• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Identifikasi Vandalisme Dalam Ruang Publik

Fasilitas umum digunakan bersama oleh siapa saja dengan secara cuma-cuma atau tanpa dipungut biaya. Fasilitas ini sering dipakai setiap hari-nya tanpa henti, oleh karena itu, perawatan-nya sangatlah penting. Apabila terjadi kerusakan, maka dapat mengurangi estetika, member kesan tidak terawatt, serta mengurangi rasa aman. Terlebih untuk fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan, daerah wisata, dan lain-lain bila terlihat ada bagian yang cacat atau rusak, tidak akan memberi kesan nyaman pada pengunjung.

Secara teknis, yang bertanggung jawab dalam perawatan fasilitas umum adalah dinas pemerintah kota, namun masyarakat juga turut andil dalam perawatan, karena mereka-lah yang menggunakannya, sehingga mereka yang lebih membutuhkan. Terlebih, dana perawatan juga berasal dari pajak rakyat. Selain kegiatan Vandalisme, ada pula kegiatan lain yang kadang disangkut-pautkan pada Vandalisme, yaitu seni jalanan atau biasa disebut street art. Yang dapat berupa street art antara lain mural, graffiti, stencil, dan lain-lain. Street art bukanlah salah satu tindakan Vandalisme murni, melainkan suatu gerakan seni dimana media utama diterapkan pada jalanan. Street art dapat dikategorikan vandalism, apabila penerapan dilakukan di tempat yang tidak layak, dalam artian memang tidak diizinkan oleh pemilik atau pemerintah untuk dirubah-rubah. Hal yang mendasari “vandalisme” ini karena para seniman jalanan memilih tembok karena ukurannya yang luas. Dan juga, seperti seniman pada umumnya, mereka ingin menunjukkan karya mereka, ingin diapresiasi, karena itu tembok tempat umum adalah tempat yang sangat sesuai. Karena itulah,

beberapa street art terkadang mengandung pesan terhadap kondisi Negara pada saat itu.

Adapun pelaku vandalisme beragam, namun dari yang sebelum-sebelumnya pernah tertangkap basah melakukan adalah anak-anak remaja, umur berkisar SMP-SMA atau sekitar 13-17 tahun. Pelaku biasanya adalah anak jalanan, tetapi yang bersekolah juga termasuk. Terutama mereka yang senang nongkrong di pinggir jalan. Hal ini dibuktikan dari beberapa

vandalisme ada yang menuliskan nama sekolah mereka.

Sejarawan dan dosen sejarah Universitas Negeri Semarang, Tsabit Azinar Ahmad menyatakan, selain ruang kreatif, memfungsikan Kota Lama menjadi living monument bisa menjadi salah satu pilihan agar kawasan tersebut terjaga. Ia menilai perilaku mencorat-coret muncul karena bangunan tersebut tidak difungsikan. Namun, bangunan di kawasan tersebut sebagian besar merupakan milik pribadi. Untuk itu, perlu ada regulasi yang kemudian dijalankan bersama untuk melindungi bangunan. Beliau mendukung ruang terbuka yang diperuntukkan khusus untuk meminimalisasi aksi Vandalisme, seperti adanya sebuah wilayah yang diperbolehkan untuk berkreasi.

Dilain pihak, penggagas Komunitas Hysteria, Adin, memberi sejumlah rambu-rambu terkait gagasan tersebut. Menurutnya, para pelaku

vandalisme akan terus ada sampai kapan pun meski telah disediakan

tempat untuk berkreasi, karena itu dialog justru menjadi langkah efektif untuk menggandeng mereka. Beliau beranggapan bahwa anak-anak seperti itu punya dan patuh pada “pemimpinnya”. Tetapi, Ia menilai penyediaan ruang terbuka kreatif tetap menjadi salah satu hal yang terus didorong agar kawasan Kota Lama tetap terjaga.

Ada beberapa aksi melawan Vandalisme dari masyarakat kota Semarang sendiri, dikutip dari Suara Merdeka, 13 April 2015, pada hari sabtu tanggal 11 April, puluhan remaja siswa SMA 4 Semarang melakukan aksi anti-Vandalisme di GOR Jatidiri. Kepala Sekolah Magang SMA 4 Semarang, Indah D. Wardani mengatakan, kegiatan itu merupakan

aksi nyata mengampanyekan gerakan cinta lingkungan. Menurutnya, aksi ini merupakan bentuk keprihatinan siswa dengan banyaknya coretan

Vandalisme di beberapa fasilitas umum. Peserta berkisar 60 pelajar, dari

perwakilan OSIS, Pramuka, Paskibra, dan Remaja SMA Pecinta Alam (Resmapala). Beliau mengatakan bahwa ini merupakan aksi nyata mengampanyekan gerakan cinta lingkungan. Beliau yakin para pelaku adalah generasi muda. Jadi, melalui aksi ini mereka mengajak para remaja untuk lebih peduli kepada lingkungan. Coretan yang dihasilkan menjadikan kesan kumuh dan kotor. Padahal, fasilitas umum yang dibangun untuk kepentingan masyarakat. Menurutnya , kalau memang kreatif, harus disalurkan pada media yang tepat, bukan melakukan

vandalisme karena hanya akan merugikan dan membuat pemandangan

yang tidak nyaman. Serta berharap, dengan aksi tersebut para pelajar bisa memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga lingkungan sekitar agar tetap rapi dan enak dipandang. Selain itu, untuk menjaga solidaritas dan kekompakan para siswa, karena lingkungan ini juga milik generasi akan datang, maka masyarakat wajib menjaganya.

Dikutip Suara Merdeka 4 Januari 2015, Pada saat Car Free Day (CFD), Minggu (4/1) pagi, di Shelter BRT Simpanglima, tepatnya di depan Hotel Ciputra Semarang, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengajak warga yang hadir untuk bersama-sama melapisi coretan-coretan di halte tersebut dengan cat. Kegiatan itu diberi nama “Semarang Obah”. Kegiatan dimulai dengan menutup salah satu bentuk Vandalisme di Halte Simpang Lima yang sudah banyak merusak beberapa fasilitas di kota Semarang. Vandalisme tersebut dibuat dari cat semprot warna merah dan putih yang kerap ditorehkan di fasilitas umum seperti halte, tembok, bahkan panel listrik. di halte yang berada di kawasan Simpang Lima Semarang. Sejumlah anak muda dari beberapa komunitas seperti Sosial media, dan warga yang kebetulan melintas langsung mengambil kuas. Mereka lalu melumurkan cat ke tembok dan rolling door halte yang sudah rusak karena vandalisme, stiker, maupun cat lama yang mengelupas. Tak

hanya itu, beberapa panitia yang sudah ada di lokasi bergegas mengerjakan bagiannya seperti mengamplas bekas stiker di kaca, membersihkan halte, dan mengecat. Awalnya hanya beberapa yang ikut aksi, namun setelah Wali Kota mengajak, banyak yang merapat dan bersemangat untuk ikut melumuri cat ke tembok maupun rolling door halte. Hendrar Prihadi mengatakan, kegiatan mempercantik halte bus Trans Semarang itu merupakan aksi yang diprakarsai kaum muda yang peduli kondisi Kota Semarang. Ada tiga halte bus Trans Semarang yang pagi ini dipercantik. Yaitu di Simpang Lima, Pandanaran, dan Ahmad Yani. Rencananya selain dicat, halte akan dibubuhi mural.

Jika diamati di kota Semarang sendiri banyak tempat-tempat yang dihiasi mural, seperti di sepanjang jalan Pemuda, di dekat Lawang Sewu dan di dekat Dinas Pendidikan. Mural-mural ini tidak pernah dihapus, melainkan diperbaharui tiap waktunya. Padahal jaraknya dekat dengan pusat kota, kantor polisi, kantor dinas, dan walikota. Ini menandakan di tempat tersebut memang disediakan sebagai tempat mural.

Gambar 2.1 Mural di jalan Pemuda, sekitar Lawang Sewu

Gambar 2.2 Mural di jalan Pemuda, sekitar Dinas Pendidikan

Sumber : Dokumentasi Dimas Prayogo

Jika dilihat dari pandangan masyarakat awam sendiri, tidak banyak yang mengetahui apa itu arti Vandalisme. Didasarkan dari survey penulis, rata-rata mereka bingung ketika ditanya soal Vandalisme, apalagi street art dan mural. Bahkan ketika penulis menanyai mereka yang perguruan tinggi, yang notabene seharusnya memiliki wawasan, terlebih mereka yang mengambil jurusan DKV, pun juga beberapa ada yang kebingungan ketika ditanya Vandalisme dan harus dijelaskan terlebih dahulu. Untuk orang awam, mereka menganggap bahwa coret-coret dengan semprotan cat disebut graffiti. Pokoknya semua yang dicoret ditembok disebut graffiti. Dan banyak yang setuju bahwa coret-coretan itu menggangu pemandangan. Untuk graffiti dan mural, mereka tidak begitu masalah selama menarik. Beberapa, terutama yang perempuan, cenderung mengabadikan gambar mural yang menurutnya lucu dengan foto pribadi (atau istilahnya selfie).

Dokumen terkait