• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Waris Yang Berlaku di Indonesia 1. Hukum Waris Adat

4. Hukum Waris Adat Keturunan Tionghoa

Dalam melaksanakan pembagian warisan masyarakat Keturunan Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Waris Adat Keturunan Tionghoa. Akan tetapi masyarakat Keturunan Tionghoa lebih memilih waris adat Keturunan Tionghoa daripada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dikarenakan masyarakat Keturunan Tionghoa sudah sejak turun-temurun melaksanakan warisan secara adat dan

masyarakat Keturunan Tionghoa selalu memegang teguh adat istiadat Keturunan Tionghoa.

Waris Adat Keturunan Tionghoa adalah waris yang dilaksanakan dalam kurun waktu yang lama dari sebelum masyarakat Keturunan Tionghoa menjadi warga negara Indonesia sampai masyarakat Keturunan Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam pembagian waris adat Keturunan Tionghoa adalah dikarenakan terjadinya pembauran atau asimilasi antara budaya Keturunan Tionghoa dengan budaya setempat, penyimpangan tersebut adalah perempuan mendapatkan warisan, Ahli waris perempuan yang mendapatkan warisan tidak boleh besar dari warisan laki-laki atau biasanya dengan ketentuan 1 / ½. Oleh sebab itu maka hukum waris adat Keturunan Tionghoa juga diakui oleh hukum positif negara Indonesia akibat hukumnya adalah apabila terjadi suatu sengketa warisan maka yang berperan dalam penyelesaiannya adalah orang-orang yang di tuakan bisa juga paman ataupun tokoh masyarakat.

Dalam pembagian warisan secara adat Keturunan Tionghoa, saudara laki-laki bungsu berperan penting dalam mengurus harta warisan dan harus memberikan contoh terbaik bagi saudara-saudaranya dan juga harus mengurus abu leluhur. Apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan secara adat Keturunan Tionghoa, maka akan diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila tidak mencapai

kesepakatan maka akan ditempuh dengan jalur hukum atau ke Pengadilan Negeri.

Namun ada pantangan menurut masyarakat Keturunan Tionghoa yaitu barang milik pewaris tidakdapat digunakan oleh ahli waris, hal ini disebabkan beberapa hal yaitu:

a. Menurut kepercayaan tionghoa bahwa setelah manusia meninggal maka ada kehidupan lagi sehinggapewaris masih membutuhkan perlengkapan pribadinya yang dipergunakan saat masih berada di dunia.

b. Perlengkapan pribadi pewaris masih mengandung kekuatan gaib dari pemiliknya sehingga kekuatan ini sangat berbahaya bagi ahli waris dan atau bukan pemiliknya sehingga harus diikut sertakan di kuburan.47

Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 29 Mei 1963 Nomor 917/1963 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta 17 Oktober 1963 Nomor 588 menyatakan bahwa “pengangkatan anak di kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia tidak lagi terbatas pada pengangkatan anak laki-laki namun telah diperbolehkan juga pengangkatan terhadap anak perempuan”. Hal yang juga dinyatakan dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1979 juncto SEMA Nomor 6 Tahun 1983 terkait dengan yurisprudensi terhadap pengangkatan anak perempuan”. Dengan kata lain hal ini membawa

akibat hukum bahwa anak angkat perempuan juga berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya.

Pada masyarakat Keturunan Tionghoa peranakan umumnya akan membagikan semua harta secara sama rata terhadap semua anaknya baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anak angkat yang diadopsi secara sah. Akan tetapi, pada prakteknya, anak-anak yang sudah kaya biasanya tidak mengambil haknya atau hanya mengambil sebagian, sisanya diberikan kepada saudara kandungnya yang kurang mampu (miskin). Anak angkat yang tidak diadopsi sekalipun, asal dari bayi ikut keluarga tersebut umumnya akan diberikan warisan yang sama dengan anak kandungnya.48

Kondisi ini menunjukkan bahwa kedudukan anak angkat perempuan dalam masyarakat etnis Keturunan Tionghoa termasuk dalam suku Hainan saat ini diakui sebagaimana layaknya anak angkat laki-laki. Dalam hal ini prosesi adat pengangkatan anak perempuan maka sudah dianggap sah secara hukum. Status anak angkat perempuan yang diangkat melalui upacara adat menjadi seperti anak kandung juga status anak angkat itu sama dengan anak sah. Oleh karena itu dalam hukum waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.

48Leo Suryadinata,2002, Negara dan Etnis Keturunan Tionghoa : Kasus

Hak Waris anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung sehingga adanya kondisi demikian memberikan perlindungan terhadap anak, sehingga hak-hak anak akan terlindungi dan kesejahteraan anak akan terjamin.49

D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengajuan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak ke Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan pergeseran dan variasi-variasi pada motivasinya.50 Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak ditengah-tengah masyarakat semakin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memeperoleh putusan pengadilan.51

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak yang harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan

49

Amir Martosedono, 1990,“Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan

Masalahnya”, Semarang, Effhar Offset dan Dahara Prize, hlm. 20.

50

Soedharyo Soimin, 2004, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 28.

teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi untuk pelaksanaannya. Namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar 1945;

b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; d. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; e. Bab VIII Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, yang berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002;

f. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum; g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a angka 20 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orangyang beragama Islam dibidang penetapan asal usul seorang anak dan penetapanpengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;

h. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Peraturan ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak;

i. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak;

j. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984;

k. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 17 April 1979 tentang pengangkatan anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan;

l. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983;

m. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai tanggal 8 Februari 2005.

n. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari

KUHPdt/BW yang ada, khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Keturunan Tionghoa.

o. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama sampai sekarang.

Dokumen terkait