• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM. (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Maroko) Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM. (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Maroko) Skripsi"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NOFRIANDI 11160440000032

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2020 M

(2)

ii

POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Maroko)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Nofriandi 11160440000032

Pembimbing

Dr. Muchtar Ali, M.Hum. NIP: 195704081986031002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2020 M

(3)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Pengutipan dalam skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

Jakarta, 02 Desember 2020

(4)
(5)

v ABSTRAK

Nofriandi. Nim 11160440000032. POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Maroko). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441/2020 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan poligami yang berlaku di Indonesia dan Maroko, serta persamaan dan perbedaan dari ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan kedua negara tersebut. Perbandingan ini meliputi ketentuan syarat, alasan, dan sanksi pelanggaran poligami antara Hukum Keluarga Indonesia, Hukum Keluarga Maroko, dan fikih empat mazhab.

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan perbandingan (compative approach). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data Primer dan Sekunder. Yang menjadi data primer adalah Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam, Mudawwanah al-Usrah 2004 dan kitab-kitab fikih klasik yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis isi (content analysis) dan komparasi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedua negara tersebut mengatur ketentuan poligami dalam tatanan hukum positif. Dari hasil perbandingan

(6)

vi

horizontal, ketentuan poligami kedua negara tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya terlihat dalam ketentuan asas monogami tidak mutlak, ketentuan perizinan pengadilan, dan pertimbangan kondisi finansial ekonomi suami untuk dapat menafkahi istri dan anak-anak mereka secara adil. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari ketentuan persyaratan izin pengadilan, alasan, serta pemberlakuan hukum dan sanksi pelanggaran poligami. Adapun hasil penelitian perbandingan secara vertikal menunjukan bahwa adanya persamaan dalam kewajiban berlaku adil dan pembatasan jumlah istri. Sedangkan disisi lain terdapat perbedaan antara ketentuan poligami di Indonesia dan Maroko dengan konsep poligami dalam fikih klasik. Perbedaan itu meliputi perizinan pengadilan dan pemberlakuan sanksi terhadap pelaku pelanggaran ketentuan poligami. Dimana perizinan pengadilan dan sanksi poligami yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kedua negara tesebut tidak diatur dalam fikih klasik terutama fikih empat mazhab.

Kata kunci : Poligami, Indonesia, Maroko. Pembimbing : Dr. Muchtar Ali, M.Hum. Daftar Pustaka : 1978 s/d 2019

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari aksara Arab ke dalam aksara latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts Te dan Es

ج J Je

ح H Ha dengan garis di bawah

خ Kh Ka dan ha د D De ذ Dz De dan zet ر R Er ز Z Zet س S Es ش Sy Es dan ye

(8)

viii

ض D De dengan garis di bawah

ط T Te dengan garis di bawah

ظ Z Zet dengan garis di bawah

ع ‘

Koma terbalik di atas di atas hadap kanan غ Gh Ge dan ha ف F Ef ق Q Qi ك K Ka ل L El م M Em ن N En و W We ـه H Ha ء ’ Apostrof ي Y Ye 2. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

(9)

ix

ــــــِـــــ I Kasrah

ـــــُــــــ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ـــــَـــــ Ai a dan i

و ـــــَــــــ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اــَــــ Â a dengan topi di atas

يــِــــــ Î i dengan topi di atas

وــُـــــ Û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alim dan lam ( لا ), dialihaksarakanmenjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:

داهتجلإا = al-ijtihâd

ةصجرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

(10)

x

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةعفشلا = al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah.

6. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةعيرش syarî‘ah

2 ةيملاسلإا ةعيرشلا al-syarî‘ah al-islâmiyyah

3 بهاذملا ةنراقم muqâranat al-madzâhib

7. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan

Walau huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab, tetapi ia tetap dipakai dalam transliterasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa jika kata nama didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital

(11)

xi

tetap huruf awal kata nama tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya,يراخبلا = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam Ejaan Bahasa Indonesia juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 تاروظملا حيبت ةرورضلا al-darûrah tubîhu almahzûrât

2 يملاسلإاداصتقلإا al-iqtisâd al-islâmî

3 هقفلا لوصا usûl al-fiqh

4 ةحابلإاءايشلأا يف لصلأا al-‘asl fî al-asyyâ’ alibâhah

(12)

xii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhânahu wa Ta`âlâ, Tuhan semesta. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga. Beliau adalah orang yang gigih dalam memberikan dukungan, arahan, serta bantuan kepada semua mahasiswanya untuk menyelesaikan studi akhir, termasuk kepada penulis;

3. Bapak Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Penulis sangat terbantu dengan bimbingan dan dukungan beliau dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag. selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan saran dan masukan selama proses kegiatan akademik di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

(13)

xiii

5. Staf Perputakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis selama melakukan studi kepustakaan;

6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik dan membagikan ilmunya kepada penulis;

7. Keluarga penulis, ayahanda Tamir (abak) dan ibunda Nurbaiti (umak). Terima kasih abak atas pengorbanan sebagian hidupnya untuk membesarkan dan mendidik penulis hingga saat ini. Terima kasih umak yang telah mempertaruhkan nyawa saat melahirkan dan mencurahkan cinta, sayang, serta doanya untuk penulis hingga saat ini. Semoga kelak Allah Swt. memberikan sorga untuk kalian. Terima kasih uda Zul Chairil, uni Desri Yenti, abang Evisman, S.E., dan kakak Yetri Liza Wati. Skripsi ini adalah sebuah persembahan kecil buat kalian keluarga tercinta dan aku banggakan;

8. Nurahmi Esinah yang telah memberikan semangat dan perhatian dengan tulus kepada penulis hingga saat ini;

9. Serta sahabat penulis Aditya Nur Iman, sahabat D'SAS Percussion, dan sahabat-sahabat keluarga besar Hukum Keluarga 2016 yang telah memberikan berbagai macam warna kehidupan penulis selama berada di kampus yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam kata pengantar ini;

Penulis berharap semoga Allah Subhânahu wa Ta`âlâ membalas semua kebaikan mereka dan melindungi mereka di dunia dan di akhirat kelak.

(14)

xiv

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis hanya berharap agar skripsi ini sedikit banyak memberikan manfaat bagi pembaca

Jakarta. 22 November 2020

(15)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA ...iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Perumusan Masalah ... 10

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

F. Kajian Pustaka Terdahulu ... 12

G. Metode Penelitian ... 14

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II:POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Poligami ... 18

B. Sejarah Poligami ... 21

C. Hukum Melakukan Poligami ... 23

D. Syarat-syarat Melakukan Poligami ... 28

E. Hikmah Poligami... 37

BAB III POLIGAMI DI INDONESIA DAN MAROKO A. Hukum Keluarga di Indonesia ... 41

(16)

xvi

2. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ... 44

3. Aturan Poligami di Indonesia ... 53

B. Hukum Keluarga di Maroko ... 65

1. Sekilas Tentang Maroko ... 65

2. Sejarah Hukum Keluarga di Maroko ... 67

3. Aturan Poligami di Maroko ... 73

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA DAN MAROKO A. Analisis Perbandingan Aturan Poligami di Indonesia dan Maroko ... 79 1. Perbandingan Horizontal ... 79 2. Perbandingan Vertikal... 88 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 106 B. Saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN ... 116

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dimulai dari awal abad 20-an, mayoritas negara-negara muslim yang tersebar diseluruh penjuru dunia telah dan terus melakukan pembaruan dalam hukum Islam. Tidak terkecuali pembaruan dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam. Pembaruan dalam bidang ini tentu memberi pengaruh yang sangat signifikan sehingga kehidupan berkeluarga setiap warga negara menjadi relatif lebih baik.

Pembaruan hukum Islam di negara-negara Muslim terjadi setelah adanya persentuhan antara Islam dan barat ketika masa kolonialisme. Sehingga pasca-kolonialisme pembaruan ini pun terjadi dibeberapa negara muslim yang baru merdeka.1 Penggerak pertama pembaruan dalam hukum

Islam adalah negara Turki yang ditandai dengan lahirnya Ottoman Law of Family Right, kemudian diikuti oleh negara-negara Muslim lainnya.

Secara umum, substansi dalam undang-undang hukum keluarga di dunia Islam modern telah beranjak dari wacana pemikiran fikih klasik dan telah mencoba memecahkan masalah-masalah baru khususnya ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga sehingga hak perempuan dalam perkawinan (Marital right) diakui.2

1 Sri Wahyuni, "Pembaharuan Hukum Keluargga Islam di Negara-Negara Muslim", Jurnal Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, (2013), hal. 213

2 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academi of Law

(18)

Dari sekian banyak bidang pembaruan dalam hukum Islam, status hukum poligami menjadi salah satu yang menarik untuk diamati. Pada dasarnya isu poligami bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia di dunia Islam. Jauh sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah mempraktikkan poligami atau poligini, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Kitab suci agama-agama samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan pemimpin-pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan di antara para Nabi pun poligami bukanlah hal yang asing lagi atau tidak disukai.3

Dilihat secara universal, ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan hukum keluarga di negara-negara muslim modern jika dikaitkan dengan aturan tentang poligami, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) kategori: pertama: negara-negara yang melarang praktik poligami secara mutlak, seperti Turki dan Tunisia. Kedua: negara-negara yang membolehkan praktik poligami dengan persyaratan yang relatif ketat, seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, Malaysia, Iran, Irak, Syiria, Yaman Selatan, Yordania, Lebanon, dan India. Ketiga: negara-negara yang membolehkan praktik poligami dengan peraturan yang lebih longgar, seperti Saudi Arabia dan Qatar.4

3 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qura, Al-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), h. 90

4 Tahir Mahmood, family Law reform in The Muslim World, (New Delhi: The

(19)

Negara-negara muslim yang mengatur tentang aturan poligami, oleh Kahiruddin Nasution dibagi menjadi ke dalam beberapa kelmpok: (1) Poligami dilarang secara mutlak, (2) dikenakan hukum bagi yang melanggar aturan poligami, (3) Poligami harus ada izin dari pengadilan, (4) Poligami dapat menjadi alasan cerai, (5) Boleh poligami secara mutlak.5

Islam membolehkan laki-laki melaksanakan poligami sebagai alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya. Supaya tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun perbuatan lain yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.6

Berbicara mengenai poligami, kita dapat menemukannya dalam QS. Al-Nisa: 3 sebagaimana berikut:

ۖ َعاَب ُر َو َث َلاُث َو ٰىَنْثَم ِءاَسِ نلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف ٰىَماَتَيْلا يِف اوُطِسْقُت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإ َو ْنَِِف

الاَأ ْمُتْف ِخ اوُلوُعَت الاَأ ٰىَنْدَأ ََِلَٰذ ْمُكُناَمْيَأ َْْكَلَم اَم ْوَأ ةَِ ِحا َوَف اوُلِِْعَت Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan

5 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,

(Jakarta:INIS, 2012), hal. 127

6 Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

(20)

dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa poligami itu hukumnya ibahah (boleh) karena khithab (perintah) "fankihuu maa thaaba lakum" (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi), ini adalah bersifat takhyir (pilihan) kepada mukallaf yang berarti hukumnya ibahah.7

Ibnu Katsir berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Saifuddin Z dan Mamat S. Burhanuddin mengatakan bahwa mengenai ayat: matsna wa

tsulatsa wa ruba'a (dua, tiga, dan empat). Ibnu Katsir menyatakan

“Nikahilah wanita manapun yang kamu sukai selain dari anak yatim, jika kamu suka, boleh menikahi dua orang, dan jika suka, boleh tiga orang, dan jika kamu suka boleh empat orang.”Dari sini kemudian dengan mengutip pernyataan imam asy-Syafii, Ibnu Katsir menyatakan pada dasarnya Sunnah Rasulullah yang dijelaskan melalui wahyu menegaskan bahwa selain Rasulullah tidak diperbolehkan menikah lebih dari empat.8

M. Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari'at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat

7 Dahlan Idhamy, Azaz-Azas Fikih Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya:

Al-Ikhlas, 2002), h. 31

8 Saifuddin Z. Qudsy dan Mamat S. Burhanuddin, "Penggunaan Hadis-Hadis

(21)

kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.9

Selain harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, seorang suami yang berpoligami juga dibatasi hanya sampai empat orang saja. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut:

يبنلا ْيتأف ،ةوسن نامث يِنعو ْملسا :لاق ثراحلا نب سيق نع – ملسو هيلع الله ىلص -او دواد وبا ه-اور( .اعبرا نهنم رتخا :لاقف ،هل َلذ تركذف )هجام نب 10

Artinya: dari Qays bin Al-Haris ia berkata: saya masuk Islam dan memiliki delapan orang istri. Maka saya mendatangi Nabi SAW dan menceritakan hal tersebut (memilki istri delapan) lalu beliau bersabda: "pilihlah dari mereka empat saja". (HR. Abu Daud dan Ibn Hibban)

Berkaitan dengan hadis di atas, Wahbah Al-Zuhaili berkomentar sebagai berikut:

نم رثكا هتمصع يف عمج هنا نيعباتلاو ةباحصلا ِهع يف فلاسلا نم ِحا نع لقني ملو نم رثكأب جاوزلا زوجي لا هنأ ىلع ةنسلا قفو لمعلا لِف ,عبرا ,ةوسن عبرا

11

Artinya: tidak ada ditemukan satupun dari kalangan ulama salaf di masa sahabat dan tabi'in yang mengumpulkan (istri) lebih dari empat. Perbuatan itu menunjukan bahwa Ahlusunnah sepakat bahwa tidak boleh mengawini (perempuan) lebih dari empat orang.

Indonesia sebagai Negara Hukum membahas masalah poligami dengan pembahasan yang relatif terperinci. Terlihat jelas kurang lebih ada 4 pedoman sebagai peraturan perundang-undangan tentang poligami yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 10 Tahun

9 Harun, "Keadilan Dalam Perkawianan Poligami Perspektif Hukum Islam (Aspek

Sosiologis Yuridis)", Jurnal Suhuf, Vol. 19, No. 1 (Mei 2007), h. 16

10 Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Nail Al-Authar juz 6, Maktabah Al-Syamilah,

(Mesir:Daar Al-Hadis, 1993), hal. 177

11 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami Waadillatuhu, cet. Ke-2 juz 7,

(22)

1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang diubah menjadi PP No. 45 Tahun 1990, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur poligami Dalam pasal 3 ayat (1) sebagaimana disebutkan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.13

Dalam pasal 4 menjelaskan bahwa bolehnya seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu ditentukan oleh pengadilan. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk mempunyai isteri lebih dari satu harus memenuhi syarat yang telah ditentukan, syarat yang dimaksud dapat dibagi menjadi dua yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif yaitu:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Adapun syarat kumulatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan tertulis dari isteri/isteri-isteri

12 Atik Wartini, "Poligami Dari Fiqih Hingga Perundang-Undangan" Jurnal Studia Islamika, Vol. 10, No. 2 (Desember, 2013), h. 238

13 Muahmmad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,

(23)

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anal-anak mereka

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan poligami diatur dalam BAB IX pasal 55-59 yang pada substansinya tetap mempertahankan apa yang telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sementara dalam konteks negara Maroko, poligami diatur dalam The Moroccan Family Code (Moudawana) atau Mudawwanah al-Usrah 2004 dan Majmu'ah al-Qanun al-Jina'i (KUHP Maroko). Di sana poligami diatur dengan memberikan hak kepada isteri untuk mengajukan syarat sewaktu akad nikah (perjanjian nikah) agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika suami melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan (cerai gugat).15

Dalam pembukaan Undang-Undang Keluarga di Maroko nomor empat dijelaskan bahwa poligami hanya dapat dilakukan dalam hal keadaan yang sangat memaksa dan dengan pembatasan atau aturan yang ketat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hakim akan memberikan izin poligami jika suami telah memverifikasi kemampuannya dalam menjamin

14 Pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1), lihat juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan Moh. Ali Wafa, Hukum Pekawinan di Indonesia sebuah kajian

dalam hukum islam dan hukum materil, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), h. 205 15Janeko, " Studi Eksplorasi Hukum Poligami Di Berbagai Negara Muslim", Jurnal Ummul Qura, Vol. X, No. 2 (September 2017), h. 59

(24)

kebutuhan istri pertama dan anak-anaknya dalam semua bidang kehidupan dan adanya alasan luar biasa yang membenarkan poligami.

Undang-undang Maroko mengatur masalah poligami antara lain sebagai berikut: Pertama, seorang laki-laki yang ingin berpoligami harus menginformasikan kepada calon istrinya bahwa ia sudah berstatus seorang suami. Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan taklik talak yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.16 Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan

seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka secara batin maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.17 Selain itu isteri juga diberikan hak untuk menggugat cerai dengan alasan suami tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Pandangan ini berlandaskan pada prinsip umum Al Quran yang menjadikan sifat adil sebagai syarat utama melakukan poligami.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim telah melakukan pembaharuan dalam bidang Hukum Keluarga. Salah satunya adalah pemberlakuan aturan yang bertujuan untuk mempersulit ruang gerak

16 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dan Kitab-Kitab Fikih,

(Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 110

17 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dan Kitab-Kitab Fikih,

(25)

praktik poligami liar. Namun dalam penulisan ini penulis hanya fokus pada dua negara saja yaitu negara Indonesia dan negara Maroko.

Secara umum dapat diketahui bahwa antara kedua negara terdapat persamaan dan perbedaan dalam mengatur masalah poligami. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian perbandingan terhadap pengaturan poligami kedua negara tersebut dengan judul POLIGAMI

DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Maroko)

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko?

2. Bagaimana sanksi bagi pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan tentang poligami di Indonesia dan Maroko? 3. Apa saja persamaan dan perbedaan ketentuan poligami dalam

peraturan perundang-undangan tentang poligami di Indonesia dan Maroko?

4. Apa saja persamaan dan perbedaan sanksi bagi pelanggar peraturan-perundang-undangan tentang poligami di Indonesia dan Maroko?

(26)

6. Apakah peraturan perundang-undangan tentang poligami di Indonesia dan Maroko telah sesuai dengan pendapat fukaha mazhab?

7. Apa saja pembaruan yang telah dilakukan oleh negara Indonesia dan Maroko dalam bidang Hukum Keluarga dari masa ke masa? C. Pembatasan Masalah

Meneliti peraturan perundang-undangan dari dua negara yang berbeda tentu akan memberi ruang pembahasan yang begitu luas. Supaya penulisan skripsi ini lebih fokus dan terarah, penulis membatasi permaslahan yang akan dibahas. Penulis hanya akan membahas sebatas kajian yuridis normatif saja, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terkait. Pembahasan penulis juga terkait seputar Undang-Undang Perkawinan negara Maroko (The Moroccan Family Code/ Mudawwanah al-Usrah 2004).

D. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini adalah bagaimana ketentuan poligami dan penerapan sanksi pelanggarannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko. Untuk menjawab hal tersebut penulis merangkumnya dalam bentuk beberapa pertanyaan berikut:

(27)

1. Bagaimana ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko?

2. Apa saja persamaan dan perbedaan ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko?

3. Sejauh mana keberanjakan ketentuan poligami di Indonesia dan Maroko dari konsep poligami dalam fikih klasik?

E. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dapat dilihat dari jawaban dari rumusan masalah di atas, yaitu:

a. Mengetahui ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko

b. Mengetahui persamaan dan perbedaan ketentuan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko

c. Mengetahui keberanjakan ketentuan poligami di Indonesia dan Maroko dari konsep poligami dalam fikih klasik

2. Manfaat penelitian

a. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga khususnya poligami di dunia Islam dan sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Strata satu (S1).

(28)

b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menambah pengetahuan atau salah satu pedoman dalam pengaturan poligami di Indonesia dan Maroko

c. Bagi akademik, diharapkan dapat menjadi salah satu acuan referensi oleh kalangan akademik atau praktisi dalam menunjang penelitian berikutnya.

F. Kajian pustaka terdahulu

Sebelum penulis melakukan sebuah penelitian dan menjadikannya sebuah karya ilmiah berupa skripsi, penulis telah melakukan beberapa studi pustaka terlebih dahulu. Kajian pustaka ini dimaksudkan supaya bahwa apa yang penulis tiliti dan penulis tulis nantinya berbeda dengan karya ilmiah sebelumnya. Adapun kajian pustaka yang penulis lakukan adalah terhadap beberapa karya ilmiah sebagai berikut:

1. Skripsi dengan judul "Sanksi Peraturan Terhadap Aturan Poligami Dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, Dan Negara Brunei Darussalam" oleh Fajar Evan Afrizon, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.

Skripsi ini berbicara masalah sanksi dalam poligami dan pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Selain itu juga membahas tentang faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam aturan dan sanksi dari ketiga negara tersebut di atas. Sedangkan skripsi yang akan penulis bahas adalah mengenai ketentuan poligami,

(29)

perbedaan dalam sanksi poligami, serta perbandingan peraturan perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia dan Maroko dengan konsep poligami yang telah dirumuskan oleh Fukaha Madzhab.

2. Skripsi dengan judul "Sanksi Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Di Indonesia dan Mahkamah Syariah Selangor (Malaysia)" oleh Ariyall Hikam Pratama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019. Fokus penulisan dalam skripsi adalah pada sanksi dari praktik poligami yang tidak mendapat izin dari Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah. Selain objek kajian yang berbeda, fokus kajian juga terdapat perbedaan dengan skripsi yang akan penulis bahas. Dalam skripsi ini fokus pada bentuk sanksi poligami tanpa izin di Indonesia dan Selangor (Malaysia), sedangkan yang akan penulis bahas cakupannya lebih luas, yaitu terkait dengan ketentuan dan perbandingannya dengan konsep poligami yang telah dirumuskan dalam buku-buku fikih mazhab.

3. Skripsi dengan judul "Studi Komparatif Tentang Syarat Istri Kedua Dalam Perkawinan Menurut Muhammad Syahrur Dan Kompilasi Hukum Islam" oleh Chairil Izhar, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019. Antara skripsi ini dengan skripsi yang akan peneliti bahas adalah sama-sama mebahas tentang poligami

(30)

atau istri kedua dalam perkawinan. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam tulisan ini, pembhasan fokus pada konsep pemikiran dan metode istimbat hukum dalam konsep poligami antara Muhammad Syarur dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan skripsi yang akan penulis bahas tertuju pada ketentuan, persamaan dan perbedaan, dan perbandingan konsep hukum keluarga kedua negara dengan konsep poligami yang telah dirumuskan oleh Fukaha Madzahib.

G. Metode penelitian

Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa aspek metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan perbandingan comparative approach), dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu dengan tertentu dengan hukum dari waktu yang lain18.

Penulis juga menggunakan pendekatan yuridis dan pendekatan normatif. Pendekatan yuridis adalah19 mendekati masalah yang diteliti

dengan pendekatan atau mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pendekatan normatif yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan berdasarkan Al Quran, Hadis,

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 173 19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997),

(31)

kaidah Fikih, dan pendapat para Ulama yang berkaitan dengan masalah poligami

2. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis Library Research (penelitian kepustakaan)20, yaitu sebuah studi yang mengkaji buku-buku yang ada kaitannya dengan penelitian ini yang diambil dari kepustakaan21.

3. Data penelitian a. Sumber data

Sumber data disandarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Undang-Undang Perkawinan Negara Maroko (The Moroccan Family Code/Mudawwanah al-Usrah 2004), Majmu'ah al-Qanun al-Jina'i (KUHP Maroko), serta buku-buku, jurnal ilmiah, artikel, dan lain-lain yang terkait dengan pembahasan yang diteliti..

b. Jenis data

Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam penngumpulan data, yaitu sumber data primer dan dan sumber data sekunder.

20 Ana Masrianti, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Jakarta:

Erlangga, 2010), hal. 205 dan 301

21 Hadari Nawawi Martini Mimi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Universitas

(32)

1) Data primer disandarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Undang-Undang Perkawinan Negara Maroko (The Moroccan Family Code/ Mudawwanah al-Usrah 2004), Majmu'ah al-Qanun al-Jina'i (KUHP Maroko), Al Quran, Hadis, kitab-kitab fikih.

2) Data sekunder disandarkan pada buku-buku, majalah, surat kabar, artikel, dan jurnal ilmiah yang relevan dengan tema dalam skripsi ini.

4. Teknik pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik studi naskah dalam pengumpulan data. Penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan pengaturan poligami di Indonesia dan Maroko baik berupa Undang-Undang maupun peraturan lainnya.

Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman kepada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

5. Teknik pengolahan data

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif (menggambarkan apa adanya)22. Data yang telah terkumpul dari berbagai sumber akan

22 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat

(33)

dipaparkan dan dibandingkan antara data yang diperoleh untuk kemudian dianalisa sesuai teori yang diambil dari studi pustaka. 6. Metode analisis data

Adapun dalam menganalisis data dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan komparasi. Penulis menganalisis materi kitab-kitab dan buku fikih serta materi peraturan perundang-undangan yang memuat aturan poligami di Indonesia dan Maroko. Data yang telah dianalisis kemudian akan diperbandingkan untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya masing-masing.

Perbandingan dilakukan dengan dua bentuk:

a. Perbandingan horizontal, yaitu perbandingan materi peraturan perundang-undangan tentang poligami yang ada di Indonesia dan Maroko.

b. Perbandingan vertikal, yaitu membandingkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Maroko dengan konsep poligami yang telah dirumuskan dalam fikih mazhab.

H. Sistematika penulisan

Untuk dapat memahami skripsi ini lebih mudah dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas, penulis menyusun skripsi ini secara bab perbab, yang mana anatara satu bab dengan bab lainnya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(34)

BAB satu yaitu bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat masalah, pembatasan masalah, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB dua yaitu bab pembahasan yang meliputi tinjauan umum poligami dalam hukum Islam.

BAB tiga membahas tentang biografi dan sejarah pembentukan hukum keluarga Islam serta ketentuan poligami yang berlaku di Indonesia dan Maroko.

BAB empat menganalisis perbandingkan aturan poligami yang berlaku di Indonesia dan Maroko serta membandingkan aturan poligami kedua negara tersebut dengan konsep poligami yang telah dirumuskan dalam fikih mazhab.

BAB lima adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran, dan cantuman lampiran yang diperlukan

(35)

BAB II

POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Poligami

Secara etimologi, Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang23. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami adalah apabila seorang laki-laki nikah dengan dua sampai empat orang perempuan. Sistem ini memiliki ciri-ciri tersendiri, yakni: (1) yang dapat menikah lebih dari satu hanya pada pihak laki-laki, (2) jumlahnya dibatasi, yaitu maksimal empat orang perempuan, (3) setiap poligami harus memenuhi syarat tertentu.24

Sedangkan dalam bahasa Arab poligami dikenal dengan istilah ta'addud al-zawjah yang berarti poligami.25 Yaitu perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat istri, tidak boleh lebih dari itu.26 Dalam kamus ilmiah populer, poligami diartikan

23 Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 15

24 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007), hal. 180

25 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), hal. 904

26 Arij Abdurrahman Al-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: PT.

(36)

sebagai seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan dengan perkawinan satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih.27

Sebenarnya poligami adalah adalah kata yang berdifat lebih umum. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri, yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki.28

Dengan demikian, istilah yang paling tepat untuk laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu dalam waktu bersamaan adalah poligini bukan poligami. Akan tetapi dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan.29

Imam Syafi'i mengartikan poligami adalah mengawini lebih dari satu perempuan yang bukan mahram dalam satu waktu yang sama. Lebih lanjut pengarang kitab Al Umm itu mengatakan bahwa Allah Membatasi wanita merdeka yang boleh dipoligami hanya sampai empat orang, kemudian memperbolehkan memiliki budak tanpa batasan tertentu.30 Dengan redaksi

27 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arloka, 1994), hal. 606

28 Zakiah Drajat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,

1985), hal. 17.

29 Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(Jakarta: Rajawali Persm 2009), hal. 352

30 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris, Mukhtasar Kitab Al Umm Fil Fiqhi, terj. Muhammad Yasir Dkk, (Jakarta: Pustaka azam, 2004), hal. 347

(37)

yang hampir sama, Sayyid Sabiq mengartikan poligami adalah mengawini perempuan selain istrinya, tapi dengan batas tidak lebih dari empat istri31

Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam Wa Adillatuhu, tidak menyebutkan pengertian poligami secara eksplisit. Akan tetapi secara tidak langsung pengertian tersebut dapat kita temukan dari beberapa pembahasan di dalam kitab tersebut. Beliau berpendapat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan lebih empat orang istri dalam satu waktu, walaupun dalam masa iddah seorang istri yang ia talak.32 Mafhum mukhalafahnya adalah boleh menikahi perempuan dua sampai dengan empat orang dalam satu waktu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami adalah mengawini dua hingga empat perempuan dalam satu waktu.

Musdah Mulia mendefinisikan poligami sebagai perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.33 Atau lebih singkat Moch. Anwar menyebutkan poligami adalah beristri lebih dari satu.34 Dalam ilmu fikih, poligami secara umum dipahami seorang suami dalam waktu bersamaan yang mengumpulkan dua sampai empat istri.35

31 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011), hal. 349

32 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, terj. Abdul Hayyie

Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 160

33 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2007), hal. 43

34 Moch. Anwar, Fiqh Islam: Muamalah, munakahat, Faraid dan Jinayah,

(Bandung: PT. Alma'arif, 1980), hal. 149

35 Andi Intan Cahyani, "Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam", Al-Qadau, 5, 2,

(38)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami adalah perkawinan dengan sistem seorang suami mengawini atau memiliki istri lebih dari satu yang dibatasi sampai dengan empat dalam waktu yang bersamaan. Seorang laki-laki yang melakukan akad nikah baru sementara sebelumnya ia telah menceraikan atau bercerai dengan istri yang sebelumnya, maka itu bukanlah yang dimaksud dengan poligami karena kedua perempuan tersebut dinikahi dalam waktu yang berbeda.

B. Sejarah Poligami

Ditinjau dari catatan sejarah, praktik poligami telah menjadi suatu tradisi dalam kehidupan bangsa-bangsa terdahulu sebelum Islam datang. Bukan hanya dikalangan bangsa arab, praktik poligami juga dilakukan di luar bangsa arab. Peradaban ini sesungguhnya telah lama berlangsung bukan hanya di wilayah jazirah arab saja, tetapi juga dilakukan diberbagai bangsa lainnya. Seperti bangsa Ebre dan Arab pada zaman jahiliyah, suku bangsa salafiyun yaitu negara-negara yang sekarang Rusia, Letonia, Cekoslavia, Yugoslavia, dan sebagian negara Jerman dan Inggris.36

Kitab Talmud sebagai penafsiran hukum Taurat membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Tapi, umat Yahudi pada akhirnya menjalankan poligami tanpa batasan mengenai jumlah istri. Sebagian ahli hukum dari Bangsa Yahudi melarang praktik poligami, namun sebagian lainnya memperbolehkan dengan syarat istri pertama mandul.37

36 Musthafa As Siba'I, Penerjemah Chadidjah Nasution, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 100

37Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999),

(39)

Praktik poligami pun dikenal di kalangan masyarakat dari pemeluk agama Nasrani dahulu dan itu diakui gereja hingga abad ke 16 Masehi. Adapun bangsa-bangsa Eropa sekarang ini berpedoman praktik monogami (beristri satu) karena orang-orang Eropa penganut Paganisme yang kemudian memeluk agama Nasarani telah memiliki tradisi dan prinsip beristri satu. Kemudian anak keturunan mereka sesudah memeluk agama Nasrani mengikuti jejak bapak-bapak mereka.38

Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir Kuno. Di jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakat telah melakukan poligami, bahkan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat meceriterakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai isteri sampai ratusan39

Dalam beberapa riwayat ditemukan bahwa poligami telah dilakukan bangsa Arab pra-Islam. Diantaranya terlihat dari adanya sahabat Nabi Muhammad Saw. yang baru masuk Islam, sementara ia memiliki istri lebih dari satu. Sebagai mana hadis berikut:

,ملاس نع ,ِ يرهزلا نع ,رمعم انثِح :لاق رفعج نب ِمحم انثِح :لاق ميكح نب يحي انثِح هيلع الله ىلص يبنلا هل لاقف ,ةوسن رشع هتحتو ةملس نب نلايغ ملسأ :لاق رمع نبا نع )هجام نبا هاور( >>اعبرا نهنم ذخ<< :ملسو

40

38 Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insan Pres,

1996), hal. 36

39 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2007), hal. 45

40 Ibnu Majah, Sunan Ubnu Majah, hadis nomor 1953, Al-Maktabah Al-Islamiyah

(40)

Artinya: Yahya bin Hakim menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Ja'far menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata:Ma'mar menyampaikan hadis kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar, dia berkata: Ghailan bin Salamah masuk Islam dan dia memiliki istri sepuluh orang. Maka Nabi Saw. bersabda: ambillah empat dari mereka (sepuluh istri). (HR. Ibnu Majah)

Di Indonesia pun poligami telah dilakukan oleh pembesar-pembesar terdahulu. Ken Arok, Raden Wijaya, dan Air Langga adalah orang-orang besar ternama di Indonesia yang melakukan poligami.41

Ayat-ayat maupun hadi-hadis tentang poligami sama sekali tidak menghapus praktik dan tradisi poligami. Islam menjadikan poligami sebagai jalan alternatif disaat keadaan yang sangat amat darurat dan dengan syarat yang relatif ketat. Syarat utama yang wajib dipenuhi adalah suami dapat dapat berlaku adil diantara istri-istri dan anak-anaknya.

Kedatangan Islam hadir untuk megatur poligami yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan kebebasan seolah tanpa batas. Mereka dapat memililiki istri sebanyak yang mereka inginkan kemudian Islam datang dan mengatur poligami dengan membatasi jumlah istri yakni 4 wanita.42

C. Hukum Melakukan Poligami

Pada dasarnya asas perkawinan Islam adalah monogami, Islam tidak melarang poligami, tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa aturan,

41 Dedi Supriyadi, dkk, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Jakarta:

Prenada Media Siraja, 2003), hal. 271

42 Siti Musdah Mulia, Islam Menggunggat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia

(41)

akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat imaniyah yang jelas.43 Dasar hukum dibolehkannya dan sekaligus mengenai batasan jumlah istri dalam poligami adalah Surat An-Nisa ayat 3 berikut:

ٰىَنْث َم ِءاَسِ نلا َن ِم ْمُكَل َباَط ا َم اوُح ِكْناَف ٰى َماَتَيْلا يِف اوُط ِسْقُت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإ َو َث َلاُ ث َو ََِل َٰذ ْمُكُنا َمْيَأ َْْكَل َم ا َم ْوَأ ةَِ ِحا َوَف اوُل ِِْعَت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنَِِف َعاَب ُر َو /ءاسنلا( اوُلوُعَت الاَأ ٰىَنْدَأ 4 : 3 )

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Mengenai sebab turunnya ayat ini, Urwah bin Zubair betanya kepada Aisyah ra. tentang ayat tersebut, lantas ia menjawab bahwa maksud ayat ini adalah setiap perempuan yatim yang berada dalam asuhan laki-laki yang ,menjadi walinya, yang mana penggunaan harta benda keduanya tercampur. Laki-laki yang mengasuhnya tertarik pada harta dan kecantikan perempuan yatim yang diasuhnya. Kemudian dia ingin menikahinya tanpa memberikan mahar yang layak. Lantas turunlah ayat yang melarang para wali menikahi perempuan yatim yang diasuhnya kecuali dengan mahar yang pantas. Para wali itu juga dibolehkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik dan ia senangi.44

Menurut Imam yang empat, yaitu: Imam Abu Hanifah ( W 767M), Imam Malik (W 795 M), Imam Syafi'i (W 820 M), Imam Ahmad bin

43 Karam Hilmi Farhat, Ta'addud az-Zaujat Bainal al-Adyan, terj. Abdurrahman

Nuryaman, (Jakarta: Darul Haq, 2007), hal. 20

44 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

(42)

Hanbal (W 855 M), sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Menurut mereka seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu istri tapi dibatasi hanya sampai empat istri saja. Akan tetapi diperbolehkannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya. 45

Dibolehkannya poligami sampai empat orang istri ini diperkuat dengan keterangan salah satu hadis tentang sahabat Nabi yang bernama Ghailan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam, sementara ia memiliki sepuluh orang istri. Dalam riwayat lain disebutkan Qais bin Haris memiliki delapan istri saat masuk Islam. Ketika hal itu ditanyakan kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda: "Pertahankanlah yang empat orang dan lepaskan sisanya"46

Sejumlah ulama kontemporer berkomentar mengenai ayat-ayat tentang poligami tersebut di atas. Muhammad Baqir Al-Habsyi berpendapat, QS. An-Nisa ayat 3 tersebut sama sekali bukan memerintahkan atau menganjurkan untuk poligami. Penyebutan hal ini hanya sebagai penekanan atas perintah Allah untuk berlaku adil terhadap sanak famili terutama terhadap anak-anak yatim dan harta-harta mereka.47

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa hukum poligami itu mubah, sebab dalam hukum Islam secara mutlak tidak

45 Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan Menurut Madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), hal. 89

46 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011), hal. 347

47 Makrum, Poligami Dalam Perspektif Al Quran, Jurnal Maghza, Vol. 1 No. 2

(43)

mengharamkan dan tidak pula memberikan dispensasi (kelonggaran), dengan mempertimbangkan bahwa watak yang dimiliki laki-laki mampu dalam berbagai bidang, termasuk dalam perkawinan yang cenderung melakukan poligami. Sehingga dalam melakukannya harus terlebih dahulu mempertimbangkan mudharatnya.48

Sayyid Sabiq memaknai ayat di atas bahwa Dia (Allah) menghalalkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi satu hingga empat orang perenpuan. Tapi apabila laki-laki tersebut takut terjerurnus pada perbuatan dosa (karena tidak dapat berbuat adil), maka hendaknya dia menikahi satu perempuan saja atau menikahi budak yang dimilikinyai49

Muhammad Syahrur memandang poligami memiliki kaitan erat dengan penyantunan anak-anak yatim dan para janda. Untuk menarik kesimpulan, Muhammad Syahrur menggunakan metode tartil yaitu mengumpulkan ayat-ayat setema untuk mendapatkan pandangan yang komprehensif, kemudian menghubungkan konsep poligami dengan konsep lain yang terkait. Dengan metode tartil tersebut beliau sampai pada kesimpulan bahwa konsep poligami tidak bisa dipisahkan dengan konsep penyantunan para janda dan anak-anak yatim. Poligami dibolehkan hanya dalam kondisi darurat dan pada dasarnya Islam menganut prinsip monogami.50

48 Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran,(Semarang: Toha Putra

Group, 1996), hal. 120

49 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011), hal. 346

50 Abdul Mustaqim, "Pemikiran Fikih Kontemporer Muhammad Syahrur Tentang

(44)

Bagi Al-Maraghi, hukum berpoligami dalam surat An-Nisa’ ayat 3 ialah dibolehkan tapi dipersulit secara ketat. Poligami adalah suatu keadaan darurat yang hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkannya, dengan syarat dapat dipercaya menegakkan keadilan dan aman dari perbuatan yang melampaui batas. Suatu rumah tangga yang terdapat dua orang istri atau lebih yang dipelihara oleh seorang suami, maka keadaannya tidak akan beres dan teratur. Untuk itu menolak kerusakan harus lebih diprioritaskan dari pada menarik kemaslahatan, termasuk dalam kaidah agama ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain (la darara wala dirara).51

Dalam kitab tafsirnya, Quraish Shihab menyatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tidaklah mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.52

Muhammad Abduh mengemukakan pendapat yang berbeda. Menurut Abduh, poligami dibenarkan (Syar'i) dalam keadaan darurat,

51 Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maragi, Juz IV, terj. Bahrun

Abubakar dan Hery Noer Aly, ( Semarang: Karya Toha Putra, 1993), hal. 325-326

52 M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

(45)

seperti perang, dan dengan syarat tidak menimbulkan kezaliman dan kerusakan. Baginya, poligami dianggap baik hanya sebatas konteks umat Islam generasi awal, namun saat ini poligami menjadi bencana dan hanya menimbulkan konflik, kebencian, dan permusuhan antara istri dan anak-anak. Dengan demikian, hukum poligami dalam kontek modern adalah haram qath'i. Pendapat dengan esensi serupa juga dikemukan oleh Qasim Amin, Nasr Hamid Abu Zayd, Maulana Umar Ahmad Utsmani, Maulana Muhammad Ali, Asghar Ali Engeener, dan Rifat Hasan.53

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pandangan hukum Islam terhadap poligami dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: Pertama membolehkan poligami secara mutlak (didukung mayoritas ulama klasik). Kedua melarang poligami secara mutlak. Ketiga mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu. D. Syarat-syarat Melakukan Poligami

Pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang laki-laki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.54

53 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), hal. 218

54 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

(46)

1. Adanya Keadilan Bagi Para Istri

Allah swt. menghalalkan poligami, tapi dengan batas tidak lebih dari empat istri. Mereka wajib berlaku adil dari sisi sandang, pangan, papan, serta segala hal yang bersifat materi tanpa adanya pembedaan antara istri yang kaya dengan yang miskin, istri yang berasal dari keturunan ningrat,dan istri yang berkasta rendah.55

Penggalan QS. An-Nisa ayat 3 tersebut menyatakan "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki...". Penggalan ayat lain Allah juga berfirman:

ْمُتْص َرَح ْوَل َو ِءٓاَسِ نلٱ َنْيَب ۟اوُلِِْعَت نَأ ۟ا ٓوُعيِطَتْسَت نَل َو /ءاسنلا( 4 : 3 )

Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian".

Keadilan menurut Sayyid Sabiq pada ayat pertama di atas adalah keadilan dari sisi zahir. Keadilan yang berkaitan dengan materi dan dapat diukur, bukan keadilan pada rasa cinta dan kasih sayang. Karena itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh semua orang. Sementara keadilan pada ayat kedua adalah keadilan dalam perasaan cinta, kasih, dan hubungan seksual.56Penggalan surat An-Nisa ayat 3 di atas mengatakan syarat seorang yang poligami harus dapat berlaku adil. Jika ia takut tidak dapat berlaku adil maka lebih baik ia mengawini satu perempuan saja. Sementara pada ayat 129 dalam surat yang sama

55 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011), hal. 349

56 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3 , terj. Abdurrahim dan Masrukhi, (Jakarta:

(47)

mengatakan bahwa seorang suami tidak akan dapat berlaku adil terhadapa istri-istriya sekalipun ia ingin melakukannya.

Adil yang dimaksud sekedar yang dapat dilakukan oleh seseorang, misalnya dalam soal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan, seperti melebihkan cintanya kepada salah satu istri maka tidak termasuk dosa.57

Rasulullah Saw. bersabda:

,ةشئاع نع اذه مهللا :لوقيو ,لِعيف مسقي ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر ناك : ْلاق َلما لاو َلمت اميف ينملت لاف َلما اميف يمسق .)بلقلا ينعي( : دواد وبا لاق . 58 هاور( )دواد وبا Artinya: Aisyah berkata bahwa Rasulullah Saw. membagi dengan adil, lalu beliau bersabda: "Ya Allah inilah pembagianku yang mampu saya lakukan. Janganlah Engkau mencelaku tentang yang Engkau miliki dan tidak saya miliki". Abu Daud berkata: yaitu hati (HR. Abu Daud)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat 129 tersebut sebagai berikut: wahai manusia, kalian tidak akan sanggup bersikap adil di antara isteri-isteri kalian dari berbagai segi, karena sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat dan jima ' (hubungan badan).59

Imam Tirmidzi berkata, maksudnya adalah kecintaan dan kasih sayang. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai maksud dari firman Allah Swt. yang artinya, "kamu sekali-kali tidak

57Sa'id bin Abdullah Al Hamdani, Risalah An-Nikah, terj. Abdul Halim,

(Jakarta;Pustaka Amani, 2002), hal. 38

58 Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadis no. 2134, Maktabah Islamiyah (Beirut:

Al-Maktabah Al-'Isriyah, ttp). Th.

59 Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Lubaabut Tafsiir min Ibni Katsiir/Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, terj. Abdul Ghoffar, cet. 2,(Bogor: Pustaka Imam Syafi'i, 2003), hal.

(48)

akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." Ibnu Abbas berkata, maksudnya berlaku adil dalam cinta dan bersenggama.60

Menurut Wahbah Zuhaili, bahwa syariah menetapkan dua syarat inti bagi bolehnya berpoligami, yaitu:61 Pertama, suami mampu berlaku adil dalam pendekatan zhahir. Yaitu keadilan yang dapat dilakukan dan diwujudkan oleh manusia, seperti merata terhadap para istri dari segi materi, yang berupa nafkah, perlakuan yang baik dan masa menginap. Kedua, memberikan nafkah, yaitu kemampuan Untuk mendatangkan fasilitas pernikahan dan biayanya, serta kesinambungan dalam memberikan nafkah waiib kepada istri.

Adil dalam pandangan Yusuf Qardhawi merupakan kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berlaku adil diantara istri-istrinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menunaikan hak-hak tersebut secara adil dan imbang, maka haram baginya menikah lebih dari seorang62

Adapun keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang membolehkan poligami itu, menurut Quraish Shihab adalah keadilan

60 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, terj. Abdul Hayyie

Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 98

61 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, terj. Abdul Hayyie

Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 162-163

62 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Abu Sa'id Al-Falahi,

(49)

dalam bidang material.63 Sementara keadilan yang dimaksud oleh surat An-Nisa ayat 129 tersebut adalah keadilan di bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai.64

Berbeda dengan pendapat ulama fikih sebelumnya yang cenderung memaknai adil secara kuantitas, Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Aris Baidhowi memaknai adil secara kualitas. Bagi Abduh keadilan yang disyaratkan Al-Quran adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.65

Dari uraian dari beberapa ahli di atas, dapat diketahui bahwa mayoritas ulama memaknai adil hanya dalam hal material saja, seperti adil dalam pembagian nafkah batin, sandang, pangan, dan papan. Adapun adil yang dimaksud dalam surat An-Nisa ayat 129, mayoritas ulama mengartikannya sebagai keadilan dalam imaterial, seperti, cinta

63 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. 13 (Bandung: Mizan, 1996), hal. 199

64 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. 13 (Bandung: Mizan, 1996), hal. 200

65 Aris Baidhowi, Hukum Poligami Dalam Perspektif Ulama Fiqh, Jurnal Muwazah,

(50)

dan kasih sayang yang tidak akan dapat diterapkan oleh manusia manapun. Oleh karenanya adil dalam hal cinta dan kasih sayang bukan termasuk syarat untuk berpoligami.

2. Jumlah Istri dalam poligami

Berbicara masalah jumlah perempuan yang boleh dinikahi oleh laki-laki dalam satu masa, kita tidak bisa terlepas dari penggalan surat An-Nisa ayat 3 sebagaimana telah disebutkan di atas. yaitu "... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...". Ayat ini dijadikan dalil tentang batasan menikahi perempuan perempuan dalam waktu bersamaan. Para ulama menjelaskan bahwa khithab ini berlaku untuk semua umat, dan setiap orang yang menikah boleh memilih jumlah mana saja di antara angka-angka ini.66Islam telah

berhasil membatasi perkawinan yang tidak teratur dan bebas, sehingga hampir semua ulama klasik juga sepakat bahwa pembatasan tersebut untuk menetapkan asas keadilan dalam poligami.67

Imam asy-Syafi'i berkata: "Sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat wanita." Pendapat yang dikemukan oleh Asy-Syafi'i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi'ah.68

66 Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, Jilid 2, terj.

Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 671

67 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), hal. 215

68 Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Lubaabut Tafsiir min Ibni Katsiir/Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, terj. Abdul Ghoffar, cet. 2,(Bogor: Pustaka Imam Syafi'i, 2003), hal.232

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian di Jordan tahun 2010 tentang Anticipatory Grief pada orangtua yang hidup dengan anak yang terdiagnosis kanker menyatakan orang tua yang anak memiliki anak

Tabel 3 pada analisis ragam menunjukkan pemberian jerami dengan berbagai perlakuan (fisik, kimia, biologi dan kombinasi) dalam pakan domba memberikan pengaruh yang tidak berbeda

Hasil analisis terhadap sektor industri pengolahan di Provinsi Jambi menemukan bahwa: 1) Industri pengolahan yang memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan terbesar

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun

Untuk teknik RIL, kegiatan memuat dan membongkar mempunyai rata-rata waktu yang lebih cepat daripada teknik setempat, hal tersebut disebabkan saat alat sarad memuat

merupakan nilai organoleptik daging ikan tertinggi pada pengamatan jam ke-0 yaitu sebesar 8,53, sedangkan nilai terendah yaitu 2,78 diperoleh pada perlakuan ekstrak