• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Hutang Piutang (Qardh)

Hutang piutang adalah penyerahan harta berupa uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama. Kata “penyerahan harta” mengandung arti pelepasan pemilikan dari yang empunya. Kata “untuk dikembalikan pada waktunya” mengandung arti bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara yang diserahkan itu hanya manfaatnya. Kata “berbentuk uang” mengandunga arti uang yang dinilai dengan uang. Kata “ nilai yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan

40 nilai yang bertambah tidak disebut hutang piutang (Hasan Saleh, 2008: 389).

Sedangkan Pengertian Hutang piutang menurut B. W (pasal 1754) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

Dalam Hutang piutang, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (peminjam) (pasal 1755). Dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjamkan harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu (pasal 1756), dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, maka harus berpangkal pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian (R. Subekti, 1995: 126). Adapun yang menjadi dasar hukum dari Hutang piutang.

41 Firman Allah : َهْعَٚ َكَّثَس ٌَِّإ ِّذَمُٚ ُ َّاللََّٔ ۚ َكَعَي ٍَِٚزَّنا ٍَِي ٌخَفِئبَطَٔ َُّثُهُثَٔ َُّفْصََِٔ ِمَّْٛهنا َِٙثُهُث ٍِْي ََْٰٗدَأ ُوُٕمَت َكَََّأ ُى ُس َأ َىِهَع ۚ ٌِآْشُمْنا ٍَِي َشَّغََٛت بَي أُءَشْلبَف ۖ ْىُكَْٛهَع َةبَتَف ُُِٕصْحُت ٍَْن ٌَْأ َىِهَع ۚ َسبََُّٓنأَ َمَّْٛهنا ٌْ ٌَُٔشَخآَٔ ۙ ِ َّاللَّ ِمْضَف ٍِْي ٌَُٕغَتْجَٚ ِضْسَ ْلْا ِٙف ٌَُٕثِشْضَٚ ٌَُٔشَخآَٔ ۙ َٰٗضْشَي ْىُكُِْي ٌُُٕكََٛع إُضِشْلَأَٔ َحبَكَّضنا إُتآَٔ َح َلََّصنا إًُِٛلَأَٔ ۚ ُُِّْي َشَّغََٛت بَي أُءَشْلبَف ۖ ِ َّاللَّ ِمِٛجَع ِٙف ٌَُٕهِتبَمُٚ َ َّاللَّ بًضْشَل ۚ اًشْجَأ َىَظْعَأَٔ اًشَْٛخ َُْٕ ِ َّاللَّ َذُِْع ُُِٔذِجَت ٍشَْٛخ ٍِْي ْىُكِغُفََْ ِلْ إُيِّذَمُت بَئَ ۚ بًَُغَح ٌىِٛحَس ٌسُٕفَغ َ َّاللَّ ٌَِّإ ۖ َ َّاللَّ أُشِفْغَتْعأَ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.

Al-Muzammil: 20) Firman Allah : ِزَّنا بََُّٓٚأ بَٚ ۚ ِلْذَعْنبِث ٌتِتبَك ْىُكََُْٛث ْتُتْكَْٛنَٔ ۚ ُُِٕجُتْكبَف ًًَّٗغُي ٍمَجَأ َٰٗنِإ ٍٍَْٚذِث ْىُتَُْٚاَذَت اَرِإ إَُُيآ ٍَٚ ِكَّتَْٛنَٔ ُّكَحْنا َِّْٛهَع ِ٘زَّنا ِمِهًُْْٛنَٔ ْتُتْكَْٛهَف ۚ ُ َّاللَّ ًََُّّهَع بًََك َتُتْكَٚ ٌَْأ ٌتِتبَك َةْأَٚ َلََٔ ََّاللَّ َلََٔ َُّّثَس َُْٕ َّمًُِٚ ٌَْأ ُعِٛطَتْغَٚ َلَ َْٔأ بًفِٛعَض َْٔأ بًِٓٛفَع ُّكَحْنا َِّْٛهَع ِ٘زَّنا ٌَبَك ٌِْئَف ۚ بًئَْٛش ُُِّْي ْظَخْجَٚ َْٛهُجَس بََُٕكَٚ ْىَن ٌِْئَف ۖ ْىُكِنبَجِس ٍِْي ٍَِْٚذَِٛٓش أُذِْٓشَتْعأَ ۚ ِلْذَعْنبِث ُُِّّٛنَٔ ْمِهًُْْٛهَف ٌِبَتَأَشْيأَ ٌمُجَشَف ٍِ اَذَُّٓشنا َةْأَٚ َلََٔ ۚ َٰٖشْخُ ْلْا بًَُْاَذْحِإ َشِّكَزُتَف بًَُْاَذْحِإ َّمِضَت ٌَْأ ِءاَذَُّٓشنا ٍَِي ٌََْٕضْشَت ًٍَِّْي اَرِإ ُء

42 ُكِن َٰر ۚ ِِّهَجَأ َٰٗنِإ اًشِٛجَك َْٔأ اًشِٛغَص ُُِٕجُتْكَت ٌَْأ إُيَأْغَت َلََٔ ۚ إُعُد بَي ُوَْٕلَأَٔ ِ َّاللَّ َذُِْع ُظَغْلَأ ْى َْٛهَع َظَْٛهَف ْىُكََُْٛث بَََُٓٔشِٚذُت ًحَشِضبَح ًحَسبَجِت ٌَُٕكَت ٌَْأ َّلَِإ ۖ إُثبَتْشَت َّلََأ ََْٰٗدَأَٔ ِحَدبََّٓشهِن ٌٌ بَُُج ْىُك ٌتِتبَك َّسبَضُٚ َلََٔ ۚ ْىُتْعَٚبَجَت اَرِإ أُذِْٓشَأَٔ ۗ بَُْٕجُتْكَت َّلََأ ۗ ْىُكِث ٌقُٕغُف ََُِّّئَف إُهَعْفَت ٌِْإَٔ ۚ ٌذَِٛٓش َلََٔ ٌىِٛهَع ٍءَْٙش ِّمُكِث ُ َّاللََّٔ ۗ ُ َّاللَّ ُىُكًُِّهَعَُٚٔ ۖ َ َّاللَّ إُمَّتأَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Firman Allah :

ًٌََُٕهْعَت ْىُتُُْك ٌِْإ ۖ ْىُكَن ٌشَْٛخ إُلَّذَصَت ٌَْأَٔ ۚ ٍحَشَغَْٛي َٰٗنِإ ٌحَشِظََُف ٍحَشْغُع ُٔر ٌَبَك ٌِْإَٔ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan

43

(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 280 2. Rukun Hutang piutang

Adapun yang menjadi rukun hutang piutang adalah sebagai berikut:

1) Lafal (kalimat menghutangi).

Adanya ucapan dari pihak yang kreditur kepada seseorang membutuhkan, seperti: “saya hutangkan ini kepada engkau” jawab seorang debitur “saya mengaku berhutang kepada engkau”.

2) Kreditur dan Debitur

Pihak kreditur disyaratkan agar memenuhi kriteria-kriteria berikut ini:

a) Bahwa ia berhak atas barang yang dipinjamkannya itu. b) Barang tersebut dapat dimanfaatkan, sebab pinjam

meminjam hanya menyangkut kemanfaatan sesuatu benda (pemanfaatan sesuatu benda hanya sebatas yang dibolehkan dalam islam).

Sedangkan menyangkut dengan debitur disyaratkan harus orang yang cakap bertindak (berhak) sebab perjanjian hutang piutang yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak adalah tidak sah (Suhwardi K. Lubis, Farid Wajdi, 2014:137-138).

3) Barang yang dihutangkan. setiap barang yang dapat dilihat jumlahnya, mutunya, kualitas dan manfaatnya boleh

44 dihutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan yang dapat dimanfaatkan, maka akan dibayar dengan jenis hewan yang sama. Segala sesuatu yang dihutangkan aka dikembalikan dalam wujud yang sama.

Melebihkan bayaran dari sebanyak hutang, kalau kelebihan itu memang kemauan yang berutang dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi yang mengutangkannya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar hutang (H. Sulaiman Rasjid, 2004: 306-307).

Dokumen terkait