• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklim

Dalam dokumen Malaria Layout (Halaman 137-143)

BAB 6 FAKTOR LINGKUNGAN

A. LINGKUNGAN FISIK

9. Iklim

Ahli meteorologi mengklasikasi pola iklim kedalam dimensi spasial dari besar ke kecil yang secara global. Perubahan iklim tersebut terjadi sebagai efek samping dari aktitas manusia dan masuk kedalam lingkungan. Perubahan komposi udara di atmosr yang menyelimuti permukaan bumi dapat merubah keseimbangan energi permukaan bumi. Perubahan komposisi energi mungkin

Perubahan tersebut pada gilirannya berdampak yang potensial pada produksi bahan makanan, minyak dan persediaan air bersih. Salah satu dampak perubahan komposisi udara atmosr adalah suhu yang merupakan sebuah ukuran pergerakan molekul, dimana semakin cepat pergerakan molekul, semakin tinggi suhu. Biasanya digunakan dua jenis untuk mengukur aktitas molekul,  fahrenheit (F) dan celcius (C).

Iklim di suatu daerah tergantung pada karakteristik dari masa udara yang ada atau yang bergerak dari daerah yang lain. Masa udara adalah sebuah masa yang menutupi ratusan km persegi (30 km x 30 km) yang relatif sama dalam hal suhu dan isi uap air. Terdapat empat tipe dasar keberadaan masa udara: hangat dan kering, hangat dan lembab, dingin dan kering, dingin dan lembab. Berdasarkan kesepakatan ahli klimatologi (climatologist) di seluruh dunia, nilai normal untuk suhu dan kelembaban untuk setiap daerah adalah rata-rata perhitungan dari pengukuran selama periode 30 tahun.Masalahnya perubahan iklim lebih cepat dari 30 tahun, selain itu waktu 30 tahun itu sangat ketat dan terkadang datanya sulit untuk diperoleh.

Perubahan iklim yang terjadi membuat mahluk hidup (tumbuhan dan hewan, manusia) berubah, dalam bentuk respon tertentu. Ketika perubahan iklim sangat extrem tinggi diluar batas toleransi, organisme dan komposisi spesies dapat berubah. Sementara itu perubahan iklim yang tiba-tiba (abrupt) respons organisme akan bertahap.

Dibutuhkan waktu bagi tumbuhan dan binatang untuk menyesuaikan diri menjadi mapan dan masuk dalam sistem keseimbangan iklim yang baru.

Di daerah-daerah non tropik, perubahan-perubahan temperatur secara tetap dan teratur yang dipakai sebagai dasar penetapan musim yang terdiri dari 4 musim yakni: musim semi (spring), musim panas (summer), musim gugur (fall) dan musim dingin (winter) Di daerah tropis, variasi temperatur setiap bulan tidak cukup  berarti, sehinngga

musim tidak dibedakan berdasarkan temperatur, tetapi  berdasarkan atas curah hujan, karena itu pada daerah tropis, musim dibedakan atas musim dan musim kemarau. Di daerah yang memiliki angin musim dibedakan atas temperatur dan curah hujan sehingga di dapat tiga musim yaitu kering dingin, kering panas dan hujan panas (wirjohamidjojo, 2006).

a. Pengaruh iklim terhadap kejadian malaria

Perubahan iklim adalah ancaman baru terhadap kesehatan masyarakat khususnya dalam konteks penyakit yang ditularkan oleh vektor (WHO, 2003). Bagan berikut menggambarkan tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat pada umunya dan penyakit yang ditularkan melalui vektor pada khsusnya.

Bagan di bawah ini jelas memperlihatkan bahwa dua faktor yang mempengaruhi perubahan iklim yaitu akibat aktitas manusia yang menghasilkan gas rumah kaca (Green House Gas/GHG) dan terjadi secara alamiah. Perubahan iklim tersebut selanjutnya mempengaruhi perubahan cuaca regional yang menghasilkan adanya gelombang panas, terjadinya cuaca yang ekstrim, adanya perubahan suhu dan curah hujan. Perubahan tersebut secara langsung atau pun tidak langsung  berakibat terhadap kesehatan masyarakat melalui adanya pencemaran udara, meningkatnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air dan makanan, meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan vektor misalnya malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD).

Selain itu perubahan iklim berdampak pada keterbatasan persediaan makanan dan air karenan kekeringan yang berkepanjangan, dan berbagai penyakit lainnya seperti sakit jiwa, dan lain sebagainya. Beberapa variabel iklim yang berhubungan dengan kajadian

Sumber : Patz, J.A. et al. The potential health impacts of climate variability and change for the United States: executive summary of the report of the health sector of the U.S. National Assessment. Environmental Health Perspectives 108(4): 367–376 (2000).

Gambar 6.1. Bagan pengaruh iklim terhadap kesehatan masyarakat

 b. Beberapa penelitian variabel iklim dengan malaria

Beberapa penelitian sudah dilakukan di berbagai tempat mengenai faktor iklim dengan kejadian malaria,  baik yang dilakukan di Indonesia, maupun di beberapa

Arsin (2004) menemukan bahwa kepadatan nyamuk tinggi pada bulan Maret dan Desember (musim hujan) dan kurang pada bulan Juni dan September (musim kering), pengamatan dilakukan pada empat  bulan tersebut diatas, dan disimpulkan bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang signicant terhadap kejadian malaria ( p = 0,04 < 0,05).

Studi di Canada (Berrang., et al., 2008) menyimpulakan bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor determinan yang penting selain faktor ekonomi, migrasi penduduk, pelayanan kesehatan, kondisi perumahan dan lain sebagainya. Suhu yang tinggi pada saat summer (panas) yang diikuti dengan hujan yang optimal akan meningkatkan jumlah populasi vektor nyamuk.

Meskipun demikian, Himeidan, at al., (2007) melakukan studi di New Harfa Eastern Sudan tentang variabel iklim dan penyebaran parasit malaria falciparum dilakukan pengamatan selama 17 tahun (1986-2002) menyimpulkan bahwa kejadian malaria lebih tinggi pada musim gugur (autumn)  musim dingin (winter), dan pola curah hujan mempunyai hubungan yang  bermakna dengan kejadian malaria di daerah tersebut, Shanks, et al., (2002) melakukan pengamatan di, Kenya terhadap data malaria yang diperoleh dari kunjungan rumah sakit Highland tea Estates Kericho selama 30 tahun (1966- 1995) dan membandingkannya dengan data iklim lokal yang diperoleh dari stasiun meteorologi setempat menyimpulkan bahwa perubahan iklim bukan merupakan penyebab dari meningkatnya kasus malaria di daerah penelitian.

Odago, et al., (2005) melakukan studi di Uganda tentang infeksi malaria dengan pola curah hujan menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kapadatan parasit malaria dalam darah dengan pola curah hujan, dimana parasit malaria ditemukan paling banyak pada

 bulan Mei) karena pada bulan tersebut terdapat banyak tempat perindukan nyamuk, dan menurun pada bulan  Juni–Agustus (musim panas), meningkat lagi pada bulan September sampai dengan Januari, pada saat permulaan musim hujan.

Syarifuddin, et al., (2008) melakukan pengamatan terhadap pola musim penularan malaria di Sumba Timur Provinsi NTT menyimpulkan bahwa parasit malaria (semua species) banyak ditemukan pada musim hujan (Maret) dari pada saat musim kemarau (Agustus).

Mintu (2006) menyimpulkan bahwa suhu mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria pada daerah endemisitas rendah di Kabupaten Baru Provinsi Maluku( p = 0,002),. Tetapi, Karim (2008), Mendrova (2008) menemukan perubahan suhu tidak  berhubungan signikan dengan insidensi malaria p-value masing-masing adalah  p = 0,4513 dan  p=0,559) karena variasi perubahan suhu sepanjang penellitian dilakukan sangat kecil dan tidak bermakna.

Studi yang dilakukan oleh Mendrova (2008) tentang analisis spasial kasus malaria di Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 dan 2007 menyimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara curah hujan dengan insidensi malaria (p = 0,2379), selain itu, Mintu (2006), Karim (2008) Yamko (2009) di Kabupaten Baru Provinsi Maluku juga menyimpulkan curah hujan tidak mempunyai hubungan dengan kejadian malaria pada daerah endemisitas rendah ( p = 0,078, p = 0,658 dan  p=0,685. Selanjutnya, Mintu (2006), Karim (2008), Mendrova (2008) dan Yamko (2009) juga menyimpulkan bahwa kelembaban tidak mempunyai pengaruh terhadap kejadian malaria di lokasi penelitian dengan masing-masing p= 0,197,  p=0,458,  p=0,309 dan  p=0,559. penelitian dilakukan pada beberapa lokasi yang berbeda. Beberapa penelitian diatas, ada yang membuktikan bahwa suhu, kelembaban dan curah hujan mempunyai hubungan dengan kejadian malaria,

namun ada pula yang menyimpulkan bahwa suhu atau kelembaban atau curah hujan tidak berhubungan dengan kejadian malaria. Perbedaan tersebut lebih disebabkan karena perbedaan waktu dan kondisi dimana penelitian dilakukan

Dalam dokumen Malaria Layout (Halaman 137-143)