F. Hukum Perikatan a. Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda yaitu
Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang/pihak yang satu terhadap orang/pihak yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Jika dirumusakan perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property); dalam bidang hukum keluarga (family law); dalam bidang hukum pribadi (personal law). Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya seperti dalam bidang hukum harta kekayaan, modalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa hutang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dan sebaginya8.
b. Pengertian Jual Beli
Jual-beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk menbayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
8
Perkataan jual-beli menunjukan bahawa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup
dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli
hanya disebut dengan “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari
sudutnya si pembeli), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan
“vante” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya
perkataan “kauf” yang berati “pembelian”.
Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adlaah sah memuat hukum misalnya jual beli mengenai pertanahan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.
jual beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang bisanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat tangguh (Pasal 1463 B.W.).
c. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanian jual beli adalah barang dan harga.
perjanian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai
barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju dengan barang dan harga, maka melahirkan perjanjian jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang
berbunyi: “ Jual beli dianggap sudah terjadi abtara kedua belah pihak seketika setelah
mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu diserahkan
maupun belum dibayar”. Konsensualisme bersal dari perkataan “konsensus” yang
berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sekapat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan
oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya setuju dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah meneyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari B.W. menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian dari B.W. itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian
itu (dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya konsensualisme sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik
lain yang kemudian atau yang sebelumnya. Asas tersebut kita simpulkan dari Pasal 1320, yaitu Pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak
dari pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua perjanjian yang dibuat secara sah”, yang dimaksud dengan perjanjian yang sah terdapat dalan Pasal 1320
yang menyebutkan satu persatu mengenai syarat sahnya perjanjian. Syarat-sayartnya adalah : 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal.
Dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk cara
(formalitas) apapun, seperti tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian “formal” atau pula yang
dinamakan perjanjian-perjanjian “riil” itu merupakan kecualian. Perjanjian formal
adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut Pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah, sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut Pasal 1740 baru tercapai dengan diserahkannya barang yang manjadi objeknya atau perjanjian “penitipan”
Untuk perjanian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlakukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).
Asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 B.W. (kalau dikehendaki : Pasal 1320 dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian. Kalau kita ambil; perjanjian yang utama, yaitu jual-beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dari
perumusannya dalam Pasal 1458 B.W. yang berbunyi : “Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan,
BAB III
LEGALITAS TRANSAKSI E-COMMERCE DI TINJAU DARI HUKUM