• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Pola Data Produksi Hablur

5.2 Peramalan Produksi hablur dan Konsumsi Gula

5.2.1 Identifikasi Pola Data Produksi Hablur

Grafik plot data dari produksi hablur di Jawa Tengah tahun 1993-2013 menunjukan pola trend yang meningkat meskipun terjadi penurunan yang cukup basar pada tahun 1997 dan 1998 (Gambar 8). Data produksi tersebut sangat berfluktuasi dan memiliki trend yang semakin meningkat sehingga termasuk ke dalam data nonstasioner. Data nonstasioner harus distasionerkan terlebih dahulu dengan pembeda dua kali atau second difference dapat dilihat bahwa data sudah stasioner yang ditunjukkan pada Lampiran 4.

Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah 2014

Gambar 8 Grafik plot data produksi hablur

Data produksi hablur menunjukkan adanya fluktuasi dan trend. Penurunan produksi hablur di Jawa Tengah cukup tajam terjadi pada tahun 1998 sebesar 37,4% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 merupakan produksi hablur terendah selama 21 tahun yaitu hanya sebesar 155.918 ton.

Rendahnya produksi hablur tersebut disebabkan karena penghapusan Inpres No.9 tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sebagai suatu kebijakan baru dalam industri gula yang akan mengganti tata hubungan produksi gula tebu dari sistem penyewaan tanah petani oleh pabrik gula menjadi sistem produksi langsung oleh petani pemilik tanah sendiri. Peraturan tersebut diganti dengan Inpres No. 5 Tahun 1998 yang intinya memberikan kebebasan kepada petani untuk

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 p ro d u ksi (t o n ) Tahun

menanam komoditas apa saja (tidak lagi terkait TRI) yang memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan. Dengan adanya penghapusan peraturan tersebut industri gula kehilangan petani pemilik lahan karena pemilik lahan lebih cenderung memanfaatkan lahannya untuk komoditas yang menurut mereka lebih menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Industri gula pun memerlukan waktu untuk mencari petani pemilik lahan yang memiliki keinginan untuk menyewakan lahan kepada pabrik, karena pada tahun 1999 industri gula juga sedang mengalami kemunduran dimana harga gula dipasar internasional terus menurun dan mencapai titik terendah. Akibatnya, petani pemilik lahan enggan menyewakan lahan mereka ke industri gula. Luas lahan yang dimiliki industri gula menurun, produksi tebu mengalami penurunan sehingga berdampak pula pada produksi hablur.

Selain akibat dihapuskannya kebijakan TRI luas areal berkurang karena adanya konversi lahan. Konversi lahan dapat berupa pengalihan penggunaan lahan untuk industri, perumahan dan komoditi pertanian yang lain. Misalnya, penggunaan lahan yang awalnya ditanami tebu beralih ke komoditi padi. Kredit yang disediakan oleh pemerintah juga merupakan salah satu penyebab menurunnya luas areal tebu, karena kredit usahatani tebu sering terlambat dan jumlahnya tidak memadai sehingga petani mengalihkan usahatani tebu ke usahatani yang mempunyai masa pengambilan modalnya lebih cepat, seperti padi atau bawang merah. Luas areal tebu di Jawa Tengah juga cenderung menurun disebabkan selama tahun 2000 sampai 2007 terdapat dua PG di Jawa Tengah yang ditutup, yaitu PG Pakis Baru dan PT IGN. Penurunan luas areal tebu ini berdampak pula dengan penurunan produksi hablur.

Permasalahan lainnya adalah tidak efisiennya Pabrik Gula (PG) yang ada dan menurunnya produksivitas tebu. PG di Jawa Tengah memiliki kapasitas giling yang relatif kecil. Umur mesin dan teknologi yang sudah tua turut memberikan andil terhadap rendahnya efisiensi pabrik gula. Kombinasi permasalahan mesin dan peralatan yang telah tua dan kualitas bahan baku tebu yang rendah pada akhirnya menyebabkan rendahnya produktivitas gula hablur. Penanaman varietas yang umumnya sudah tua seperti BZ 148 (M442-51) dibanding dengan varietas baru. Sebagai ilustrasi, produktivitas varietas BZ 148 untuk Plant Cane (PC) hanya

berkisar 94,40 ton tebu/ha atau 4,17 ton hablur/ha, sedangkan produktivitas varietas baru seperti PS 86-17538 mencapai 123,90 ton tebu/ha setara dengan sekitar 12,50 ton hablur/ha. Masalah terakhir, umumnya petani tidak melakukan peremajaan pada tanamannya. Sehingga sebagian besar berupa tanaman keprasan (ratoon) yang mengakibatkan produksi hablur menurun (Susila et al. 2005).

Terlihat pada Tabel 12, rendahnya produksi hablur diikuti dengan turunnya rendemen yaitu hanya mencapai 5,2%. Penurunan produksi gula diakibatkan inefisiensi ditingkat PG mencapai 30%. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pabrik gula umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Kedua, ketersedian bahan baku yang terbatas sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas optimal. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku berkurang sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimal. Selain itu, adanya Undang-undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman membebaskan petani dalam mengusahakan lahannya sehingga menanam tebu tidak lagi merupakan kewajiban tetapi pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi. Sehingga pabrik gula semakin tidak efisien karena kesulitan dalam mendapatkan pasokan bahan baku tebu.

Tabel 12 Data produksi hablur, produktivitas hablur dan rendemen di Jawa Tengah 1993 - 2013

Tahun Produksi Hablur (ha) Produktivitas Hablur (ton/ha) Rendemen

1993 450.111 5,3 7,6 1994 437.981 5,3 8,2 1995 330.525 4,5 7,0 1996 333.436 4,6 7,2 1997 313.195 4,7 7,4 1998 195.761 3,2 5,2 1999 155.918 3,3 6,3 2000 180.742 3,9 6,5 2001 183.475 3,8 6,1 2002 249.430 4,6 7,2

Sumber: Sekertarian Dewan Gula (2014)

Pada Gambar 8, tahun 2004 produksi hablur berangsur-angsur mengalami kenaikan dikarenakan tahun 2002 Departemen Pertanian menetapkan program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional, yang meliputi rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial.

Selain itu, tahun 2004 hingga 2013 produksi tebu mulai meningkat, disebabkan pada tahun 2003, khusus Jawa telah diprogramkan kegiatan bongkar ratoon dan rawat ratoon dengan upaya harmonisasi komposisi tanaman tebu rakyat seluas 301.760 ha dengan perbandingan tanaman pertama (Plant Cane/PC) dan tanaman keprasan (ratoon) yakni 33% : 67%. PC merupakan hasil dari bongkar ratoon dan perluasan areal sedangkan ratoonnya hanya maksimal 3 hingga 4 kali.

Selain itu Kementrian Pertanian 2013, melakukan kegiatan berupa peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman semusim yang dibiayai oleh APBN TA 2013, meliputi:

1. Bongkar Ratoon

Bongkar ratoon adalah mengganti tanaman tebu lama yang sudah dikepras minimal 3 kali (setelah R3) dengan tanaman baru menggunakan varietas unggul yang telah direkomendasikan. Pengadaan benih dan pupuk dilakukan oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi, mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012 serta Pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013.

2. Penataan Varietas Tebu

Penataan varietas tebu dilaksanakan pada wilayah binaan PG bersama petugas yang menangani perkebunan Provinsi dan Kabupaten, pihak PG selaku mitra. Kegiatan tersebut berupa menentukan varietas yang digunakan, menyusun komposisi varietas, melaksanakan rating varietas yang dilakukan setiap tahun dan capaian realisasi komposisi varietas di lapangan.

3. Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Petani

Kegiatan ini dilakukan melalui kapabilitas petani dalam hal kemampuan teknis budaya, manajemen dan perkembangan organisasi, serta usaha Kelompok dan atau Koperasi melalui Penyuluhan atau pendampingan dalam implementasi di lapangan.

4. Operasional TKP dan PL-TKP Tebu

Kegiatan ini mendapatkan honor sarta bantuan operasional untuk kegiatan pendampingan, pengawalan dan monev untuk pengembangan tebu di setiap Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan TKP dan PL-TKP. Bantuan biaya

transportasi untuk kegiatan pembinaan dan peningkatan motivasi dilaksanakan di Pusat oleh Ditjen Perkebunan.

5. Bantuan Alat Tebang dan Muat Tebu

Pengadaan alat tebang tebu dan muat tebu dilakukan oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi, mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012, Pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013 dan pemerataan No. 05/Permentan/OT.140/1/2007 tentang syarat dan tata cara pengujian dan pemberian sertifikat alat dan mesin budidaya. Bantuan alat tebang ini diserahkan kepada Koperasi/KPTR melalui keputusan Kepala Dinas Provinsi yang membidangi perkebunan Kabupaten/Kota, untuk dikelola secara bersama. 6. Bantuan Traktor

Pengadaan traktor dan implementasinya merupakan belanja modal oleh direktorat Jendral Perkebunan mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 tahun 2012, Pedoaman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebuanan Tahun 2013 dan Permentan No. 05/Permentan/OT.140/1/2007 tentang syarat dan tata cara pengujian dan pemberian sertifikat alat dan mesin budidaya tanaman. Bantuan alat pengolah tanah berupa traktor dan implement merupakan kebutuhan dasar petani tebu dalam rangka pembukaan lahan untuk perluasan areal tebu dan bongkar ratoon, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan khususnya tebu.

7. Sensus Database Tebu Sistem On-line

Sensus ini dilaksanakan oleh Ditjen Perkebunan dan Dinas yang membidangi perkebunan di Provinsi serta Kabupaten. Dinas Provinsi dan Kabupaten melaksanakan kegiatan dengan tahapan sebagai berikut: 1) Rapat koordinasi dan pembentukan tim teknis pelaksanaan kegiatan sensus database online, 2) pelaksanaan pengumpulan data oleh petugas ditunjuk melalui SK Kepala Dinas Perkebuanan, dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan penggunaan aplikasi SIG dan penggunaan GPS untuk lapangan, 3) pengolahan data yang dilakukan oleh masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota serta kopersai sebagai penginput

data, 4) melakukan rapat sinkronisasi dan validasi data awal di masing-masing Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

8. Pengawalan oleh Tim Teknis Provinsi dan Kabupaten berupa bimbingan teknis dan manajemen yang dimulai dari perencanaan, proses administrasi, pelaksanaan kegiatan, panen, sampai dengan pelapooran hasil kegiatan.

Semua kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Teknis Pengembangan Tebu Tahun 2013 yang disusun mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, PERPRES No. 54 tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012 tentang pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013, serta Permentan No. 05/Permentan /OT.140/1/2007 tentang syarat dan Tata Cara Pengujian dan Pemberian Sertifikat Alat dan Mesin Budidaya Tanaman. Sedangkan pelaksanaan di lapangan mengacu Petunjuk Pelaksanaan yang disusun oleh Provinsi dan Petunjuk Teknis oleh Kabupaten.

Dalam produksi hablur, rendemen sangat memegang peranan penting kerena dalam sistem bagi hasil antara petani dan pabrik pada dasarnya berpegang pada hasil analisa rendemen pada saat tebu ditebang dan diterima pabrik. Ketetapan ini diterapkan dalam pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 1975 sesuai SK Menteri Pertanian nomor 013/1976 yang berisi baik pemerintah maupun petani memperhatiakan masalah rendemen adalah merupakan hal yang sudah pada tempatnya. Sebab industri gula dan usahatani tebu memang dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memproduksi gula. Sedangkan rendemen merupakan suatu ukuran tentang banyaknya gula yang bisa diperoleh dari setiap satuan berat tebu yang dihasilkan. Bagi petani penentuan rendemen oleh pabrik dirasa begitu rumit karena petani harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasil rendemen dari tebu mereka.

Dokumen terkait