• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibu Sebagai Objek Kateinai Boryouku

KATEINAI BORYOUKU DALAM RUMAH TANGGA

2.3 Karakteristik Kateinai Boryouku

2.3.1 Ibu Sebagai Objek Kateinai Boryouku

Orang tua yang menjadi korban kekerasan anak merupakan bukti bahwa kekerasa anak terhadap orang tua itu ada. Seperti telah di sebutkan sebelumnya, kateinai boryouku yang terjadi di jepang memiliki dua kesamaan yaitu objek kekerasannya adalah anggota keluarga dan pelakunya adalah “anak biasa” berusia remaja yang masi bersekolah yang berasal dari “keluarga biasa”, yang mementingkan pendidikan dan secara ekonomi mampu. Berdasarkan data terahir pada tahun 2005 keseluruhan kasus berjumlah 1275 kasus yang dilaporkan, diantaranya 773 kasus kekerasan terhadap ibu dan 111 kekerasan terhadap ayah dan yang menjadi sorotan utama adalah kasus kekerasan terhadap ibu yang selalu jauh lebih besar daripada kekerasan terhadap ayah.

Menurut Futagami, alasan anak melakukan kekerasan terhadap ibu dapat di bagi menjadi tiga hal. Pertama, secara biologis ibu lebih banyak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di bandingkan dengan ayah, karena ibu yang membesarkan dan merawat anak sejak lahir dan ayah lebih banyak bekerja di luar. Kedua adanya rasa bergantung anak terhadap ibu. Hal ini berhubungan dengan kondisi minimnya ayah di rumah. Ayah selalu bekerja hingga larut malam atau bekerja keluar kota, sehingga frekuensi untuk bertemu anak sangat sedikit.

Dengan kondisi rendahnya frekuensi pertemuan dengan ayah, secara otomatis anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu. Dan ketiga, salah satu alasan kuat seorang anak melakukan kekerasan terhadap ibu, yaitu ketidakberdayaan ibu dan kasih sayng ibu yang berlebihan. Hal ini diperkuat oleh hasil data kuesioner yang di lakukan terhadap anak SD,SMP dan SMU mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai di sekolah dan ibu yang memahami mereka.

Berdasarkan pertanyaan yang di ajukan kepada anak-anak mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai, jawaban yang di dapatkan yaitu pada anak SD yang menjawab “iya” hanya sebesar 39,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” 55,8 persen. Lain halnya pada anak SMP dan SMU, yang menjawab “iya” yaitu sebesar 53 dan 49,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” hanya 42,8 dan 46<8 persen (soumuchou 1993). Pada anak SMP dan SMU, mereka menyadari ibu mereka meributkan masalah belajar dan nilai sekolah lebih besar daripada yang tidak, karena berhubungan dengan adanya pesaing ketat dalam ujian masuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi, yang menuntut ibu untuk memperhatikan pelajaran dan nilai anak di sekolah karena sang ibu mengharapkan anaknya dapat lulus masuk sekolah menengah

2.3.2 “Anak Biasa” sebagai Pelaku Kateinai boryouku

Seperti yang telah di jelaskan di atas mayoritas objek kateinai boryouku adalah orang tua, terutama ibu. Dan anak-anak yang melakukan kekersan terhadap orang tua adala mereka yang di kenal sebagai murid baik ataupun di kenal sebagai “anak biasa” di sekolah dan sangat perhatian terhadap yang lain. Maksud dari “anak biasa” adalah anak yang baik, pandai, pendiam, dan tak pernah berulah tidak baik di sekolah maupun di depan public. Menurut Japanese journal of sociological criminology terdapat dua image “anak biasa”, seperti di kutip berikut:

1. Biasanya, anak yang pendiam, anak yang rajin, dan anak yang tidak bermasalah dengan nilai.

2. Setidaknya, kebutuhan hidup dan pendidikan anak dalam keluarga terpenuhi

Selain anak yang pendiam, rajin dan tak berulah, image “anak biasa” juga termasuk dalam keluarga menengah ke atas. Menurut Saitou Tamaki, “anak biasa” yang melakukan kateinai boryouku diikuti pula dengan kondisi keluraga yang tidak memiliki figure ayahdan kasih saying ibu yang berlebihan. Memang cukup mengagetkan, anak yang sehari-hari mendapat julukan “biasa” tiba-tiba melakukan hal yang tak terduga.

Dalam masyarakat Jepang, pada jenjang usia 15-16 di perkirakan sebagai masa kritis karena tiga alasan. Pertama kedewasaan adalah masa yang penuh dengan tekanan untuk lulus tes masuk, dan merupakan masa bagi generasi muda mengalami ketidakstabilan emosional. Kedua, kenyataan bahwa hamper 90 persen masyarakat jepang meneruskan pendidikan hingga ke tingkat SMU dan

perguruan tinggi membuat generasi muda semakin cemas. Ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi merupakan hal yang sangat diperhatiakn dalam pendidikan jepang, karena keberhasilan dalam ujian masuk adalah tahap yang sangat penting agar dapat masuk ke dalam kelompok elit masyarakat jepang, dan dianggap memiliki kemampuan. Hal ini sesuai dengan yang di katakana kiefer dan di kutip oleh lebra, mengen ai system ujian masuk masyarakat jepang berikut ini:

Kiefer saw the Japanese examination system as a

series of crisis rites through which the child passes from family-centered to peer-group-centered values rather than as a mechanism for minimazing competition within group.

kiefer menilai bahwa system ujian masuk di jepang cenderung sebagai kegiatan penting yang dengan melalui ujian tersebut, seorang anak beralih dari nilai-nilai yang berpusat pada keluarga dari pada sebagai suatu mekanisme untuk mempersempit persaingan dalam sebuah kelompok.

Jadi menurut kiefer, ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi dipandang sebagai tahap untuk memasuki kelompok baru setelah keluarga, bukan dinilai sebagai ajang untuk saling menjatuhkan para pesaing lain. Dan yang ketiga, anak usia 15-16 tahun memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kekerasan secara langsung pada orang tu, terutama terhadap ibu, karena secara biologis, ibu yang melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersamak anak dibanding ayah, ketika ayah bekerja di luar, ibu selalu ada di rumah bersama anak. Dengan kata lain ibu sebagai orang

terdekat bagi anak, sehingga memudahkan anak untuk melampiaskan rasa kesal pada orang terdekat, yaitu ibu.

Disamping itu, anak-anak yang melakukan kekerasan terhadap orang tua dapat juga dilihat dari faktor kejiwaan seperti yang telah di diskripsikan di atas.

2.3.2 Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam “keluarga biasa”( futsu

Dokumen terkait