• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam pelaksanaan kurikulum SMK-RSBI melalui proyek INVEST ada beberapa permasalahan yang ditemui, antara lain:

1. Standar Isi Kurikulum Internasional

Kurikulum merupakan hal penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, karena kurikulum adalah pedoman serta petunjuk arah kemana pendidikan di sekolah akan dibawa. Kurikulum SMK telah mengalami penyempurnaan sebanyak 7 (tujuh) kali dari Kurikulum 1964 menjadi Kurikulum 1976, kemudian Kurikulum 1980, kemudian Kurikulum 1984, kemudian Kurikulum 1994, kemudian Kurikulum 1999, kemudian Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan terakhir Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Menurut Prof. Dr. Aleks Maryunis mengatakan perubahan kurikulum di Indonesia kebanyakan hanya menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis saja tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kenyataan dilapangan masih banyak sekolah yang kebingungan

dalam pengimplementasi kurikulum baik dari sarana-prasarana, bahan ajar, pemahaman pendidik mengenai kurikulum, dan lain-lain (www.menkokesra.go.id/education., diakses 6-12-2011).

Kurikulum sekolah bertaraf internasional adalah kurikulum Standar Nasional Pendidikan (SNP) + X (adaptasi/adopsi standar/perkembangan internasioanal), baik yang berasal dari standar pendidikan negara anggota OECD dan/atau negara maju yang mempunyai kelebihan tertentu dalam bidang pendidikan (Depdiknas, 2006:4). Kurikulum SBI ditunjukkan oleh isi (content) yang mutakhir dan canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global. Adaptasi maupun adopsi terhadap program-program pendidikan dari negara-negara maju dapat dilakukan dengan tetap menjaga jati diri sebagai bangsa Indonesia. Adaptasi atau adopsi harus dilakukan secara eklektifdan inkoorporatifyang berarti program-program pendidikan yang berasal dari negara-negara tidak bertentangan atau bahkan berbenturan dengan kaidah-kaidah mendasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila, agama dan kewarganegaraan (Depdiknas, 2007:24).

Menurut Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggraan Pendidikan, yang dimaksud dengan Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Menilik pengertian SBI yang demikian, pasti juga bukan perkara mudah untuk

mensejajarkan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran sekolah di Negara Indonesia dengan pembelajaran yang berlaku pada negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Tetapi bukan pula suatu kemustahilan kalau sekolah-sekolah di Indonesia mencoba menggapai mimpi mensejajarkan dengan sekolah-sekolah unggul di negara tersebut melalui benchmarking (penyetaraan) dan studi banding ke sekolah-sekolah yang telah berhasil dan dianggap sesuai dengan kebutuhan pengembangan.

Dengan adanya program kerjasama antar sekolah di Indonesia dan negara yang tergabung dalam anggota OECD atau negara maju lainnya akan menghasilkan MOU yang kemudian digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui kolaborasi dalam belajar, membuka jalan bagi guru untuk melakukan riset bersama, berbagi pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai lainnya, kolaborasi dalam pembelajaran.

2. Uji Kompetensi dan Sertifikasi

Penyelenggaraan SBI sangat berat karena sekolah dituntut agar lulusannya benar-benar kompeten dan handal. Mengingat struktur kurikulum SMK mencakup aspek kognitif dan psikomotorik yang meliputi pula aspek afektif, maka Ujian Nasional Kompetensi Keahlian Kejuruan dirancang dalam bentuk ujian teori kejuruan dan praktik kejuruan (Individual Task). Hal tersebut diamanatkan dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Tahun

2008/2009 dan Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 1513/BSNP/XII/2008 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional SMP, MTs, SMPLB, SMALB dan SMK Tahun Pelajaran 2008/2009. Melalui bentuk ujian tersebut diharapkan dapat menjamin terselenggaranya sistem penilaian berbasis kompetensi (competency-based assessment) yang lebih taat asas, dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berbasis kompetensi/produksi. Kemudian, hasil Uji Kompetensi Keahlian ini akan digunakan untuk memetakan mutu/kualitas pendidikan kejuruan pada SMK.

Namun pada kenyataannya, para lulusan SMK khususnya dari kompetensi kejuruan yang akan bekerja di industri harus menjalani masa latihan (training) (Depdiknas, 2006:2). Hal tersebut dimaksudkan agar pihak industri mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja lulusan SMK dari jurusan otomotif yang akan bekerja di dunia industri mempunyai kualitas kerja yang rendah, sehingga mereka tidak siap untuk memasuki atau bekerja di dunia industri. Masalah kualitas kerja ini telah banyak mendapat sorotan dari para pakar maupun para pemakai lulusan. Kualitas lulusan tersebut dianggap belum memenuhi harapan para pemakai. Kesiapan kerjanya masih rendah dan belum sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Beberapa indikator yang bisa kita lihat antara lain : masih banyaknya

lulusan yang belum siap kerja, tidak mampu membuka usaha sendiri, dan masih menggantungkan dirinya pada usaha orang lain.

Sedangkan kriteria keberhasilannya selain dapat dilihat dari keberhasilan siswa di sekolah, juga dapat dilihat dari keberhasilan di luar sekolah. Keberhasilan di luar sekolah adalah penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja, seperti proporsi lulusan yang mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang studinya, jarak waktu antara kelulusan dan saat mendapat pekerjaan pertama dan perolehan imbalan ekonomi.

Fakta menunjukkan bahwa hanya 60 % dari lulusan SMK yang dapat terserap lapangan kerja, lebih dilematis lagi ketika 60 % dari lulusan SMK tersebut tidak semuanya bekerja sesuai dengan jurusan yang ditekuni semasa SMK. Melihat dari fenomena ini, tentunya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, diantaranya adalah kurangnya kesiapan kerja dari lulusan SMK, belum adanya link and matchantara Sekolah Menengah Kejuruan dengan dunia kerja, tidak teridentifikasinya kebutuhan dunia kerja oleh SMK, dan lain sebagainya (http://one.indoskripsi.com, diakses 12/6/2011).

Hal di atas menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia industri dengan kemampuan yang dimiliki oleh lulusan SMK. Terjadinya kesenjangan ini tidak dapat dipisahkan dari faktor internal dan faktor eksternal dari siswa itu sendiri atau sistem pendidikannya. Dampak negatif dari hal ini adalah timbulnya kekurangpercayaan masyarakat atau dunia industri terhadap eksistensi

dan peranan SMK tersebut (http://kamajaya65a. blogspot.com, 12/06/2011).

3. Prakerin (Praktik Kerja Industri)

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 78 tahun 2009 dalam proses pembelajaran SBI diharuskan melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran di Negara anggota OECD atau negara maju lainnya yaitu dengan menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan kontekstual. Hal ini bertujuan untuk menciptakan dan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkompeten dan handal sehingga lulusan mampu bersaing baik nasional maupun internasional disetiap bidangnya.

Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut dalam rangka pemenuhan komponen penjaminan mutu SMK SBI bidang partner industri maka sekolah bekerja sama dengan industri/institusi terkait untuk melaksanakan praktik kerja industri. On the job training atau praktek industri adalah suatu bentuk pengajaran yang dilaksanakan atas dasar kerja sama antara pihak sekolah dengan dunia industri, yang digunakan untuk mempersiapkan siswa dalam memasuki dunia kerja. Dengan cara menyuruh siswa mempelajari seluk beluk perkembangan dan pengelolaan perusahaan tempat dimana siswa tersebut melaksanakan praktek.

Berkaitan dengan tujuan dan keberhasilan praktik kerja industri, terdapat permasalahan yang ditemui selama pelaksanaan praktik kerja industri, antara lain :

a. Sebelum Berangkat:

1) Administrasi keuangan, siswa belum melunasi kewajibannya. Anggaran Prakerin digunakan untuk kegiatan: mengantar, monitoring, menjemput, pembuatan jurnal, aksesoris prakerin dan lain-lain yang bersifat mendukung bagi kelancaran kegiatan Prakerin.

2) Keterbatasan dana yang dimiliki siswa terutama mereka yang di luar kota, siswa/orang tua kurang memperhatikan living cost. 3) Siswa kurang memperoleh informasi penting yang diperlukan

selama pelaksanaan Prakerin.

4) Tempat Prakerin yang perlu dievaluasi ulang.

5) Memiliki pemikiran untung rugi pada masalah keuangan dan kurang berorientasi pada masalah penguasaan kompetensi yang harus di raih.

b. Saat Pelaksanaan:

1) Siswa merasa kurang pas ditempatkan di bagian tertentu oleh pihak industri.

2) Motivasi rendah.

3) Pemahaman Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang rendah menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.

4) Siswa tidak proaktif untuk menggali seluas-luasnya penguasaan kompetensi yang harus diraihnya.

5) Kurang disiplin, menyebabkan pihak industri memperingatkan aktivitas praktikan.

6) Kinerja yang kurang, sehingga pihak pembimbing industri kurang dapat memperhatikan praktikan dengan baik.

7) Kurang terjalinnya hubungan sambung rasa tepo saliro antara praktikan dengan pihak DU/DI.

8) Tidak mampu bertahan melaksanakan Prakerin sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

9) Kurang memperhatikan materi pelajaran Adaptif dan Normatif yang ditinggalkan.

c. Pasca Praktik Kerja Industri:

1) Penilaian yang kurang dari pihak DU/DI kepada Praktikan. 2) Perolehan sertifikat/ surat keterangan yang memiliki bobot

kurang.

3) Penguasaan kompetensi yang terbatas.

4) Tidak adanya perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah pelaksanaan Prakerin.

5) Minimnya penggalian masalah pemahaman wawasan industrialisasi selama Prakerin.

4. TeachingIndustri

Dalam penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional sekolah harus dapat mesinergikan dunia pendidikan dengan dunia kerja, sehungga sekolah dituntut untuk lebih proaktif mewujudkannya. Usaha – usaha yang dapat dilakukan pihak sekolah antara lain dengan mengundang praktisi dari industri untuk menjadi pengajar tamu di sekolah. Melalui usaha ini peserta didik tidak saja akan mendapat knowledge atau sciencesaja namun juga akan mendapat sentuhan aspek skill individu karena pengajar didatangkan dari ahlinya yang berhubungan langsung dengan dunia kerja/industri. Usaha ini juga akan dapat menghilangkan kesan dunia pendidikan sebagai menara gading dimana dunia pendidikan hanya sebagai gudangnya ilmu pengetahuan namun kurang dapat diimplementasikan di dunia kerja.

Namun pada kenyataannya, pengajar yang didatangkan dari pihak industri mendapatkan porsi jam mengajar dan tatap muka yang lebih sedikit dibandingkan porsi jam mengajar yang diberikan kepada guru bidang studi sekolah tersebut. Akibatnya materi yang disampaikan pengajar dari industri tidak sepenuhnya diterima oleh siswa dan masih banyak siswa yang tidak bisa memahami secara optimal materi yang diberikan saat proses pembelajaran karena terbatasnya waktu dan tatap muka baik teori maupun praktik (http://kamajaya65a. blogspot.com,12/06/2011).

5. Standart Kelulusan

Lulusan sekolah bertaraf internasional diharapkan tidak akan canggung dan kesulitan dalam memasuki dunia usaha/ dunia industri maupun ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik di nasional ataupun internasional.

Adanya kesenjangan yang terjadi antara tuntutan kemampuan kerja yang ditetapkan industri dengan materi yang diberlakukan di SMK, mengharuskan upaya relevansi dari kedua belah pihak untuk menjembatani perbedaan tersebut.

Pendidikan menengah kejuruan pada dasarnya diselenggarakan untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil tingkat menengah untuk mendkung pembangunan sebagai sektor perekonomian bangsa. Secara spesifik pendidikan SMK diselenggarakan untuk: (1) melakukan transformasi status siswa, dari manusia ”beban” menjadi menuia ”aset”; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantege) dan kompetitif (competitive advantage) bagi pembangunan sektor industri dan sektor-sektor ekonomi lainnya di Indonesia; (3) memberi bekal bagi siswa/tamatan untuk berkembang secara berkelanjutan. Khusus untuk pendidikan SMK bertaraf internasional, tamatan juga disiapkan untuk bisa bersaing dan mendapatkan pekerjaan di luar negera dan mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang datang untuk mengisi lowongan kerja di Indonesia (Depdiknas, 2006:3).

6. Partnership

Hubungan kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha (DU)/dunia industri (DI) dilakukan untuk mendekatkan program sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. Manfaat dari kerjasama diantaranya adalah siswa dapat melakukan Praktik Kerja Industri secara berkelanjutan dan untuk memasarkan lulusan. Jalinan kerjasama tersebut diikat melalui nota kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU). Dengan demikian hubungan dengan dunia usaha dan industri menjadi good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.

Meskipun sudah terjalin hubungan antara dunia pendidikan dengan DU/DI (50% magang 50% praktik industri), akan tetapi komunikasi dan kerjasama yang terjalin belum optimal. Hal ini berakibat pada jumlah rekruitmen DU/DI terhadap lulusan Sekolah belum 100%, sehingga diperlukan adanya optimalisasi kerjasama dengan DU/DI dalam rekruitmen lulusan.

Namun kenyataannya sebagian besar sekolah masih mengalami kesulitan untuk membangun jaringan kerjasama, sehingga belum dapat melaksanakan kegiatan benchmark secara optimal. Sekolah-sekolah pada kelompok ini terkendala oleh minimnya pengalaman membangun kerjasama dengan sekolah-sekolah mitra di negerinya sendiri, keterbatasan penguasaan Bahasa Inggris, keterbatasan kerjasama melalui jaringan teknologi informasi dan komunikasi serta kelemahan pada

pengembangan sistem TIK (http://kamajaya65a. blogspot. com,12/06/2011).

Dokumen terkait