k. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli.21 Peraturan atau hukum jual-beli dalam Islam ditetapkan sebagai berikut:

a. Dibenarkan jual beli yang tidak berbentuk riba

b. Dalam jual beli perlu ada ijab-qabul (tanda-terima) yang diucapkan dengan lisan/perkataan, dan di bolehkan dalam hati masing-masing.

c. Dilarang memperjual-belikan darah, bangkai, hasil pencurian, waqaf, milik umum, minuman keras, babi, barang yang tidak ada harganya, dan barang yang tidak ada pemiliknya.

d. Akad jual-beli harus dilaksanakan dalam satu majelis, dapat diterima (taslim) dan dapat dipegang (qabadh)

e. Dalam jual-beli dibenarkan adanya hak meneruskan atau membatalkan pembelian suatu barang jika misalnya terdapat cacat (aib) atau melihat kepada keadaanya, dan menurut Hanafi dan Maliki “Hak khiyar” tersebut tidak boleh lebih dari 3 hari

f. Dalam jual-beli tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal sedangkan pada anak kecil dibenarkan untuk benda-benda yang tidak bernilai tinggi, kecuali jika mereka telah dewasa (umur 15 tahun).

g. Jika barang-barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau ukurannya harus tertentu dan diketahui.

h. Larangan menawar tawaran orang lain ataupun menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain.

i. Larangan menimbun barang pada saat masyarakat banyak memerlukan barang tersebut.

j. Larangan jual beli-beli ke arah yang bermaksiat kepada tuhan misalnya menjual patung untuk disembah.

k. Larangan jual-beli yang berunsur kepada penipuan, atau paksaan.

l. Dalam jual beli harus terlihat jelas bendanya tetapi dibolehkan dengan melihat contoh barangnya seperti pesanan buku-buku.22

Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (shahih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.23

22 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Rinrka Cipta, 1992), h. 392-393

Dokumen terkait