• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hukum Keluarga di Indonesia 1. Sekilas Tentang Indonesia

Indonesia terdiri dari kumpulan pulau yang jumlahnya terbanyak di dunia (lebih dari 13.600 pulau) dihubungkan dengan dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Juga dihubungkan oleh setengah bola dunia utara dan selatan. Luas wilayah ini mencapai 1.919.440 m2, letaknya di Asia Tenggara. Pulau-pulau terbesar adalah Sumatera, Jawa, Irian, dan Borneo (Kalimantan).86

Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6˚ 8' Lintang Utara dan 11˚15" Lintang Selatan dan antara 94˚ 45' Bujur Utara - 141˚ 5' Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau garis khatulistiwa yang terletak pada garis lintang 0˚. Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara-Negara Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Laut Cina Selatan; Selatan–Negara Australia, Timor Leste dan Samudra Hindia; Timur – Negara Papua Nugini, dan Samudera Pasifik; Barat – India dan Samudera Hindia.87 Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

86 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hal 508

87 Subdirektorat Statistik Demografi, Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hal. 7

Sebagai negara kepulauan, indonesia terdiri dari 17.504 pulau. Karena terletak di daerah tropis, maka di Indonesia hanya dibagi menjadi dua musim saja, yaitu: musim hujan dan musim kemarau.88 Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam jangka waktu lima belas tahun yaitu tahun 2000 hingga 2015, jumlah penduduk Indonesia mengalami penambahan sekitar 50,06 juta jiwa atau rata-rata 3,33 juta setiap tahun.89 Pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia berkisar pada 255,18 juta jiwa. Tepatnya pada angka 255.182.144 jiwa.90

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). Pancasila adalah dasar ideal negara yang menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati kehidupan beragama.91 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalam Negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia,

88 Subdirektorat Statistik Demografi, Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hal. 7

89 Subdirektorat Statistik Demografi, Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hal.13

90 Subdirektorat Statistik Demografi, Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hal. 31

91 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikri, 2009), hal. 183

yang dalam menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.92

Sebelum negara Indonesia berdiri, wilayah Indonesia yang saat itu dijajah oleh Belanda dengan nama Hindia Belanda, telah memiliki Undang-Undang Dasar (UUD). UUD yang berlaku pada masa penjajahan Belanda adalah Indische Staatsregeling (IS). IS mengatur keberadaan lembaga-lembaga negara di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Gouvernour Generaal (Gubernur Jenderal), Volksraad (Parlemen), Hoogerechtsshof (Mahkamah Agung), Algameene Rekenkamer (Pengawas Keuangan), dan Raad Van Nedelandsch Indie (Dewan Pertimbangan Agung).93

Setelah merdeka, Indonesia memberlakukan konstitusi sendiri yang disebut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD ini disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Sepanjang sejarah kemerdekaan, Indonesia telah memiliki beberapa Undang-Undang Dasar. Pertama diberlakukan UUD 1945 pada tahun 1945-1949, kemudian diganti menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada tahun 1949-1950. pada tahun 1950-1959 berubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dan kembali lagi pada UUD 1945 pada tahun 1959- sekarang. Akan tetapi UUD 1945 itu sendiri telah mengalami perubahan (amandemen)

92 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam

di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 9

93 Jimly Asshiddiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 5

empat tahap dalam satu rangkaian perubahan sejak tahun 1999 sampai 2002.94

2. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Indonesia a. Masa Kerajaan Islam

Islam masuk ke bumi Nusantara itu memang terdapat perbedaan, ada yang berpendapat abad ke 13 M, abad ke 7 M atau bertepatan pada abad ke 1 Hijriah. Bahkan ada yang berargumentasi Islam masuk ke bumi Nusantara pada abad ke 30 H atau bertepatan dengan tahun 650 M. Terlepas perbedaan tersebut bahwasannya mereka sepakat Islam masuk ke bumi Nusantara dengan jalan damai. Jauh sebelum penjajahan, hukum Islam sebagai bagian dari agama Islam telah diamalkan oleh masyarakatnya. Hukum Islam tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di samping hukum adat atau tradisi yang dianut oleh penduduk Indonesia yang berakar secara normatif dalam kebudayaan Indonesia. Di Minangkabau bahkan diabadikan dengan falsafahnya yang berbunyi: Adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai.95 Falsafah Minangkabau tersebut tentu memuat agama Islam sebagai source of law (sumber hukum) dari segala hukum yang ada. Kalimat tersebut memberi arti bahwa seberapa lama pun hukum adat telah dilestarikan oleh masyarakat, namun hukum adat tersebut harus berlandaskan

94 Sekjen dan Panitera Mahkamah Konstitusi, "Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 (1999-2002)", Buku I, (Jakarta:Setneg, 2002), hal. 4

95 Moh. Ali Wafa, Hukum Pekawinan di Indonesia sebuah kajian dalam hukum

syara' (syariat Islam). hal demikian tentu merupakan upaya dari pendahulu-pendahulu yang telah menyebarkan Islam di Indonesia.96

Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M. G.W.J Drewes menyebut pada abad ke 13 M melalui India yang dibawa oleh kaum mistik dan sufi. Ada juga yang mengatakan sinkretisme unsur-unsur animisme, mistik dan Islam mulai berkembang dari Aceh terus berkembang menuju seluruh penjuru Nusantara. Hamka menyebut, bahwa paham Syafi'i yang dianut oleh kerajaan Pasai berkembang ke kerajaan Islam lain seluruh Indonesia.97

Proses Islamisasi di Indonesia dilakukan melalui jalur perdagangan dan perkawinan. Posisi sentral saudagar dalam penyebaran Islam kemudia secara formal beralih kepada peran ulama. Misalnya Nuruddin Ar-Raniri yang menulis buku Hukum Islam yang berjudul Sirathal Mustaqim tahun 1628. Kitab tersebut merupakan kitab Hukum Islam pertama yang disebarkan keseluruh Indonesia. Oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari diperluas uraiannya dengan judul Sabilal Muhtadin. Buku tersebut kemudian dijadikan pegangan dalam menyelesaiakan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar.98

96 Moh. Ali Wafa, Hukum Pekawinan di Indonesia sebuah kajian dalam hukum

islam dan hukum materil, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), hal. 5

97 Moh. Ali Wafa, Hukum Pekawinan di Indonesia sebuah kajian dalam hukum

islam dan hukum materil, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), h. 1

98 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 35

Masa awal kerajaan Islam, sengketa yang terjadi antar umat Islam diselesaikan dengan jalan hakam (arbitrase) yang dipimpin oleh seseorang yang berkompeten dari kalangan mereka. Cara seperti inilah yang disebut dengan tahkim. Orang yang ditunjuk sebagai hakim disebut muhakkam yang bertugas menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul di antara mereka.99 Dengan demikian dapat diketahui bahwa masalah-masalah semua perkara yang timbul di tengah masyarakat pada saat itu termasuk masalah poligami, diselesaikan sesuai hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fikih yang ada saat itu. Seiring waktu, Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri, pelaksanaan kehakiman dilaksanakan dengan jalan mengangkat ahlu al-hally wa al- aqdi. Selanjutnya ahlu al-hally wa al- aqdi ini mengangkat hakim yang telah dipilih melalui jalan musyawarah untuk menyelesaiakan segala sengketa di masyarakat.

Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara tauliah dari imam. Sultan selaku kepala negara berwenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk menjadi hakin di wilayah-wilayah kerajaan. Sistem tauliah ini mulai diberlakukan pada tahun 1282 M, sebelum Marcopolo singgah di Peureulak 1292 M100

99 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), cet. 3, hal. 193

100 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), cet. 3, hal. 195

Menurut Danil S. Lev, ada tiga model pengadilan yang terdapat pada masa itu. Pertama; hakim diangkat oleh para penguasa setempat, berlaku di Aceh dan Jambi di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur dan beberapa tempat lain. Kedua; tidak ada kedudukan tersendiri bagi pengadilan agama, tetapi pemuka-pemuka agama melakukan tugas-tugas peradilan, berlaku di daerah Sulawesi Utara, Tapanuli di Sumatera Utara, Gayo dan Alas di Aceh serta Sumatera Selatan. Ketiga; terdapat pengadilan tertentu disetiap kabupaten dan hakimnya adalah orang tertentu yang diangkat dengan sebutan penghulu, terdapat di Jawa sejak abad 16 M. Biasanya pengadilan berada di serambi mesjid, sehingga disebut pengadilan serambi.101 b. Masa Penjajahan

Secara yuridis formal, Peradilan Agama pertama kali lahir di Indonesia berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit), yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No. 152 pada tanggal 1 Agustus 1882. Peradilan Agama ditetapkan dengan nama "Piesterraden" untuk Jawa dan Madura, dan berlaku mulai Agustus 1882. Kemudian disebut Raad Agama dan terakhir Pengadilan Agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa badan Peradilan Agama di Indonesia lahir pada tanggal 1 Agustus 1882.102

101 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Positif, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 79 102 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 50

Menurut Supomo, pada masa penjajahan Belanda terdapat lima tatanan peradilan, yaitu:

1) Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah "Hindia-Belanda".

2) Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura.103 3) Peradilan Swapraja, tersebar hampir di seluruh daerah

swapraja, kecuali di daerah Pakualaman dan Pontianak. 4) Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat

berkedudukan Peradilan Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja dan menjadi bagian dari masing-masing keduanya.

5) Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen. Di samping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.104

Pada awal penjajahan Belanda, hukum perkawian yang berlaku adalah hukum perkawinan Islam khususnya yang berasal dari kitab-kitab fikih berbahasa Arab atau UU yang dibuat oleh beberapa kerajaan Islam, kemudian Belanda Menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda (Conpendium Freijer). Berdasarkan Staatblad No. 55

103 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), cet. 3, hal. 211

104 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), cet. 3, hal. 212

tahun 1982, Conpendium Freijer dicabut secara berangsur-angsur.105 Dengan demikian, secara tekstual hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat, kecuali agama Kristen berlaku HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java Minahasa an Amboina) yakni UU Perkawian Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon.

Pada tahun 1928, penghulu ditempatkan sebagai pegawan pemerintah di bawah kontrol Bupati. Kemuadian ahun 1931 keluarlah UU Staatblad No. 53 yang memberikan efek serius bagi eksistensi hukum Islam. Ada tiga aturan baru yang ditawarkan dalam Undang-Undang ini, yaitu: Pertama Priesterraaden akan dihapus dan diganti dengan pengadilan penghulu, dimana hakim tunggal akan memecahkan kasus-kasus hukum Islam. Kedua penghulu akan mempunyai status dan gaji sebagai seorang abdi pemerintah. Ketiga sebuah pengadilan banding akan dibangun untuk me-review keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan pengadilan penghulu di atas.106

Walaupun pada akhirnya Peradilan Agama diakui oleh pemerintahan negara Belanda, tapi hal itu tidak membuat hak-hak masyarakat dilindungi dengan baik, termasuk masalah poligami. Sejarah poligami di Indonesia pada masa penjajahan belanda yang sangat memprihatinkan kaum wanita terjadi karena mudahnya orang

105Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Positif, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 79 106 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

melakukan poligami tanpa mengindahkan syarat-syarat yang dituntunkan oleh agama107

c. Masa Setelah Kemerdekaan

Masa awal kemerdekaan Indonesia, lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang pertama yang dibuat bangsa Indonesia ini hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura saja. Untuk memperluas cakupan Undang-undang ini, dibuatlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut diseluruh daerah luar Jawa dan Madura. Kedua Undang_undang ini adalah sebagai kelanjutan dari Undang-undang perkawinan yang dibuat pada masa penjajahan. Kemudian Departemen Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak, dan rujuk di Pengadilan Agama.108

Aulawi mencatat, seyogyanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, akan tetapi karena keadaan belum memungkinkan maka diberlakukan hanya untuk Jawa dan Madura, dan baru secara menyeluruh tahun 1954. Wirjono menulis ada tiga tahapan pemberlakuan undang-undang perkawianan di Indonesia. (1) 1 Februari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura,

107 Ali Trigiyanto, “Perempuan dan Poligami di Indonesia”, Jurnal Muwazah,Vol. 3. No. 1 (Juli 2011), hlm, 339.

108 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

berdasarkan Penetapan Menteri Agama 21 Januari 1947; (2) bagi Sumatera mulai berlaku pada 16 Juni 1949, berdasar ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor 1/1949/KA; (3) bagi wilayah-wilayah lainnya tanggal 2 November 1954, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.109

Pada tahun 1950, pemerintah membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang ditugaskan meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun rancangan UU perkawinan yang dikehendaki zaman. Panitia berpendapat supaya membuat rancangan UU perkawinan yaitu suatu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan, agama, dan suku bangsa. Di samping itu dibuat peraturan-peraturan khusus untuk masing-masing golongan. 110

Setelah mengalami perdebatan yang panjang dan perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja, maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan kepada sidang paripurna DPR RI dan disahkan menjadi Undang-Undang. Setelah memakan waktu pembahasan lebih kurang tiga bulan, pada tanggal 2 Januari 1974

109 Mohammad Atho' Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di

Dunia Modern (Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih,

(Tangerang Selatan: Ciputat Press, 2003), hal. 24

110 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

disahkanlah sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.111

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diakui sebagai Undang-Undang perkawinan pertama yang relatif lengkap mengatur perkawinan dan merupakan produk Indonesia sendiri. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1991 terbitlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama sebagai pengejawantahan dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI merupakan aturan sebagai pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perkawinan, waris, dan perwakafan pada waktu itu.112 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan113

Pada tanggal 14 Oktober 2019, lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perubahan itu dilaksanakan atas dasar amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV / 2017. Akan tetapi perubahan tersebut hanya berkenaan

111 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Positif, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 107 112 Moh. Ali Wafa, Hukum Pekawinan di Indonesia sebuah kajian dalam hukum

islam dan hukum materil, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), h. 27

113 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hal. 31

dengan batas minimal usia perkawinan saja.114 Sedangkan masalah selain itu, masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, termasuk masalah poligami.

3. Aturan Poligami di Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, dianggap menerapkan hukum poligami yang relatif longgar dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya.115

Sampai saat ini kita masih banyak menemukan praktik kawin bawah tangan atau kawin siri, dimana perkawinan hanya dilaksanakan menurut hukum Islam tanpa dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah seperti ini dianggap sah menurut agama tetapi tidak memiliki kekuatan hukum.116

Regulasi tentang poligami di indonesia dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Aturan tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah

114 Mahkamah Konstitusi, Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, h. 60

115 Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.9

116 M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 211

Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan:

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.117

Berdasarkan pasal di atas dan penjelasannya, diketahui bahwa pada asasnya perkawinan di Indonesia adalah monogami. Artinya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Akan tetapi, asas yang dianut oleh Undang-undang perkawinan sebenarnya bukanlah asas monogami mutlak.118 Karena pada bagian lain dari Undang-undang ini mengizinkan poligami apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Pasal 3 ayat (2) menyatakan:

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.119

Selain peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pembahasan perkawinan juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Akan tetapi dalam KUHPer tidak ditemukan aturan yang memuat tentang poligami, karena asas perkawinan dalam KUHPer adalah asas monogami. Seperti yang

117 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,

2008), hal. 523

118 Hotnida Nasution, Pembatalan Perkawinan Poligami di Pengadilan Agama, Cita Hukum, Vol. 1, No. 1, (Juni, 2013, hal. 138

119 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

termaktub dalam pasal 27 Bab Perkawinan disebutkan: "Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja"120

a) Syarat Poligami di Indonesia

Untuk mendapatkan izin poligami dari pengadilan, suami harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan tiga syarat kumulatif.121 Syarat alternatif dan kumulatif tersebut masing-masing tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

Pasal 4

(2) Pengadilan dimaksud pada ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;.

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.122

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

120 Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Pramitra, 1996), hal. 8

121 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal. 219

122 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.123

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), syarat poligami diatur dalam bab IX tentang "Beristri Lebih Satu Orang" yang terdiri dari pasal 55 ayat , pasal 57, dan pasal 58 ayat (1), (2), dan (3).

Pasal 55

(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak

mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.124 Suami yang akan berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Menurut KHI, izin poligami dapat diberikan apabila telah terpenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 57 berikut:

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.125 Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula

123 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, ... , hal. 523

124 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, ... , hal. 579

125 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :

a. adanya pesetujuan isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada

Dokumen terkait