• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber hukum pidana yang digunakan di Indonesia masih menggunakan kodifikasi yang berasal dari zaman Hindia Belanda Weboek van strafrecht (WvS). Pada zaman Hindia Belanda untuk hukum pidana, berbeda dengan hukum perdata telah ada univikasi untuk semua golongan penduduk. Univikasi ini tercapai pada tanggal 1 Januari 1918. Kitab undang-undang hukum pidana merupakan salinan dari WvS Belanda yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886. Sebelum 1918 dalam hukum pidana ada dualisme bagi golongan Eropa pada WvS untuk golongan Eropa di samping ada WvS untuk golongan Bumi Putera.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah juga Kitab

Undang-undang Hukum Pidana warisan zaman Hindia Belanda dengan perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946.

Pengertian

Pidana dapat di definisikan sebagai berikut :

1. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan nama diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

2. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan yang merugikan kepentingan umum .

Asas berlakunya Hukum Pidana

Asas berlakunya hukum pidana adalah asas legalitas yang terdapat dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang berbunyi sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”

Tujuan Hukum Pidana

Dari hukum pidana adalah :

1. Prefentif (pencegahan), yaitu untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.

2. Represif (mendidik), yaitu mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembagian Hukum Pidana

1. Hukum pidana obyektif (ius poenale), yaitu Semua peraturan tentang perintah atau larangan terhadap pelanggaran yang mana diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum pidana terdiri dari :

a. Hukum pidana material, yaitu hukum yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum;

dan

b. Hukum pidana formal, yaitu yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana.

2. Hukum pidana subjektif (ius puniendi), ialah hak negara atau alat-alat negara untuk menghukum berdasarkan hukum pidana obyektif .

3. Hukum pidana umum (algemene strafrecht), ialah hukum pidana yang berlaku untuk semua penduduk kecuali anggota ketentaraan.

4. Hukum pidana khusus (byzondere strafrecht), Yaitu hukum pidanayang dalam bentuknya sebagai Ius speciale yaitu yang khusus berlaku untuk orang-orang tertentu, misalnya Hukum Pidana Militer yang khusus hanya berlaku bagi anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer dan ius singulare seperti hukum pidana fiskal.90

Peristiwa Pidana/Tindak Pidana/Delik

Peristiwa pidana atau tindak pidana (delik) adalah perbuatan yang melanggar UU, dan oleh karena itu bertentangan dengan UU yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atau perbuatan yang dapat dibebankan oleh hukum pidana.

Dalam tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur, untuk dapat mengkatagorikan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana atau bukan, unsur-unsur yang harus dipenuhi, adalah:

1. Unsur-unsur tindak pidana, meliputi : a. Terus ada suatu kelakuan (gedraging);

b. Sesuai dengan uraian UU (wettelijke omshrijving);

90 Martiman Prodjohamidjojo, Memenuhi Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997, hal . 6

c. Perlakuan hukum adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

2. Unsur obyektif adalah mengenai perbuatan, akibat dan keadaan, yang meliputi : perbuatan, perbuatan dapat dibedakan :

a. Dalam arti positif, perbuatan manusia yang disengaja;

b. Dalam arti negatif, kelalaian.

Akibat, efek yang timbul dari sebuah perbuatan keadaan, satu hal yang menyebabkan seseorang dihukum yang berkaitan dengan waktu.

3. Unsur subjektif adalah mengenai keadaan dapat di pertanggungjawabkan dan schold (Kesalahan) dalam arti dolus (sengaja) dan culpa ( kelalaian).

Jenis-jenis Delik Beberapa jenis delik :

1. Delik formal adalah kejahatan itu selesai kalau perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan;

2. Delik materiil yang dilarang oleh UU ialah akibatnya yang meliputi :

a. Delicta commissionis, terhadap larangan yang diadakan oleh UU; dan delicta ommissionis, pelanggaran terhadap keharusan yang diadakan oleh UU.

b. Delik yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dan delik yang dilakukan dengan kelalaian (culpa)

c. Kejahatan yang berdiri sendiri, dan kejahatan yang dijalankan terus.

d. Kejahatan bersahaja, dan kejahatan tersusun.

e. Kejahatan yang berjalan habis (kejahatan selesai pada suatu saat), dan kejahatan yang terus.

f. Delik pengaduan, dan delik commune (tidak membutuhkan pengaduan).

g. Delik politik kejahatan yang ditujukan pada keamanan negara atau kepala negara langsung atau tidak langsung dan delik umum (commune delict), kejahatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang, dan delik khusus kejahatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu.

Penjatuhan Pidana

Suatu perbuatan yang telah memenuhi persyaratan sebagai suatu delik akan dijatuhi pidana. Pidana hukuman yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat dalam pasal 10, yang mengatur 2 macam hukuman :

a. Hukuman/Pidana Pokok, yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman yang lain, yang terdiri dari :

1. Hukuman mati, 2. Hukum penjara,

3. Hukuman kurungan, dan 4. Hukuman denda.

b. Hukuman/Pidana Tambahan yang harus dijatuhkan bersama dengan pidana/hukuman pokok, terdiri dari :

1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang, dan 3. Diumumkannya keputusan hakim.

Seorang yang mendapat putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (artinya tidak melakukan upaya hukum) harus menjalaninya. Akan tetapi dalam KUHP diatur dalam hal-hal apa seorang terdakwa tidak perlu menjalani hukuman/pidana yaitu karena :

1. Matinya terdakwa (pasal 83);

2. Daluwarsa (pasal 84 dan 85),

Sedang di luar KUHP ada pengaturan mengenai hal ini, yaitu :

1. Pemberian amnesti oleh presiden (amnesti = dihapuskannya akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan pidana).

2. Pemberian grasi oleh presiden (grasi = pengampunan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 2002).

Dalam KUHP juga diatur hapusnya kewenangan (jaksa) untuk menuntut yaitu :

1. Nebis in idem (pasal 76);

2. Daluwarsa (pasal 78);

3. Matinya terdakwa (pasal 77);

4. Pembayaran denda maksimum pada pejabat tertentu maka pelanggaran hanya diancam denda saja (pasal 82);

5. Abolisi (hapusan tuntutan);

6. Amnesti (diatur dalam UU Darurat No. 11 tahun 1954).

Penafsiran UU Pidana

Dalam Buku I Titel IX KUHP, dimuat penafsiran-penafsiran yang tercantum di dalam KUHP, jadi penafsiran itu tidak berlaku terhadap perkataan dalam aturan pidana yang ada diluar KUHP.

Misalnya : pada pasal 97, menyebutkan hari adalah waktu selama 24 jam, yang disebut bulan adalah waktu 30 hari. Pada pasal 98, yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari silam dan matahari terbit.

3.3 Hukum Adat