• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA

B. TEORI KRITIS DAN KOMODIFIKASI BUDAYA

2. Ideologi sebagai Distorsi Realitas

Dalam pengertian paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, kecenderungan yang saling melengkapi sehingga terbentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi (Lull,1998:1). Ideologi merupakan ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik suatu bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, dan sebagainya. Tetapi istilah itu paling sering menunjukkan hubungan antara informasi dan kekuasaan sosial dalam konteks ekonomi politik berskala besar. Dalam pengertian ini, cara-cara berpikir yang terpilih didukung melalui berbagai macam saluran oleh mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi dalam masyarakat.

Istilah ideologi penting dalam kebanyakan teori kritis. Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18 (Thompson dalam Lull,1998:2). Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, dan para teoritikus yang dapat dikatakan

mewakili semua bidang dalam ilmu-ilmu sosial. Mereka mendefinisikan ideologi menurut bagaimana informasi dipergunakan oleh suatu kelompok sosial ekonomi (”kelas berkuasa’ dalam istilah Marxis) untuk mendominasi kelompok lainnya.

Teoritisi ideologi paling terkenal adalah Marxis Perancis Louis Althusser. Bagi Althusser, ideologi hadir dalam struktur sosial sendiri dan muncul dari praktek-praktek aktual yang dilaksanakan institusi dalam masyarakat. Ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan pemahaman subjektif orang tentang pengalaman. Dalam model ini, suprastruktur (organisasi sosial) menciptakan ideologi yang pada gilirannya mempengaruhi pemikiran individu tentang realita. Menurut Althusser, suprastruktur ini terdiri dari aparat-aparat negara yang represif seperti kepolisian dan militer serta aparat yang ideologis seperti pendidikan, agama, dan media massa. Mekanisme represif mempertahankan ideologi bila ia diancam oleh tindakan yang menyimpang, dan aparat ideologis memproduksinya secara lebih halus dalam aktifitas komuniksi sehari-hari dengan membuat ideology kellihatan normal. Teori Marxis cenderung melihat masyarakat sebagai dasar perjuangan antar kepentingan melalui dominasi ideologi terhadap ideologi lainnya.

Sejalan dengan pemikiran Karl Marx, ideologi dimengerti oleh Karl Marx (Suseno,2001:122) sebagai, ”Ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang

menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi”. Sebuah ideologi merupakan sekumpulan pemikiran yang membentuk struktur realita suatu kelompok, sebuah sistem perwakilan atau sebuah kode dari pengertian-pengertian yang mengatur bagaimana individu dan kelompok memandang dunia. Menurutnya, sejumlah gagasan dapat didistorsikan atau realitas mampu ”dibalikkan” sebab realitas itu sendiri selalu berubah-ubah. Dengan cermat Marx menempatkan ideologi secara sekunder, sebab ideologi tidak lebih sebagai hasil dari pembalikan (inversion) atau distorsi yang berasal dari realitas sosial yang sesungguhnya terjadi. Penegasan dapat disimak dari pernyataan Marx (dalam Kartono,2005:10):

The ideas of the rulling class are in every epoch the rulling idea, i.e. the class which is the rulling material farce of society, is at the same time its ruling intellectual farce. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that there by, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production are subject to it. Jadi, gagasan-gagasam dari kelas yang berkuasa menjadi gagasan yang dominan atau berkuasa. Ini sebabnya kelas berkuasa itu mempunyai kekuatan material dalam masyarakat maka dengan sendirinya menentukan kekuatan intelektualnya. Dan kelompok yang tidak memiliki perangkat-perangkat produksi mental akan dengan sendirinya menyerah dan tunduk terhadap gagasan-gagasan yang diproduksi oleh kelas berkuasa.

Seperti juga pendapat marxisme klasik, ideologi adalah sekumpulan pemikiran yang tidak sesuai yang diperkuat oleh kekuatan politik yang

dominan (Littlejohn,2001:215). Bagi marxis klasik, ilmu pengetahuan harus digunakan untuk mengungkap kebenaran dan mengatasi kesadaran yang salah tentang ideologi. Jadi pada dasarnya ideologi terdiri dari sejumlah gagasan yang mendistorsikan realitas yang sebenarnya guna memuluskan kepentingan dari kelas yang berkuasa (the rulling class). Ideologi menjadi pemalsuan dan serentak menjadi distorsi dari realitas sosial yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat sehingga kelas yang dikuasai dapat dikelabui begitu saja.

Dalam Teori Kritis, realitas tidak dimaknai sebagai sesuatu yang apa adanya dan terpisah dari konstruksi sejarah, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Realitas selalu terbangun dari hasil kontradiksi-kontradiksi yang terbentuk dalam masyarakat. Sebuah fakta atau realitas tidaklah stagnan dan berhenti, melainkan selalu bergerak, berubah dan berkembang.

Komunikasi, terutama melalui media memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Media sangat penting karena mereka menampilkan langsung cara memandang realita. Meskipun media menggambarkan ideologi secara eksplisit dan langsung, suara yang menentang akan selalu ada sebagai bagian dari perjuangan dialektis antar kelompok dalam masyarakat. Media tetap saja dikuasai oleh ideologi yang berkuasa, oleh sebab itu mereka menghadapi suara-suara yang menentang dari dalam kerangka ideology yang dominan, yang mendatangkan pengaruh pada pendefinisian kelompok-kelompok sebagai “batas”. Ironi dari media terutama televisi

adalah bahwa mereka menampilkan ilusi keragaman dan objektifitas, sementara dalam kenyataannya mereka merupakan instrument-instrumen yang jelas dari tatanan yang dominan. Para produser mengendalikan isi media melalui cara-cara tertentu untuk menyandikan pesan-pesan. Bagi Hall dan koleganya (dalam pendekatan poststrukturalis) , interpretasi teks-teks media selalu terjadi dalam perjuangan untuk memegang kendali ideologi. Dengan demikian sasaran utama studi budaya adalah untuk mengekspos bagaimana ideologi dari kelompok yang kuat dipertahankan dengan sungguh-sungguh dan bagaimana ideologi tersebut bisa ditentang untuk menumbangkan sistem kekuasaan yang menekan hak-hak kelompok tertentu.

Dokumen terkait