RELEVANSI HADIS RAJAM DENGAN AYAT AL-QUR’AN
A. Hukuman Zina
3. Hukuman ta’zir
Ta’zir merupalam hukuman alternatif di saat tidak
terpenuhinya kesaksian zina atau tidak adanya ikrar dari pezina sendiri. Pada prinsipnya syara’ tidak memberi peluang terjadinya suatu kejahatan yang dapat dikatakan sebagai maksiat dalam bentuk apapun.
Ta’zir merupakan mashdar dari اريزعت – رزعي -رزع yang secara
etimologi berarti menolak.159 Secara terminologi ta’zir yaitu
hukuman yang dijatuhkan atas jarimah-jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ yaitu jarimah hudud,
qishas, dan diat160 atau semacam ganjaran yang tidak mempunyai
ketentuan hukum had.161 Hakim diberi wewenang untuk memilih di
antara hukuman yang sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku jarimah.
Penjatuha ta’zir terhadap pezina dapat diklasifikasikan kepada
dua bentuk, pertama, penjatuhan had ta’zir setelah terbukti berzina
159 Abu Lu’is al-Ma’luf, op.cit., h. 459.
160 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 299.
Perlu melihat eksistensi ahlu zimmi dalam satu daerah/Negara secara politis. ahli zimmi yang melakukan tindak pidana perzinaan di daerah Islam tetap dijatuhi hukuman zina seperti orang Islam karena mereka sudah tunduk kepada konstitusi Islam dengan segala konsekuensinya. Selama tidak menyangkut akidah. Hal ini berdasarkan surat al-Ma’idah ayat 49 yang berbunyi:
...ْمُىَءاَوْىَأ ْعِبَّتَ ت لاَو ُوَّللا َلَزْ نَأ اَمِب ْمُهَ نْ يَ ب ْمُكْحا ِنَأَو...
Artinya: ... Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antaramereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...
Teknis penjatuhan hukuman dera dalam Islam berbeda sekali dengan hukuman yang diberikan oleh hukum-hukum sekuler yang menghilangkan nllai-nilai kemanusiaan dengan cara menyiksa, menganiaya, malah hukumam menyebabkan meninggalnya si terpidana yang seharusnya secara hukum tidak terjadi.
3. Hukuman ta’zir
Ta’zir merupalam hukuman alternatif di saat tidak
terpenuhinya kesaksian zina atau tidak adanya ikrar dari pezina sendiri. Pada prinsipnya syara’ tidak memberi peluang terjadinya suatu kejahatan yang dapat dikatakan sebagai maksiat dalam bentuk apapun.
Ta’zir merupakan mashdar dari اريزعت – رزعي -رزع yang secara
etimologi berarti menolak.159 Secara terminologi ta’zir yaitu
hukuman yang dijatuhkan atas jarimah-jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ yaitu jarimah hudud,
qishas, dan diat160 atau semacam ganjaran yang tidak mempunyai
ketentuan hukum had.161 Hakim diberi wewenang untuk memilih di
antara hukuman yang sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku jarimah.
Penjatuha ta’zir terhadap pezina dapat diklasifikasikan kepada
dua bentuk, pertama, penjatuhan had ta’zir setelah terbukti berzina
159 Abu Lu’is al-Ma’luf, op.cit., h. 459.
160 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 299.
161 Haliman, op.cit., h. 459.
berdasarkan hadis Nabi tentang pengasingan selama satu tahun. Pengasingan ini dipertikaikan ulama eksistensinya. Sebagian ulama menganggapnya sebagai had ta’zir yang merupakan hukuman tambahan. Sedangkan ulama lain memandangnya sebagai hukuman
pokok162 seperti hukuman dera sebagaimana yang telah penulis
paparkan sebelumnya. Kedua, penjatuhan hukuman ta’zir karena
tidak terbukti atau adanya kesubhatan dalam perzinaan tersebut. Seperti hubungan seksual melalui dubur, homoseks, lesbian, dan lain-lain. Meskipun perzinaan itu tidak terbukti secara hukum, namun perbuatan tersebut tetap dikenai hukuman karena dianggap sebagai perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’.
Had yang dijatuhkan kepada orang yang tidak terbukti secara
hukum berzina dapat berupa hukuman fisik atau mental. Hukuman fisik dapat dilakukan mulai dari yang terberat seperti hukuman mati atau hukuman yang teringan berdasarkan pertimbangan hakim. Hukuman mental dapat dilakukan dengan cara menghardik, mempermalukan si terpidana atau hukuman fisik serta psikis secara kombinasi seperti memenjarakan si terpidana.
Orang yang melakukan lesbian dengan perempuan lainnya atau yang dikenal dalam bahasa Arab denga al-Sihaq tidak dapat dipandang sebagai orang yang sudah berhubungan seksual seperti suami isteri. Oleh karena itu, perempuan yang melakukan perbuatan lesbian tidak padat dijatuhi hukuman had zina dengan didera atau dirajam tapi hukuman untuk pelaku lesbian adalah hukuman ta’zir atas perbuatan yang dilakukannya. Hal yang sama juga berlaku untuk laki. Laki-laki yang melakukan homoseksual, maka laki-laki tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai muhsan yang dapat dijatuhi hukuman had berupa dera atau rajam, meskipun perbuatan lesbian dan homoseksual tetap dinamai perbuatan zina berdasarkan pandangan dari para ulama fiqh. Menurut ulama Malikiah, pelaku homoseksual dan lesbian tetap diberi hukuman had seperti pezina
karena si pelaku sudah melakukan perbuatan maksiat atau dosa.163
162 Al-Mawardi, op.cit., h. 224.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, perbedaan yang mendasar antara hukuman hudud dan ta’zir yaitu hukuman hudud murni hak Allah,
sedangkan ta’zir merupakan hak Allah dan hak manusia.164
Pendapat ulama ini beralasan bahwa syari’at Islam hanya berlaku untuk orang Islam, kecuali mereka membuat perjanjian di bawah negara Islam. Imam Abu Yusuf yang merupakan murid dari Imam Hanifah mengatakan bahwa syari’at Islam berlaku untuk setiap orang yang berada di daerah Islam, baik terhadap penduduk yang menetap yang terdiri dari orang Islam atau golongan zimmi, atau
yang hanya tinggal di daerah Islam untuk sementara waktu.165
Al-Lusi al-Baqhdadi juga berpendapat bahwa Nabi menjatuhkan hukuman rajam terhadap orang Yahudi berdasarkan Taurat yang telah ditetapkan Allah hukumnya. Nabi pada waktu itu
hanya menerapkan syari’at yang ada dalam Taurat,166 bukan hukum
Islam.
Anwar Harjono167 juga memahami bahwa perbuatan Nabi
merajam orang Yahudi berdasarkan hukum Taurat, sedangkan hukum al-Qur’an sendiri dalam hal ini surat al-Nur ayat 2 boleh jadi belum turun. Tentu surat al-Nur ayat 2 ini akan digunakan Nabi sebagai dasar penetapan hukum mereka, tapi kenyataannya kitab
Taurat yang diberlakukan.168
Menurut Adian Husaini bahwa pada masa Nabi Isa AS, hukum Taurat nyaris tidak berlakukan di Palestina, karena Palestina berada di bawah kekuasaan Romawi. Setelah Nabi Muhammad SAW menegakkan kekuasaan Islam di Madinah, barulah di bangkitkan
hukum Taurat itu kembali.169
Atas dasar ini, maka hukum Islam berlaku untuk orang Islam yang berada di daerah Islam dan tidak berlaku untuk orang non
164 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., jilid 8, h. 20.
165 Ahmad Hanafi, op.cit., h. 99.
166 Al-Lusi, op,cit., Jilid 10, h. 120.
167 Anwar Harjono merupakan salah seorang tokoh pergerakkan dan ahli hukum. Setidaknya ia pernah menjadi pimpinan partai Masyumi tahun 1956-1960. Anggota DPR-RI tahun 1955-1960, wakil sekretaris delegasi umat Islam ke Mu’tamar Alam al-Islam di Karachi, Pakistan. Ia menyelesaikan doktor dengan disertasi “Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya”.
168 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), h. 175.
169 Andian Husaini, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001), h. 154.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, perbedaan yang mendasar antara hukuman hudud dan ta’zir yaitu hukuman hudud murni hak Allah,
sedangkan ta’zir merupakan hak Allah dan hak manusia.164
Pendapat ulama ini beralasan bahwa syari’at Islam hanya berlaku untuk orang Islam, kecuali mereka membuat perjanjian di bawah negara Islam. Imam Abu Yusuf yang merupakan murid dari Imam Hanifah mengatakan bahwa syari’at Islam berlaku untuk setiap orang yang berada di daerah Islam, baik terhadap penduduk yang menetap yang terdiri dari orang Islam atau golongan zimmi, atau
yang hanya tinggal di daerah Islam untuk sementara waktu.165
Al-Lusi al-Baqhdadi juga berpendapat bahwa Nabi menjatuhkan hukuman rajam terhadap orang Yahudi berdasarkan Taurat yang telah ditetapkan Allah hukumnya. Nabi pada waktu itu
hanya menerapkan syari’at yang ada dalam Taurat,166 bukan hukum
Islam.
Anwar Harjono167 juga memahami bahwa perbuatan Nabi
merajam orang Yahudi berdasarkan hukum Taurat, sedangkan hukum al-Qur’an sendiri dalam hal ini surat al-Nur ayat 2 boleh jadi belum turun. Tentu surat al-Nur ayat 2 ini akan digunakan Nabi sebagai dasar penetapan hukum mereka, tapi kenyataannya kitab
Taurat yang diberlakukan.168
Menurut Adian Husaini bahwa pada masa Nabi Isa AS, hukum Taurat nyaris tidak berlakukan di Palestina, karena Palestina berada di bawah kekuasaan Romawi. Setelah Nabi Muhammad SAW menegakkan kekuasaan Islam di Madinah, barulah di bangkitkan
hukum Taurat itu kembali.169
Atas dasar ini, maka hukum Islam berlaku untuk orang Islam yang berada di daerah Islam dan tidak berlaku untuk orang non
164 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., jilid 8, h. 20.
165 Ahmad Hanafi, op.cit., h. 99.
166 Al-Lusi, op,cit., Jilid 10, h. 120.
167 Anwar Harjono merupakan salah seorang tokoh pergerakkan dan ahli hukum. Setidaknya ia pernah menjadi pimpinan partai Masyumi tahun 1956-1960. Anggota DPR-RI tahun 1955-1960, wakil sekretaris delegasi umat Islam ke Mu’tamar Alam al-Islam di Karachi, Pakistan. Ia menyelesaikan doktor dengan disertasi “Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya”.
168 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), h. 175.
169 Andian Husaini, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001), h. 154.
Islam yang berada di luar daerah Islam. Namun, apabila seorang non Islam yang berbuat tindak pidana di daerah Islam, maka terhadap mereka diberlakukan hukum Islam seperti hukuman rajam dan dera bagi pezina. Karena mereka harus tunduk terhadap hukum Islam di mana mereka tinggal. Kecuali orang-orang tertentu yang mempunyai perjanjian khusus dengan pemerintah Islam. Tindakan Nabi yang merajam orang Yahudi bukan menjalankan hukum Islam tapi lebih bersifat menjustifikasi hukum Taurat yang ada pada waktu itu.