• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 3 Identitas sebagai Kemajemukan

Dalam dokumen UNITED CULTURE ALA CINTA LAURA SEKOLAH (Halaman 31-35)

Pada kondisi global dan postmodern saat ini, Abdilah (2002) berpendapat bahwa bisa jadi seseorang bisa menganut identitas satu sekaligus menganut identitas yang lain. Laki-laki yang juga wanita atau bukan kedua-keduanya yang justru menampilkan identitas tersendiri, homoseksual, gay, lesbianisme, masokhisme.

Contoh lain adalah identitas penulis sendiri. Penulis adalah perempuan, penulis juga keturunan Jawa, penulis juga orang Jakarta karena disinilah penulis dibesarnya. Penulis juga ibu serta istri, anak juga menantu, profesional sekaligus mahasiswi pasca sarjana. Penulis seorang Muslim tetapi praktik keberagamaannya lebih mendekati seorang agnostik. Penulis secara politis liberal sekaligus condong ke Marxis. Dapat dilihat bahwa identitas bukan entitas yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, identitas bersifat majemuk seperti spektrum berbagai warna dan bermacam kepekatannya. Identitas serba beragam dan beraneka macam.

Bagian berikut ini akan banyak mengacu pada pandangan Sen dalam bukunya Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (2008). Kajian tentang pandangan Sen ini melihat identitas sebagai entitas yang majemuk.

Menurut Sen (2008), identitas punya dampak psikologis pada si pemiliknya, yaitu manusia. Rasa memiliki suatu identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain. Perhatian kita pada identitas tertentu bisa mempererat pertalian dan membuat kita bersedia melakukan berbagai hal satu sama lain dan turut membawa kita melampauai hidup yang berpusat pada diri sendiri.

Ide titas isa dilihat se agai apa ya g dise ut se agai odal sosial. Dikupas secara

cermat oleh Robert Putnam dan beberapa pemikir lain, kesamaan identitas dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas itu berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya – laiknya modal.

Dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai bagian dari berbagai kelompok – kita menjadi bagian dari seluruh kelompok tersebut. Kewarganegaraan seseorang, tempat tinggalnya, asal daerahnya, jenis kelaminnya, kela sosialnya, pilihan politinya, profesinya, pekerjaannya, kebiasaan makannya, minat olahraganya, selera musiknya, komitmen sosialnya, dan sebagainya membuat seseorang itu menjadi bagian dari beragam kelompok. Masing-masing dari kelompok tersebut, yang ke dalamnya seseorang tercakup secara serentak, memberi identitas yang khas pada dirinya. Tak satupun di antaranya bisa disebut sebagai satu-satunya identitas atau kategori keanggotaan tunggal bagi orang yang dimaksud.

Sen (2008) berargumen bahwa sulit bagi kita untuk percaya bahwa orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung, atau bahwa ia hanya perlu

sepenuhnya merupakan fenomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam).

Pada kenyataannya, Sen (2008) berpendapat, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan, meski cuma secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita punya alasan yang jelas untuk mengakui, menghargai dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Adanya pilihan ini tentu saja tidak menandakan bahwa pilihan tersebut tidak dibatasi oleh hambatan-hambatan. Lebih jauh lagi, Sen (2008) menjelaskan bahwa tentu saja pilihan selalu dibuat dalam batas-batas tertentu yang kita pandang layak. Dalam persoalan identitas, kelayakkan tersebut bergantung pada karakter pribadi kita serta keadaan yang menentukan alternatif-alternatif kemungkian yang terhampar bagi kita. Sesungguhnya tidak ada hal yang lebih mendasar dan universal ketimbang kenyataan bahwa semua bentuk pilihan di setiap bidang selalu dibuat dalam keterbatasan tertentu. Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Memang kadang kita bahkan tidak sepenuhnya sadar bagaimana pihak lain mengidentifikasikan diri kita, yang bisa berbeda dari pemahaman kita sendiri.

Dalam mengidentifikasikan pihak lain, boleh jadi kita melakukan kekeliruan. Seringkali kita melakukan prasangka (prejudice), stereotype (secara kelewat simplistis, mengkotak- kotakkan individu berdasarkan identitas kelompok dari individu tersebut, misalnya berdasarkan ras, gender dan usia) bahkan sampai ke diskriminasi. Maka ketimbang mengeksplorasi berbagai identitas yang dimiliki pihak lain, serta mencari kesamaan- kesamaan ketimbang perbedaan-perbedaan, kita pun terjebak pada sikap merendahkan orang lain. Mengapa merendahkan? Karena saat melakukan hal tersebut, kompleksitas

dan kekayaan identitas yang ada pada pihak lain kita pinggirkan dan kita ganti dengan identitas tunggal yang permanen.

Menegaskan pada konsep-konsep psikologi sosial tersebut di atas, Sen (2008) menerangkan bahwa perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak saja dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Menguatkan pemikiran di atas, Sen (2008) menyebutkan bahwa perendahan tersebut didasarkan pada ilusi tentang adanya suatu identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Pengandaian tentang identitas tunggal ini bisa kita temukan penerapannya dalam ide

dasar siste klasifikasi ya g e jadi latar i telektual agi lahir ya tesis e tura a tarperada a . Tesis i i telah ra ai diper i a gka da elaka ga se aki a yak

diunggul-unggulkan terutama sejak terbitnya buku berpengaruh Samuel Huttington, The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order.

Sen (2008) memandang bahwa pendekatan bentrokan peradaban ini memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama dari pendekatan ini berpangkal dari kategorisasi tunggal itu sendiri, bahkan sebelum persoalan ada atau tidaknya benturan itu mengemuka. Sen (2008) dengan tegas menyatakan bahwa sikap keras untuk mendesakkan, meskipun hanya secara tersirat, suatu identitas manusia yang tunggal dan tanpa pilihan membuat kita menjadi kerdil. Kelemahan mencolok kategorisasi tunggal yang tanpa pilihan ini sungguh-sungguh berdampak pada melemahnya daya dan jangkauan nalar sosial-politik kita. Ilusi tentang takdir meminta harga yang luar biasa mahal. Tak hanya itu, pandangan seperti ini pun membuat dunia jadi jauh lebih membara.

Ilusi tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah-belah ketimbang beragamnya jenis-jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat tinggal kita. Harapan utama bagi terwujudnya harmoni di dunia yang kacau ini, menurut Sen (2008) justru

terletak pada kemajemukan identitas kita yang saling bersangkutpaut dan menentang pemilahan-pemilahan yang seturut satu garis pengelompokan tunggal yang katanya tidak bisa diganggu gugat.

Dalam dokumen UNITED CULTURE ALA CINTA LAURA SEKOLAH (Halaman 31-35)

Dokumen terkait