BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3 Penyajian Data
4.3.2 Ikon, Indeks, Simbol
Ikon dalam Karikatur Editorial Clekit edisi 3 November 2009 ini terdiri dari : 1. Cicak
2. Buaya
Tanda
Pendukung KPK adalah cicak hewan merayap, pupil mata cicak berwarna hitam dan ukuran yang besar, badan cicak yang besar dan hitam, tangan cicak yang seperti ingin merengkuh buaya, tulisan “PENDUKUNG KPK” berwarna putih di badan cicak.
Sedangkan pada POLRI adalah buaya hewan melata berukuran kecil, tiga benda lonjong diatas kepala buaya, tangan dan kuku buaya yang tajam berukuran kecil. Ekspresi alis, mata, mulut, tangan buaya, dan tulisan “WADUH, KOK JADI GEDE?!” berwarna hitam
Objek
Karikatiru Editioral Clekit edisi 3 November 2009
Interpretan
Hasil Inteprestasi peneliti dalam melihat hubungan antara jalinantanda di dalam objek.
Indeks dalam Karikatur editorial Clekit edisi 3 November 2009 ini terdiri dari : 1. Badan, mata dan tangan cicak.
2. Badan dan pupil mata cicak yang besar berwarna hitam, tangan cicak yang seperti ingin merengkuh buaya, dan tulisan “PENDUKUNG KPK” berwarna putih di badan cicak.
3. Posisi cicak yang merayap.
4. Badan dan mata buaya yang berukuran kecil, tiga benda lonjong diatas kepala buaya, tangan dan kuku buaya yang tajam berukuran kecil.
5. Ekspresi alis, mata, mulut, tangan buaya, dan tulisan “WADUH, KOK JADI GEDE?!” berwarna hitam.
Simbol dalam karikatur editorial Clekit edisi 3 november 2009 ini terdiri dari : 1. Cicak sebagai hewan reptil merayap.
2. Badan besar cicak. 3. Buaya berukuran kecil. 4. Tanda tanya dan tanda seru. 5. Warna hitam tubuh cicak.
(Gambar 6)
Objek Karikatur Editorial Clekit Edisi 3 November 2009 Berdasarkan Model Semiotika Charles Sanders Pierce
Ikon 1. Cicak 2. Buaya Simbol 7. Cicak sebagai hewan reptil merayap.
8. Badan besar cicak. 9. Buaya berukuran
kecil.
10. Tanda tanya dan tanda seru.
11. Warna hitam tubuh cicak.
12. Mata sipit dan badan buaya yang bergetar
Indeks
6. Badan, mata dan tangan cicak. 7. Badan dan pupil mata cicak yang
besar berwarna hitam, tangan cicak yang seperti ingin merengkuh buaya, dan tulisan “PENDUKUNG KPK” berwarna putih di badan cicak.
8. Posisi cicak yang merayap.
9. Badan dan mata buaya yang berukuran kecil, tiga benda lonjong diatas kepala buaya, tangan dan kuku buaya yang tajam berukuran kecil.
10. Ekspresi alis, mata, mulut, tangan buaya, dan tulisan “WADUH, KOK JADI GEDE?!” berwarna hitam.
4.4 Karikatur Editorial Clekit Edisi 3 November 2009
Karikatur Editorial Clekit edisi 3 November 2009 menampilkan pesannya berapa visual dan verbal. Pesan visual karikatur editorial Clekit tersebut mendominasi dengan penggambaran utama sosok cicak dan buaya berukuran kecil. Pesan verbal pada karikatur bertulisan "PENDUKUNG KPK", dan "WADUH, KOK JADI GEDE?!"
Karikatur Editorial Clekit edisi 3 November 2009 ini menampilkan tampak cicak sedang merayap dengan dua kaki yang terlihat. Cicak tampak melihat tajam buaya yang berukuran kecil sambil ketakutan.
Penampilan Karikatur Editorial Clekit edisi 3 November 2009 yang humoris dan kritis memperlihatkan dominasi cicak besar sebagai simbol dari pendukung KPK terhadap buaya berukuran kecil sebagai simbol POLRI. Visualisasi dari karikatur cicak merupakan simbol sekaligus ikon. Cicak sebagai simbol memperlihatkan para pendukung KPK yang begitu besar. Cicak sebagai ikon merupakan kemiripan dengan wujud asli cicak besar yang di Indonesia biasa disebut komodo (large /
giant lizard) yang ada di pulau komodo, Nusa Tenggara Barat. Hingga berbanding
terbalik dengan buaya digambarkan dalam bentuk yang kecil juga merupakan simbol memperlihatkan pendukung POLRI yang sedikit.
Penggambaran yang demikian itu merupakan karya kreatif karikaturis dalam merepresentasikan situasi nyata pada kasus Cicak VS Buaya. Karikatuaris mengangkat tema Cicak VS Buaya tersebut guna membawa khalayak pembaca untuk kritis dan aktif melihat perkembangan kasus Cicak VS Buaya yang semakin kontroversial. Sebagai pembuka, penulis akan menjelaskan awal mula konfrontasi
cicak dan buaya. Tapi sebelumnya akan menjelaskan perkembangan korupsi di Indonesia.
4.4.1 Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Orde Lama
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali
Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman,MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad diBandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Orde Baru
Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
Reformasi
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: 1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) 3. Kepolisian
4. Kejaksaan 5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW) (http://www.kpk.go.id/modules/news/index.php?storytopic=4)