• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkatan Anak. 1. Definisi Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkatan Anak. 1. Definisi Anak Angkat dan Pengangkatan Anak"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

7

A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkatan Anak

1. Definisi Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak memberikan pengertian anak angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Penulis sependapat dengan Hilman Hadikusuma yang menyatakan bahwa pengertian anak angkat yaitu anak dari orang lainyang kemudian dianggap sebagai anak sendiri (anak kandung) oleh orang tua angkat secara resmi melalui ketentuan hukum adat setempat. Pengangkatan anak secara adat ini demi keberlangsungan keturunan dan/atau pemeliharaan assetkeluarganya.1

Muderis Zaini berpendapat bahwa anak angkat yang di adopsi merupakan peristiwa hukum memasukan anak orang lain kedalam

1Hilman Hadikusuma, 1991, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni,

(2)

keluarganya. Anak tersebut diperlakukan dari segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri.2

Pengertian dari anak angkat dapat ditinjau dari dua pandangan yaitu secara etimologi serta terminologi. Sudut pandang etimologi yaitu berdasarkan asal usul katanya menurut bahasa Belanda adopsi berasal dari kata adoptie, kemudian dalam bahasa Inggris disebut

adopt (adoption) yang artinya pengangkatan anak, dalam bahasa Arab disebut Tabanni menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, selanjutnya pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 3

Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau BW menjelaskan bahwa tidak ditemukan ketentuan pengangkatan anak/adopsi, pengaturan yang ditemukan adalah ketentuan mengenai pengakuan anak diluar nikah. Hal inilah diatur dalam BW buku I bab XII bagian ketiga Pasal 280-289 tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Demikian sesuai KUHPdt maka ketentuan anak-anak luar

2Muderis Zaini, Op.Cit., hlm. 85.

3R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2007,

(3)

kawin tidak dapat disamakan dengan proses pengangkatan anak atau adopsi.4

Peristiwa pengangkatan anak tergolong suatu perbuatan perdata yang di kemudian hari menjadi bagian dari hukum kekeluargaan, sehingga kemudian pada intinya menjadikan setiap persoalan berkaitan dengan hubungan hukum antar manusia.5

Pengangkatan anak adalah perbuatan hukum, mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Hal tersebut diatur dalamPasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Adopsi menurut hukum adat merupakan proses pengambilan anak dari orang lain yang diikutsertakan kedalam keluarga sendiri. Hal ini menyebabkan hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua angkat terjadi.6

Pengangkatan anak menurut pendapat Soerjono Soekanto adalah perbuatan mengangkat anak yang berada dalam suatu kedudukan mengakibatkan munculnya hubungan yang seakan mempunyai hubungan darah. Seseorang yang dimaksud adalah anak

4

Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,

Jakarta, PT. Bina Aksara, hlm. 29.

5Ibid, hlm. 30.

6Soerojo Wignjodipoero, 1994, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat,

(4)

orang lain yang diangkat anak untuk dijadikan anak sendiri.7 Dari semua definisi yang diberikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah.8 Berikut penulis menemukan jenis-jenis pengangkatan anak, yaitu9:

a. Tidak memutuskan hubungan dengan keluarga asli disebut pengangkatan anak sederhana.

b. Bertujuan untuk memutuskan hubungan kekeluargaan anak dengan keluarga asli dan timbul kekeluargaan baru dengan yang orang tua angkat disebut pengangkatan anak sempurna.

c. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat perkawinan sah baik laki-laki maupun perempuan.

d. Pengangkatan anak dilakukan oleh orang tua kandung dengan orang tua angkat disebut pengangkatan anak langsung.

e. Pengangkatan anak anumerta, merupakan permohonan pengangkatan anak diajukan oleh suami atau isteri yang hidup terlama, artinya apabila suami atau istri meninggal dan sedang dalam proses mengambil alih pengangkatan anak akan tetapi kematian menghalangi pengangkatan anaknya.

7

Soerjono Soekanto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, hlm. 52.

8Djaja S. Meliala, Op.Cit., hlm. 3.

9Dewi Sartika, 2002, Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta

(5)

Adopsi dalam hukum perdata barat, menurut Simorangkir adalah mengangkat seorang anak orang lain sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.10 Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak ialah suatu perbuatan yaitu memungut anak dari luar kerabat ke dalam kerabat. Dari peristiwa memungut tersebut maka terjalin suatu ikatan sosial yang sama antara kerabat baru yang termasuk didalamnya juga ada ikatan kekerabatan secara biologis.11

Adopsi awalnya tidak dikenal dalam aturan Burgerlijk Wetbook

(B.W.) yang merupakan kitab warisan dari pemerintahan Hindia Belanda, meskipun sumber dari pembuatan B.W. yaitu Code Civil Perancis mengenal istilah pengangkatan anak.12 Pulau Jawa memiliki aturan tersendiri perihal pengadopsian. Pengangkatan ini tidak memutuskan hubungan antara keluarga anak yang diangkat dengan orang tua asli. Pada akhirnya memang si anak angkat memasuki kehidupan orang tua angkatnya yaitu sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), namun anak angkat tidak mempunyai kedudukan sebagai anak kandung yang menjadi turunan bapak angkatnya.13

10

Simorangkir dalam buku M.Anshary, 2010, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Masalah-masalah Krusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 112.

11Iman Sudiyat, 2000, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-IV, Yogyakarta,

Liberty, hlm. 102.

12Subekti. R, 2004, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya

Paramita, hlm. 20.

13Soepomo. R, 1987, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta, PT. Pradnya

(6)

Berdasarkan hukum adat Keturunan Tionghoa, dilakukannya adopsi agar dapat melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan bagi belum mempunyai anak.14 Dalam hukum adat keturunan Tionghoa diatur bahwa yang seharusnya diangkat dalam adopsi ini adalah dari masyarakat sedarah yang tepat dibawah generasi pengadopsi.

Dengan diperlukannya aturan lembaga pengangkatan anak untuk keturunan Tionghoa, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) hanya mengatur pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Pasal 280 sampai 290 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.15

Masyarakat keturunan Tionghoa hanya bisa mengangkat anak laki-laki saja, karena menurut kepercayaan golongan Keturunan Tionghoa yang dapat melakukan dan memimpin upacara arwah nenek moyang dan untuk mendoakan leluhur mereka hanyalah anak laki-laki. Jika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka diperbolehkan untuk mengangkat seorang anak laki-laki.16

14Tia Arisanti, 2012, “Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

Keturunan Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Keturunan Tionghoa di Kota Medan)”, (Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara), hlm. 3.

15Soeroso. R, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika,

hlm. 178.

16

(7)

Pada saat ini, proses pengangkatan anak semestinya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum, yaitu melalui permohonan penetapan di pengadilan. Gunanya pengangkatan anak melalui lembaga pengadilan adalah untuk mendapatkan kepastian hukum, karena pengangkatan anak akan memberikan implikasi hukum terkait perkara kewarisan dan alimentasi orang tua kepada anaknya. Pengajuan permohonan penetapan pengangkatan anak dapat dilakukan di Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam atau di Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam.17

2. Alasan Pengangkatan Anak

Berdasarkan pelaksanaan pengangkatan anak, selalu disertai alasan-alasan. Alasan tersebut antara lain sebagai berikut18:

a. Ingin mempertahankan garis keturunan/marga, agar dapat menjaga dan memeliharanya kelak kemudian di hari tua.

b. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/kebahagiaan keluarga.

c. Adanya kepercayaan dengan mengangkat anak, maka dipermudah untuk memiliki keturunan.

d. Timbulnya rasa iba terhadap seorang anak terlantar. Misalnya ada orang tua yang tidak mampu mengurus anaknya sendiri. e. Demi mendapatkan tenaga kerja yang dapat dipercaya.

17Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2008, Hukum Perlindungan dan

Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,hlm. 53.

18Lulik Djatikumoro, 2011, Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia,

(8)

f. Bertujuan supaya adateman bagi anaknya 3. Tujuan Pengangkatan Anak

Adopsi harus dilaksanakan demi kesejahteraan anak, hal itu berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kemudian, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 39 butir 1, maka kesimpulannya pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan demi kepentingan yang terbaik si anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Berbeda dengan peraturan perundangan, tujuan pengangkatan anak dalam hukum adat, lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orang tua angkat) akan kepunahan, maka calon orang tua angkat (yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kerabatnya, dan berkedudukan sebagai anak kandung dari orang tua angkat sehingga secara otomatis tidak memiliki ikatan lagi dengan saudara sebelumnya.19

4. Syarat-syarat Pengangkatan Anak a. Syarat Calon Anak Angkat

Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menentukan :

(9)

1) Syarat anak yang akan diangkat meliputi : a) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun b) Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan

c) Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak, dan

d) Memerlukan perlindungan khusus

e) Usia anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

(1) Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.

(2) Anak usia 6 (enam) tahun sampai dengan belim berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak, dan

(3) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

5. Syarat calon orang tua angkat

Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, menentukan Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Sehat jasmani dan rohani.

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.

(10)

c. Beragama sama dengan agama calon anak.

d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum, karena melakukan tindak kejahatan.

e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. f. Tidak merupakan pasangan sejenis.

g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.

i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.

j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

l. Telah mengasuh calon anak paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuh diberikan; dan

m. Memperoleh izin Menteri dan/atau Kepala Instansi Sosial. 6. Pengangkatan Anak Di kalangan Masyarakat Tionghoa

Masyarakat keturunan Tionghoa sudah mengenal adopsi sejak dahulu sebelum berlakunya KUHPdt. Di Indonesia lembaga adopsi tersebut tidak dikenal, KUHPerdata hanya mengatur perihal anak diluar kawin. Sehingga ketentuan tersebut tidak ada hubungannya dengan adopsi,

(11)

karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.20 Tidak diaturnya adopsi bagi golongan Tionghoa, membuat dilema bagi masyarakat Tionghoa karena sudah dikenalnya adat adopsi yang berlaku bagi pasangan yang tidak punya atau belum memiliki anak terutama keturunan laki-laki. Hal ini dilakukan untuk pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur dan menjaga eksistensi marga sebuah keluarga.21 Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblaad No.129 pada tahun 1917 yang mengatur adopsi, yang berisi antara lain:

1. Pasal 4 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “pihak suami maupun istri atau janda atau duda yang tidak memiliki anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan, orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya”.

2. Pasal 5 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “apabila seorang janda yang dikarenakan cerai mati tersebut tidak memiliki anak laki-laki dan tidak ada larangan dari oleh mantan suaminya disertai surat wasiat berhak melakukan pengangkatan anak”.

3. Pasal 6 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Yang boleh diangkat sebagai anak angkat ialah seorang anak Tionghoa berjenis kelamin laki-laki, tidak/ belum memiliki istri dan tidak memiliki anak dan tidak dalam status diangkat anak oleh keluarga lain.”

20R.Soeroso, 2005, Perbandiungan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.

178.

21Hidayat Z. M., 1977, Masyarakat dan Kebudayaan Keturunan Tionghoa

(12)

4. Pasal 7 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Mengatur batas usia anak dan orang tua yang boleh diangkat sebagai anak angkat yaitu usia anak yang diangkat harus delapan belas tahun lebih muda dari usiabapak angakat (suami) dan limabelastahun lebih muda dari ibu angkat (istri)”.

5. Pasal 10 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan anak harus dilaksanakan berdasar kesepakatan antara calon orang tua angkat dan orang tua kandung tersebut”.

6. Pasal 10 ayat (2) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan seorang anak haruslah disertai dengan proses pengukuhan di depan notaris dan dibuktikan melalui akta notaris”. 7. Pasal 12 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Akibat

hukum pengangkatan anak mengakibatkan seorang anak angkat menjadi berkedudukan sederajat dengan anak sah yang berasal dari perkawinan orang tua angkat. Hal ini juga termasuk apabila pihak yang mengangkat anak tersebut seorang ibu tunggal atau janda cerai mati maka anak angkat (adoptandus) haruslah dianggap berasal dari perkawinan dengan pasangannnya yaitu almarhum suami”.

8. Pasal 13 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan anak menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:

a. Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam perkawinan;

(13)

b. Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan; c. Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan; d. Mengenai pembuktian dengan saksi;

e. Mengenai saksi dalam pembuatan akta autentik. Oleh karena hukum akibat adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris yaitu anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkat dirinya”.

9. Pasal 15 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Suatu pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dijelaskan bahwasanya suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah masih dapat dibatalkan melalui kesepakatan kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.

10.Pasal 15 ayat (2) Staatblaad No. 129 Tahun1917 menyebutkan bahwa “Pengangkatan terhadap anak perempuan dan terhadap anak laki-laki tanpa membuat akta autentik adalah batal demi hukum dan juga pengangkatan anak karena sebuah tuntutan yang berasal dari pihak yang berkepentingan dapat mengakibatkan pengangkatan dinyatakan batal demi hukum”.

Berlakunya Staadblaad Nomor 129 pada tahun 1917 memberi penjelasan bahwa pengangkatan anak yang berjenis kelamin laki-laki

(14)

saja tradisinya sudah mulai ditinggalkan. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan zaman mengenai adopsi pada golongan Tionghoa bahwa anak perempuan juga dibutuhkan. Pengangkatan anak perempuan tersebut sudah sejak tahun 1963, karena apabila dilihat dari kasus perkasus soal pengangkatan anak perempuan pernah ada yang dikabulkan oleh PN Jakarta tepatnya di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta mengeluarkan putusan Nomor 907/1963/ Pengangkatan yang dikeluarkan pada tanggal 29 Mei 1963. Kemudian ada juga keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 588/1963 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 1963. Putusan tersebut menyebutkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 Staatblaad Nomor 129 Tahun 1917 yang pada mulanya mengangkat anak laki-laki saja dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan pembatasan hanya anak laki-laki tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian kehadiran Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 pada Tahun 1983, disebutkan bahwa tidak ada pelarangan untuk mengangkat anak perempuan karena sudah menjadi kebutuhan.

Masalah dalam pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di Indonesia. Sejak zaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan system hukum dan perasaan hukum yang berkembang di daerah yang bersangkutan.22

(15)

Perbuatan pengangkatan anak merupakan suatu rangkaian perbuatan hukum dalam hubungan hukum keluarga yang menunjukkan dengan kesadaran yang penuh atas segala akibat yang ditimbulkan dari peristiwa pengangkatan anak tersebut. Di kalangan masyarakat Indonesia, adopsi dilakukan secara berbeda-beda menurut aturan adat setempat. Bila seseorang tidak memperoleh anak walaupun telah bertahun-tahun menikah sedangkan ia menginginkan mendapatkan anak, maka dalam keadaan demikian ia mengangkat anak. Mitosnya bahwa pasangan yang belum mempunyai keturunan kemudian mengangkat anak orang lain maka ia akan memperoleh anak kandung. Sehingga ada anggapan jika pengangkatan anak itu adalah sebagai upaya pancingan bagi kelahiran anak kandung pasangan tersebut.23

Pengangkatan anak di Negara Indonesia tetap dilangsungkan, salah satunya karena bagi golongan warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa masih terdapat eksistensi sebuah lembaga pengangkatan anak yang berakar kuat dalam tradisi Tionghoa.24 Adapun dasar dari pertimbangan hal di atas karena hukum adat Keturunan Tionghoa yang tadinya bersifat patrilineal, kini bersifat parental.25

Masyarakat khususnya etnis Keturunan Tionghoa apabila pasangan tidak memiliki anak maka dianggap aib yang nantinya akan

23Tafal, Bastian, 1985,Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Jakarta,

Rajawali Press, hlm. 44.

24R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1995, Hukum Orang

dan Keluarga, Surabaya, Airlangga University Press, hlm. 194.

25Soedharyo Soimin, 2004, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak,

(16)

menimbulkan rasa malu terutama bagi keluarga pasangan suami maupun isteri. Oleh karenanya lalu dilakukan prosesi pengangkatan anak orang lain yang dimasukkan ke dalam anggota keluarganya. Anak angkat sebagai ganti tidak bisa diperolehnya anak secara alami tersebut.26

Menurut tradisi mereka, dalam keluarga harus ada anak laki untuk melanjutkan keturunan dalam garis keturunan lurus laki-laki. Karena, hanya anak yang wajib memelihara kuburan dan sembahyang abu untuk nenek moyang. Oleh karena itu, jika tidak ada keturunan laki maka seyogyanya mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya sendiri.27.

Pelaksanaan proses adopsi khususnya masyarakat Keturunan Tionghoa yang dulunya bersifat patrilineal. Namun kini tidak dipengaruhi oleh sistem patrilineal lagi karena dapat dikatakan tidak ada prioritasnya. Peristiwa adopsi sekarang ditekankan pada kepentingan si anak. Ada tiga cara adopsi pada masyarakat Keturunan Tionghoa yaitu tidak terang dan tidak tunai, terang.28

Kemudian ada dua model pengangkatan anak, ialah:

a. Anak angkat bersama orang tua kandungnya dan tidak menetap bersama orang tua angkat.

26Dessy Balaati, 2013, Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di

Indonesia, Lex Privatum, hlm.138.

27Soetojo Prawirohamijojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga (Personen

(17)

b. Anak angkat tersebut hidup menetap bersama orang tua angkatnya. Sebelumnya telah putus hubungan antara anak kandung dengan orang tua kandungnya tersebut.

Cara memperoleh anak angkat yaitu dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini. Di dalam masyarakat adat Keturunan Tionghoa, seharusnya yang utama untuk mengadopsi anak adalah hubungan sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki. Kemudian pertimbangan kedua yaitu anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu diputuskan mengingat nantinya anak adopsi bersama anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.29

Penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pada salah satu suku bangsa etnis Keturunan Tionghoa yaitu suku Hainan. Suku hainan berasal dari pulau hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri dari berbagai suku etnis keturunan Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama. Josh Chen mengatakan bahwa Hainan dikenal cukup luas di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khasnya.30

29Cik Hasan Bisri, 1998, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Raja

Grafindo Persada, hlm. 45.

30Josh Chen, Suku Hainan Etnis Keturunan Tionghoa, 03 Agustus 2017,

(18)

Pengangkatan anak perempuan secara adat Keturunan Tionghoa secara umum dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

a. Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Hal ini dilakukan guna menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi di dalam keluarga, karena menurut kepercayaan etnis keturunan Tionghoa terdapat aturan mengenai antar shio yang memiliki kecocokan dan ketidakcocokan.

b. Melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, dengan mempersiapkan beberapa material yaitu:

1) Meja berwarna merah yang biasa di pakai untuk melakukan sembahyang. Berwarna merah karena merah melambangkan kebahagiaan.

2) Lilin, sebagai lambang penerangan sedang berlangsungnya suatu upacara sembahyang.

3) Teh 3 cangkir, sebagai lambang penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4) Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam. Biasanya buah yang dipakai adalah buah jeruk (melambangkan kekekalan), buah apel (melambangkan ketentraman) dan buah Nenas (melambangkan kesejahteraan).

(19)

5) Dupa, merupakan suatu penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

c. Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan lilin, dupa dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas sembahyang.

d. Upacara sembahyang untuk pengangkatan anak dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami (orang tua angkat, bernama,umur,shio) mengangkat seorang anak (laki-laki atau perempuan, shio) yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.

e. Disaksikan oleh keluarga

Ada beberapa alasan yang mendasar bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk melakukan prosesi pengadopsian anak diantaranya adalah untuk membantu merawat, mendidik dan memelihara anak dari kerabat yang kurang mampu.

Guna sahnya pengangkatan anak khususnya bagi etnis Keturunan Tionghoa, maka setelah permohonan pengangkatan anak melalui prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari Majelis hakim bahwa anak

(20)

angkat yang telah dimohonkan, ialah sah sebagai anak angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak.

Putusan pengadilan juga mencakup mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah mengangkatnya, mengenai hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari hukum adat maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.

Namun demikian, berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat etnis Keturunan Tionghoa bahwa ketentuan mengenai tidak sahnya pengangkatan anak perempuan sebagaimana diatur Pasal 15 sub 2 Staatsblad No. 129 tahun 1917 yang menyatakan, bahwa adopsi anak perempuan adalah tidak sah dan batal demi hukum, dewasa ini telah dikesampingkan oleh sebagian masyarakat etnis Keturunan Tionghoa. Kondisi ini terjadi karena di dalam masyarakat ada kebutuhan akan adopsi anak, termasuk anak perempuan.

Hal ini disebabkan karena lambannya perkembangan hukum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat Etnis Keturunan Tionghoa yang terus berasimilasi dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Jadi dalam hal ini pengangkatan anak pada masyarakat Etnis Keturunan Tionghoa lebih didominasi oleh faktor penyebab ketiadaan

(21)

anak laki-laki yang menjadi generasi penerus keluarga dan pemelihara abu leluhur seta berhak atas harta warisan.

B. Tinjauan tentang Akibat Hukum Pengangakatan Anak

Pengangkatan anak memiliki akibat hukum yaitu mengenai: kekuasaan orang tua, hak waris, perwalian, dan juga soal nama anak.

1. Kekuasaan orang tua

Kekuasaan orang tua kandung terhadap anak yang diangkat orang lain tetap ada. Namun hubungan tersebut tidak penuh menurut Hukum Perdata Indonesia. Anak angkat dalam literasi hukum adat juga dapat disebut sebagai anak kandung secara hukum. Sehingga menurut penulis anak kandung terbagi menjadi dua jenis yaitu anak kandung yang sebenarnya dan anak kandung secara hukum. Anak kandung secara hukum artinya anak angkat yang diangkat secara hukum sejak dilahirkan sehingga akta kelahirannya menunjuk orang tua angkat sebagai orang tua kandung. Anak kandung secara hukum terkait erat dengan asal-usul orang tuanya. Anak kandung yang tidak sah tersebut biasanya disebut dalam beberapa istilah anak kowar (Jawa), anak haram jadah (Sunda), anak kampang (Melayu), anak astra (Bali) dan Anak Pungut yaitu anak yang mengikuti orang lain sebagai orang tua yang mengurusnya.31

31Hilman Hadisukusma, Hukum Perkawinan Adat, Op. Cit., hlm.

(22)

Dalam masyarakat Minahasa, Timor, Mentawai dan sebagian Jawa yang tidak taat Islamnya, kedudukan anak kandung secara hukum dianggap sama dengan anak kandung sebenarnya. Ada dua tujuan dari pengangkatan anak yaitu: meneruskan keturunan dan atau pemeliharaan harta benda keluarga. Pengangkatan dalam beberapa masyarakat hukum adat di daerah mengambil dari bagian anggota keluarga sendiri. Misalnya daerah Lampung yang diharuskan mengambil anak lelaki dari saudaranya apabila tidak memiliki anak lelaki. Namun apabila keluarga tidak mau mengangkat anak lelaki dari pihak saudaranya maka anak wanita keluarga tersebut dapat ditetapkan sebagaai anak lelaki dan melakukan perkawinan Ngakuk Ragah (mengambil lelaki) seperti halnya adat Bali yang dinamakan Nyentane.

Demikian pula yang terjadi dalam sistem kekerabatan keibuan di Minang, semendo Sumatera Selatan, Lampung Pesisir. Apabila tidak memiliki anak wanita maka dapat mengangkat anak wanita lainya untuk dijadikan penerus. Setelah terjadi pengangkatan anak secara adat otomatis hakdan kewajiban anak tersebut sama dengan warga adat persekutuan orang tua angkatnya. Secara sosial tidak menghilangkan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung. Kekuasaan orang tua utama jatuh pada orang tua angkat. Hal ini terjadi setelah anak

(23)

angkat diangkat secara resmi melalui upacara adat pengangkatan anak dan atau disertai permohonan di pengadilan.Namun secara perwalian dan waris anak angkat ini berbeda-beda tiap sukunya. 2. Hak mewaris

Hubungan waris yang terjadi antara anak angkat, orang tua angkat dan orang tua kandung menurut hukum adat Indonesia bermacam-macam. Bagi beberapa masyarakat hukum adat misalnya masyarakat suku Jawa yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mengakui hubungan anak kandung dengan orang tua kandung. Sehingga ketika orang tua si anak meninggal, anak berhak mendapat dua harta peninggalan yaitu dari orang tua kandung dan juga mendapat dari orang tua angkat. Seperti yang dikisahkan dalam literature Soedarso, bahwa karena anak angkat yang telah diakui sebagai anak kandung telah lama membantu pekerjaan orang tua sehingga mendapat jatah warisan berdasarkan kebijaksanaan.

Anak kandung adalah pewaris dari orang tua yang melahirkannya, sedangkan anak kandung tidak sah (anak kandung secara hukum semata) ada kemungkinan yaitu tidak berhaknya si anak sebagai ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya, hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang melahirkannya atau mungkin dari ayahnya

(24)

saja tanpa dari ibunya, berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah ibu kandungnya.

Hukum waris islam menentukan bahwa Anak angkat pula hanya dapat mewarisi dan diwarisi dari orang tua kandungnya, ayah kandung pula tetap dapat mewarisi dan diwarisi anak kandung. Terhadap hak dan kewajibannya dengan orang tua telah di tetapkan wasiat wajibah. Yaitu wasiat yang diberikan kepada bukan ahli waris, wasiat tersebut hanya 1/3 bagian harta yang bersangkutan baik itu anak angkat maupun orang tua angkat

Hukum warisperdata Indonesia dimana didalamnya termasuk hukum waris adat Keturunan Tionghoa. Hukum waris adat keturunan Tionghoa memiliki karakteristik khusus yaitu hanya diperuntukkan bagi warga negara keturunan keturunan Tionghoa. Setiap daerah pun berbeda-beda peraturan warisnya meskipun sama-sama keturunan Keturunan Tionghoa. Lebih lanjut mengenai hukum waris secara umum dan hukum waris Keturunan Tionghoa dijelaskan dalam sub bab selanjutnya dalam bab Tinjauan Pustaka ini.

3. Perwalian

Hubungan perwalian antara anak dengan orang tua kandung dalam hukum perdata Indonesia pada umumnya putusnya dan beralih kepada orang tua angkat. Peralihan wali tersebut terjadi sejak putusan oleh pengadilan. Sejak saat itu segala hak maupun

(25)

kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Namun bagi penganut agama tertentu seperti agama islam maka ada pengecualian yaitu adopsi tidak serta merta memutuskan hubungan perwalian antara orang tua kandung dengan si anak yang telah diangkat. Pun sebaliknya hal tersebut pula berlaku mengenai nasab anak. Nasab anak angkat tetap mengikuti orang tua kandung. Sehingga apabila pengangkatan anak terhadap anak perempuan maka yang menjadi walinya tetap ayah kandungnya. 4. Nama

Permasalahan namagelar, marga, dan kedudukan adat, menurut pandangan penulis bahwa anak akan mendapat gelar dan atau marga dari orang tua angkat.32 Pada mulanya pengangkatan anak Keturunan Tionghoa menganut Staatsblad 1917 nomor 129 Pasal 11 mengenai nama keluarga orang yang mengangkat anak, nama-nama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. Namun setelah terbit Keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/P tertanggal 29 Mei 1963. Maka peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi dan anak angkat berhak memilih marga mana yang akan dipakai dalam namanya.

C. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Waris Yang Berlaku di Indonesia 1. Hukum Waris Adat

32M. Budiarto, 1985, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Jakarta,

(26)

Hukum waris adat adalah hukum yang berisi ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris atau hukum tentang penerusan harta benda dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya.33

Harta warisan dalam waris adat tidak dapat dinilai harganya, tetapi merupakan hal yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli warisnya.34

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan ada yang dapat didibagi-bagikan. Harta yang tidak dapat dibagi adalah milik bersama, dimana harta warisan tersebut tidak boleh dimiliki secara perseorangan melainkan dapat dipakai dan dinikmati. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1066 KUHPdt alinea pertama yang berbunyi ”Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”.

Harta warisan adat yang tidak terbagi jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan

33Hilman Hadikusuma, 2015, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti, hlm. 7.

(27)

pendapat diantara para anggota kerabat agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.

Hukum waris adat tidak mengenal azas legitieme portie atau

bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 913 KUHPdt atau dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 11-12.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUHPdt atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika siwaris memiliki kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya. 35

Pada masyarakat di Indonesia dikenal tiga jenis struktur sosial sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang dalam hukum adat disebut sistem kekerabatan, yaitu36:

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Sistem kedudukan ini,

35Ibid., hlm. 10.

36Eman Suparman, 2011, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam,

(28)

pengaruh laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol. Contohnya pada masyarakat Batak. Anak laki-laki menjadi ahli waris karena anak perempuan telah kawin dengan cara kawin jujur yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan nenek moyang perempuan. Artinya, pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris untuk anaknya akan tetapi anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak merupakan bagian dari keluarga ibunya. Sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri. Contohnya pada masyarakat Minangkabau.

c. Sistem Parental atau Bilateral yaitu, sistem yang menarik garis keturunan dari 2 (dua) sisi, baik dari pihak ayah maupun ibu. Maksudnya, anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hukum waris adalah sama atau sejajar yaitu, merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Hal tersebut tidak secara langsung berkenaan dengan pola pewarisan. Di Indonesia, ada 3 (tiga) yang berkenaan dengan sistem kewarisan hukum adat, yaitu37:

37Dominiskus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya,

(29)

a. Sistem Individual yaitu, harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti yeng telah terjadi dalam masyarakat bilateral (parental) Jawa. Di Jawa, anak dapat memperoleh harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya secara individual atau perorangan. Hal tersebut dapat ditemukan pula di Madura, Toraja, Aceh, dan Lombok.

b. Sistem Kolektif yaitu, semua harta peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau pada masyarakat woe-woe

Ngadhubhaga di Kabupaten Ngada Flores. Sistem ini pada asasnya mewajibkan para ahli waris mengelola harta peninggalan secara bersama/kolektif, tidak dibagi-bagikan secara individual seperti di Minagkabau, Ngadhubhaga Flores, Ambon, Minahasa. c. Sistem Mayorat yaitu, harta warisan terutama harta pusaka

seluruh atau sebagian besar diwariskan hanya kepada satu saja. seperti di Bali hanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah Semendo di Sumatera Selatan hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua saja. sistem pewarisan mayorat antara lain: 1) Mayorat pria: anak/keturunan laki-laki tertua/sulung pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal (Lampung, Bali, Irian Jaya).

(30)

2) Mayorat wanita: anak perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal, adalah waris tunggal (Tanah Semendo, Sumatera Selatan).

3) Mayorat wanita bungsu: anak perempuan terkecil/ bungsu menjadi ahli waris ketika si pewaris meninggal (Kerinci).

Sistem pewarisan tersebut masing-masing tidak secara langsung menunjuk pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu atau struktur sosial tertentu dari masyarakat hukum adat di mana sistem kewarisan itu berlaku.

2. Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Hukum waris adalah bagian dari pengaturan hukum tentang keluarga. Hal ini juga tidak terlepas dari pemikiran bahwa setiap manusia baik sendiri maupun berkeluarga pasti akan mengalami kematian.38

Menurut Soepomo digunakan istilah “hukum waris” yaitu sebuah aturan yang mengatur proses penerusan , mengalihkan harta benda dan barang tidak berwujud benda dari generasi satu ke generasi lainnya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup..39

Menurut Subekti, dalam Hukum Waris Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata berlaku suatu asas bahwa hanyalah hak dan

38Eman Suparman, 1995, Intisari Hukum Waris Indonesia, Cet. Ke 3,

Bandung, Mandar Maju, hlm.1

39Soepomo, 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Universitas,

(31)

kewajiban terkait harta benda saja yang diwariskan. Sehingga hak dan kewajiban sebagai orang tua tidak dapat diwariskan.40

Walaupun banyak pengertian hukum waris yang dikemukakan dari beberapa ahli hukum, namun pada pokoknya mereka berpendapat sama, yaitu hukum kewarisan ialahketentuan hukum tentang berpindahnya harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris.41 Sistem Hukum Waris Perdata yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia berlaku secara khususbagi Keturunan Tionghoa dan golongan Timur Asing. Bahkan, terkadang juga diberlakukan bagi para ahli waris pribumi yang beragama selain Islam yang memilih perhitungan menurut Waris Barat dengan alasan perhitungannya lebih mudah.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prinsip pewarisan adalah:

a. Harta waris baru terbuka setelah terjadinya suatu peristiwa hukum kematian (Pasal 830 BW).

b. Adanya hubungan darah yang terjadi diantara pewaris dengan ahli waris. Ada pengecualian yaitu untuk suami atau isteri pewaris berlaku hubungan suami dan isteri sesuai Pasal 832 BW. Dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, jika pasangan suami isteritelah bercerai

40Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 32, Jakarta, Intermasa,

hlm. 95-96.

41Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Cet. 1, Jakarta, Sinar

(32)

pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan termasuk ahli waris.

Konsekuensi dari pernyataan diatas maka apabila pemilik harta masih hidup, maka pewaris belum dapat dikatakan telah mewariskan harta benda untuk para ahli waris.

Dengan demikian, dalam hal terjadi suatu pemberian suatu barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunan tersebut dapat memiliki hak atas barang tadi setelah dia meninggal dunia (misalnya dalam bentuk hibah), maka hal ini dianggap sebagai “hibah wasiat”. Selanjutnya, barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah itu telah meninggal dunia. Dalam hal barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberi imbalan berupa uang, maka hal ini disebut “hibah” saja.42

Berdasarkan prinsip pewarisan, pewaris dan ahli waris harus memiliki hubungan darah kecuali suami/isteri pewaris dalam hal ini diterangkan bahwa suami/ isteri masih terikat secara sah dalam suatu ikatan perkawinan yaknipada saat pewaris telah meninggal dunia. Berdasarkan prinsip tersebut, yang berhak menjadi ahli waris (mewarisi) hanyalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, baik itu keturunan langsung maupun orang tua,

42Irma Devita Purnamasari, 2012, Panduan Lengkap Hukum Praktis

Populer: Kiat-kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris,

(33)

saudara, nenek/kakek, atau keturunan dari saudara-saudaranya. Dengan demikian, ada 4 (empat) golongan besar yang berhak mewarisi, yaitu 43:

a. Golongan I: suami atau isteri yang hidup terlama dan anak atau keturunannya (Pasal 852 BW).

b. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris.

c. Golongan III: keluarga dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan ibu pewaris.

d. Golongan IV: paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, yaitu :

1) Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris;atau

2) Saudara kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

3. Hukum Waris Islam

Sistem hukum waris islam adalah sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris wafat. Memperhatikan istilah yang dikemukakan tentang pengertian hukum waris, penulis memilih istilah dan pengertian dari Eman Suparman yaitu hukum waris. Beliau berpendapat bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

(34)

barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.44

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam). Sebelum harta peninggalan menjadi hak ahli waris, terlebih dahulu diperhatikan hak-hak yang menyangkut peninggalan itu, sebab pewaris pada masa hidupnya mempunyai utang yang belum terbayar, meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta peninggalan dan sebagainya.

Menurut pendapat yang menyebabkan terjadinya warisan adalah salah satu dari empat macam sebagai berikut45 :

a. Hubungan kerabat atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu, saudara-saudara kandung, seayah, seibu dan sebagainya.

b. Hubungan perkawinan, yaitu suami atau isteri, meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi masih dalam masa „iddah talak raj‟i.

c. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang memerdekakannya, apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta

44Eman Suparnan, 2005, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam,

Adat dan BW, Bandung,Refika Aditama, hlm. 2.

(35)

warisan. (Praktis sebab walak ini tidak perlu diperhatikan, karena perbudakan sudah lama hilang).

d. Tujuan Islam (jihatul islam). Yaitu baitul mal (perbendaharaan Negara) yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali dengan sebab tersebut di atas.

Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan atas dasar tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.46 Sedangkan dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawil furudl, „ashabah dan dzawil arhaam (Kompilasi Hukum Islam).

4. Hukum Waris Adat Keturunan Tionghoa

Dalam melaksanakan pembagian warisan masyarakat Keturunan Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Waris Adat Keturunan Tionghoa. Akan tetapi masyarakat Keturunan Tionghoa lebih memilih waris adat Keturunan Tionghoa daripada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dikarenakan masyarakat Keturunan Tionghoa sudah sejak turun-temurun melaksanakan warisan secara adat dan

(36)

masyarakat Keturunan Tionghoa selalu memegang teguh adat istiadat Keturunan Tionghoa.

Waris Adat Keturunan Tionghoa adalah waris yang dilaksanakan dalam kurun waktu yang lama dari sebelum masyarakat Keturunan Tionghoa menjadi warga negara Indonesia sampai masyarakat Keturunan Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam pembagian waris adat Keturunan Tionghoa adalah dikarenakan terjadinya pembauran atau asimilasi antara budaya Keturunan Tionghoa dengan budaya setempat, penyimpangan tersebut adalah perempuan mendapatkan warisan, Ahli waris perempuan yang mendapatkan warisan tidak boleh besar dari warisan laki-laki atau biasanya dengan ketentuan 1 / ½. Oleh sebab itu maka hukum waris adat Keturunan Tionghoa juga diakui oleh hukum positif negara Indonesia akibat hukumnya adalah apabila terjadi suatu sengketa warisan maka yang berperan dalam penyelesaiannya adalah orang-orang yang di tuakan bisa juga paman ataupun tokoh masyarakat.

Dalam pembagian warisan secara adat Keturunan Tionghoa, saudara laki-laki bungsu berperan penting dalam mengurus harta warisan dan harus memberikan contoh terbaik bagi saudara-saudaranya dan juga harus mengurus abu leluhur. Apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan secara adat Keturunan Tionghoa, maka akan diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila tidak mencapai

(37)

kesepakatan maka akan ditempuh dengan jalur hukum atau ke Pengadilan Negeri.

Namun ada pantangan menurut masyarakat Keturunan Tionghoa yaitu barang milik pewaris tidakdapat digunakan oleh ahli waris, hal ini disebabkan beberapa hal yaitu:

a. Menurut kepercayaan tionghoa bahwa setelah manusia meninggal maka ada kehidupan lagi sehinggapewaris masih membutuhkan perlengkapan pribadinya yang dipergunakan saat masih berada di dunia.

b. Perlengkapan pribadi pewaris masih mengandung kekuatan gaib dari pemiliknya sehingga kekuatan ini sangat berbahaya bagi ahli waris dan atau bukan pemiliknya sehingga harus diikut sertakan di kuburan.47

Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 29 Mei 1963 Nomor 917/1963 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta 17 Oktober 1963 Nomor 588 menyatakan bahwa “pengangkatan anak di kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia tidak lagi terbatas pada pengangkatan anak laki-laki namun telah diperbolehkan juga pengangkatan terhadap anak perempuan”. Hal yang juga dinyatakan dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1979 juncto SEMA Nomor 6 Tahun 1983 terkait dengan yurisprudensi terhadap pengangkatan anak perempuan”. Dengan kata lain hal ini membawa

(38)

akibat hukum bahwa anak angkat perempuan juga berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya.

Pada masyarakat Keturunan Tionghoa peranakan umumnya akan membagikan semua harta secara sama rata terhadap semua anaknya baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anak angkat yang diadopsi secara sah. Akan tetapi, pada prakteknya, anak-anak yang sudah kaya biasanya tidak mengambil haknya atau hanya mengambil sebagian, sisanya diberikan kepada saudara kandungnya yang kurang mampu (miskin). Anak angkat yang tidak diadopsi sekalipun, asal dari bayi ikut keluarga tersebut umumnya akan diberikan warisan yang sama dengan anak kandungnya.48

Kondisi ini menunjukkan bahwa kedudukan anak angkat perempuan dalam masyarakat etnis Keturunan Tionghoa termasuk dalam suku Hainan saat ini diakui sebagaimana layaknya anak angkat laki-laki. Dalam hal ini prosesi adat pengangkatan anak perempuan maka sudah dianggap sah secara hukum. Status anak angkat perempuan yang diangkat melalui upacara adat menjadi seperti anak kandung juga status anak angkat itu sama dengan anak sah. Oleh karena itu dalam hukum waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.

48Leo Suryadinata,2002, Negara dan Etnis Keturunan Tionghoa : Kasus

(39)

Hak Waris anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung sehingga adanya kondisi demikian memberikan perlindungan terhadap anak, sehingga hak-hak anak akan terlindungi dan kesejahteraan anak akan terjamin.49

D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengajuan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak ke Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan pergeseran dan variasi-variasi pada motivasinya.50 Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak ditengah-tengah masyarakat semakin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memeperoleh putusan pengadilan.51

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak yang harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan

49

Amir Martosedono, 1990,“Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan

Masalahnya”, Semarang, Effhar Offset dan Dahara Prize, hlm. 20.

50

Soedharyo Soimin, 2004, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 28.

(40)

teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi untuk pelaksanaannya. Namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar 1945;

b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; d. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; e. Bab VIII Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, yang berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002;

f. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum; g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a angka 20 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orangyang beragama Islam dibidang penetapan asal usul seorang anak dan penetapanpengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;

(41)

h. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Peraturan ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak;

i. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak;

j. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984;

k. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 17 April 1979 tentang pengangkatan anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan;

l. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983;

m. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai tanggal 8 Februari 2005.

n. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari

(42)

KUHPdt/BW yang ada, khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Keturunan Tionghoa.

o. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama sampai sekarang.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Alwani (2007) yang meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor pada KAP di kota Semarang menunjukkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Tingkat kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model kombinasi NHT-STAD, (2) Perbedaan kemampuan

Prasyarat yang diperlukan sebagai bahan penyerap gelombang elektromagnetik adalah bahan ini memiliki permeabilitas dan permitivitas yang tinggi [2]- [3].. Bahan

Menyatakan dengan sesungguhnya skripsi yang berjudul PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA PADA KEPUASAN KERJA DENGAN PERCEIVED SUPERVISOR SUPPORT DAN INTERNAL LOCUS OF

Puji dan syukur kehadirat TuhanYang Maha Esa sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.Skripsi ini disusun sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar

Dari hal tersebut diatas, maka adanya persamaan dalam istilah tanah Negara pada zaman belanda yang dikenal dengan istilah domein verklaring , dalam hal ini jika penggarap

Suhu pada saat granula pati membengkak dengan cepat dan mengalami perubahan yang bersifat tidak dapat kembali disebut suhu gelatinisasi pati (Nining,2012).. Untuk

Berbeda dengan penelitian rumah ibadah sebagai destinasi wisata yang melihat di puri tri agung dalam membangun ikatan toleransi dalam masyarakat yang berbeda-beda,