• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi pencapaian program swasembada gula pasir di jawa tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi pencapaian program swasembada gula pasir di jawa tengah"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA

GULA PASIR DI JAWA TENGAH

NURUL PUSPITA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

ABSTRAK

NURUL PUSPITA. Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah. Dibimbing oleh Adi Hadianto

Gula merupakan komoditas pangan yang sampai saat ini belum tergantikan dengan bahan pangan lain sebagai pemanis buatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi konsumsi dan produksi gula di Jawa Tengah dan merumuskan alternatif strategi yang sesuai untuk mencapai target swasembada. Penelitian ini menggunakan metode ARIMA untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dan metode AHP untuk menentukan strategi yang tepat dan efektif. Hasil dari penelitian ini adalah Jawa Tengah belum mampu mencapai swasembada sesuai target 2014-2018 terkait dengan permasalahan baik dalam on-farm maupun off-farm. Kriteria yang perlu ditingkatkan adalah rendemen dan produktivitas (29,5%), revitalisasi pabrik gula (27,1%) dan teknologi atau alat ukur rendemen (19,3%) . Untuk mendukung tiga kriteria tersebut perlu adanya kerjasama antara pabrik gula dan petani yaitu dalam sistem bagi hasil, kredit murah dan mudah, dan kerjasama maupun kemitraan supaya program swasembada dapat dicapai secara berkelanjutan.

Kata kunci: AHP, ARIMA, gula, strategi, swasembada

ABSTRACT

The Strategy to Achieve Sugar Self-Sufficiency Program in Central Java. Supervised by Adi Hadianto.

Sugar is a food commodities that until now has not been replaced by other foodstuffs as sweetener. The aim of this research was to estimate the consumption and production of sugar in Central Java and to formulate the alternative strategy which is suitable to obtain the self-sufficiency target. This research used ARIMA method to produce an accurate short-term forecasting and AHP method to determine the right and effective strategy. The results showed that Central Java had not been able to reach self-suffiency as targeted 2014-1018 related to both problems, on-farm or off-farm. The criteria that must be increased were the yield and productivity (29%), revilatization of sugar plant (27,1%) and technology and yield measuring instrument (19,3%). To support those three criteria, the cooperation between sugar plant and farmer is needed. The cooperation could be in the forms of income sharing system, cheap and easy credit, and cooperation or partherships so that the self-sufficiency program could be obtained continously.

(5)

STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA

GULA PASIR DI JAWA TENGAH

NURUL PUSPITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini, Bapak Novindra, SP, M.Si selaku dosen penguji utama dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M,Si selaku dosen penguji akademisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dudung selaku kepala bagian arsip gula Indonesia, Ibu Dyah selaku Kabid Pengolahan Hasil Perkebunan, Ibu Respati selaku Kasbid SDAP Bidang Perekonomian, Bapak Masyhudi selaku Kasi Sarana Produksi, Ibu Riskha selaku staf Budidaya Perkebunan, Bapak Yuda selaku pemilik perkebunan tebu, Bapak Eddy selaku Dosen Universitas Diponegoro, Bapak Sugiyanto selaku Manager PG Pakis Baru yang telah membantu memberikan informasi terkait dengan penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Suprijadi, Ibu Kunarni, Mas Kunto, Mbak Lina dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan dukungannya. Terakhir penulis ucapkan terimakasih atas semangat dan dukungannya kepada Bemby, Dewi, Agustin, Nana, Amalia, Suci, Puti, Summayah, Bintang, rekan satu bimbingan, Organisasi Daerah IKMP, Wisma Sakinah, sahabat terdekat dan rekan-rekan ESL 47.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Konsep Produksi ... 11

2.2 Konsep Konsumsi ... 12

2.3 Usahatani Tebu ... 12

2.4 Perkembangan Industri Gula di Indonesia ... 13

2.5 Swasembada Gula ... 14

2.6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ... 14

2.7 Jenis Gula di Indonesia ... 15

2.8 Bongkar Ratoon ... 16

2.9 Hablur ... 17

2.10 Metode ARIMA ... 17

2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 19

2.12 Penelitian Terdahulu ... 27

III KERANGKA PEMIKIRAN... 31

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31

3.1.1 Metode ARIMA ... 31

3.1.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 33

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 35

IV METODE PENELITIAN ... 37

4.1 Waktu dan Tempat ... 37

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 37

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 37

(11)

4.3.2 Analitycal Hierarchy Process (AHP) ... 42

V MODEL ARIMA UNTUK PRODUKSI HABLUR DAN KONSUMSI GULA RUMAH TANGGA ... 45

5.1 Perkembangan Gula di Jawa Tengah ... 45

5.2 Peramalan Produksi hablur dan Konsumsi Gula ... 45

5.2.1 Identifikasi Pola Data Produksi Hablur ... 46

5.2.2 Identifikasi Pola Data Konsumsi Gula Rumah Tangga ... 51

5.3 Identifikasi Model Sementara 54 5.4 Uji Diagnostik untuk Evaluasi Model ... 56

5.5 Peramalan Produksi Hablur dan Konsumsi Gula di Jawa Tengah ... 58

5.6 Implikasi Peramalan Terhadap Produksi dan Konsumsi Gula Rumah Tangga di Jawa Tengah tahun 2014-2018 ... 58

VI STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA GULA PASIR DI JAWA TENGAH ... 61

6.1 Analisis Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah 61

6.2 Analisis Alternatif Strategi Secara Horisontal yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah ... 65

6.3 Analisis Alternatif Strategi Secara Vertikal atau Keseluruhan yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah ... 68

VII SIMPULAN DAN SARAN... 70

7.1 Simpulan ... 70

7.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1 Data realisasi giling pabrik gula di Indonesia sd Desember 2013

(MTT 2012/2013) ... 3

2 Data realisasi hasil giling pabrik gula di Jawa Tengah sd 31 Desember 2013 (MTT 2012/2013) ... 7

3 Intensitas kepentingan ... 21

4 Contoh matriks untuk pembandingan berpasangan ... 22

5 Contoh kasus matriks sederhana untuk pembandingan berpasangan 22 6 Matriks pendapatan gabungan ... 24

7 Matriks pendapatan individu ... 24

8 Nilai indeks acak matriks berorde 1 sampai dengan 15 ... 26

9 Matriks penelitian terdahulu ... 27

10 Keuntungan dalam pemecahan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP ... 34

11 Pola ACF dan PACF pada model ARIMA ... 39

12 Data produksi hablur, produktivitas hablur dan rendemen di Jawa Tengah 1993 - 2013 ... 48

13 Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Jawa Tengah tahun 2003 - 2013 ... 53

14 Model ARIMA (1,2,1) untuk data produksi hablur di Jawa Tengah . 57 15 Model ARIMA (2,2,1) untuk data konsumsi gula rumah tangga di Jawa Tengah ... 57

16 Hasil peramalan produksi hablur dan konsumsi gula RT dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ... 58

17 Hasil peramalan model ARIMA (1,2,1) untuk produksi hablur dan ARIMA (2,2,1) untuk konsumsi gula RT ... 58

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Peta Jawa Tengah ... 4

2 Pertumbuhan penduduk 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah ... 5

3 Pertumbuhan PDRB 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah ... 5

4 Kiri (Gula Putih) dan kanan (Gula Rafinasi) ... 16

5 Metode peramalan Box - Jenkins ... 32

6 Alur Pemikiran Operasional ... 36

7 Struktur hierarki strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah ... 44

8 Grafik plot data produksi hablur ... 46

9 Grafik plot data konsumsi gula RT... 52

10 Plot ACF data produksi hablur ... 54

11 Plot PACF data produksi hablur ... 55

12 Plot ACF data konsumsi gula RT ... 55

13 Plot PACF data konsumsi RT ... 56

14 Tingkat produksi dan konsumsi gula di Jawa Tengah serta hasil peramalan tahun 2010 - 2018 ... 59

15 Struktur hierarki model penentuan strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah ... 62

16 Struktur hierarki aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah ... 67

17 Bobot level pertama aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah ... 68

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah ... 77

2 Produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 – 2013 ... 80

3 Nilai Logaritma Natural (ln) produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 – 2013 ... 81

4 Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln produksi hablur tahun 1993 – 2013 ... 82

5 Grafik plot uji data statistik ADF pada Second Difference untuk data ln produksi hablur tahun 1993 – 2013 ... 83

6 Uji ACF data ln produksi hablur pada Second Difference ... 84

7 Uji PACF data ln produksi hablur pada Second Difference ... 84

8 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi hablur ... 85

9 Hasil peramalan produksi hablur tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ... 85

10 Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 ... 86

11 Grafik plot data uji statistik ADF pada Second Difference untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 ... 87

12 Uji ACF data ln konsumsi gula pada Second Difference ... 88

13 Uji PACF data ln konsumsi gula pada Second Difference ... 88

14 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi gula rumah tangga ... 89

15 Hasil peramalan konsumsi gula tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ... 89

16 Matriks bobot alternatif produk secara hoisontal ... 90

17 Struktur hierarki penentuan prioritas produk ... 91

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan tanaman asli tropika basah. Gula merupakan komoditas pangan yang sampai saat ini belum tergantikan dengan bahan pangan lainnya sebagai pemanis buatan. Gula merupakan komoditas pangan yang saat ini mempunyai prospek yang tinggi untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Rata-rata penduduk di Indonesia mengkonsumsi gula sebanyak 12-18 kg per tahun (Departemen Pertanian 2009).

Menurut Sugiyanto (2007), konsumsi gula oleh rumah tangga dapat dibedakan atas konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi gula secara langsung adalah konsumsi gula oleh rumah tangga dalam wujud aslinya guna dijadikan makanan dan minuman, sedangkan konsumsi gula secara tidak langsung adalah gula oleh rumah tangga melalui makanan dan minuman yang mengandung gula. Penggunaan gula pasir oleh industri meningkat lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi langsung oleh rumah tangga. Selain karena dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk.

Diberlakukannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1996 tentang Sistem Budidaya Tanaman, semakin memberikan tekanan terhadap industri gula nasional dimana petani bebas dalam mengusahakan lahannya. Pabrik gula di Indonesia mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku gula sehingga mengakibatkan industri gula tidak efisien. Inefisiensi menyebabkan petani beralih dari usahatani tebu ke usahatani lainnya khususnya padi, yang selanjutnya semakin memperburuk masalah kelangkaan bahan baku dan inefisiensi pabrik gula di Indonesia. Pada umumnya, petani mengusahakan lahan berdasarkan rasional ekonomi dan prioritas yang lebih cepat mengembalikan modal dan keuntungan. Hal ini mendorong konversi lahan tebu terjadi, bahan baku tebu yang berkurang berdampak pada produksi tebu di Indonesia.

(16)

minuman mendorong pemerintah Indonesia untuk mengimpor gula dari negara lain. Untuk menekan impor gula tersebut, pemerintah Indonesia mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014.

Menurut Hakim (2010), untuk mencapai swasembada gula ini perlu perubahan kebijakan yang mendasar. Tebu merupakan salah satu makanan pokok, tetapi kurang mendapat perhatian sehingga pengembangannya tidak banyak. Pengembangan yang dilakukan diantaranya harus didukung dengan teknologi seperti irigasi, high density planting, pemupukan dengan harapan produktivitas gula dan tebu di Indonesia akan meningkat.

Dilihat dari sisi Sumberdaya Alam (SDA) dan iklim, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai produsen tebu, karena tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah tumbuh meluas dan subur di daerah tropis. Hal ini terlihat dari berkembangnya perkebunan tebu yang tumbuh sejak 1940an di daerah pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang di sebelah selatan Gunung Muria hingga Juwana, Madiun, Kediri, Besuki, disepanjang Probolinggo hingga Malang, dan dari Surabaya barat daya sampai ke Jombang. Perkembangan industri gula memberikan keuntungan yang besar bagi pemiliknya dan memberikan pajak untuk pemerintah. Berkat keuntungan dari perdagangan gula, beberapa kota di Pulau Jawa bekembang pesat, seperti Semarang dan Surabaya dan kota-kota lainnya. Pengolahan tebu di Indonesia menghasilkan gula pasir sebagai produksi utama dan beberapa hasil pengolahan (Tambunan 2003).

(17)

varietas, operasional TKP (Tenaga Kontrak Pendamping) /PLP-TKP (Pembantu Lapang Petugas – Tenaga Kontrak Pendamping), serta persiapan, pengawalan dan pendampingan.

Jumlah Tebu Jumlah Hablur

Rende-Jumlah 23.504,8 1.566.479,3 99.262,0

Rata - rata 66,6 4.22 6.34

Jawa Tengah

Jumlah 57.475,1 3.971.161,5 236.834,6

Rata - rata 69,1 4,12 5,96

D.I. Yogyakarta

Jumlah 7.351,7 564.047,0 35.929,8

Rata - rata 76,7 4,89 6,37

Jawa Timur

Jumlah 215.031,9 17.496.446,9 1.241.958,6

Rata - rata 81,4 5,78 7,10

Sumatera Utara

Jumlah 9.535,1 573..877,5 37.347,0

Rata – rata 60,2 3,92 6,51

Sumatera Selatan

Jumlah 21.593,2 1.359.108,6 95.477,7

Rata - rata 62,9 4,42 7,03

Lampung

Jumlah 116.197,7 9.043.322,0 744.911,4

Rata - rata 77,8 6,41 8,24

Sulawesi Selatan

Jumlah 11.744,6 489.791,7 31.377,1

Rata - rata 41,7 2,67 6,41

Gorontalo

Jumlah 6.749,0 461.835,0 27.926,0

Rata - rata 71,6 4,98 6,41

Sumber : Perusahan – perusahaan Gula diolah Set.DGI (2014)

(18)

satu keunggulan dalam percepatan pembangunan yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Tengah. Industri yang beragam dan berkembang adalah salah satu penyumbang perekonomian yang tertinggi di Jawa Tengah, termasuk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan dasar gula.

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)

Gambar 1 Peta Jawa Tengah

(19)

Pertumbuhan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2012 pada Gambar 2.

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)

Gambar 2 Pertumbuhan penduduk 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah Terlihat pada Gambar 2 laju pertumbuhan penduduk di Jawa Tengah terjadi peningkatan, meskipun pada tahun 2010 pertumbuhan menurun yaitu 32.382.657 jiwa dan pada tahun 2012 meningkat sebesar 33.270.207 jiwa. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa penduduk Jawa Tengah sangat berkembang pesat, sehingga berbanding lurus dengan permintaan gula yang semakin meningkat.

Pada aspek kesejahteraan masyarakat pertumbuhan PDRB selama kurun waktu 2008-2012 ditunjukkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah meningkat meskipun secara perlahan, yaitu sebesar 5,61% pada tahun 2008 menjadi 6,34% pada tahun 2012, terlihat pada Gambar 3.

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)

Gambar 3 Pertumbuhan PDRB 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah

32626390 32684563

2008 2009 2010 2011 2012

Ju

2008 2009 2010 2011 2012

(20)

Pada Gambar 3, potensi Jawa Tengah yang begitu besar baik sumberdaya alam, sektor perekonomian, infrastuktur, industri, luas wilayah yang cukup besar yaitu 3.254.412 ha atau 25,04% dari luas Pulau Jawa. Sehingga berbagai potensi tersebut sangat mendukung program pemerintah mengenai swasembada gula.

Gula yang erat dikenal dengan tanaman tebu pertumbuhannya cocok di daerah tropis. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mengupayakan peningkatan areal tanaman tebu di Jawa Tengah, sehingga mampu memenuhi kapasitas seluruh industri gula di Jawa Tengah. Peningkatan areal ini harus ditunjang dari berbagai aspek baik kemampuan Sumberdaya Manusia (SDM), teknologi, sarana prasarana, bibit tanaman dan lain-lain.

Perkebunan tebu di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu: (1) wilayah Pantura Barat (Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes), pengelolaan kebun oleh Pabrik Gula (PG) pada tanaman pertama, kemudian keprasannya dilanjutkan oleh petani, serta (2) wilayah Pantura Selatan dan Timur (Sragen, Tasikmadu, Klaten, Rembang, Pati, Kudus), pengelolaan kebun oleh rakyat. Saat ini, wilayah Jawa Tengah memiliki 11 PG, 8 Pabrik Gula (PG) merupakan milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) merupakan milik swasta.

Swasembada gula ini penting karena bisa menekan impor gula dari luar negeri, dapat memenuhi kebutuhan konsumsi langsung maupun industri makanan dan minuman, meningkatkan kesejahteraan petani/produsen stakeholder, memperluas kesempatan kerja dan peluang usaha sehingga secara nyata berdampak positif terhadap pemberantasan kemiskinan.

Program pemerintah mengenai swasembada gula sangat didukung, terlihat dari Surat Edaran Gubernur Nomor 525/01568, tanggal 30 Januari 2012, tentang Pengembangan Tebu Rakyat Musim Tanam tahun 2012/2013 di Jawa Tengah. Diharapkan, seluruh bupati/walikota se-Jawa Tengah segera menjabarkan Surat Edaran Gubernur, melalui Surat Edaran Bupati/Walikota yang merinci dan menjabarkan rencana pengembangan areal tebu tersebut hingga ke tingkat lapangan.

(21)

pabrik gula lainnya di Jawa Tegah dari segi kemampuan, teknologi dan kapasitas. Berikut daftar pabrik gula yang ada di Jawa Tengah pada Tabel 2.

Tabel 2 Data realisasi hasil giling pabrik gula di Jawa Tengah sd 31 Desember 2013 (MTT 2012/2013)

Jumlah Tebu Jumlah Hablur Rende-men Jumlah 57.475,1 3.971.162,0 236.835,0

Rata - rata 69,0 4,1 5,9

Sumber : Perusahaan-perusahaan Gula diolah Set.DGI (2014)

Tabel 2 menunjukkan realisasi hasil giling pada tiap-tiap pabrik pada tahun 2013. Dari data diatas menunjukkan luas areal tebu mencapai 57.475,1 ha, jumlah tebu 3.971.162,0 ton, rata –rata produktivitas tebu 69,0 ton/ha, jumlah hablur 236.835,0 ton, rata – rata produktivitas hablur 4,1 dan rendemen 5,9 % dari total keseluruhan pabrik yang terdiri dari 8 Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) milik swasta.

(22)

Jawa Tengah adalah untuk mendukung percepatan swasembada gula dengan cepat, seiring dengan HPP gula yang mengalami kenaikan.

1.2 Perumusan Masalah

Permintaan gula secara nasional diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang berbahan dasar gula. Tetapi untuk mencukupi permintaan gula terdapat berbagai permasalahan yang perlu diatasi.

Permasalahan umum yang dihadapi industri gula meliputi on-farm dan off-farm. Disisi on-farm masalah yang cukup menonjol rendahnya produktivitas gula yang saat ini hanya mencapai kisaran 6 ton/ha, disamping itu masalah ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi (Kementrian Pertanian 2012). Begitu juga disisi off-farm dengan bertambahnya umur pabrik maka tingkat efisiensi mengalami penurunan sehingga memerlukan revitalisasi pabrik gula atau peningkatan teknologi yang terkendala dengan terbatasnya ketersediaan dana investasi untuk industri gula tersebut.

Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah namun dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Di sisi on-farm terdapat kesulitan dalam pengembangan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada, kurangnya sarana irigasi, terbatasnya pemodalan bagi produsen/petani sehingga mereka belum secara optimal dalam memanfaatkan teknologi, ketersediaan bibit dan pupuk yang harga dan mutunya belum terjamin. Di sisi off-farm tingkat efisiensi pabrik di Jawa Tengah masih dibawah standar karena terdapat pabrik peninggalan Belanda yang masih belum direvitalisasi, biaya produksi yang tinggi dan kualitas gula relatif rendah.

(23)

sistem panen, petani seharusnya memanen tebu sesuai dengan waktu tanam. Namun, kebanyakan petani memanen tebu menunggu sampai bulan Mei karena pada bulan tersebut merupakan bulan terpanas dan waktu yang paling tepat untuk memanen tebu. Panas yang baik bisa membuat rendemen tebu semakin meningkat, tetapi sebenarnya anggapan seperti itu salah. Tebu yang dipanen tidak sesuai dengan masa tanamnya akan cenderung memiliki batang kecil dan bobot timbang sedikit walaupun rendemen tinggi. Sistem distribusi dan pengetahuan inilah yang selama ini salah dalam industri pergulaan Indonesia. Sering terjadi penumpukan tebu di bulan Mei, mengakibatkan tebu yang seharusnya memiliki kualitas bagus akan berkurang rendemennya. Antrian masuk truk ke dalam pabrik membuat kemacetan disekitar tempat tersebut. Terlebih lagi kapasitas mesin sebuah pabrik berbeda-beda dan apabila terjadi penumpukan tebu kerusakan mesin akan sering terjadi sehingga menyebabkan inefisiensi dalam produksi gula. Program swasembada merupakan salah satu pemecahan masalah diatas. Dari permasalahan diatas muncul pertanyaan penelitian, yaitu :

1. Bagaimana tercapainya peramalan produksi dan konsumsi gula pasir pada program pemerintah Jawa Tengah mengenai Swasembada?

2. Bagaimana alternatif strategi untuk mencapai target swasembada?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan diatas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengestimasi produksi dan konsumsi gula pasir untuk menilai target pencapaian swasembada gula pasir Jawa Tengah

2. Merumuskan alternatif strategi untuk swasembada gula pasir.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Bagi peneliti penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

(24)

3. Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai strategi yang tepat untuk mendukung target pencapaian sesuai RPJMD tahun 2014-2018.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(25)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Produksi

Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara tingkat produksi maksimum yang dapat dihasilkan oleh setiap alternatif kombinasi input yang spesifik berdasarkan pemakaian teknologi tertentu yang tidak berubah. Model hubungan antara input dan output adalah formulasi fungsi produksi dari bentuk q =

f (K, L, M…), dimana Q merupakan barang keluaran yang mempunyai nilai tambah

(value added), K mewakili model dalam kurun waktu tertentu, L mewakili jam masukan tenaga kerja, dan M mewakili penggunaan bahan baku. Menurut Nicholson (1990) produktivitas fisik marginal dari suatu masukan adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil mempertahankan masukan tetap konstan.

Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan iklim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan yang dipakai untuk analisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh masukan itu terhadap produksi. Jika fungsi produksi diketahui, maka informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Namun biasanya petani sukar melakukan kombinasi ini, menurut Soekartawi (1990) karena :

1. Adanya ketidaktentuan mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman

2. Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar.

3. Pendugaan fungsi produksi tidak hanya diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan.

4. Data harga dan biaya dikorbankan mungkin tidak dilakukan secara pasti 5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat khusus.

(26)

Bentuk persamaan matematis dari fungsi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta satu gambaran dari semua metode produksi yang efisien.

2.2 Konsep Konsumsi

Konsumsi merupakan suatu aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen. Kegiatan konsumsi merupakan tindakan pemuasan atas berbagai jenis tuntutan kebutuhan manusia.

Untuk menganalisis konsumsi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan kardinal dan ordinal. Pendekatan kardinal menyatakan bahwa kegunaan dapat dihitung secara nominal, keputusan untuk mengkonsumsi suatu barang berdasarkan perbandingan antara manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Sedangkan pendekatan ordinal, kegunaannya tidak bisa dihitung melainkan dengan menggunakan kurva yang disebut kurva indeferens dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indiferens semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen (Manarung 2004).

2.3 Usahatani Tebu

(27)

usahatani dilakukan sendiri sehingga petani langsung dapat mengendalikan biaya usahatani. Sedangkan petani swadana, memiliki karakteristik usahatani yang lebih luas, pengelolaan usahatani yang lebih intensif, motivasi yang tinggi untuk mendapatkan keuntungan sehingga memiliki bergaining position yang lebih kuat pada pemasaran tebu dalam hal memilih PG yang memiliki kinerja lebih baik (Malian 1999). Pola sewa lahan oleh PG terbatas hanya pada lahan-lahan bengkok atau lungguh pada pamong desa, serta pada areal tanaman pangan yang sering mengalami kegagalan panen akibat hama.

2.4 Perkembangan Industri Gula di Indonesia

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), tipe pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua tipe yaitu: 1) kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana Pabrik Gula (PG) sekaligus lahan Hak Guna Usaha (HGU) untuk penanaman tebunya, dan 2) tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Pada umumnya, petani merupakan pemasok bahan baku tebu sedangkan Pabrik Gula (PG) lebih berkonsentrasi pada pengelolaan. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah sekitar 66% dari produksi gula untuk petani dan 34% untuk Pabrik Gula (PG).

Industri gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok, yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan input sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas secara ekonomi dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengelolaan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan teknologi fisikawi dan kimiawi. Sifat-sifat industri gula tersebut menerangkan bahwa pada masa sebelum perang, industri gula hanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan besar baik dalam usaha penanaman tebu maupun dalam usaha pengelolaannya.

(28)

dunia. Kedua, produktivitas pabrik gula rendah dan banyak yang tidak efisien. Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya, Husodo (2000) juga menyatakan bahwa persoalan makro pergulaan nasional adalah 1) yang wajar bagi produsen tanpa memberatkan konsumen, dan 2) dalam jangka panjang: bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional, dan mengarah pada swasembada dan ekspor.

Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula nasional. Dilihat dari jumlah pabrik gula secara nasional, sekitar 80% pabrik gula berada di Pulau Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60% dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula (sekitar 80%) dihasilkan oleh petani tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan sebagian lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi.

2.5 Swasembada Gula

Swasembada gula adalah suatu keadaan tercukupinya kebutuhan konsumsi gula dalam negeri oleh produksi gula nasional (Dinas Perkebunan 2012). Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia yang akan ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: 1) tahap jangka pendek (sampai dengan 2009), pencapaian swsembada ditujukan untuk memenuhi konsumsi langsung rumah tangga (swasembada gula konsumsi), sedangkan kebutuhan gula industri sepenuhnya dipasok dari gula impor, 2) tahap jangka menengah (2010-2014), pada tahap ini produksi gula dalam negeri sudah dapat memenuhi konsumsi gula dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga, industri, dan sekaligus dapat menutup neraca perdagangan gula nasional (swasembada gula nasional, dan 3) tahap jangka panjang (swasembada gula berdaya saing) mulai tahun 2015 sampai dengan 2025, difokuskan pada modernisasi industri berbasis tebu melalui pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah (Kementrian Pertanian 2012).

2.6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

(29)

daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gubernur yang menjabat di Jawa Tengah berkewajiban untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman kepada Rencana Pembanguan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

Surat Edaran Gubernur merupakan salah satu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah tahun 2014-2018. Perencanaan pembangunan daerah merupakan upaya dalam memberdayakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan potensi yang dimiliki daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya RPJMD menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), yang dijabarkan menjadi kebijakan, program strategis dan operasional dalam rangka menangani isu strategis dan peningkatan pelayanan publik untuk jangka 5 tahun termasuk Surat Edaran Gubernur dalam mencapai swasembada gula yang mencakup produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga.

2.7 Jenis Gula di Indonesia

Gula di Indonesia terdiri dari tiga jenis ( GKM, GKR dan GKP). Gula ini dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commision For Uniform Methods of Sugar Analysis). ICUMSA merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyusun metode analisis kualitas gula dengan anggota lebih dari 30 negara. Warna gula ICUMSA telah membuat rating atau grade kualitas warna gula. Sistem rating berdasarkan warna gula yang menunjukkan kemurnian dan banyaknya kotoran dalam gula tersebut.

1. Raw Sugar (Gula Kristal mentah)

(30)

2. Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi)

Refined Sugar merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat secara langsung dikonsumsi manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi memiliki standar mutu khusus yaitu mutu 1 memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 memiliki nila ICUMSA 46

– 806. Gula rafinasi inilah yang digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman.

3. White Sugar (Gula Kristal Putih)

Gula Kristal putih memiliki ICUMSA antara 250 -450 IU. Departemen Perindustrian mengelompokkan gula Kristal putih menjadi tiga bagian yaitu Gula Kristal Putih 1 (GKP 1) dengan nilai ICUMSA 250, Gula Kristal Putih 2 (GKP 2) dengan nilai ICUMSA 250 – 350 dan Gula Kristal Putih 3 (GKP 3) dengan nilai ICUMSA 350 -4507. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna gula tersebut dan rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik – pabrik gula didekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan.

Sumber : agrirafinasi.org

Gambar 4 Kiri (Gula Putih) dan kanan (Gula Rafinasi)

2.8 Bongkar Ratoon

(31)

tanaman tahun pertama (PC/Plane Cane), setelah tanaman pertama panen/sistem kepras pada pangkal batang menjadi tanaman tahun ke dua (R1/Ratoon 1). Tanaman tahun kedua dipanen/dikepras menjadi tanaman ke tiga (R2/Ratoon 2), demikian seterusnya sampai tanaman tersebut dibongkar dan kembali pada tanaman pertama atau Plane Cane . Tanaman tebu pengganti merupakan varietas tebu yang bersertifikat dan direkomendasikan oleh P3GI. Penanaman varietas unggul tersebut diikuti dengan pengairan dan rasionalisasi pemupukan. Dengan cara demikian diharapkan tanaman tebu memiliki produktivitas yang tinggi (Nastiti 2009).

2.9 Hablur

Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Hablur yang dihasilkan mencerminkan dengan rendemen tebu. Dalam prosesnya rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen tinggi, tanaman tebu harus merupakan varietas yang unggul. Namun sebaik apapun tebu yang ditanam, jika pabrik dalam pengolahannya tidak baik maka hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang.

2.10 Metode ARIMA

Metode peramalan Box-Jenkins adalah suatu metode yang tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi dibanding peramalan lainnya (Assuari 1984). Box-Jenkins merupakan metode peramalan yang berbeda dengan metode-metode lainnya, karena model ini mengasumsikan pola variasi data historis deret yang diramalkan. Model ini sangat cocok untuk residual yang kecil. Jika model yang diterapkan kurang memuaskan, prosesnya diulangi menggunakan model baru yang dirancang untuk memperbaikinya dan hingga model yang didapat memuaskan (Hanke 2005).

(32)

untuk melakukan forecast. Model ARIMA berbeda dengan model regresi biasa dalam melakukan forecasting, dengan model regresi biasa dibutuhkan peramalan mengenai independen variabel. ARIMA sangat bermanfaat dalam peramalan jangka pendek. Dalam ARIMA diperlukan kestasioneran data yang dimodelkan dalam deret waktu. Deret waktu dikatakan stasioner apabila pola data konstan dari waktu ke waktu. Data yang tidak stasioner pada nilai tengah dapat diatasi dengan diferensiasi derajat (d) pertama dan kedua dan pada derajat keberapa data tersebut mencapai kestasioneran. Sedangkan data yang tidak stasioner dapat diatasi dengan transformasi.

Tahapan dalam ARIMA

Ada beberapa tahapan dalam model ARIMA: 1. Identifikasi dari model

a. Identifikasi dari kestasioneran data b. Identifikasi ordo ARIMA

2. Estimasi parameter dari model yang telah dipilih sesuai hasil identifikasi 3. Diagnostic checking dan pemilihan model yang terbaik, berdasarkan

kriteria:

a. Memiliki koefisien yang signifikan secara statistik b. Memiliki error yang random

c. Memiliki standar error of regression yang paling kecil 4. Forecasting

Seansonal ARIMA (SARIMA) merupakan metodologi serupa yang dikembangkan oleh Box-Jenkins. Prosedur dilakukan pada dasarnya sama dengan model ARIMA. Perbedaannya terletak pada proses pembedaan serta identifikasi perilaku ACF dan PACF data deret mengandung unsur musiman. Suatu deret waktu musiman (seasonal time series) harus stasioner terlebih dahulu sebelum diestimasi dalam suatu model peramalan. Jika plot data asli mengandung trend, maka pembedaan perlu dilakukan untuk mentransformasi data asli menjadi data stasioner, baik pembedaan pertama atau kedua, yaitu

Zt = ΔYt = Yt – Yt-1 ……… (2.1) atau

(33)

Pembedaan diatas dilakukan baik terhadap data level yang disebut pembedaan regular (regular differenced), maupun pembedaan terhadap deret waktu yang sudah mengalami pembedaan musiman (seasonal difference). Pembedaan musiman adalah pembedaan yang dilakukan terhadap bagian musimannya. Dalam prosedur peramalan data musiman diperlukan plot data asli untuk melihat variasi musiman signifikan pada data yang dianalisis (Firdaus 2006).

2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya.

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin 2011).

Adapun konsep dasar matematis yang dipakai dalam AHP adalah matriks. Kerangka kerja AHP terdiri dari delapan langkah utama (Saaty, 1991) yang akan dijabarkan sebagai berikut:

(34)

dan dapat dilakukan dengan memperoleh informasi yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi.

2. Struktur hierarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh (dari tingkat puncak sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan tersebut).

Penyusunan hierarki berdasarkan pada jenis keputusan yang akan diambil, dimana setiap elemen dalam hierarki menduduki satu tingkat hierarki. Pada tingkat puncak hierarki hanya terdiri dari satu elemen yang disebut fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, yang berjumlah antara lima sampai sembilan elemen, agar dapat dibandingkan dengan elemen - elemen yang berada diatasnya. Tahap ini tetap melibatkan responden dengan tujuan agar responden mulai memahami alur pertimbangan yang akan dilakukan berdasarkan struktur hierarki yang dihasilkan.

3. Membuat sebuah matriks banding berpasangan untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat diatasnya.

Dalam matriks ini pasangan-pasangan elemen dibandingkan berkenaan dengan suatu kriteria ditingkat yang lebih tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, hal yang dipertimbangkan adalah dengan menunjukan dominasi sebagai suatu bilangan bulat. Dan pada matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukan bilangan tersebut dan satu tempat lain untuk memasukan nilai resiprokalnya. Jadi jika suatu elemen tidak berkontribusi lebih dari elemen lainnya, elemen lainnya ini pasti berkontribusi lebih dari elemen tersebut. Bilangan ini dimasukan dalam tempat yang semestinya dalam matriks dan nilai kebalikannya dalam tempat yang lain pada matriks.

4. Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks di langkah 3.

(35)

fokus goal. Pembandingan berpasangan antar elemen dilakukan dengan pertanyaan. Seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi oleh fokus goal dibandingkan dengan kolom ke-j. Untuk mengisi matriks banding berpasangan digunakan skala banding yang dijelaskan pada Tabel 3.

Pada Tabel 3, intensitas kepentingan apabila bobot nilai 1 maka kedua aktivitas A dan B memberikan kontribusi yang sama atau sama penting. Bobot nilai 3 maka aktivitas A sedikit lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 5 maka aktivitas A lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 7 maka aktivitas A sangat jelas lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 9 aktivitas A mutlak lebih penting dari aktivitas B.

Tabel 3 Intensitas kepentingan

Intensitas Kepentingan

Definisi Penjelasan

1 Equal Importance Dua aktivitas memberikan kontribusi

sama terhadap tujuan (A dan B sama penting)

3 Moderate

Importance

Pengalaman dan penilaian memberikan nilai tidak jauh berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya (A sedikit lebih penting dari B)

5 Strong Importance Pengalaman dan penilaian

memberikan nilai kuat berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya (A lebih penting dari B)

7 Very Strong

Importance

Satu aktivitas sangat lebih disukai dibandingkan aktivitas lain (A sangat jelas lebih penting dari B)

9 Extreme Importance Satu aktivitas secara pasti menempati

urutan tertinggi dalam tingkatan preferensi (A mutlak lebih penting dari B)

2,4,6,8 Nilai kompromi atas nilai-nilai di atas

Penilaian kompromi secara numeris dibutuhkan semenjak tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan

Sumber : Marimin (2010)

(36)

Tabel 4 Contoh matriks untuk pembandingan berpasangan

Sumber : Saaty (1991)

Tabel 5 Contoh kasus matriks sederhana untuk pembandingan berpasangan

C

(37)

Matriks di bawah diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Misalnya elemen F11 memiliki nilai 1 artinya antara peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) horisontal dan peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) vertikal sama pentingnya. Nilai elemen F21 adalah kebalikannya, yaitu 1/2 artinya meningkatkan mutu pabrik (F2) dua kali lebih penting dari peningkatan rendemen dan produktivitas (F1), setelah itu prioritas dicari dan konsistensinya diuji. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat Tabel 5.

6. Melakukan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki.

Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen atau elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki, berkenaan dengan kriteria elemen di atas. Ada dua macam matriks pembanding yang dipakai dalam AHP, yaitu:

a. Matriks Pendapat Gabungan (MPG)

Matriks baru yang elemennya berasal dari rata-rata geometrik pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 0.1 atau 10%. Elemen disimbolkan oleh Gij yaitu elemen matriks baris ke-i dan kolom ke-j. Pada gambar 3 dapat dilihat matriks pendapat gabungan. Syarat-syarat MPG yang bebas dari konflik tersebut adalah:

a. Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai dari pendapat individu yang tertinggi dengan yang terendah.

b. Tidak terdapat angka kebalikan pada baris dan kolom yang sama. Rumus matematika untuk rata-rata geometrik:

Gij =�√∏ =1 � �………..……….… (2.3)

Gij = elemen MPG baris ke-i kolom ke-j

(Fij) = elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-1

(38)

Tabel 6 Matriks pendapatan gabungan

Sumber : Saaty (1991)

b. Matriks Pendapat Individu (MPI)

MPI adalah matriks pembandingan oleh individu. Elemennya disimbolkan oleh aij yaitu elemen matriks baris ke-i dan kolom ke-j. Contohnya pada F25 maka meningkatakan mutu petani (F2) dibandingkan dengan peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5), dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Matriks pendapatan individu

C

Sumber : Saaty (1991)

(39)

berikutnya dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruhkan untuk tingkat hierarki paling bawah. Jika hasilnya ada beberapa buah, boleh diambil nilai rata-rata aritmatiknya.

Pada tahap ini, pengolahan hierarki terdiri dari dua tahap yakni:

1. Tahap pengolahan horizontal, yaitu penentuan vektor prioritas, uji konsistensi dan revisi pendapat jika diperlukan. Adapun rumus dan tahapan dalam tahap pengolahan horizontal adalah sebagai berikut:

 Perkalian baris (Z)

Zi = �√∏ =1� ………...…... (2.4)

(i,j = 1,2,3,4,5)

 Perhitungan vektor prioritas atau eigen vektor

eVPi = √∏ �

� = �

∑�= ∏�= � ……….……. (2.5)

eVPi adalah elemen vector prioritas ke-i

 Perhitungan eigen maks

VA = (aij) x VP dengan VA = (Vai)………...…. (2.6) VB = VA/VP dengan VB = (Vbi)……….… (2.7) max = 1 ∑1= �� untuk I = 1, 2, 3, 4, 5 ………...…………. (2.8) VA = VB = Vektor Antara

 Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) CI = � max −

−1 ……….………. (2.λ)

 Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) CR = ��

� ………....………... (2.10)

RI : Indeks acak yang dikeluarkan oleh Oakridge Laboratory

(40)

Tabel 8 Nilai indeks acak matriks berorde 1 sampai dengan 15

Sumber: Ferwidarto (1996)

2. Tahap pengolahan vertikal yakni menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila CVij diartikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama maka,

NP pq = ∑ =1��� �, − 1 × ��� � − 1 Untuk p = 1,2,3,4,5

t = 1,2,3,4,5 Dimana :

NP pq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPH = nilai prioritas elemen ke-q pada tingkat ke-q

NPTt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1

(41)

2.12 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Data yang digunakan merupakan data deret waktu dengan rentan waktu dari tahun 1993 hingga 2013. Pada tiap peramalan, metode yang digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan program Minitab version 14 dalam mencari model ARIMA yang paling baik menggunakan program Eviews 6 untuk dapat melihat produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga untuk mencapai program pemerintah Jawa Tengah dalam swasembada gula tahun 2014-2018. Penelitian ini juga memberikan strategi untuk pencapaian swasembada kepada pemerintah dengan secara langsung, dengan melakukan wawancara kepada stakeholder yang terkait langsung dalam membuat keputusan baik pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Kepala Bidang Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, manager salah satu pabrik gula, pemilik perkebunan tebu, dan akademisi salah satu universitas di Jawa Tengah. Dalam penyusunan strategi menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) yang diolah menggunakan metode Expert Choice.

Tabel 9 Matriks penelitian terdahulu

Judul/Peneliti Tujuan Metode Keterangan

(42)

Judul/Peneliti Tujuan Metode Keterangan

(43)
(44)

Judul/Peneliti Tujuan Metode Keterangan 3. Merekomendasikan

kebijakan yang dapat

dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan.

Assesment (RIA). Menganalisa faktor yang mempengaruhi harga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS)

gejala penurunan daya saing, sehingga

kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula domesti. Oleh karena itu, kebijakan

proteksi dan promosi harus didukung dengan kebijakan lain untuk

(45)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai acuan berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam menentukan Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah antara lain metode Box-Jenkins (ARIMA) dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

3.1.1 Metode ARIMA

Metode peramalan Box-Jenkins atau biasa disebut ARIMA sangat baik ketepatannya untuk peramalan jangka pendek, yang membentuk model struktural baik itu persamaan tunggal atau simultan yang berbasis pada teori ekonomi atau logika, namun dengan menganalisis probabilistik atau stokastik dari deret waktu (time series) dengan menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dengan mengabaikan variabel independennya.

Beberapa keuntungan model ARIMA :

1. Merupakan model tanpa teori karena variabel yang digunakan adalah nilai-nilai lampau dan kesalahan yang mengikutinya

2. Memiliki tingkat akurasi peramalan yang cukup tinggi karena setelah mengalami pengukuran kesalahan peramalan mean absolute error, nilainya mendekati nol.

3. Cocok digunakan untuk meramal sejumlah variabel dengan cepat, sederhana, akurat dan murah karena hanya membutuhkan data variabel yang akan diramal. Selain memiliki keunggulan, metode ARIMA juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Adapun beberapa kekurangan yang dimiliki oleh model ARIMA adalah :

(46)

2. Tidak terdapat cara yang mudah untuk memperbaharui model ARIMA begitu data baru tersedia. Model harus secara berkala disesuaikan kembali secara menyeluruh dan kadang model baru harus dikembangkan.

Model ARIMA ini menggunakan pendekatan interatif dalam identifikasi terhadap suatu model. Model yang dipilih diuji lagi dengan data masa lampau untuk melihat apakah model tersebut menggambarkan keadaan data secara akurat atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, ARIMA dikembangkan dalam suatu diagram skema untuk dapat menggambarkan pendekatan ini. Diagram tersebut dapat dilihat di Gambar 5.

Sumber : Firdaus (2011)

Gambar 5 Metode peramalan Box - Jenkins

Pada Gambar 5, langkah awal dalam melakukan peramalan Box – Jenkins yaitu merumuskan model umum dan menguji kestasioneritasan data. Selanjutnya mengidentifikasi model tentatif (sementara) dengan memilih (p,d,q), berikutnya mengestimasi parameter model, setelah itu pemeriksaan uji apakah model yang kita

Rumuskan model umum dan uji stasioneritas data

Identifikasi model tentatif (sementara) dengan memilih (p,d,q)

Estimasi parameter model

Pemeriksaan (uji) diagnosa apakah model memadai?

(47)

punya itu mamadai atau tidak apabila tidak prosesnya harus diulangi lagi dari mengidentifikasi model. Setelah model yang kita punyai sudah mamadai, maka model tersebut dapat digunakan untuk peramalan.

3.1.2 Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan alat untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam suatu pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan – keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu AHP menguji konsistensi penilaian jika terjadi penyimpangan lebih jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal tersebut perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang.

AHP mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Reciprocal Comparison

Matriks perbandingan berpasangan yang berbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting daripada B maka B adalah 1/k kali lebih penting dari A.

2. Homogenity

Kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat.

3. Dependence

Setiap jenjang (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). 4. Expectation

(48)

Tabel 10 Keuntungan dalam pemecahan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP

Kesatuan AHP memberikan satu model tunggal

yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstuktur.

Kompleksitas AHP memadukan ancangan deduktif

dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

Saling ketergantungan AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linear.

Penyusunan hierarki AHP mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah-milah elemen sautu sistem dalam berbagai

tingkat berlainan dan

mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

Pengukuran AHP memberi suatu skala untuk

mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas. Konsistensi AHP melacak konsistensi logis dari

pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan prioritas.

Sintesis AHP menuntun ke suatu taksiran

menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

Tawar menawar AHP mempertimbangankan

prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka.

Penilaian dan konsensus AHP tidak memaksakan konsensus, tetapi mensintesiskan sesuai hasil yang representatif dari berbagai pnelitian yang berbeda.

Pengulangan proses AHP memungkinkan oganisasi

memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

(49)

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Gula merupakan komoditas yang penting baik untuk konsumsi langsung dan untuk kegiatan produksi industri makanan dan minuman. Sejak tahun 1967 sampai sekarang Indonesia sudah tidak mampu lagi memenuhi permintaan gula domestik akibat berbagai kendala yang menimpa perindustrian gula Indonesia. Permasalahan yang menyebabkan turunnya produksi gula domestik antara lain disebabkan oleh menurunnya luas areal tanaman tebu serta produktivitas tebu yang dihasilkan, rendahnya produktivitas pabrik gula serta manajemen pabrik gula yang tidak efisien adalah pemicu rendahnya produksi gula nasional (Nainggolan 2005).

Beberapa faktor diatas ditambah lagi rendahnya teknologi, kualitas mutu petani, sistem bagi hasil yang kurang sesuai antara pabrik dan petani, pengetahuan petani dalam mengelola tanaman tebu mereka, pendistribusian, sehingga pemerintah membuat keputusan mengenai program swasembada Jawa Tengah. Apabila faktor-faktor tersebut tidak diperbaiki maka program swasembada tersebut tidak akan tercapai dan akan merugikan baik pihak pabrik maupun petani.

(50)

Gambar 6 Alur Pemikiran Operasional - Konsumsi

- Penduduk - Tingkat

Pendapatan - Industri

berkembang

- Luas areal - Distribusi - Teknologi - Pengetahuan

petani

- Sistem bagi hasil

Target Pencapaian Swasembada

Analisis Produksi dan Konsumsi (ARIMA)

Peramalan Swasembada

Strategi Swasembada (AHP)

(51)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari – Maret 2014. Pengambilan data yang berupa data produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga yang dimiliki tiap pabrik gula dari tahun 1993-2013 diperoleh dari Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengambilan data primer juga dilakukan pada tujuh responden yang merupakan stakeholder, data primer diambil di Dinas Perkebunan Jawa Tengah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Pabrik Gula Laju Perdana Indah.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan sekunder. Data primer berupa data kualitatif yang diperoleh dari personal judgement dari peneliti setelah itu pemberian kuisioner kepada ke tujuh responden yaitu Kepala Bidang Pengelolaan Hasil Perkebunan, Kepala Sub Bidang SDAP Bidang Perekonomian, Kepala Seksi Sarana Produksi, Staf Budidaya Perkebunan, Manager Pabrik Gula (PG) Pakis Baru dan akademisi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa data produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga yang dimiliki oleh 8 Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) milik swasta dari tahun 1993-2013.

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data sekunder diolah menggunakan program Eviews 6 dan Minitab14 untuk memproyeksikan data yang dimiliki tiap pabrik gula dari tahun 1993-2013 model yang digunakan adalah metode ARIMA. Penggunaan metode AHP dengan menerapkan pendekatan matematis yang kompleks, namun berdasarkan pendekatan kualitatif yang dapat diterima oleh semua stakeholder dan pengelola program, pengolahan data menggunakan program Expert Choice.

4.3.1 Metode ARIMA

(52)

membuat peramalan dan menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen.

Peramalan model Autoregressive (AR) didasarkan pada fungsi dari pengamatan nilai masa lalu dalam jumlah terbatas, sedangkan peramalan model Moving Average (MA) berdasarkan kombinasi linear galat masa lalu dalam jumlah terbatas. Gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan membentuk model ARIMA (p, d, q) dimana p adalah ordo dari AR, d merupakan ordo dari intregasi dan q adalah ordo dari MA. Bentuk dasar dari model ARIMA adalah (Hanke 2005)

Model Autoregressive (AR) :

Yt = ϕ0 + ϕ1 Yt -1 + ϕ2 Yt – 2 + … + ϕp Y t-p + ɛt ……… (4.1) Model Moving Average (MA) :

Yt = + ɛt –ω1 ɛt – 1 –ω2 ɛt - 1 - ... –ωq ɛt – q ……….. (4.2) Model ARMA (p,q) :

Yt = ϕ0 + ϕ1 Yt - 1 + ϕ2 Yt – 2 + … + ϕp Yt – p + ɛt –ω1 ɛt - 1 –ω2 ɛt – 2 –… - ωq ɛt – q (4.3) Model ARIMA (p,d,q) :

φ(B)ΔdYt = + ϕ (B) et ……… (4.4)

Dimana :

Yt : variable dependen pada waktu ke-t

Yt – 1, Yt – 2, …, Yt – p : variable time lag

ϕ0, ϕ1, ϕ2, …, ϕp : koefisien yang diestimasi

ɛt : error term pada period ke-t

: konstanta

ω1, ω2, …, ωq : koefisien yang diestimasi

ɛt – 1, ɛt – 2, …, ɛt – q : error dari time lag

Model ARIMA dibentuk melalui rangkaian tahapan sebagai berikut: 1. Identifikasi model

(53)

dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF) melalui pengamatan pola AFC dan PACF dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Pola ACF dan PACF pada model ARIMA

Model AFC PACF

MA (q) Terpotong (cut off) setelah lag q (q=1 atau q=2)

Perlahan-lahan menghilang (dies down)

AR (p) Perlahan-lahan menghilang (dies down)

Terpotong (cut off) setelah lag q (q=1 atau q=2)

ARMA (p,q) Perlahan-lahan menghilang (dies down)

Perlahan-lahan menghilang (dies down)

Sumber : Hanke (2005)

Apabila data yang menjadi model input tidak stasioner , perlu dilakukan modifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang digunakan adalah metode differencing. Second order difference dilakukan apabila pada first order difference data belum juga stasioner (Firdaus 2006).

First order difference : ΔYt = Yt – Yt – 1 ………. (4.5) Second order difference : Δ2Yt = Δ(ΔYt) = Δ(Yt - Yt–1)

= Yt – 2Yt – 1 + Yt – 2 … (4.6) 2. Estimasi Parameter Model

Setelah melalui proses identifikasi model melalui uji ADF, dilakukan estimasi parameter model dengan menentukan terlebih dahulu ordo maksimum dari AR dan MA dengan melihat ACF untuk ordo MA (q) dan PACF untuk ordo AR (p). Ordo dari integrasi (d) juga harus ditentukan. Ada dua cara mendasar yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter-parameter tersebut, yaitu:

a. Dengan cara mencoba-coba (trial and error)

Melakukan pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantaranya yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat) yang minimum (sum squared residual).

b. Perbaikan secara iterative (pengulangan)

(54)

(berulang). Metode ini lebih banyak dilakukan dan telah tersedia alogaritma (proses komputer) yang kuat dan dapat digunakan.

3. Pengujian Parameter Model

Sebelum menggunakan model untuk peramalan, model hendaknya diperiksa terlebih dahulu kecukupannya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model-model yang telah diestimasi pada tahap sebelumnya, sesuai dengan kombinasi model ARIMA.

Pengujian parameter model terdiri dari:

 Pengujian masing-masing parameter model secara parsial

 Pengujian model secara keseluruhan 4. Pemilihan model terbaik

Model harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang terbaik, yaitu (Firdaus 2006):

a) Residual bersifat acak dan tersebar normal

Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokolerasi residual dapat menggunakan uji statistic Ljung Box (Q).

Hipotesis:

H0: ρ1 = ρ2 = ρm = 0 H1: ρ1 ≠ρ2 ≠… ≠ρm ≠ 0 Statistik Uji:

Q = n(n + 2) ∑

− ………...… (4.7)

Dimana:

n = jumlah observasi k = selang waktu

m = jumlah selang waktu uji

rk = fungsi autokolerasi sampel dari residual berselang k kesimpulan:

(55)

b) Berlaku prisip parsimonious

Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang memiliki jumlah parameter terkecil.

c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol Dengan menngunakan t-rasio.

Hipotesis:

H0 : tidak terdapat autokolerasi pada deret waktu (H0 : ρk = 0) H1 : terdapat autokolerasi yang nyata pada selang ke-k (H1 : ρ1 ≠0) Statistik Uji:

t = −�

√�� � �� , atau sama dengan t = � ……….... (4.8) dimana:

k = lag atau selang n = jumlah observasi kriteria uji :

statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n-1). Untuk α tertentu dari table Tα/2 (n-1) atau pada tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan pengalaman dapat menggunakan t-table = 2 sebagai nilai kritis untuk menguji ρk Kesimpulan :

Bila t hitung > Tα/2 (n-1) (dapat disimpulkan tolak H0) atau jika nilai absolut dari t hitung < 2 berarti tidak ada autokolerasi.

d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas

Zt adalah fungsi linear dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2, …) dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner, maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah dihilangkan. Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linear dari galat masa kini dan masa lamapu.

Zt = + ɛt - θ1 ɛt-1 –θ2 ɛt – 2 - … - θq ɛt – qs ………...… (4.9) Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1

Θ1 + Θ2 + …+ Θq < 1 (kondisi invertibiliti) ……….. (4.10)

(56)

Jumlah koefisien AR harus selalu kurang dari 1

Φ1 + Φ2 +… + Φp < 1 (kondisi stasioner) ………. (4.12)

e) Proses iterasi harus konvergen

Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada session akan terdapat pertanyaan relative change in each estimate less than 0,0010.

f) Nilai MSE model harus kecil

MSE = 1∑ =1ɛ ……… (4.13)

Semakin kecil nilai MSE, menunjukan model secara keseluruhan lebih baik.

Suatu model dikatakan baik apabila model tersebut memenuhi kriteria-kriteria yang telah diuraikan. Model tersebut dianggap sebagai model terbaik yang mampu menggambarkan hubungan antar variabelnya baik variabel dependen dengan variabel independen maupun hubungan antar variabel independen.

5. Peramalan

Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan model terbaik yang memenuhi kriteria pada poin 4 untuk menjadi model terbaik. Peramalan dilakukan untuk memenuhi nilai pada masa yang akan datang sehingga membantu memberi gambaran keadaan pada masa yang akan datang yang berguna dalam perencanaan suatu kebijakan.

4.3.2 Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Model Analitycal Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Model yang berada di wilayah probabilistik ini merupakan model pengambilan keputusan dan perencanaan strategis. Ciri khas dari model ini adalah penentuan skala prioritas atas alternatif pilihan berdasarkan suatu proses analitis berjenjang, terstruktur atas variabel keputusan.

(57)

sintesa prioritas (synthesis of priority) dan prinsip konsistensi logis (logical consistency).

1. Decomposition, yaitu pemecahan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan (hierarki) dari persoalan tadi.

2. Comparative Judgement. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian itu merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penelitian disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison.

3. Synthesis of Priority. Pada setiap matriks pairwise comparison terdapat prioritas lokal. Oleh karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan keseluruhan prioritas harus dilakukan sintesa diantara prioritas lokal tersebut. Pengurutan elemen-elemen tersebut menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting.

Gambar

Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln
Tabel 1 Data realisasi giling pabrik gula di Indonesia sd Desember 2013 (MTT 2012/2013)
Gambar 1 Peta Jawa Tengah
Gambar 3 Pertumbuhan PDRB 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah
+7

Referensi

Dokumen terkait

IV.4.7.8 Analisis Tabulasi Silang Antara yang Pernah Mengakses website emosijiwaku.com dengan Motif kegunaan

Berdasarkan hasil temuan data pada motif dan kepuasan sosial, diketahui bahwa keinginan dan kepuasan yang didapatkan dalam mengakses akun infia_fact adalah untuk

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang menggunakan hubungan Daya Ledak Otot Tungkai mempunyai hubungan dengan kecepatan tendangan T dari 10 orang

Lembar Kegiatan Siswa berbasis life skill merupakan lembaran yang berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan menggali informasi, mengolah informasi tentang

12 M. Nu’am Yasin, Fikih Kedoktern di terjemahkan oleh Munirul Abidin, h.194.. bagi Donor yang hidup adalah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital

“Manajemen Pengelolaan Buku di Micro-Library Sembulang, Batam, Kepulauan Riau”. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca masyarakat, terutama para pelajar,

Karena tugas pendidik adalah membantu peserta didik mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki hingga mencapai kedewasaan dan peserta didik adalah sebagai pihak yang

Hasil pengujian statistik menunjukkan tingkat signifikansi VAIC sebesar 0,076 yang lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05 sehingga tidak dapat membuktikan bahwa