• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNITED CULTURE ALA CINTA LAURA SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UNITED CULTURE ALA CINTA LAURA SEKOLAH"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Akhir Filsafat

Gita Widya Laksmini

NPM 0806 437374

PROGRAM MAGISTER PROFESI PENDIDIKAN KELAS B FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008

Sekolah

Internasional,

Identitas dan

Postmodernisme

United Culture

(2)

Cinta Laura Kiehl

Siapa gerangan Cinta Laura dan mengapa ia sampai dibahas dalam tulisan ini? Cinta Laura Kiehl, putri pasangan Michael Kiehl asal Jerman dan Herdiana asal Indonesia dan lahir di Jerman tanggal 17 Agustus 1993, adalah seorang pemain sinetron dan penyanyi (Wikipedia, Cinta Laura, 2008). Yang membedakan Cinta Laura dengan pemain sinetron lain adalah kemampuannya berbahasa Indonesia. Di usia 13 tahun, pada saat ia mulai main sinetron stripping (sinetron yang tayang tiap hari), ia baru belajar berbahasa Indonesia (Kompas, 20 Juli 2008).

Akibat belajar kilat, gaya bicara Cinta Laura agak cadel kebule-bulean. Gaya bahasa inilah yang membuat dirinya berbeda dan menjadi perhatian. Kata-kata ya Udah

hujyan, ga ada oujyek, bechyek... laris dijadikan ring back tone (nada sambung telpon

BAB I

(3)

genggam). Bahkan ada juga orang iseng yang menyebarluaskan foto rekaan dengan judul Jika Cinta Laura Jadi Kepala DLLAJR, seperti di bawah ini:

Hati-hati Pejalan Kaki ala Cinta Laura

(4)

Hati-hati Jalan Becek ala Cinta Laura

Apa yang membuat Cinta Laura, anak dari seorang ibu berkebangsaan Indonesia tulen dan tinggal di Bogor ini, sampai tidak bisa berbahasa Indonesia? Salah satu dari banyak penyebab adalah karena Cinta Laura bersekolah di sekolah internasional.

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas tentang sekolah internasional dengan mengaitkannya pada persoalan identitas – khususnya lewat bahasa. Topik ini dipilih karena penulis mengambil kekhususan di bidang Psikologi Pendidikan. Sesuai dengan penugasan mata kuliah ini, tulisan ini menggunakan kacamata postmodernisme dalam membahas fenomena di atas.

(5)

Cinta Laura Kiehl

Bagian ini akan menerangkan tentang postmodernisme. Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut. Bagian pertama menelusuri munculnya istilah postmodernisme. Bagian ini akan dilanjutkan dengan tinjauan terhadap postmodernisme sebagai sebuah aliran filsafat, dengan mengacu pada pemikiran Jean-François Lyotard khususnya soal narasi besar (grand narrative). Penjelasan tentang postmodernisme ini dilanjutkan dengan melihat kebingungan yang terkait erat dengan postmodernisme, dimana di dalam bagian ini penulis menyertakan penggolongan postmodernisme menggunakan pandangan Rosenau.

BAB 2

(6)

2.1. Munculnya Postmodernisme

Apa yang dimaksud dengan postmodernisme? Untuk mengupas ini, kita perlu untuk terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan modernisme. Secara umum, modernisme dianggap lahir dengan Renaisans dari apa yang disebut sebagai jaman kuno (Antiquity) (Sarup, 2008). Modernisme adalah rangkaian sistem sosial, ekonomi dan politik yang muncul di Barat kurang lebih sejak abat ke-18. Rangkaian sistem inilah yang kemudian melahirkan negara-negara industri kapitalis modern.

Lalu apakah itu postmodernisme? Dari segi asal usul kata posmodernisme, Maulana (dalam Ritzer, 2008) juga Hassan dan Jenks (dalam Sugiharto, 1996) menyebut bahwa istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an dalam bukunya yang berjudul Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana

untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Menurut de Oniz, postmodernisme adalah periode pendek yang mengindikasikan reaksi kecil atas modernisme di bidang sastra antara tahun 1905-1914, yang juga disebut sebagai

periode i ter ezzo atau perte gahan.

Istilah postmodernisme ini juga kemudian muncul dalam bidang historiografi oleh ahli sejarah Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History (1947). Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditandai dengan perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan. Hal ini dipakainya untuk menyebut tahap kontemporer dari kebudayaan Barat yang ditandai dengan adanya peralihan politik pada pola pemikiran negara nasional ke interaksi global.

(7)

post oder ya g sehat, kuat, asio alis da religius ya g muncul dari nihilisme di Eropa. Dalam bukunya, ia menyebut postmodern sebagai puncak dari modernitas.

Kemudian pada tahun 1957, Peter Drucker dalam buku The Landmarks of Tomorrow

dengan subjudul Laporan tentang Dunia Pascamodern, juga memperkenalkan pengertian baru tentang gejala postmodern dalam perkembangan ekonomi. Postmodernisme menurut Drucker sama artinya dengan industri atau pasca-kapitalis dan revolusi gelombang ketiga. Sampai pada tahun ini, pengertian postmodern masih serba kabur dan ambigu.

Tulisan Leslie Fiedler pada tahun 1965 mulai memperjelas istilah postmodernisme. Ia mengkritisi modernisme dengan rasionalisme yang menyertainya dan humanisme liberalnya. Fiedler menyebut bahwa masyarakat mengalami kematian modernitas. Kelahiran postmodernisme ia cirikan sebagai antirasionalitas, romantisisme dan sentimentalitas. Dalam tulisannya, Fieldler menekankan pentingnya hal yang lokal dan tribal sebagai wujud perlawanan terhadap esensi penekanan dan keterbatasn makna. Tulisannya menunjukkan kecendungan anarkis namun kreatif yang melepaskan diri dari ortodoksi dan represi puritan, ini yang kemudian disebut-sebut sebagai ciri-ciri kebudayaan postmodern.

Di pertengahan tahun 1970-an, Ihab Hassan memproklamirkan dirinya sebagai pembicara utama postmodernisme dalam esainya POSTmodernISM: A Practical Bibliography dan menerapkan label tersebut pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam arsitektur. Menurut Ritzer (2008), postmodernisme berkembang biak begitu cepat dan menjadi semakin jelas pada periode tahun 1970-an ini.

(8)

untuk menunjukkan gerakan menolak modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Tulisan Irving Hole dalam Mass Society and Postmodern Fiction

misalnya menyebut bahwa sastra postmodern adalah sastra yang berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elit (high culture) dengan kebudayaan massa (pop culture).

Di benua Eropa postmodernisme tampil pada tahun 1975 dalam arsitektur lewat karya Charles Jenks yang menyebut bahwa arsitektur postmodern mewakili sifat pluralitas kebahasaan. Postmodernisme kemudian digunakan dalam konteks yang lebih luas lagi di bidang arsitektur, seni visual, seni pertunjukan juga musik pada tahun 1980-an.

Magnis Suseno (1996) dalam Magnis Suseno (2005) juga menyebutkan bahwa postmodernisme berasal dari wilayah seni: musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotografi, arsitektur dan dari situlah merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Sampai akhirnya istilah postmodernisme dipakai oleh seorang filsuf Perancis Jean-François Lyotard. Lyotardlah yang kemudian memasukkan postmodernisme ke dalam kawasan filsafat kemudian diperjualbelikan

se agai se uah is e aru.

2.2. Postmodernisme dalam Filsafat

(9)

ditemukan dari berbagai bidang sosial dan budaya. Laporan ini kemudian menjadi pijakan filosofi tentang postmodern.

Pemikiran Lyotard dalam buku tersebut secara umum berkisar tentang posisi pengetahuan. Buku ini membahas bahwa selama empat puluh tahun terakhir proyek modernitas lewat perkembangan ilmu dan teknologi telah gagal membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme (Munir, 2008). Secara khusus ia mengupas tentang bagaimana il u dilegiti asika elalui apa ya g ia se ut se agai arasi esar grand narrative) atau metanarasi tentang kebebasan, kemajuan dan emansipasi.

Awalnya, istilah narasi lebih dikenal sebagai terminologi kesusasteraan yang kurang lebih artinya adalah cerita, seperti misalnya novel, dongeng atau mitos (Piliang dalam

Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern, 2004). Akan tetapi Lyotard menggunakan istilah ini dalam konteks epistemologis yang luas, yaitu sebagai narasi kehidupan. Melalui narasi kehidupan ini, manusia merangkai konsep, memahami kehidupan dan memaknai realitas.

Narasi merupakan cara bagaimana dunia direpresentasikan ke dalam berbagai konsep, ide, gagasan serta cerita. Untuk memahami narasi diperlukan upaya-upaya interpretasi. Narasi memampukan setiap orang untuk mendapatkan pandangan global dan sinkronis tentang kehidupan. Narasi juga membentuk kesadaran kolektif (collective consciousness) dan melalui narasi ini terungkapkan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat.

(10)

pemikiran tersebut dibangunlah klaim-klaim tentang masyarakat universal juga egaliter dalam skala global.

Piliang (2004) dalam tulisannya tersebut menjelaskan bahwa peradaban modern ini dibangun di atas fondasi narasi-narasi besar tersebut – baik pada tingkat epistemologi (misalnya Rasio, Universalitas, Episteme, Logos dan Spirit), metodologi, ideologi (seperti Imperialisme, Kapitalisme, Komunisme dan Fasisme), sosiologi, ekonomi, bahasa, kultural (contohnya Patriarki, Etnosentrisme, Rasisme dan Orientalisme) sampai ke seni. Peradaban tersebut dibangun berdasarkan klaim-klaim universal (seperti tentang manusia, hukum, bahasa, hak asasi, manajemen, nilai, dan sebagainya) dan rasionalitas (contohnya mengenai ekonomi, budaya, moral dan lain-lain).

Klaim-klaim tersebut dapat menciptakan sebuah peradaban yang secara ideologis bertumpu dengan sangat kuat pada mekanisme oposisi biner (binary opposition) seperti rasional/irasional, Barat/Timur, dunia pertama/dunia ketiga dan perempuan/laki-laki. Klaim-klaim inilah yang kemudian melahirkan Etnosentrisme, Eurosentrisme, Orientalisme dan Rasisme: yaitu bahwa manusia dan peradaban Barat – dengan segala superioritas pikiran, akal budi, intelektualitas, ideologi dan budaya – adalah pusat dari perubahan dunia. Manusia dan peradaban Baratlah yang mempunyai otoritas untuk membuat sebuah cerita besar dunia. Sementara manusia-manusia lain berada pada batas terluar dari peradaban yang progresif tersebut.

(11)

bergantung pada otoritas Tuhan. Iklim psikologis semacam inilah yang menumbuhkan semangat kemajuan dalam peradaban Barat modern. Sebagai akibatnya terciptalah peradaban Barat yang arogan. Di dalam peradaban yang seperti inilah, manusia Barat menjadi subyek yang sentral dalam menentukan narasi besar dunia.

Piliang (2004) melanjutkan bahwa klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan superioritas filsafat di atas kemudian menuntut adanya narasi-narasi besar pada tingkat ideologi politik, ekonomi dan kultural dalam mengelola manusia. Maka berkembangkan berbagai macam ideologi besar yang dianggap mampu mengelola kemajuan dan masa depan seperti fasisme, kapitalisme dan komunisme.

Menentang narasi-narasi besar tersebut, Lyotard menyebut bahwa postmodernisme ia artikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme atau apapun. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini mengalami nasib serupa dengan narasi-narasi besar yang telah ada sebelumnya yaitu religi dan keyakinan akan keunggulan bangsa Barat. Akibatnya, narasi-narasi besar tersebut menjadi serba tidak mungkin, tidak masuk di akal dan sangat sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, narasi-narasi besar tersebut menjadi mitos (Munir, 2008).

(12)

Dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern, Piliang (dalam Piliang, 2004) menegaskan bahwa dengan adanya kemunculan gelombang postmodernisme, terjadilah sebuah titik balik. Pada titik balik ini, klaim-klaim universalisme, humanisme, rasionalisme, fondasionalisme yang membangun ideologi peradaban modern menjadi kehilangan kekuatan, daya kritis dan legitimasinya. Pada titik balik ini ditawarkan klaim-klaim baru tentang pluralisme, relativisme, lokalisme, indeterminisme dan antifondasionalisme. Dengan kata lain, postmodernisme secara tegas e olak arasi esar grand narrative de i arasi ke il little narrative).

Maka berkembangbiaklah hutan rimba ideologi-ideologi kecil dan bermunculanlah berbagai bentuk ideologi dengan bermacam ragam keyakinan, kecenderungan, tujuan dan strategi yang bahkan saling bertentangan satu dengan lainnya. Dalam

Postmodernisme dan Kita: Identitas dalam Dekonstruksi Kebudayaan (2004), Piliang menyebutkan bahwa tak ada lagi pemisahan besar dalam budaya. Yang kini ada hanyalah fragmentasi budaya, yang sekarang terpecah-pecah menjadi fragmen-fragmen kultural yang kecil, banyak, beragam juga kompleks.

Dalam menganalisis kondisi masyarakat postmodernisme, Lyotard menggunakan apa yang disebut sebagai permainan bahasa (language game). Lyotard berpendapat bahwa setiap pengetahuan selalu diwarnai oleh permainan bahasa masing-masing. Permainan bahasa ini kemudian membuka perspektif kesadaran untuk menerima realitas yang serba plural. Heterogenitas menjadi kunci menuju postmodernisme. Kebenaran pun tak lagi bersifat mutlak. Kebenaran menjadi interpretatif, bersifat plural dan oleh karena itu, lebih tepat untuk dise ut se agai ke e ara hipotetis.

(13)

instisusi lokal yang plural. Postmodernisme merayakan fragmentasi berbagai permainan bahasa yang bersifat lokal dalam menghargai perbedaan (difference).

Seraya menolak pemikiran yang totaliter, postmodernisme menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tidak terukur. Maulana dalam Ritzer (2008) menyebut bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global pencerahan atas pencerahan.

Menurut Magnis Suseno (2000) dalam Magnis Suseno (2005), oleh Lyotard, postmodernisme didudukkan sebagai sebuah perlawanan melawan pemikiran totaliter dan filsafat identitas. Lyotard memandang semua usaha untuk menetapkan pemikiran secara universal termasuk narasi-narasi besar khas modernitas sebagai memperkosa kekhasan sekian banyak narasi-narasi kecil. Postmodernisme curiga terhadap prinsip-prinsip universal sebagai sarana dominasi atau kediktatoran pemaknaan yang menindas makna-makna nyata pada masing-masing komunitas. Narasi-narasi kecil tersebut dibungkam dan ditimbun oleh cerita besar teori, ideologi atau prinsip-prinsip etika modernitas sehingga mengancam identitas rohani komunitas. Narasi besar dikhawatirkan menjadi sarana dominasi totaliter kemaknaan dan dengan demikian, martabat manusia terancam.

(14)

Dengan demikian, postmodernisme diharapkan menjadi pemikiran antitotaliter yang membebaskan manusia dari totalitarisme makna, yang dipandang sebagai penindasan paling buruk terhadap martabat manusia sebagai mahluk yang memahami dan bertanggung jawab sendiri. Menggunakan pandangan semacam ini, Lyotard membawa istilah postmodernisme ke dalam medan diskusi yang lebih luas lagi. Postmodernisme pun ditempatkan dalam bidang filsafat sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.

2.3. Kebingungan tentang Postmodernisme

Lalu apa definisi postmodernisme itu? Judith Butler (1995, dalam Ritzer, 2008) mengatakan bahwa baik kalangan modernis maupun postmodernis acap kali berucap,

“aya tidak tahu apa itu post oder is e. Kamus The Modern Day Dictionary of

Received Ideas eru uska post oder is e se agai kata ya g tak pu ya arti,

gu aka saja seseri g u gki “ugiharto, . Sementara Herbert W. Simons

e ye ut, Ala pikira post oder e gutuk apapu tetapi tidak mengusulkan

apapu . dala Pilia g, Hipermodernitas atau Akhir dari Posmodernitas, 2004).

Hal ini menyiratkan bahwa ada ambiguitas besar dan kontroversial pada apa yang dimaksud dengan postmodernisme. Sugiharto (1996) menyebut bahwa memang postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Istilah postmodern telah digunakan dalam begitu banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Piliang dalam

(15)

ideologi yang prokapitalisme, prokolektivisme, proindividualisme, antinegara, antiglobalisasi, dekonstruktif, konstruktif, pluralis, anarkis – semuanya membentuk hutan rimba ideologi yang plural, yang sama-sama diberi label postmodernisme.

Apa yang dibentuk oleh postmodernisme adalah kondisi fragmentasi ideologis yang radikal. Di dalam postmodernisme tersebut, proses pencarian fondasi bersama, determinisme atau konsensus-konsensus ideologis tampaknya mustahil untuk dilakukan. Sebagai akibatnya, yang ada adalah sebuah rimba raya ideologi, yang di dalamnya setiap orang sibuk membangun tempat berteduhnya masing-masing, tanpa perlu merancang bersama-sama sebuah rencana induk (Piliang, 2004).

Hal ini menyebabkan apa yang Taufik dalam Ritzer (2008) deskripsikan dengan ilustrasi berikut ini. Sekonyong-konyong postmodernisme tiba dan mengocar-kacirkan para intelektual, para seniman dan pengusaha-pengusaha kebudayaan yang terperangah dan bimbang apakah mereka harus menaiki gerbong dan menikmati karnaval atau berdiam diri di luar garis batas sampai mode baru ini lenyap, begitu kira-kira celotahan Douglas Kellner (1989).

Taufik dalam Ritzer (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung risiko dicap ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal. Istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, karena dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.

(16)

sosiologi, geografi dan filsafat. Postmodernisme merangkak dari seni arsitektur terus menjalar ke psikoanalisis, bahkan kriminologi sampai-sampai agama juga disentuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa postmodernisme memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang

sekara g kita ala i. De a postmodernisme juga menyerang ilmuwan dan kalangan

intelektual Indonesia di awal 1990-an. Di Indonesia, kata ini cukup populer sementara banyak orang bahkan malas mengucapkan keseluruhan kata postmodernisme dan menggantikannya dengan singkat: posmo.

Jadi di satu sisi, postmodernisme begitu memikat dan pengaruhnya menjalar kemana-mana. Sedangkan di sisi lain, terdapat kebingungan tentang apa itu postmodernisme. Menurut Magnis-Suseno (1996) dalam Magnis Suseno (2005) kebingungan tentang

istilah post oder is e adalah aki at akhira -is e ya. Post odernisme menjadi

membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, idealisme dan lain-lain. Padahal menurutnya, postmodernisme lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pikiran eksplisit. Istilah postmodernisme menurut pandangan Magnis Suseno ini digunakan supaya ada payung konseptual untuk melihat kesamaan yang ada di antara banyak pendekatan-pendekatan yang ditawarkan. Kesamaan tersebut adalah adanya penolakan terhadap kediktatoran pemikiran dalam konsep-konsep yang lalu.

Me urut “ugiharto , a ala post pada post oder is e juga menimbulkan

a yak perde ata . Apakah post itu erarti pe utusa hu u ga pe ikira total dari

(17)

Sebagian orang melihat postmodernisme adalah bagian inheren atau turunan dari modernitas, demikian menurut Maulana (dalam Ritzer, 2008). Hanya saja

post oder is e ta pil le ih de ga teriaka ada protes di te gah ko pleksitas

oder itas utopis ya g telah terla jur ditelah oleh ereka de ga e gaku oder .

Sementara Pauline Rosenau (1992) dalam Ritzer (2008) menyebut postmodernisme merupakan kritik atas modernisme. Jadi menurut Rosenau (1992) dalam Ritzer (2008), teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) ketimbang persatuan (unity), perbedaan daripada sistesis dan kompleksitas ketimbang simplifikasi.

Terkait dengan relasi postmodernisme dengan modernisme, Smart (1993a) dalam Ritzer (2008) menjelaskan bahwa ada tiga posisi pokok yang digunakan dalam teoretisi sosial postmodern.

Posisi pertama, atau postmodernis ekstrim: bahwa telah terjadi perpecahan besar dalam masyarakat modern yang digantikan dengan masyarakat postmodern. Sekalipun tak senang dengan pelabelan, Jean Baudrillard jelas mempercayai bahwa masyarakat mengalami perubahan yang sangat cepat. Demikian juga dengan pemikir postmodern Paul Virilio.

Posisi kedua, lebih moderat: di samping perubahan terjadi dan megnambil tempat, postmodernitas terus berkembang karena postmodernitas meninggalkan modernitas dan ia merupakan kelanjutan dari modernitas. Orientasi ini dianut oleh Fredric Jameson dan David Harvey juga para feminis postmodern seperti Nancy Fraser, Donna Haraway dan Linda Nicholson.

(18)

sudah lama berlangsung dengan sesuatu yang lain. Artinya, postmodernisme dipandang sebagai perspektif alternatif, bukan periode waktu yang berturut-turut. Jean François Lyotard mengadopsi perspektif ini.

Ironisnya, sementara Rosenau melakukan penggolongan para filsuf postmodernisme ke dalam kelompok-kelompok seperti dijabarkan pada Ritzer (2008), para pemikir postmodernisme justru tidak akan senang diberi label sebagai postmodernis. Banyak di antara mereka mengaku dengan terus terang sebagai modernis. Yang lain lebih suka berpikir sebagai poststrukturalis. Sementara yang lain tidak senang atau bahkan menentang labelisasi.

Ada beberapa alasan yang menerangkan keengganan ini. Sebagian besar pemikir postmodernisme tersebut kesulitan bahkan enggan membicarakan soal modernitas dan postmodernitas dalam kerangka transisi historis di antara keduanya. Ini karena mereka melihatnya diskursus tersebut sebagai narasi besar (grand narrative) yang mereka tolak. Dengan kata lain, pemikir postmodernisme pada umumnya menolak adanya kebenaran tunggal dalam dunia filsafat maupun ilmu (Munir, 2008)

(19)

Cinta Laura Kiehl

Bagian ini akan membahas tentang bagaimana gagasan postmodernisme tersebut tercermin dalam globalisasi. Sebelum membahas lebih jauh soal globalisasi, penulis merasa perlu untuk sebelumnya memperjelas apa yang dimaksud dengan globalisasi.

Dalam bukunya The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization, Thomas L. Friedman (2000) menjelaskan bahwa globalisasi sebetulnya bukanlah hal baru. Semenjak pertengahan 1800-an sampai akhir 1920an, sudah ada sebuah sistem perdagangan dan perekonomian yang menghubungkan berbagai tempat di penjuru dunia yang dikenal dengan nama globalisasi, dimana Inggris menjadi kekuatan yang paling dominan ketika itu. Globalisasi model pertama tersebut terputus sesaat akibat Perang Dunia I, Revolusi Rusia, Era Depresi dan masa-masa Perang Dingin pasca Perang

(20)

Dunia I yang membagi-bagi dunia ke dalam geopolitiknya masingmasing. Namun ketika

Te ok Berli ru tuh tahu , ulailah Glo alisasi ‘o de Kedua.

Dala glo alisasi odel ya g elaka ga i ilah du ia e jel a e jadi desa glo al

(global village). Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and its Discontent

(2002), menurunnya biaya transportasi dan komunikasi secara drastis dan runtuhnya hambatan-hambatan artifisial antar negara terhadap aliran barang, jasa, modal, pengetahuan juga manusia menyebabkan negara dan individu di seluruh dunia menjadi semakin terintegrasi. Berbeda dengan globalisasi model pertama dimana banyak negara berkembang tertinggal, jejaring informasi dan ekonomi pada globalisasi ronde kedua ini mempengaruhi tidak hanya semua negara, tetapi juga semua individu.

Piliang (2004) dalam Globalisasi Informasi dan Virus Sosial menyebutkan bahwa di dalam era globalisasi ekonomi dan informasi dewasa ini, orang bicara tentang lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan. Di masa lalu, batas-batas tersebut dipandang sebagai hambatan dalam interaksi global.

Dengan demikian banyak konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas, semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya malah menjadi mitos (Piliang, Ekonomi Virtual dan Masyarakat Cyber, 2004).

Globalisasi ekonomi, informasi dan kebudayaan ini menawarkan berbagai keterbukaan dan kebebasan. Keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelibatgandaan dan penganekaragaman produk, informasi, tanda dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global yang menawarkan pula hutan rimba pilihan.

(21)

globalisasi tercipta karena dua sifat yang saling bertentangan satu sama lainnya secara kontradiktif hadirnya bersamaan-sama dalam ruang-waktu yang sama pula: globalitas versus lokalitas, homogenitas versus heterogenitas serta penyeragaman versus keberanekaragaman.

Jadi di satu sisi, terdapat kecenderungan terbentuknya unifikasi, aliansi dan kesalingbergantungan; terjadinya homogenisasi, standarisasi dan generalisasi; terciptanya dunia tanpa batas, masyarakat terbuka dan pasar bebas. Di sisi lain, berkembang separatisme, otonomi dan desentralisasi, terjadinya penganekaragaman, pengayaan dan pluralitas; berkembangnya tribalisme, kedaerahan juga sektarianisme.

Kecenderungan ini disebut oleh Zdravko Mlinar (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) sebagai kecenderungan unity of opposite – berkembangnya individuasi (diversifikasi) bersamaan dengan perkembangan globalisasi (homogenisasi), sehingga menciptakan berbagai kontradiksi.

Karakteristik seperti ini identik dengan postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran. Postmodernisme yang berawal dari sebuah pemikiran yang berawal dari itikad menolak narasi besar demi menghargai narasi kecil melahirkan tumbuhnya bermacam ragam ideologi yang boleh jadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Serupa dengan wajah globalisasi, wajah postmodernisme pun wajah yang paradoks. Sebagai tambahan, di dalam Munir (2008), globalisasi memang nyata-nyata disebut menjadi salah satu tanda postmodernisme.

(22)

3. 1. Globalisasi sebagai Homogenisasi Budaya

Ada begitu banyak pandangan tentang globalisasi. Salah satu pandangan melihat globalisasi sebagai sebuah kecenderungan dimana dunia berkembang ke arah sistem yang semakin seragam sehingga menuju bentuk yang makin lama makin homogen. Oleh Francis Fukuyama (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004), kondisi seperti ini ia sebut sebagai titik akhir e olusi ideologi u at a usia da e tuk akhir pe eri taha

a usia da de ga de ikia e e tuk apa yang ia sebut sebagai akhir sejarah

(end of history).

Menurut Fukuyama, di masa depan tak ada lagi ruang tersedia bagi keragaman budaya (end of plurality) dan mulailah apa yang disebut sebagai keseragaman budaya atau homogenitas budaya. Dalam proses homogenisasi tersebut, televisi, internet dan berbagai alat komunikasi dan teknologi muktahir menjadi kendaraan yang memperlancar proses tersebut. Sebagai akibat dari proses homogenisasi tersebut, negara-negara berbeda yang mengalami modernisasi ekonomi seringkali secara kultural menjadi semakin mirip satu dengan lainnya. Alhasil yang kita temui adalah monoculture

– homogenisasi budaya, gaya hidup, teknologi yang menghancurkan tradisi dan sistem

ekonomi lokal.

Francis Fukuyama (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) melihat homogenisasi ini sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Artinya, tak ada lagi pilihan yang tersedia. Globalisasi menciptakan setiap tempat tampak sama seperti tempat-tempat yang lainnya dan setiap orang - mau tidak mau - harus merasa betah hidup di dalamnya.

(23)

sudut-sudut dunia yang sebelumnya tidak dapat dipengaruhi. Serupa dengan masyarakat postmodernisme, McDonald tidak memiliki kedalaman. Makanan adalah satu tipe sederhana yang dipersiapkan secara sederhana pula dengan bahan-bahan yang serba umum (Ritzer, 2008). Tak ada interaksi sejati dan interaksi yang lahir dari proses ini karena hubungan yang ada terbangun sekedarnya le at rayua para pra usaji ya g telah distandarisasi dan disetarakan (Ritzer, 2008).

Selain mengalami McDonalization, Richard Barnet dan John Cavanagh (dalam Piliang,

Hiperglobalisasi,2004) menyebut soal jaringan hiburan MTV (Music Television) sebagai proses penyeragaman manusia. Cyberspace atau internet juga tak lain dari bentuk virtual McDonalization yang menghasilkan keseragaman pengalaman, kerangka konseptual, kategori pengetahuan, isi pengetahuan, gaya hidup dan pandangan hidup (dalam Piliang, Hiperglobalisasi,2004).

3. 2. Globalisasi sebagai Pertukaran Budaya

Akan tetapi tidak semua pemikir postmodernisme melihat globalisasi sebagai upaya penyeragaman. Tidak semua berpandangan bahwa globalisasi hanya menciptakan homogenisasi budaya atau kloning budaya. Tidak semua pemikir melihat globalisasi sebagai sebuah ancaman serius bagi keberadaan budaya-budaya lokal.

Salah satunya adalah Ahmed Gurnah (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) yang melihat globalisasi budaya tidak sederhana sebagaimana sebuah homogenisasi budaya. Apa yang dilihatnya pada globalisasi adalah proses seleksi, pertukaran dan pengaruh interkultural yang rumit dan kompleks. Proses tersebut justru dapat bersifat positif, konstruktif dan produktif bagi perkembangan budaya lokal.

(24)

kebudayaan asing – yang selama ini disebut imperialis – dapat menggantikan atau mengambil alih kebudayaan lokal. Bahkan sebaliknya, kebudayaan tersebut dapat secara signifikan menyumbang bagi pengembangan pandangan dunia pada sebuah masyarakat lokal.

Menurut Gurnah, yang membuat orang-orang di negara-negara berkembang begitu antusias dengan budaya imperialis adalah adanya hasrat yang aktif untuk mengkonstruksi common denominator kebudayaan yang khas, kuat dan saling menguntungkan dengan budaya tersebut melalui proses pertukaran budaya (cultural exchange). Proses pertukaran budaya tersebut dapat menciptakan budaya-budaya baru. Proses tersebut berlangsung dalam sebuah hubungan yang terus-menerus paradoksal: global/lokal, tradisi/kemajuan juga masa lalu/masa depan. Akan tetapi yang pasti, proses pertukaran ini tidak pernah menggiring pada keseragaman atau kloning.

Hal ini karena pola-pola yang berubah di dalam kebudayaan yang berbeda tidak pernah dapat mereproduksi satu sama lainnya. Pola-pola yang berubah tersebut dibentuk dari bahan-bahan baku kebudayaan yang berbeda yang ditempa di dalam sejarah yang beraneka ragam pula.

Proses pertukaran yang kompleks di antara berbagai kebudayaan yang berinteraksi tersebut disebut oleh Gurnah dengan istilah cultural complex (dalam Piliang,

Hiperglobalisasi,2004). Culture-complexia defi isika se agai ... ra gkaia proses ya g

memotivasi setiap orang untuk bekerja dalam proses menyaring, menyusun, memisahkan, memilih dan mengaktifkan tanda-tanda dan simbol-simbol kultural supaya kita menjadikan pertemuan kebudayaan menjadi produktif, bermakna dan

e u gki ka eksis.

Singkatnya cultural-complex ini memungkinkan dibangunnya common denominator

(25)

game) tertentu. Setiap kali terjadi pertemuan dan pertukaran budaya, berkembanglah makna-makna kultural yang baru.

Sebagai hasilnya, pertemuan dan pertukaran budaya tersebut dapat menciptakan sebuah kartografi makna kultural yang sangat kaya dan kompleks. Di setiap titik pertemuan tersebut, terjadi pula reposisi makna, nilai dan identitas.

3. 3. Budaya

Rhizome

dan Budaya Global

Pandangan tentang pertukaran budaya di atas segendang sepenarian dengan pandangan-pandangan Deleuze dan Guattari (Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) yang melihat kebudayaan sebagai sebuah rhizome. Istilah rhizome ini meminjam dari ilmu biologi yaitu jenis akar tanaman yang bercabang-cabang dan melebar ke mana-mana. Kebudayaan yang dilihat sebagai rhizome mengandung unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan berbagai garis hubungan.

Artinya, kebudayaan yang dibangun berdasarkan prinsip rhizome adalah kebudayaan yang tidak pernah berhenti menghubungkan rantai semiotik, tanda, simbol, makna, pengetahuan dan kode-kode kebudayaan dengan kebudayaan lain, dalam rangka menciptakan makna, pengetahuan dan relasi-relasi sosial yang baru dan kreatif. Ia adalah sebuah kebudayaan yang tidak pernah berhenti berhubungan, berinteraksi, berdialog, bersaing, berubah bahkan berpindah.

(26)

pada gagasan, nilai, kepercayaan dan simbol yang relatif eksplisit dan dianut secara umum, berdasarkan konsensus tertentu yang mengikat. Budaya global pada kenyataannya bukan sebuah konsep genealogis yang menjelaskan sebuah fenomena kebudayaan yang lahir atau mengakar pada sebuah teritorial tertentu, sebagaimana misalnya budaya Jawa. Budaya global jauh lebih abstrak dan lebih kompleks.

(27)

Cinta Laura Kiehl

Sebetulnya, apakah yang dimaksud dengan identitas? Tulisan ini akan mencoba mengupas soal identitas dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah identitas terkait dengan budaya. Dalam pendekatan pertama ini, penulis banyak bertumpu pada tulisan Sen tentang identitas dalam Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (2008). Pendekatan kedua adalah identitas sebagaimana dipandang dari kacamata psikologi. Untuk pendekatan kedua ini, penulis menggunakan sejumlah teori psikologi seraya secara khusus melihat proses pembentukan identitas pada individu.

4. 1. Identitas sebagai Mata Rantai

Menurut Jonathan Rutherford, identitas adalah sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Mata rantai ini menghubungkan identitas dengan

(28)

hubungan-hubungan sosial, kultural dan ekonomi di dalam ruang dan waktu tempat masyarakat tersebut hidup. Sebagai ikhtisar, identitas punya sejarahnya. Setiap individu dalam satu masyarakat merupakan sintesis dari hubungan-hubungan yang ada di masa sekarang juga dari sejarah hubungan-hubungan tersebut.

Kata identitas sendiri adalah satu kata kunci yang bisa mengacu pada konotasi apa saja: sosial, politik, budaya dan sebagainya. Identitas, bagi situasi-situasi tertentu, bisa bermakna kekhawatiran, ketakutan atau keakuan.

Bagaimana hubungan antara identitas individu dengan kenyataan yang ada di luar dirinya? Menurut Piliang (dalam Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas, 2004) identitas bukanlah miliki individu semata-mata. Identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Sebagai hal yang mempersatukan, identitas ini sekaligus membedakan (difference) mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya.

Hal ini berarti identitas memberikan pengertian kepada setiap individu di dalam sebuah masyarakat tentang posisi sosial mereka di dalam berbagai kelompok masyarakat lainnya. Identitas memberikan pengertian pada setiap individu tentang lokasi personalnya. Dalam lokasi personalnya ini, individualitas berada pada titik pusatnya yang stabil dan mantap (dalam Piliang, Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas,2004). Pada tingkat ini, identitas memberikan seseorang pengertian tentang lokasi personal, titik pusat individualitas yang stabil dan mantap. Jonathan Rutherford menganalogikan identitas dengan satu tempat yang dinamai rumah, yaitu rumah sebagai tempat kembali dan alam dari mana berasal.

(29)

maka, seperti disebut oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann (dalam Piliang,

Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas,2004), identitas merupakan unsur kunci dalam pembentukan relitas sosial.

Identitas merupakan topik bahasan yang banyak dikaji dalam bidang ilmu psikologi. Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha

erkela juta ta pa akhir. Bagaika suatu jala ya g erliku, kata Yasraf A ir Pilia g.

Oleh karena identitas bukan merupakan suatu entitas yang final dan statis melainkan sesuatu yang selalu tumbuh. Karena identitas bukanlah sesuatu yang final atau sesuatu yang senantiasa berubah, penelitian tentang identitas tidaklah mudah. Menggunakan psikologi sebagai titik tolak, tulisan ini akan mengambil cara pandang terhadap identitas ini fokus pada konteks mikro yaitu individu. Oleh karena itu, guna melengkapi kajian tentang identitas secara makro seperti diulas di bagian ini, berikut disampaikan identitas seperti dilihat dari kacamata ilmu psikologi.

4. 2. Identitas yang Berkembang

Abdilah (2002) menyebut bahwa karakter individu yang berakar pada identitas dasar semenjak lahir seperti adanya. Identitas menjadi suatu anugerah yang tidak bisa

dihi dari. Ide titas dasar itulah ya g ke udia e e tuk keakua da

membedakan dengan yang lain (kamu, mereka dan dia). Hakikat dasar individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh atau diri sang bayi ketika lahir.

(30)

terdapat tahap eksplorasi dan tahap komitmen. Tahap eksplorasi terjadi ketika individu mencari identitas-identitas alternatif yang bermakna. Komitmen berarti individu tersebut telah menunjukkan penerimaan personal pada satu identitas dan menerima apapun implikasi dari identitas tersebut.

Berdasarkan kombinasi kedua tahapan tersebut, Marcia (1980, 1998 dalam Santrock, 2007) mengungkapkan empat tipe identitas yaitu:

Identity diffusion yang terjadi ketika indiviu belum mengalami krisis atau membuat komitmen, dimana mereka belum memutuskan pilihan pekerjaan dan ideologis dan kemungkinan tidak begitu tertarik dengan persoalan-persoalan seperti ini.

Identity foreclosure yang terjadi pada saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis. Hal ini kerap terjadi ketika orang tua menentukan komitmen untuk anak remaja, seringkali secara otoriter. Dalam kesempatan ini remaja tidak punya cukup kesempatan untuk mengeksplorasi pendekatan, ideologi dan pilihan pekerjaan yang berbeda-beda sesuai keinginan mereka sendiri.

Identity moratorium terjadi sewaktu individu berada di tengah-tengah krisis tetapi komitmen mereka tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.

Identity achievement terjadi pada saat individu telah mengalami krisis dan telah membuat komitmen.

Jelas bahwa pandangan psikologi tentang identitas sebagai sesuatu yang dinamis dan terus berkembang sejalan dengan pemikiran Stuart Hall dalam Piliang (2004) yang menyebutkan identitas se agai suatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses

(31)

Di dalam ketidaksempurnaannya, penting sekali untuk mengingat bahwa tahap-tahap perkembangan identitas tersebut di atas tidak menyimpulkan bahwa individu memiliki hanya satu identitas. Bahkan mengacu pada tahap eksplorasi, individu dimungkinkan untuk mempertimbangkan lebih dari satu alternatif untuk menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya.

Lalu bagaimana identitas, atau tepatnya identitas-identitas, tumbuh dan berkembang? Bagian berikut mengupas identitas sebagai entitas yang majemuk dan tidak tunggal. Perspektif yang digunakan di bawah ini adalah pandangan dari Sen (2008).

4. 3. Identitas sebagai Kemajemukan

Pada kondisi global dan postmodern saat ini, Abdilah (2002) berpendapat bahwa bisa jadi seseorang bisa menganut identitas satu sekaligus menganut identitas yang lain. Laki-laki yang juga wanita atau bukan kedua-keduanya yang justru menampilkan identitas tersendiri, homoseksual, gay, lesbianisme, masokhisme.

Contoh lain adalah identitas penulis sendiri. Penulis adalah perempuan, penulis juga keturunan Jawa, penulis juga orang Jakarta karena disinilah penulis dibesarnya. Penulis juga ibu serta istri, anak juga menantu, profesional sekaligus mahasiswi pasca sarjana. Penulis seorang Muslim tetapi praktik keberagamaannya lebih mendekati seorang agnostik. Penulis secara politis liberal sekaligus condong ke Marxis. Dapat dilihat bahwa identitas bukan entitas yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, identitas bersifat majemuk seperti spektrum berbagai warna dan bermacam kepekatannya. Identitas serba beragam dan beraneka macam.

(32)

Menurut Sen (2008), identitas punya dampak psikologis pada si pemiliknya, yaitu manusia. Rasa memiliki suatu identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain. Perhatian kita pada identitas tertentu bisa mempererat pertalian dan membuat kita bersedia melakukan berbagai hal satu sama lain dan turut membawa kita melampauai hidup yang berpusat pada diri sendiri.

Ide titas isa dilihat se agai apa ya g dise ut se agai odal sosial. Dikupas secara

cermat oleh Robert Putnam dan beberapa pemikir lain, kesamaan identitas dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas itu berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya – laiknya modal.

Dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai bagian dari berbagai kelompok – kita menjadi bagian dari seluruh kelompok tersebut. Kewarganegaraan seseorang, tempat tinggalnya, asal daerahnya, jenis kelaminnya, kela sosialnya, pilihan politinya, profesinya, pekerjaannya, kebiasaan makannya, minat olahraganya, selera musiknya, komitmen sosialnya, dan sebagainya membuat seseorang itu menjadi bagian dari beragam kelompok. Masing-masing dari kelompok tersebut, yang ke dalamnya seseorang tercakup secara serentak, memberi identitas yang khas pada dirinya. Tak satupun di antaranya bisa disebut sebagai satu-satunya identitas atau kategori keanggotaan tunggal bagi orang yang dimaksud.

Sen (2008) berargumen bahwa sulit bagi kita untuk percaya bahwa orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung, atau bahwa ia hanya perlu

(33)

sepenuhnya merupakan fenomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam).

Pada kenyataannya, Sen (2008) berpendapat, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan, meski cuma secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita punya alasan yang jelas untuk mengakui, menghargai dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Adanya pilihan ini tentu saja tidak menandakan bahwa pilihan tersebut tidak dibatasi oleh hambatan-hambatan. Lebih jauh lagi, Sen (2008) menjelaskan bahwa tentu saja pilihan selalu dibuat dalam batas-batas tertentu yang kita pandang layak. Dalam persoalan identitas, kelayakkan tersebut bergantung pada karakter pribadi kita serta keadaan yang menentukan alternatif-alternatif kemungkian yang terhampar bagi kita. Sesungguhnya tidak ada hal yang lebih mendasar dan universal ketimbang kenyataan bahwa semua bentuk pilihan di setiap bidang selalu dibuat dalam keterbatasan tertentu. Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Memang kadang kita bahkan tidak sepenuhnya sadar bagaimana pihak lain mengidentifikasikan diri kita, yang bisa berbeda dari pemahaman kita sendiri.

(34)

dan kekayaan identitas yang ada pada pihak lain kita pinggirkan dan kita ganti dengan identitas tunggal yang permanen.

Menegaskan pada konsep-konsep psikologi sosial tersebut di atas, Sen (2008) menerangkan bahwa perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak saja dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Menguatkan pemikiran di atas, Sen (2008) menyebutkan bahwa perendahan tersebut didasarkan pada ilusi tentang adanya suatu identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Pengandaian tentang identitas tunggal ini bisa kita temukan penerapannya dalam ide

dasar siste klasifikasi ya g e jadi latar i telektual agi lahir ya tesis e tura a tarperada a . Tesis i i telah ra ai diper i a gka da elaka ga se aki a yak

diunggul-unggulkan terutama sejak terbitnya buku berpengaruh Samuel Huttington, The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order.

Sen (2008) memandang bahwa pendekatan bentrokan peradaban ini memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama dari pendekatan ini berpangkal dari kategorisasi tunggal itu sendiri, bahkan sebelum persoalan ada atau tidaknya benturan itu mengemuka. Sen (2008) dengan tegas menyatakan bahwa sikap keras untuk mendesakkan, meskipun hanya secara tersirat, suatu identitas manusia yang tunggal dan tanpa pilihan membuat kita menjadi kerdil. Kelemahan mencolok kategorisasi tunggal yang tanpa pilihan ini sungguh-sungguh berdampak pada melemahnya daya dan jangkauan nalar sosial-politik kita. Ilusi tentang takdir meminta harga yang luar biasa mahal. Tak hanya itu, pandangan seperti ini pun membuat dunia jadi jauh lebih membara.

(35)

terletak pada kemajemukan identitas kita yang saling bersangkutpaut dan menentang pemilahan-pemilahan yang seturut satu garis pengelompokan tunggal yang katanya tidak bisa diganggu gugat.

4. 4. Globalisasi dan Identitas Majemuk

Dalam globalisasi dimana terjadi pertukaran budaya (cultural exchange), memiliki identitas majemuk menjadi sebuah keniscayaan. Tak perlu disangsikan lagi, latar belakang budaya kita banyak mempengaruhi perilaku dan pemikiran kita. Budaya, menurut Sen (2008) mempengaruhi rasa identitas dan persepsi kita tentang keterikatan dengan kelompok tempat kita menjadi bagiannya. Sen (2008) juga menegaskan, identitas budaya kita amatlah penting.

Meskipun demikian, identitas budaya tersebut tidak berdiri sendiri. Identitas budaya kita tidak terpisah dari berbagai hal lain yang mempengaruhi pemahaman dan prioritas kita. Dalam mencermati pengaruh kebudayaan terhadap kehidupan dan tindakan manusia ada beberapa hal yang disebut oleh Sen (2008). Kebudayaan, tegas Sen (2008), tidaklah homogen. Di dalam satu ranah budaya yang sama bisa saja terdapat banyak sekali variasi.

Kebudayaan, juga disebut oleh Sen (2008), tidaklah mandek. Kebudayaan bisa berubah akibat banyak hal. Sen (2008) mencontohkan bagaimana transformasi pendidikan di Jepang dan Korea memiliki implikasi budaya yang mendalam.

(36)

Mengadopsi berbagai alternatif identitas budaya, tak pelak seseorang pun memiliki identitas majemuk.

Identitas majemuk, globalisasi serta kebudayaan global yang heterogen, dinamis dan berinteraksi dengan faktor-faktor lain tersebut segendang sepenarian dengan apa yang diyakin oleh postmodernisme. Tak ada lagi pandangan bentrokan identitas, apalagi identitas Barat versus Timur, Global versus Lokal ataupun dikotomi-dikotomi lainnya. Postmodernisme percaya pada kemajemukan, keberagaman dan keberanekaan.

Di dalam ranah pendidikan, sekolah internasional menjadi agensi dari pandangan postmodernisme ini. Di dalam sekolah internasional, pertukaran budaya bisa terjadi secara konkrit dan budaya global pun muncul dari sekolah-sekolah seperti ini. Tulisan ini

e dudukka sekolah i ter asio al se agai ikro-kos os dari ke u ula i di idu

(37)

Cinta Laura Kiehl

Istilah sekolah internasional sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja, yang dikenal sebagai sekolah internasioal sejauh ini adalah sekolah yang siswa-siswanya berasal dari berbagai negara. Sekolah ini banyak ditemui di kota-kota besar. Siswa- siswanya kebanyakan anak pejabat tinggi kedutaan, konsulat, atau ekspatriat. Merekalah yang bersekolah di jenis sekolah internasional (Harian Surya, 21 Mei 2007).

Akan tetapi sekarang sekolah internasional memiliki pengertian yang berbeda. Sekolah internasional, tepatnya Sekolah Berstandar Internasional (SBI) adalah sekolah yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusan memiliki kemampuan daya saing internasional. Visi SBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya - upaya yang dilakukan secara intensif dan terarah.

(38)

Setiap sekolah berstandar internasional harus menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication technology/ICT). Proses belajar - mengajar di SBI harus menggunakan bilingual, terutama untuk pelajaran matematika dan sains (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Dengan demikian, jelas perbedaan sekolah internasional dahulu dengan Sekolah Berstandar Internasional yang berlaku sekarang. Dulu, siswa-siswa sekolah internasional adalah siswa-siswa non Indonesia atau berwarga negara asing. Saat ini, murid-murid sekolah internasional justru warga Indonesia sendiri.

Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo menyatakan bahwa Undang-Undang no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurutnya, undang-undang tersebut memang mengamanatkan agar pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan pendidikan yang bertaraf internasional. Secara khusus, pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".

Lebih jauh lagi, Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo menjelaskan bahwa standar pendidikan bertaraf mutu internasional itu ukurannya lebih komprehensif dan bukan hanya pada masalah bahasa saja. Ukuran sistem pendidikan bertaraf mutu internasional ini juga mencakup sarana, prasarana, dan proses pembelajarannya bertaraf mutu internasional (Kapanlagi.com, 10 Agustus 2005).

(39)

Sekolah internasional ini terbuka untuk siapa saja. Sekolah internasional bukan sekolah

eksklusif kare a, “ekolah tersebut tidak membedakan siswa menurut jenis kelamin,

status sosial eko o i, aga a, da lokasi geografis ya, demikian dijelaskan oleh

Suyanto.

Tak semua sekolah internasional bermutu. Sekolah dengan standar internasional ini, terang Suyanto, baru disebut bermutu apabila sekolah tersebut memiliki proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, serta pro perubahan. Artinya, sekolah ini mengadopsi proses belajar mengajar yang menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinanan-kemungkinan atau ide-ide baru yang belum pernah ada. Dengan demikian, keluarannya memiliki keunggulan-keunggulan mutu secara nasional dan sekaligus internasional, baik itu menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotornya (Harian Sinar Harapan, 7 Maret 2007).

Tak dapat disangkal, kemunculan sekolah internasional merupakan upaya untuk menjawab tantangan kompetisi sumber daya manusia yang semakin keras di masa globalisasi. Maka jelaslah, sekolah internasional menjadi relevan dibahas dalam kaitannya dengan globalisasi. Lalu bagaimana keterkaitan sekolah internasional dengan isu-isu seperti identitas majemuk dan pertukaran budaya juga filsafat postmodernisme itu sendiri?

(40)

5.1. Bahasa dan Sekolah Internasional

Sebelumnya, perlu diperjelas dahulu apa yang dimaksud sebagai bahasa. Bahasa didefinisikan sebagai bentuk komunikasi, baik lisan, tulisan maupun menggunakan tanda, yang didasarkan pada sistem simbol (Santrock, 2007).

Menurut ahli bahasa Noam Chomsky (1957 dalam Santrock, 2007), manusia cenderung mempelajari bahasa pada waktu tertentu degnan cara tertentu. Bukti dari pemikiran ini adalah anak-anak di seluruh dunia mencapai titik penting berbahasa pada saat yang hampir bersamaan, dengan urutan yang nyaris sama, sekalipun banyak variasi di antaranya.

Dalam mempelajari bahasa, anak tak bisa dilepaskan dari lingkungan sosialnya (Nelson, Aksu-Koc & Johnson, 2001; Snow & Beals, 2001 dalam Santrock, 2007). Lingkungan berperan signifikan dalam perkembangan bahasa, terutama dalam penguasaan kosa kata (Tamis-LeMonda, Bornstein & Baumwell, 2001 dalam Santrock, 2007).

Salah satu lingkungan tempat individu belajar menggunakan bahasa adalah sekolah. Dalam sekolah yang disebut sebagai sekolah yang menerapkan pendidikan bilingual, siswa belajar bahasa ibunya sekaligus bahasa yang digunakan secara internasional (biasanya bahasa Inggris).

(41)

anak kehilangan kemampuan berbahasa Spanyol dalam diri anak yang mengikuti program bilingual (Rodriguez dkk, 1995 dalam Santrock, 2007).

Pendidikan bilingual ini menjadi salah satu ciri kunci sekolah internasional karena di sekolah berstandar internasional tersebut digunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Di beberapa sekolah internasional, bahkan diperkenalkan pula bahasa Mandarin. Jadi selain bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, siswa-siswa sekolah internasional akan bergelut dengan bahasa-bahasa lain.

Bahasa sendiri, seperti dijelaskan di bagian-bagian sebelumnya, merupakan bagian yang tak terlepaskan dari identitas. Khusus terkait dengan identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.

Misalnya saja sejarah bangsa ini. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928, berbagai kelompok pemuda mendeklarasikan identitas Indonesia sebagai bangsa melalui Sumpah Pemuda dimana Bahasa Indonesia merupakan bagian dari identitas nasional tersebut.

Setelah merdeka, bahasa Indonesia pun berkembang, dari mulai menggunakan ejaan lama yang digunakan di jaman penjajahan Belanda sampai ke Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Di jaman pemerintahan Orde Baru, bahkan sempat ada gerakan menerjemahkan nama-nama berbahasa Inggris dimana perumahan-perumahan seperti perumahan Gree Garde dipaksa u tuk eru ah e jadi Gre Gade . I i se ua tak lain demi memperkuat identitas nasional sebagai bangsa Indonesia.

(42)

mana sekolah berada semakin terkikis. Dirinya kuatir, apa yang disebut sebagai identitas nasional atau identitas bangsa bisa tergerus akibat digunakannya bahasa Inggris sebagia bahasa pengantar, bukannya bahasa Indonesia.

5.2. Bahasa dan Identitas

Secara filsafat, bahasa memang memiliki posisi yang penting. Sugiharto (1996) dalam bukunya berjudul Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat menyebutnya sebagai paradigma transformatif dari bahasa. Dalam perspektif hermeneutik, bahasa (die Sprachlichkeit dilihat se agai pusat gra itasi. Gada er e gataka Ada Being) yang

sia di e gerti adalah ahasa . “eperti hal ya dala defi isi Yu a i, a usia dilihat

sebagai zoon logon echon, dalam arti bahwa manusia adalah mahluk yang berbicara, pengada yang memiliki logis. Dengan kata lain, manusia adalah binatang yang bercerita.

Munculnya bahasa, menurut Sugiharto (1996) menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan menuju alam yang sangat khas manusia, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa adalah munculnya kemampuan reflektif. Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek potensial bagi dirinya sendiri, menjadi persoalan pokok pemahaman dirinya sendiri.

Keterkaitan antara bahasa dengan identitas sangatlah jelas. Sugiharto (1996) menyitir

perkataa ke alilah diri u! ya g erupaka asis ke u ula filsafat Yu a i Ku o,

sebagai ungkapan yang menunjukkan hakikat bahasa: terbitnya kesadaran diri yang sekaligus merupakan potensi untuk mengatasi keterbatasan diri itu. Siapa kita ini sebagai manusia sangat ditentukan oleh bahasa. Kita memahami diri kita dengan cara menceritakan diri kita.

(43)

berpikir tentang kenyataan itu selain lewat bahasa. Bahasa lebih dari sekedar teks, struktur dan makna. Bahasa adalah pengalaman yang dihayati, yang memberi kepada bahasa makna-makna eksiste sial ya. Me yitir perkataa Heidegger, Bahasa adalah

ru ah te pat ti ggal sa g Ada.

Lalu, manakala identitas dibentuk di sekolah internasional, dimana siswa menggunakan bahasa Inggris, identitas seperti apakah yang muncul? Apakah akan muncul individu-individu dengan identitas majemuk? Lalu bagaimana dengan identitas bangsa? Apakah identitas nasional, yang ditandai dengan menggunakan bahasa Indonesia, akan luntur?

Secara khusus, apakah sekolah internasional akan menghasilkan generasi anak Indonesia seperti Cinta Laura, yang diketahui pernah berucap, "Bahasa Indonesia saya buruk sekali, jadi Cinta will be going to Australia to improve Bahasa I do esia Ci ta

(Wikiquote, Cinta Laura, 2008)?

(44)

Cinta Laura Kiehl

6.1

. Kata Cinta Laura, “aya Bisa Buktikan Punya Jiwa

Nasionalisme karena bagi saya Pancasila itu

United Culture

Bagian berikut ini sepenuhnya diambil dari artikel berjudul Cinta Laura Gagap Baca Teks Pancasila yang diambil dari situs Rileks.com

Untuk kali pertama, artis blasteran Jerman, Cinta Laura, membaca Pancasila. Dia dipilih Guruh Soekarno Putra selaku inspektur upacara untuk membacakan butir-butir Pancasila dalam upacara peringatan Hari Jadi Pancasila di kediaman Guruh, Kebayoran Baru, Minggu, 1/6/2008.

BAB 6

SEKOLAH

INTERNASIONAL,

(45)

Selama ini, Cinta yang menempuh pendidikan di sekolah internasional mengaku tidak pernah membaca Pancasila dengan bahasa Indonesia.

"Selalu bahasa Inggris," tuturnya ditemui jelang acara.

Maka, Cinta berupaya keras agar sukses menjalankan tugas tersebut. Sehari sebelumnya, perempuan kelahiran Quakenbruck, Jerman, 17 Agustus 1993 itu menghabiskan delapan jam untuk melafalkan Pancasila dengan baik dan benar. Pasalnya, logat kebarat-baratan Cinta masih kental terdengar.

"Aku baru tahu dapat tugas ini dua hari lalu. Mas Guruh hubungi Mamiku dan langsung setuju," ungkapnya.

Meski terhitung tugas berat, kata Cinta, tawaran itu tetap diterima.

"Tadi saat gladi resik bacanya oke. Tapi, yang nggak oke jalannya. Practice, jalannya nggak bisa," ujarnya.

Pada pelaksanaannya, Cinta tampil percaya diri. Meski tidak sehebat pasukan pengibar bendera (Paskibra) saat berjalan dan tidak selantang pribumi asli dalam berucap, aksinya terhitung hebat.

(46)

Cinta mengaku paling sulit baca poin keempat dalam Pancasila. Yaitu, pada kalimat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan". "Sukar ngomongnya," ucapnya lantas terkekeh.

Meski demikian, Cinta tak mau dikatakan tak tahu Pancasila, atau tidak memiliki jiwa nasionalisme. Baginya Pancasila itu nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sudah dirumuskan menjadi lima sila.

"Meski saya anak International, saya juga tahu Pancasila. Saya bisa buktikan punya jiwa nasionalisme. Karena bagi saya Pancasila itu United Culture. So Indonesia bisa bersatu," jelas Cinta.

"Banyak orang hafal Indonesia Raya dan Pancasila, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Buat aku yang penting tahu dan ngerti, dari pada sekedar membaca," jelas putri General Manager Hotel Grand Hyatt itu.

6.2. Sekolah Internasional = Narasi Besar?

Seperti sudah disebut pada bagian sebelumnya, Piliang dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern (2004) menjelaskan postmodernisme sebagai sebuah istilah yang menunjuk pada berbagai pengertian, berbagai definisi, berbagai versi, berbagai disiplin, berbagai objek, berbagai ideologi, berbagai strategi, berbagai sistem – singkatnya berbagai hal. Tidak ada satu pengertian, satu produk, satu teks atau satu ideologi posmodernisme, yang ada hanyalah pengertian-pengertian, bentuk-bentuk, teks-teks dan ideologi-ideologi.

(47)

membentuk hutan rimba ideologi yang plural, yang sama-sama diberi label postmodernisme.

Apa yang dibentuk oleh postmodernisme adalah kondisi fragmentasi ideologis yang radikal. Di dalam postmodernisme tersebut, proses pencarian fondasi bersama, determinisme atau konsensus-konsensus ideologis tampaknya mustahil untuk dilakukan. Sebagai akibatnya, yang ada adalah sebuah rimba raya ideologi, yang di dalamnya setiap orang sibuk membangun tempat berteduhnya masing-masing, tanpa perlu merancang bersama-sama sebuah rencana induk (Piliang, 2004).

Tulisan ini melihat bahwa sekolah internasional menggunakan bahasa internasional seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin selain bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan sehari-hari. Pendeknya, sekolah internasional adalah miniatur pertukaran budaya akibat globalisasi.

Sebagai akibatnya, di sekolah internasional, kebudayaan berkembang seperti rhizome

sebagaimana ditegaskan oleh pandangan-pandangan Deleuze dan Guattari (Piliang,

Hiperglobalisasi, 2004). Artinya, kebudayaan yang dibangun berdasarkan prinsip

rhizome adalah kebudayaan yang tidak pernah berhenti menghubungkan rantai semiotik, tanda, simbol, makna, pengetahuan dan kode-kode kebudayaan dengan kebudayaan lain, dalam rangka menciptakan makna, pengetahuan dan relasi-relasi sosial yang baru dan kreatif. Ia adalah sebuah kebudayaan yang tidak pernah berhenti berhubungan, berinteraksi, berdialog, bersaing, berubah bahkan berpindah.

Budaya rhizome tersebut juga dibangun oleh elemen yang namanya bahasa. Seperti ditegaskan oleh Sugiharto (1996), siapa kita ini sebagai manusia sangat ditentukan oleh bahasa. Kita memahami diri kita dengan cara menceritakan diri kita. Di dalam budaya

(48)

rangka menciptakan makna, pengetahuan dan relasi-relasi sosial yang baru dan kreatif. Tanpa henti kita berhubungan, berinteraksi, berdialog, bersaing, berubah bahkan berpindah.

Ketika cerita tentang diri kita muncul dalam berbagai bahasa - lewat hubungan, interaksi, dialog, persaingan, perubahan juga perpindahan itu tadi - maka boleh dibilang, kita akan memiliki identitas-identitas yang bermacam ragam pula. Seperti ditegaskan Erik Erikson (1968 dalam Santrock, 2007), individu mengembangkan identitas dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Siapa aku? Seperti apakah aku ini? Apa yang akan aku lakukan dalam hidup ini?

Seseorang dengan identitas beraneka ragam atau majemuk, boleh jadi mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bahasa dan menemukan jawaban dalam bahasa yang berbeda-beda pula. Di dalam berbagai pilihan jawaban tersebut, seperti ditegaskan oleh Sen (2008), kita semua terus menentukan pilihan-pilihan berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Termasuk di antaranya afiliasi dan asosiasi kita berkenaan dengan identitas budaya kita.

(49)

Bagian berikut akan menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas justru keliru. Tulisan ini akan mengajukan argumentasi identitas sinkretisme sebagai titik tolak.

6.3. Identitas Sinkretisme, Identitas Majemuk

Bagian ini bermaksud untuk mendudukkan argumentasi pada ciri utama postmodernisme. Postmodernisme adalah bentuk perlawanan terhadap narasi besar. Postmodernisme bersimpati pada narasi kecil dimana muncul suara-suara dari narasi-narasi kecil yang dimiliki oleh komunitas-komunitas manusia yang ada di mana-mana.

Kembali ke titik awal tulisan ini, penulis berpandangan bahwa individu seperti Cinta Laura, bukanlah representasi dari kemenangan narasi besar (yakni identitas global lewat penggunaan bahasa internasional yaitu bahasa Inggris) dan kekalahan narasi kecil (yakni identitas lokal lewat penggunaan bahasa Indonesia). Identitas Cinta Laura adalah identitas yang majemuk. Identitas lewat bahasa Inggris dan identitas lewat bahasa Indonesia tidak berada dalam relasi penindas versus tertindas. Identitas-identitas tersebut, bersama-sama dengan berbagai macam identitas Cinta Laura yang lainnya, saling bertukar tempat, berganti-ganti, saling berinteraksi dan saling tumpang tindih, secara simultan tanpa putus. Alhasil, Cinta Laura serupa dengan postmodernisme: kontroversial.

(50)

Sikretisme, diterangkan oleh Piliang (2004), sebagai satu bentuk artikulasi taktis dari berbagai elemen yang berbeda untuk menghasilkan perbedaan identitas. Ketimbang membentuk satu kesatuan yang homogen dan lebih tinggi, sinkretisme menyusun satu rangkaian elemen-elemen heterogen berbeda dalam upaya merubah hubungan mereka satu sama lain. Elemen-elemen yang bersatu dalam sinkretisme menolak kepemilikian absolut yang bersifat apriori dan menghindarkan diri dari pengukuhan esensialisme asal-usul, baik terhadpa identitas maupun hubungan-hubungannya. Sikretisme, lanjut Piliang (2004) menghadirkan elemen yang bermacam ragam tersebut secara formal. Dalam pertemuan elemen-elemen tersebut, tidak ada yang dilebur atau dilenyapkan dalam proses perubahan ini. Dalam sinkretisme, satu elemen (identitas) dan elemen (identitas) lainnya saling tukar secara mutual dalam satu kerangka sejarah, berdasarkan pada permainan diferensi dan daya tarik menarik. Sinkretisme secara terus menerus menantang stabilitas transedental konsep-konsep identitas dan perbedaan yang esensial dan orisinal.

Identitas pada Cinta Laura merupakan contoh dari apa yang disebut oleh Piliang (2004) sebagai sinkretisme di atas. Identitas seperti ini segendang sepenarian dengan konsep identitas majemuk yang diajukan oleh Sen (2008).

Penulis berpandangan bahwa identitas sinkretisme atau majemuk merupakan representasi dari narasi-narasi kecil. Identitas ini tidak identik dengan identitas nasional, identitas bangsa atau identitas Indonesia. Sebaliknya, baik identitas nasional, identitas bangsa atau identitas Indonesia adalah representasi dari narasi besar karena di dalam identitas-identitas tersebut ada pandangan akan dunia (world view) yang, mestinya, diadopsi oleh semua warga negara Indonesia. Di sisi lain, identitas ini juga tidak identik

de ga ide titas ke arat- arata , se agai a a dise ut oleh para pe irsa tele isi

(51)

Cinta Laura Kiehl

7.1. Kesimpulan

Sekolah internasional muncul di Indonesia guna menjawab apa yang disebut oleh

ba yak ora g se agai ta ta ga glo alisasi. “alah satu ja i a utu sekolah

internasional adalah kemampuan siswanya berbahasa internasional seperti bahasa Inggris juga bahasa Mandari. Akibatnya siswa-siswa sekolah internasional memiliki kemampuan bahasa yang beragam. Karena bahasa menyatakan identitas, maka kemampuan bahasa beragam ini menciptakan identitas yang majemuk atau sinkretis. Identitas majemuk atau sinkretis seperti ini merupakan representasi dari pandangan postmodernisme dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Contoh nyata dari individu dengan identitas majemuk atau sinkretis ini adalah Cinta Laura, pemain sinetron beribu orang Indonesia, yang harus mengambil les khusus guna bisa berbahasa Indonesia, yang mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris, termasuk dialek serta logat kedua bahasa tersebut, dalam berkomunikasi.

BAB 7

KESIMPULAN

Referensi

Dokumen terkait

dalam rumah tangga perspektif hukum Islam melalui beberapa upaya, yakni advokasi hukum untuk melindungi hak-hak material istri: (1) tidak adanya campur tangan pemerintah menentukan

Dengan adanya pengadaan loyalty program card dapat memudahkan pelanggan untuk memperoleh diskon pada hari tertentu, loyalty program hanya dapat diterapkan pada retail

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai keselarasan teknologi informasi terhadap strategi Dinas XYZ Kota Pekanbaru yang telah dilakukan, maka dapat

ligulae dan daun bendera daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselang saling terdapat satu daun pada tiap buku.. Helaian daun yang menempel pada buku

MINI- MEMOIRE L’UTILISATION DE LA METHODEPOHON KATA DANS L’APPRENTISSAGE DU VOCABULAIRE FRANCAIS POUR AUGMENTER LA COMPETENCE DE LA PRODUCTION ECRITE. Universitas Pendidikan

At the very time that it uncouples eligibility for patent from the natural right of the true inventor, the Patent Reform Act simultaneously scales back the claim of the public domain

Implementasi dari musrenbang daerah berpedoman kepada Surat Edaran Bersama antara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri Nomor

Dari hasil penelitian dan pembahasan Laporan Tugas Akhir mengenai Aplikasi Pelayanan Administrasi Berbasis WEB dan SMS Gateway, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya