• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Sangeh

Dalam dokumen Bunga Rampai Kearifan Lokal 2013 (Halaman 38-42)

HUTAN-HUTAN KECIL YANG TERLESTARIKAN

3. Hutan Sangeh

Hutan Sangeh terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Luas hutan ini hanya sekitar 10 ha dan jenis tanaman di dalamnya36hampir homogen, yaitu didominasi pohon Pala (Dipterocarpus trinervis). Masyarakat di sekitar hutan sebagian besar adalah dari etnis Bali. Hutan kecil ini terletak sekitar 20 km di sebelah utara Kota Denpasar, ibukota Provinsi Bali. Hutan ini tampaknya dimanfaatkan sebagai taman dari Kerajaan Mengwi (Sejarah Hutan Sangeh di Bali. http://sejarahdinusantara.Blogspot. com/2012/06/sejarah-hutan-sangeh-di-bali.html, diunduh tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.34).

Di hutan kecil ini terdapat ratusan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan dibiarkan berkeliaran dengan bebas. Di dalam hutan juga terdapat sebuah pura yang bernama Pura Bukit Sari. Pura ini dibangun oleh Raja Mengwi pada abad ke-17, dan saat ini pengelolaannya diserahkan kepada

penduduk setempat. Sejarah keberadaan Pura Bukit Sari ini tertulis dalam Lontar Babad Mengwi. Di dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Putri Ida Batara dari Gunung Agung berkeinginan untuk

disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau, maka hutan pala yang terdapat di Gunung Agung, tempat Putri Ida Batara Gunung Agung bermukim berpindah secara misterius pada waktu malam hari. Namun ketika perjalanan Beliau baru sampai di Sangeh, ada penduduk yang melihat perjalanan tersebut. Hal ini menyebabkan hutan pala tersebut tidak dapat berjalan lagi menuju ke Kerajaan Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh. Itulah sebabnya hutan ini disebut dengan nama Sangeh, yang artinya “ada orang yang melihat”. Oleh karena itu, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat dari Raja Mengwi Cokorda Sakti Blambangan, memerintahkan untuk membangun pura di tengah hutan yang tidak berhasil dibawa ke Mengwi tersebut, yang kemudian dinamakan Pura Bukit Sari. Di pura ini yang dipuja adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting (Sangeh. http://id.wikipedia.org/ wiki/Sangeh, diunduh tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.27). Di samping Pura Bukit Sari, di dalam hutan ini juga terdapat beberapa pura kecil lainnya, yaitu Pura Melanting, Pura Tirta, dan Pura Anyar (Sejarah Hutan Sangeh di Bali. http:// sejarahdinusantara.blogspot.com/2012/06/sejarah-hutan-sangeh-di-bali.html, diunduh tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.34).

Gambar: Pura Bukit Sari di tengah-tengah Hutan Sangeh

Sebagaimana disampaikan di atas, daya tarik Hutan Sangeh adalah adanya ratusan ekor monyet di dalamnya. Masyarakat sekitar menganggap monyet-monyet di Hutan Sangeh tersebut konon sebagai

jelmaan para prajurit Putri Ida Batara Gunung Agung, sehingga dianggap sebagai kera suci dan keberadaan mereka tak boleh diganggu karena dianggap membawa berkah bagi masyarakat Sangeh. Selain keberadaan ratusan ekor kera, juga terdapatnya pohon-pohon pala. Batang pohon pala tumbuh lurus dan mempunyai kualitas kayu yang sangat bagus. Konon pohon pala di Hutan Sangeh ini tidak bisa ditanam di tempat lain (Sejarah Hutan Sangeh di Bali. http://sejarah dinusantara. blogspot.com/2012/06/ sejarah-hutan-sangeh-di-bali.html, diunduh tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.34).

Masyarakat di sekitar Hutan Sangeh juga mempunyai kisah yang aneh dari hutan tersebut. Di dalam hutan tersebut pernah terdapat pohon tua yang miring dan akan roboh. Menurut perkiraan banyak orang, pohon tersebut akan roboh ke arah halaman utama Pura Bukit Sari. Meskipun posisinya sudah miring, tidak ada orang yang berani menebang karena takut mendapat kutukan, sehingga dibiarkan tumbang sendiri. Pohon tua tersebut memang akhirnya tumbang, namun anehnya tidak mengarah ke halaman utama Pura Bukit Sari, melainkan 38elativ barat daya, di halaman luar pura. Bahkan tumbangnya pohon tersebut persis di antara bangunan Bale Kulkul dan Bale Pewaregan, sehingga hanya sedikit menimbulkan kerusakan (Sangeh. http://www.gobalitour.com/ sangeh.html, diunduh tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.31).

Pengeramatan Hutan Sebagai Cara untuk Melestarikan Hutan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa ketiga hutan tersebut mempunyai luas yang relatif kecil. Secara hitungan matematis hutan-hutan kecil yang telah “dikepung” permukiman penduduk dan persawahan ini “rawan untuk ditebang habis” oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, tentu dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan permukiman penduduk maupun untuk perluasan lahan pertanian. Meskipun demikian, hal ini ternyata tidak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut. Mereka

tetap mengeramatkan dan melestarikan hutan yang tidak seberapa luas tersebut.

Keberadaan hutan dengan segala isinya yang dikeramatkan dan dilestarikan oleh masyarakatnya ternyata telah lama menjadi perhatian dari organisasi Man and the Biosphere (MAB), sebuah organisasi pelestarian kekayaan hayati di bawah naungan UNESCO. Hutan, - bersama sumber daya hayati lainnya, seperti sungai, danau, gunung, taman laut, atau lansekap-lansekap lainnya -, disebut sebagai Situs Keramat Alami (Sacred Natural Sites). Situs Keramat Alami dalam pandangan pelestarian lingkungan alam adalah kawasan yang pemanfaatan sumberdayanya dibatasi oleh aturan lokal dan terpisah dari kehidupan sehari-hari. Dikarenakan dibatasi oleh aturan-aturan lokal, maka area Situs Keramat Alami menjadi ekosistem yang tumbuh secara alami di tengah-tengah lingkungan sekitarnya yang telah mengalami degradasi (Sukara, 2007: xiii).

Secara pandangan budaya, Situs Keramat Alami adalah tempat yang dipuja dan dikeramatkan, sehingga ada aturan-aturan yang dipegang secara patuh, bahkan ditakuti. Dalam hal ini istilah “keramat” merujuk pada tempat yang mempunyai kepentingan religi, bernilai sakral, atau rahasia. Dengan demikian, Situs Keramat Alami dapat mengacu pada tempat yang mempunyai nilai simbolik yang penting, di mana ruang/ tempat, kenangan/ sejarah, dan nilai spiritual muncul bersama-sama (Sukara, 2007: xiii).

Berkaitan dengan pengeramatan dan pelestarian hutan kecil oleh masyarakat, baik yang tinggal di sekitar hutan maupun masyarakat luar (para peziarah yang berasal dari tempat yang jauh dari hutan tersebut), Rio Revihandono dari Yayasan KEHATI menyatakan bahwa Situs Keramat Alami dan segala nilai budaya dan kearifan yang mendukungnya merupakan milik kelompok tertentu, bersifat mengikat bagi kelompok tersebut, tapi tidak bagi kelompok lainnya. Dengan demikian, kelompok-kelompok lain tersebut belum tentu dapat menghargainya (Revihandono, 2007: 282).

Meskipun demikian, kelompok lain tersebut tidak dapat melakukan ekspansi atau pemaksaan untuk mengubah pandangan kelompok tertentu tersebut karena pelestarian Situs Keramat Alami, khususnya hutan, didukung dan dilindungi dengan undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Dinas Kehutanan. http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/kelemba gaan/perangkat_daerah/detail_perangkat_daerah/ 5, diunduh tanggal 2 November 2013 pukul 17.26)

Perilaku masyarakat yang tetap melestarikan hutan kecil tersebut tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang menganggap hutan-hutan tersebut mempunyai nilai simbolik yang penting, yang mana ruang di dalamnya mempunyai nilai sejarah dan spiritual yang muncul bersamaan. Nilai simbolik ini lah yang menyebabkan hutan-hutan tersebut menjadi tempat yang sakral. Berkaitan dengan itu, hal-hal yang menunjang nilai simbolik sehingga hutan-hutan itu menjadi sakral, antara lain adalah adanya tempat-tempat suci yang digunakan untuk beribadah/ berziarah dan mengandung nilai sejarah, serta terdapat cerita-cerita mitologis yang melingkupi tempat-tempat suci dalam hutan tersebut.

Dalam dokumen Bunga Rampai Kearifan Lokal 2013 (Halaman 38-42)