TEMUAN LAPANGAN
II.1. iii Studi Kasus di Tingkat Lokal
Catatan mengenai strategi advokasi di level nasional memang memiliki dinamika yang cukup kompleks. Berikut ini akan disajikan beberapa contoh studi kasus yang ditemukan di level lokal terkait strategi
advokasi yang dijalankan. Pada tiga daerah yang diteliti, terdapat capaian penting Seperlima dalam melakukan implementasi dan advokasi PKRS. Di Kulon Progo, PKBI berhasil menginisiasi Perda tentang PKRS. PKBI Jawa Barat berhasil membuat kampanye publik melalui Balukarna yang mampu menarik minat para remaja untuk sadar akan PKRS. Balukarna merupakan kelompok teater yang dibentuk oleh MCR PKBI Jawa Barat yang memiliki visi dan misi memberikan tontonan seni dengan nilai-nilai kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual remaja. Terakhir di Jombang, Rahima berhasil menerapkan PKRS di pesantren Al- Ghozaliah. Dengan demikian, di tingkat lokal, Seperlima telah mampu melakukan advokasi di level sekolah, masyarakat, dan juga pemerintah daerah.
a. Kulon Progo: Penguatan di Level Kebijakan
Kemajuan Program Penguatan Akses Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksual di Kabupaten Kulon Progo, apabila dilihat dari capaian program, yaitu (1) perluasan inisiatif lokal untuk PKRS
di sekolah; (2) pemberdayaan remaja sebagai advokat PKRS; (3)
partisipasi jaringan remaja nasional dan CSO dalam pelbagai pengetahuan dan advokasi serta keberlanjutan program. PKBI Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu pelaksana program, sudah lebih dahulu memulai dengan adanya adanya Forum Tim Aktivasi Kespro dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati Kulon
Progo No.326 Tahun 2010 sebagai awal proses panjang dari sebuah
kebijakan PKRS di sekolah. Pada prosesnya berhasil menginisiasi forum LSM Kulon Progo untuk menjadi mitra sekaligus memonitor pelaksanaan kebijakan PKRS di Kabupaten Kulon Progo.
PKBI Kabupaten Kulon Progo berhasil mendorong
diimplementasikannya PKRS dalam kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diujicobakan secara serentak pada tanggal 1 Oktober 2014 di Kabupaten Kulon Progo. Peraturan Bupati Kulon Progo terkait penerapan PKRS di dalam kurikulum tergolong matang dan visioner. Hal ini terlihat dari kesiapan beliau dalam mempersiapkan pelbagai aspek terkait, mulai dari stakeholders, rencana mengajukan PKRS ke dalam Perda hingga monitoring dan evaluasi yang anggaran pembuatannya sudah disiapkan. Penerapan PKRS ini diujicobakan selama satu tahun dan akan dievaluasi. Di pihak lain, badan legislatif yang diwakili oleh Ketua DPRD Kulon Progo menyambut baik dukungan dari bupati dan mengatakan bersedia untuk memfasilitasi apabila ingin mengutarakan aspirasi.
Penerapan peraturan bupati tersebut, tidak terlepas dari peran PKBI Kulon Progo, Youth Forum, Forum Guru yang sudah dilatih oleh PKBI Kulon Progo untuk melakukan audiensi kepada bupati
tentang pentingnya PKRS. Kelompok remaja juga aktif sebagai pendidik sebaya dalam menyebarkan info PKRS di sekolah. Program PKRS di Kabupaten Kulon Progo bersinergi dengan program Pemerintah Daerah sehingga mendapatkan dukungan dari APBD. Program juga merangkul DPRD, organisasi sosial masyarakat serta forum guru dan siswa serta media massa. Pengemasan isu di Kulon Progo dilakukan dengan pendekatan persuasif dan terus menerus ke pelbagai pihak dengan
mempergunakan jaringan yang ada. Peningkatan kesadaran dan pemahaman sebagai proses advokasi dilakukan media sosial (facebook, twitter), seminar, konseling, penyuluhan, pelatihan dan metode atau cara penyampaian materi PKRS yang disesuaikan dengan tingkatan umur, budaya masyarakat lokal setempat, serta diusahakan menarik.
b. Bandung: Pengayaan Pengetahuan dan Pengorganisasian Remaja Hasil capaian kegiatan di Kota Bandung pada riset akhir program menunjukkan perkembangan yang cukup baik meski mengambil strategi advokasi yang berbeda dari Kabupaten Kulon Progo. Strategi advokasi yang dilakukan di Kota Bandung ditunjukkan dengan adanya inisiatif di sekolah-sekolah dampingan PKBI Jawa Barat yang telah mengimplementasikan PKRS. Di Kota Bandung, Mitra Citra Remaja (selanjutnya disebut MCR) PKBI membentuk sebuah teater remaja sebagai wadah advokasi remaja yang bersifat kontemporer yang memadukan antara kesenian dengan advokasi. Kehadiran teater Balukarna sebagai media kampanye KRS merupakan sebuah inisiatif advokasi melalui cara berbeda
yang juga cukup signiikan.
Secara garis besar, bentuk implementasi PKRS di sebagian besar sekolah-sekolah dampingan memanfaatkan mekanisme insersi pada beberapa mata pelajaran yang relevan, seperti:
Biologi, Sosiologi, Penjaskesor, Pendidikan Agama, Reproduksi (pada sekolah kejuruan), Pendidikan Lingkungan Hidup dan memanfaatkan waktu konseling di Bimbingan Konseling. Melalui bentuk
implementasi di atas, tampak dalam penelitian yang dilakukan bahwa terjadi pengayaan pengetahuan di tingkat siswa dan guru terkait PKRS di Kota Bandung. Pengayaan pengetahuan pada isu KRS
merupakan salah satu bentuk capaian yang sangat signiikan sebagai
tolok ukur strategi advokasi yang telah dijalankan di tingkat lokal. Pengayaan pengetahuan tidaklah mungkin tercapai tanpa adanya advokasi dan koordinasi antara pihak-pihak lokal di Kota Bandung.
Di Kota Bandung, berdasarkan temuan, hanya SMKN 1 Bandung yang menyatakan belum menerapkan PKRS di sekolahnya akan tetapi sudah mulai diperkenalkan dalam bentuk seminar yang masih bersifat situasional seperti pada Masa Orientasi Sekolah (MOS). Di samping itu, mekanisme insersi ternyata masih terbukti
mampu menyediakan informasi KRS dengan lebih komprehensif. Berdasarkan pengakuan para siswa, mereka sudah memahami mengenai pengertian kesehatan reproduksi, terutama ketika para siswa mampu menjelaskan pengertian kesehatan reproduksi dengan mengaitkan antara pengertian kesehatan tubuh dan dampak
psikologis secara umum dengan organ reproduksi.
Selain itu, para siswa juga mampu menjelaskan pengertian kesehatan seksual, berdasarkan jawaban yang mereka berikan. Setelah digali lebih jauh mengenai kesehatan seksual, para siswa mampu menjelaskan bahwa kesehatan seksual tidak hanya terbatas pada aktivitas melakukan hubungan seksual semata. Lebih jauh mereka menjelaskan bahwa di dalam kesehatan seksual, terdapat
pula informasi mengenai pubertas bagi remaja, perubahan isik dan
psikologis remaja saat menuju kematangan, dan mimpi basah. Pada saat FGD yang dilakukan pada tanggal 15 Desember 2014 yang lalu,
para siswa pun telah mampu menjelaskan 3 cara aktivitas seksual,
anal, oral dan vaginal, mereka pun menekankan pentingnya bagi remaja untuk mengetahui informasi tersebut sehingga mereka mampu menghindari aktivitas seksual yang mereka rasa belum saatnya mereka alami.
Materi lainnya yang telah dipahami dengan cukup baik oleh para siswa-siswi dampingan PKBI antara lain materi mengenai HIV dan AIDS, Kehamilan Tidak Diinginkan, Kekerasan dalam Relasi antar Remaja (termasuk di dalamnya bullying dan pacaran tidak sehat). Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi PKRS melalui insersi di Kota Bandung sudah cukup
baik dan menunjukkan perubahan yang cukup signiikan. Hal ini
menunjukkan bahwa isu PKRS dapat disisipkan ke dalam mata pelajaran yang telah ada. Secara kapasitas, metode insersi pun
sesungguhnya memiliki dampak yang cukup signiikan ketika
digunakan untuk menyampaikan materi PKRS, dengan demikian proses advokasi di tingkat lokal pun menjadi lebih mudah dan menjanjikan keberhasilan yang lebih optimal sebagai ukuran capaian kegiatan.
MCR Kota Bandung sendiri dinilai sebagai bentuk
pengorganisasian kesehatan remaja yang cukup srategis. Inovasi dan kreativitas dalam perencanaan kegiatan membuat MCR memiliki posisi paling potensial terkait pengorganisasian remaja. Jumlah remaja yang terlibat dan variasi kegiatan yang ada di dalam MCR sendiri merupakan satu keunggulan yang tidak bisa dikesampingkan dan harus diperhitungkan. Dalam FGD dengan CSO, para peserta yang hadir pun mengakui bahwa MCR merupakan satu-satunya wadah organisasi remaja terkait kesehatan yang ada di Kota Bandung. Dengan demikian, PKBI Jawa Barat sudah memiliki aset yang baik dalam menjalankan fungsi membangun jejaring dan organisasi remaja. Ditambah lagi,
melalui inovasi terbaru MCR saat ini memiliki wadah kreativitas yang mulai diperhitungkan tidak hanya oleh remaja namun juga oleh SKPD di Kota Bandung melalui Teater Balukarna.
Teater Balukarna, kegiatan kesenian yang berupaya melakukan kampanye seputar persoalan kehidupan remaja dengan gaya yang segar, unik, dan meninggalkan pakem-pakem penyuluhan gaya konvensional selama ini. Isu yang dibawa merupakan isu sehari-hari remaja digabungkan dengan gaya tradisional klasik yang membuat tidak hanya remaja yang tertarik, namun juga membuat Balukarna ramai diperbincangkan di jajaran SKPD dan juga guru serta orang tua. Meski pernah membawakan isu KRS, hingga saat ini Teater Balukarna tetap dianggap sebagai wadah penyuluhan dan juga pelestarian budaya. Umumnya kedua unsur ini bisa dimanfaatkan sebagai media kampanye PKRS. Replikasi kegiatan serupa seperti Teater Balukarna memiliki potensi untuk bisa dicontoh di wilayah-wilayah lain. Di tahun 2014 yang lalu, Teater Balukarna mendapatkan dukungan dana dari Dinas Olahraga dan Pemuda untuk melakukan pementasan di Kota Bandung.
c. Jombang: PKRS dari Remaja untuk Remaja
Rahima melakukan pendampingan pesantren di Kabupaten Jombang dengan tiga capaian program yang diusung bersama oleh Seperlima. Tiga elemen utama yang perlu diperhatikan untuk keberlanjutan program, yakni: cepat tanggap terhadap kebutuhan siswa, meningkatkan koordinasi dan kerjasama, serta memperbaiki materi-materi yang diberikan kepada siswa. Menurut guru, kesiapan yang ditunjukkan guru bukan setelah mendapatkan pelatihan PKRS saja, faktor pendampingan dan materi juga menjadi hal yang paling penting dalam melanjutkan kegiatan program PKRS di sekolah.
PKRS ini belum kelihatan. Muatan lokal sebagai mata pelajaran dan materi PKRS yang diinsersi dalam beberapa mata pelajaran lain belum terlihat keberhasilannya. Pak Nas (Al-Ghozaliyah) mengatakan, “Sementara kita belum bisa (mengevaluasi), saya
anggap sudah cukup. Yang bisa digunakan di sini, kita bisa gunakan
dan cocok. Setelah kita sampaikan, kita lihat gimana respon anak-anak. Kita ajarkan PKRS, ternyata besoknya anak-anak hamil semua, berarti sampean ngasinya salah.” Insersi juga dianggap sebagai kelemahan dari implementasi penyampaian materi PKRS itu sendiri. Materi PKRS pun belum bisa dipastikan jangkauan dampaknya sampai mana untuk mengubah paradigma masyarakat akan PKRS dalam konteks lokal Jombang.
Selain kesulitan menentukan metode evaluasi PKRS yang tepat di MA Al Ghozaliyah, materi PKRS yang diinsersi ke beberapa mata pelajaran, pesantren belum bisa memberdayakan guru dan
menambah guru PKRS karena kualitas SDM profesional yang
belum memenuhi target sekolah dan belum tersertiikasinya
tenaga pendidik. Isu PKRS cukup sensitif di Jombang, Forum Guru menyatakan bahwa setiap orang yang tidak paham secara utuh tentang PKRS, pasti mempunyai pemikiran dan asosiasi yang lain. Namun di sekolah, yakni MA Al Ghozaliyah, siswa menanggapi positif PKRS dengan membentuk forum diskusi. Fakta ini adalah bukti bahwa pelan-pelan isu PKRS akan bisa diterima jika dilakukan pendekatan yang tepat sehingga sasaran mengetahui alurnya.
Forum guru dan Kepala Sekolah Al Ghozaliyah menyatakan bahwa materi PKRS dari Rahima sudah tidak dianggap tabu lagi. Guru sebagai fasilitator juga dimudahkan karena materi dapat dengan lugas disampaikan dan akan diterima dengan antusias oleh siswa. Hal ini disampaikan oleh Pak Nas, ketika membaca modul PKRS yang diberikan oleh Rahima,