• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

I. Humektan

yang menghasilkan formula optimum?

3. Bagaimana profil sifat fisik dan stabilitas gel UV Protection endapan perasan wortel (Daucus carota, Linn.) dengan berbagai variasi komposisi humektan gliserol dan propilen glikol?

C. Keaslian Karya

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang Optimasi Formula Gel UV Protection Endapan Perasan Wortel (Daucus carota,

Linn.) : Tinjauan terhadap Humektan Gliserol dan Propilen Glikol belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini menambah informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi Simplex Lattice Design

pada proses optimasi formula gel UV Protection. Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui jumlah komposisi humektan gliserol dan propilen glikol dalam formula gel UV protection endapan perasan wortel (Daucus carota, Linn.) yang menghasilkan sifat fisik dan stabilitas gel yang dikehendaki.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendapatkan range komposisi optimum humektan gliserol dan propilen glikol dalam formula gel UV Protection endapan perasan wortel (Daucus carota, Linn.) yang menghasilkan sifat fisik dan stabilitas gel yang dikehendaki.

2. Untuk mengetahui jumlah komposisi humektan gliserol dan propilen glikol dalam formula gel UV protection endapan perasan wortel (Daucus carota, Linn.) yang menghasilkan formula optimum.

3. Untuk mengetahui profil sifat fisik dan stabilitas gel UV Protection endapan perasan wortel (Daucus carota, Linn.) dengan berbagai variasi komposisi humektan gliserol dan propilen glikol.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Wortel (Daucus carota, Linn.)

1. Uraian tanaman

Semak semusim, tinggi kurang lebih kurang 1 meter. Batang tegak, berbulu, warna hijau. Daun majemuk, menyirip, berselang, bentuk lonjong, tepi bertoreh, ujung runcing, pangkal berlekuk, warna hijau. Perbungaan bentuk cawan, terdapat di ujung batang, mahkota berbentuk bintang, berwarna putih. Buah buni, lonjong, warna coklat. Biji lonjong, warna putih (Soedibyo, 1998).

2. Nama daerah

Sunda : bortol

Jawa : wertel, wertol, bortol Madura : ortel

(Rukmana, 1995)

3. Kandungan kimia

Dalam setiap 100 gram mengandung 42 kalori; protein 1,2 gram; lemak 0,3 gram; karbohidrat 9,3 gram; kalsium 39 miligram; fosfor 37 miligram; zat besi 0,8 miligram; vitamin A; vit BI 0,06 miligram; vitamin C 6 miligram (Arisandi Y., dan Andriani, Y., 2006). Kandungan lain yang penting adalah β-karoten dan α-karoten (Watson, 2001).

4. Kegunaan

Untuk keperluan kosmetik, wortel dapat digunakan untuk merawat kecantikan wajah dan kulit, menjaga kelembaban kulit, melembutkan kulit, memperlambat timbulnya kerutan pada wajah, dan antioksidan (Cahyono, 2002; Watson, 2001).

B. Beta Karoten

Karotenoid yaitu tetraterpenoid C40, merupakan golongan pigmen yang larut lipid dan tersebar luas, terdapat dalam semua jenis tumbuhan. Pada tumbuhan karotenoid mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah. Dalam bunga, karotenoid biasanya berupa zat warna kuning, sedangkan dalam buah dapat juga berupa zat warna jingga atau merah (tomat dan cabe) (Harborne, 1987). Karotenoid juga banyak terdapat di dalam wortel dan sayuran berwarna hijau. Karotenoid bekerja sebagai antioksidan serta penangkap radikal bebas, terutama untuk radikal peroksil (R-OO.) dan hidroksil (.OH) serta oksigen singlet (02.) (Silalahi dan Tambunan, 2003). Beberapa contoh karotenoid yang telah diketahui yaitu xantofil, β-karoten, α-karoten, likopen, lutein, γ-karoten (Harborne, 1987).

Beta karoten larut dalam benzen, kloroform; cukup larut di eter, petroleum eter dan sangat sedikit larut di metanol dan etanol. Sebanyak 100 ml heksan dapat melarutkan 109 mg beta karoten pada suhu 0°C (Anonim, 1989). Beta karoten berkhasiat sebagai antioksidan (Tjay dan Rahardja, 2002). Beta karoten bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) untuk menetralkan oksigen singlet dan mencegah pembentukan radikal peroksil (Paiva dan Russel, 1999).

C. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu spesies yang mempunyai jumlah elektron ganjil atau elektron yang tidak berpasangan tunggal pada lingkaran luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilasi dan bersifat reaktif, karena selalu berusaha untuk mencari pasangan elektron lainnya agar menjadi bentuk yang stabil. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas yaitu DNA, lemak, dan protein (Fessenden dan Fessenden, 1997; Setiati, 2003).

Radikal bebas diproduksi secara eksogen dan secara endogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan intisel. Sedangkan secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, radiasi sinar UV, obat-obatan, dan pestisida (Setiati, 2003).

D. Antioksidan

Proses perusakan organ tubuh oleh radikal bebas dapat dihambat dengan jalan memberikan antioksidan (Tjay dan Rahardja, 2002). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat oksidasi, atau juga disebut dengan inhibitor radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1997).

Antioksidan dibedakan menjadi antioksidan eksogen dan antioksidan endogen. Antioksidan endogen atau antioksidan primer terdiri atas enzim-enzim dan berbagai senyawa yang disintesis dalam tubuh yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan eksogen dikenal juga sebagai antioksidan sekunder karena menangkap radikal dan mencegah reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E (tokoferol), vitamin C (askorbat), karoten, asam urat bilirubin, dan albumin (Setiati, 2003).

 

E. Sinar Ultraviolet

Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV dibagi menjadi 3 yaitu : 1. UV A, mempunyai panjang gelombang 320 nm sampai 400 nm

2. UV B, mempunyai panjang gelombang 290 nm sampai 320 nm 3. UV C, mempunyai panjang gelombang 200 nm sampai 290 nm

(Harry, 1982) Sinar UV A dilaporkan menyebabkan efek samping hilangnya kolagen, menurunkan jumlah pembuluh darah, dan mengubah jaringan konektif pada dermis. Sinar UV B bertanggung jawab terhadap sunburn setelah terpapar oleh sinar matahari. Pewarnaan kulit terjadi ketika sinar UV B mengaktifkan melanosit

di kulit sehingga terbentuk melanin. Sinar UV C sangat berbahaya tetapi diserap oleh lapisan ozon dan gas-gas lain yang ada di atmosfer (Walters, 1997).

F. Sun Protection Factor (SPF)

Sun Protection Factor (SPF) adalah tingkat perlindungan produk

sunscreen terhadap sinar matahari yang dapat menyebabkan sunburn (eritema). SPF merupakan perbandingan MED (Minimal ErythemaDose) pada kulit manusia yang terlindungi oleh sunscreen dengan MED tanpa perlindungan sunscreen

(Stanfield, 2003). Kondisi tes standar ditetapkan dosis sunscreen adalah 2 mg/ cm2. SPF = sunscreen sunscreen a kulit tanp untuk MED ) cm / mg (2 dengan kulit untuk MED 2 (Walters, 1997) MED ditentukan dengan membuat sebuah seri secara progresif untuk meningkatkan dosis energi UV dan mengevaluasi respon setelah 22-24 jam. MED merupakan dosis terkecil dari energi UV yang menghasilkan eritema dengan batasan yang jelas pada bagian yang terpapar (Stanfield, 2003).

Meskipun pengukuran SPF dapat dilakukan secara alami dengan melihat respon biologis yang tidak diketahui hubungannya dengan sifat kimia, tetapi dapat diperkirakan hubungan sederhana antara absorbansi dan SPF, sebagai berikut :

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = SPF 1 log -A 10 = log10SPF ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − = 0 10 I I log A

Keterangan :

I0 = intensitas sinar yang sampai ke kulit tanpa adanya sunscreen

I = intensitas sinar yang sampai ke kulit dengan adanya sunscreen

A = serapan

(Walters, 1997) Selain itu, serapan dari tiap-tiap panjang gelombang dapat dihitung sebagai berikut :

A= - log

(Stanfield, 2003) Kategori produk sunscreen dengan variasi nilai SPF yang dianjurkan yaitu :

1. Minimal Sun Protection Product : nilai SPF 2-4, sangat kurang memproteksi dari sunburning dan suntanning

2 Moderate Sun Protection Product : nilai SPF 4-6, cukup memproteksi dari

sunburning tapi beberapa suntanning

3. ExtraSun ProtectionProduct : nilai SPF 6-8, proteksi ekstra dari sunburning

dan sedikit suntanning

4. Maximal Sun Protection Product : nilai SPF 8-15, proteksi maksimal dari

sunburning dan sedikit atau tidak suntanning

5. Ultra Sun Protection Product : nilai SPF >15, proteksi paling besar dari

sunburning dan tidak suntanning

Sunscreen dengan SPF 2 akan mentransmisikan 50% energi matahari yang dapat menyebabkansunburn, SPF 15 mentransmisikan 6,7% energi matahari yang dapat menyebabkan sunburn, dan SPF 30 mentransmisikan 3,3% energi matahari yang dapat menyebabkan sunburn (Stanfield, 2003).

G. Gel

1. Definisi gel

 

Gel merupakan sistem semisolid terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh cairan (Zatz dan Kushla,1996). Alexander dan Johnson (1949) mendefinisikan gel sebagai sistem dua komponen dari sediaan semipadat yang kaya akan cairan. Pada gel yang polar, polimer alam atau sintetik dengan konsentrasi rendah (biasanya kurang dari 10%) membentuk matriks tiga dimensi melalui cairan hidrofilik. Sistem yang terbentuk mungkin jernih atau keruh, karena gelling agent tidak terlarut sempurna atau membentuk agregat (Barry, 1983).

Hidrogel mengandung dua unsur yaitu air dan susbstansi polimer yang hidrofilik tetapi tidak larut air. Dengan adanya air, polimer kering akan mengembang dan mengabsorbsi cairan. Salah satu alasan penggunaan hidrogel adalah pelarut yang digunakan dalam pembuatan obat mempunyai kompatibilitas yang baik terhadap jaringan biologis tubuh (Zatz dan Kushla, 1996).

2. Karakteristik gel

Sifat umum yang diinginkan dari sediaan semisolid adalah dapat diterima oleh konsumen karena memiliki sifat tertentu yaitu mudah dikeluarkan dari wadah, sensasinya ketika kontak dengan kulit, kemampuan melekat pada tempat aplikasi selama waktu tertentu sebelum dibilas atau luntur, residu yang tidak meninggalkan rasa lengket setelah aplikasi dan efikasi klinis yang terkait pelepasan obat dan absorpsi. Hal ini terkait dengan daya sebar dan viskositas sediaan sehingga perlu diperhatikan dalam formulasinya (Garg, A., Aggarwal, D., Garg, S., dan Singla, A.K., 2002).

a. Daya sebar

Daya sebar berhubungan dengan sudut kontak tiap tetes cairan atau sediaan semisolid, yang berhubungan langsung dengan koefisien friksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya sebar adalah formulanya kaku atau tidak, kecepatan dan lama tekanan yang menghasilkan kelengketan, temperatur tempat aksi. Kecepatan penyebaran juga tergantung pada viskositas formula, kecepatan evaporasi pelarut, dan kecepatan peningkatan viskositas karena evaporasi (Garg et al., 2002).

Metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan dan mengukur daya sebar dari sediaan semisolid adalah parallel-plate method. Keuntungan metode ini yaitu mudah dan relatif murah. Kelemahan metode ini yaitu kurang presisi, kurang sensitif, dan perlu interpretasi data (Garg et al., 2002).

b. Viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas maka semakin besar tahanannya (Martin dan Cammarata, 1993). Karakteristik formulasi yang penting dalam produk akhir sediaan semisolid adalah viskositas, elastisitas, dan rheologi. Peningkatan viskositas akan meningkatkan waktu retensi pada tempat aksi tetapi akan menurunkan daya sebar (Garg et al., 2002). Jika konsentrasi gelling agent yang digunakan terlalu tinggi atau dengan bobot molekul yang terlalu besar, maka akan menghasilkan gel yang susah diaplikasikan (Zatz dan Kushla, 1996).

Thiksotropi merupakan suatu pemulihan yang isoterm dan lambat pada pendiaman suatu bahan yang kehilangan konsistensinya karena shearing. Thiksotropi hanya dapat diterapkan untuk bahan-bahan dengan tipe aliran plastis dan pseudoplastis (Martin dan Cammarata, 1993). Dalam penyimpanannya, gel dapat berupa thiksotropi, membentuk semisolid jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan (Anonim, 1995).

c. Stabilitas

Ketidakstabilan gel pada kondisi normal menunjukkan perubahan rheologi secara irreversible sehingga menyebabkan hasil akhir yang tidak dapat diterima bila digunakan. Faktor yang bertanggungjawab terhadap pergeseran viskositas adalah perubahan agen pembentuk viskositas, interaksi dengan sistem pada kondisi istirahat, dan pertumbuhan partikel yang tergantung pada kandungan polimer, meskipun dengan adanya polimer dapat mengurangi kecepatan

perubahan ukuran partikel. Hasil depolimerisasi akan menurunkan rata-rata berat molekul sehingga akan menurunkan viskositas (Zatz et al., 1996).

Peningkatan suhu penyimpanan dapat menyebabkan efek yang berlawanan pada stabilitas polimer sehingga viskositas berubah dari waktu ke waktu. Selama penyimpanan 2 bulan, terjadi pergeseran viskositas yang kecil pada suhu ruangan atau pendingin. Akan tetapi, pada suhu 400C terjadi pergeseran viskositas 15% atau lebih (Zatz et al., 1996).

H. Carbopol

Carbopol merupakan polimer sintesis dari kelompok acrylic polymers

yang membentuk rantai silang dengan polyalkenyl ether (Zatz dan Kushla, 1996). Struktur molekul carbopol sebagai berikut :

C C

H

H H

COOH n

Gambar 2. Struktur molekul carbopol

Carbopol digunakan sebagai suspending agent pada konsentrasi sampai 0,4% dan basis gel (Anonim, 1999; Weiner dan Bernstein, 1989). Selain itu, carbopol dapat menstabilkan emulsi dengan mengentalkan fase kontinyu sehingga mengurangi creaming dan coalescence atau dengan berfungsi sebagai emulsifier

pada konsentrasi kurang dari 1% (Barry, 1983; Zatz dan Kushla, 1996). Carbopol sensitif terhadap garam sehingga emulsi polimer yang terbentuk akan pecah ketika

diaplikasikan pada kulit dan memberi lapisan minyak pada permukaan kulit. Lapisan minyak ini tidak akan diemulsifikasikan kembali ketika bersentuhan dengan air sehingga akan melekat pada kulit (Zatz dan Kushla, 1996). Carbopol tidak toksik, tidak mensentisasi, dan tidak mempengaruhi aktivitas biologi obat tertentu (Barry,1983).

Di dalam gel carbopol dapat digunakan untuk mengontrol dan meningkatkan viskositas (thickener) pada pH antara 3,5 sampai 11 (Weiner dan Bernstein, 1989). Carbopol 1% mempunyai pH 3. Pada pH 6-11 viskositas gel akan meningkat. Viskositas gel akan menurun pada pH kurang dari 3 atau lebih dari 12 dan bila terdapat elektrolit kuat. Viskositas gel berkurang dengan cepat bila terpapar sinar matahari tetapi reaksi ini dapat dikurangi lajunya dengan menambahkan antioksidan (Boyland, Cooper, dan Chowhan, 1986).

Jika didispersikan ke dalam air, carbopol membentuk larutan asam keruh dengan pH 2,8 sampai 3,2 tetapi tidak larut dan dapat dinetralkan dengan basa kuat seperti natrium hidroksida, amina (misalnya trietanolamin), atau basa anorganik lemah (misalnya amonium hidroksida), sehingga meningkatkan konsistensi dan menurunkan kekeruhan (Barry, 1983; Zatz, Berry, dan Alderman, 1996). Gel carbopol yang tidak dinetralkan dapat menurunkan viskositas lebih banyak dibandingkan yang dinetralkan karena ikatan hidrogen pada struktur gel yang tidak dinetralkan mudah putus (Barry, 1983).

Dalam suasana asam sebagian gugus karboksil pada rantai polimer putus untuk membentuk gulungan yang lentur. Dengan penambahan basa, gugus karboksil yang putus lebih banyak dan gaya tolak menolak elektrostatik antara

bagian-bagian yang diserang memperbesar molekul sehingga gel lebih kaku dan mengembang. Bila penambahan basa berlebihan gel akan menjadi encer karena kation-kation melindungi gugus karboksil dan gaya tolak menolak elektrostatik berkurang (Barry, 1993).

I. Humektan

Humektan adalah bahan dalam produk kosmetik yang dimaksudkan untuk mencegah hilangnya lembab dari produk dan meningkatkan jumlah air (kelembaban) pada lapisan kulit terluar saat produk digunakan (Loden, 2001). Humektan adalah bahan higroskopis yang mempunyai sifat menyerap uap air dari udara lembab sehingga dapatmempertahankan kelembaban kulit (Johnson, 1992). Humektan membantu menjaga kelembaban kulit dengan cara menjaga kandungan air pada lapisan stratum corneum serta mengikat air dari lingkungan ke kulit (Rawlings, Harding, Watkinson, Chandar, dan Scott, 2002).

1. Gliserol C OH H H C OH H C H OH H

Gambar 3. Struktur molekul gliserol (Anonim, 1995)

Gliserol adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Gliserol dapat bercampur dengan air dan alkohol. Gliserol bersifat sebagai bahan pengawet

dan sering digunakan sebagai stabilisator dan sebagai suatu pelarut pembantu dalam hubungannya bersama dengan air atau alkohol (Ansel, 1989). Gliserol dapat digunakan sebagai emmolient dan humektan dengan konsentrasi 0,2%-65,7%. Selain itu, gliserol juga dapat digunakan sebagai plasticizer, pelarut, dan pengisotonis dalam produk farmasetis (Smolinske, 1992). Penambahan gliserol juga akan menurunkan polaritas solven dan meningkatkan kelarutan solut lipofilik (Buchmann, 2001). Gliserol tidak mengiritasi dan sangat jarang mensensitisasi kulit (Smolinske, 1992). 2. Propilen Glikol C H H H C C H OH H OH H

Gambar 4. Struktur molekul propilen glikol (Anonim, 1995)

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa sedikit tajam, dan higroskopik. Propilen glikol dapat dicampur dengan air, alkohol, aseton, dan kloroform. Dapat larut dalam eter dan dapat melarutkan minyak menguap, tetapi tidak dapat campur dengan minyak lemak (Anonim, 1979). Propilen glikol dapat digunakan sebagai humektan dalam konsentrasi sekitar 15%. Selain itu, propilen glikol dapat digunakan sebagai plasticizer, pelarut, hygroscopic agent, desinfektan, stabilizer untuk vitamin, dan cosolvent

berfungsi sebagai pengawet (Boyland, Cooper, dan Chowhan, 1986; Anger, Claude, B., Rupp, D., Lo, P.,1996). Propilen glikol digunakan sebagai gelling agent pada konsentrasi 1% sampai 5%, stabil pada pH 3 sampai 6 dan harus mengandung pengawet (Allen, 2002). Propilen glikol merupakan bahan yang tidak berbahaya dan aman digunakan pada produk kosmetik dengan konsentrasi lebih dari 50% (Loden, 2001).

Dokumen terkait