• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

5.2 Implementasi JPK-MS

Karena sebelumnya telah ada program Jaminan Kesehatan yang serupa dengan JPK-MS yakni Jamkesmas pada September 2008 yang dalam pelaksanaannya telah mengalami beberapa masalah-masalah maka pelaksanaan JPK-MS hendaknya dilakukan dengan lebih baik lagi sehingga tidak mengulangi kesalahan yang telah terjadi pada Jamkesmas. Untuk itu diperlukan komunikasi-komunikasi yang akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana jika memang kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya.

Menurut Edwards III (Winarno, 2005:126) persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah haus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah itu dapat diikuti. Dan di dalam proses komunikasi ini terdapat 3 (tiga) hal penting yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan.

Sebelum suatu kebijakan dapat diimplementasikan, pelaksana kebijakan harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan perintah untuk melaksanakannya telah dikeluarkan. JPK-MS yang dikeluarkan pada November 2008 pada akhirnya mulai dilaksanakan serentak di seluruh kota Medan pada bulan Desember 2008 dan berakhir pada akhir Februari 2009. Proses sosialisasi dilakukan mulai bulan Desember 2008, setelah sosialisasi selesai lalu dilakukan pendataan terhadap masyarakat barulah kemudian melakukan pembuatan kartu sesuai dengan data yang diberikan oleh masyarakat.

Karena waktu yang tergolong singkat dan hanya memiliki masa kerja 90 hari saja, semua proses tersebut harus dilakukan dengan cepat tapi akurat. Setelah kartu peserta selesai dibuat maka tugas selanjutnya adalah mendistribusikan kartu sehingga masyarakat dapat segera menikmati manfaat dari program JPK-MS terlebih lagi bagi masyarakat yang memang sangat memerlukan program tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan melalui wawancara dapat dilihat jawaban dari para informan kunci bahwa mereka mengetahui adanya program JPK-MS. Mereka katakan bahwa mereka juga mengetahui tujuan dan sasaran program ini yakni untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat miskin dan terutama sekali yang belum mendapatkan asuransi kesehatan apapun sebelumnya. Artinya pelaksana kebijakan menyadari bahwa suatu keputusan untuk mengimplementasikan kebijakan berupa program JPK-MS sudah dikeluarkan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah daerah kota Medan.

Namun berdasarkan wawancara dengan informan kunci penulis juga mengetahui bahwa ternyata pelaksanaan JPK-MS di puskesmas Kota Matsum

mengalami keterlambatan pelaksanaan. Berikut kutipan wawancara dengan pegawai puskesmas Kota Matsum bidang SDM:

“Sebenarnya program ini mulai diberlakukan sejak November 2008 namun karena adanya kendala peraturan maka baru dimulai pada bulan Desember 2008, dan seharusnya berakhir Februari 2009 tapi karena adanya beberapa pertentangan mengenai siapa yang layak menerima program dan kriteria masyarakat penerima program jadinya program ini tidak tepat waktu. Di puskesmas ini saja, program ini masih berjalan dan akan langsung di sambung dengan JPK-MS tahun 2009 yang kemungkinan akan dimulai November 2009”.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Humas puskesmas Kota Matsum:

“Memang benar program ini terlambat dilaksanakan, bukan hanya di puskesmas ini tapi di puskesmas lainnya juga terlambat. Alasannya saya kurang tau pasti, yang jelas perintah untuk melakukan pendataan keluar pada bulan Februari”.

Keterlambatan pelaksanaan program JPK-MS menurut mereka terjadi karena ketika itu belum ada perintah dari atasan mereka untuk melaksanakan proses pendataan. Dan proses pendataan itu sendiri baru dilaksanakan pada bulan Februari 2009, terlambat 2 (dua) bulan dari jadwal yang seharusnya. Dan program yang dijadwalkan berakhir pada Februari 2009 ini sampai sekarang masih berjalan di puskesmas Kota Matsum. Hal ini menunjukkan ketidaktaatan implementor terhadap perintah yang telah dikeluarkan oleh pembuat kebijakan.

b. kejelasan

Dalam mengomunikasikan suatu kebijakan diperlukan kejelasan bagaimana mengimplementasikannya. Agar proses transmisi efektif maka proses transmisi atau transformasi informasi harus dilakukan secara intensif agar

impelementor memahami tujuan dan sasaran JPK-MS. Sehingga kejadian salah sasaran seperti pada Jamkesmas tidak terulang lagi. Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan pihak puskesmas mengetahui dengan baik bagaimana mengimplementasikan JPK-MS ini. Dapat diketahui dari jawaban informan kunci ketika penulis menanyakan tentang tahap-tahap pelaksanaan JPK-MS dan berikut kutipan wawancara dengan humas puskesmas Kota Matsum:

“Yang pertama adalah melakukan sosialisasi, dengan cara mengumumkannya melalui spanduk-spanduk yang diletakkan di tempat yang bisa di baca orang banyak, menempelkan poster juga boleh pokoknya yang bisa dibaca warga. Tapi kami kemarin tidak melakukan sosialisasi karena warga disini sudah cukup pintar dan lebih kritis dari yang kami duga, mereka kebanyakan sudah tau sebelumnya mungkin tau dari koran atau dari berita di TV. Selanjutnya melakukan pendataan, disini warga di data terlebih dahulu dengan melakukan survei langsung ke rumah-rumah warga karena dari kondisi rumah kita bisa melihat apakah mereka layak atau tidak untuk mendapatkan program ini. Tinggal menunggu kartu peserta JPK-MS untuk didistribusikan saja, setau saya hingga saat ini kartu JPK-MS belum ada.”

Namun kejelasan bagaimana proses implementasi suatu kebijakan semestinya tidak hanya diberikan kepada pelaksana kebijakan saja, namun kepada masyarakat yang menjadi penerima program JPK-MS sehingga mereka juga bisa memahami tujuan, sasaran serta tahapan pelaksanaan program tersebut dan pada akhirnya tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat dengan pemerintah. Kejelasan tentang proses implementasi program dapat diberikan kepada masyarakat ketika implementor melakukan sosialisasi.

Dari hasil penyebaran kuesioner diketahui bahwa kejelasan bagaimana proses implementasi kebijakan tidak sampai kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak memahami maksud dan tujuan program JPK-MS dan juga tidak mengetahui latar belakang munculnya program JPK-MS ini. Seperti yang diungkapkan informan berikut ini:

“Kami nggak tahu penyebabnya, soalnya nggak ada yang ngasi tau ke kami. Pokoknya yang kami tau sekarang ini ada lagi program yang kayak Jamkesmas…”

Dari hasil penyebaran kuesioner diketahui pula bahwa sosialisasi yang dilakukan implementor tidak baik, kebanyakan masyarakat mengetahui adanya program ini dari tetangga mereka, bahkan ada yang mengetahui program ini dari kampanye calon legislatif dan bukan melalui sosialisasi yang langsung dilakukan oleh pihak puskesmas (tabel 20). Masyarakat tidak mengetahui seperti apa tahap-tahap pelaksanaan program JPK-MS karena tidak pernah diberitahukan oleh pelaksana program, baik tentang bagaimana cara mendapatkan program dan tahapan apa saja yang harus mereka lalui untuk bisa mendapatkan program JPK-MS ini (tabel 11 dan tabel 20).

c. Konsistensi

Implementasi kebijakan memerlukan konsistensi dalam pelaksanaannya. Agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik dibutuhkan konsistensi dari aparatur puskesmas sebagai implementor. Tanpa konsistensi maka pelaksanaan suatu kebijakan bisa melenceng dari tujuan awal atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan yang dimaksud. Berdasarkan beberapa informasi yang saya dapatkan dari wawancara dengan informan kunci diketahui bahwa program ini memiliki tahapan pelaksanaan seperti sosialisasi program, lalu pendataan, distribusi kartu peserta JPK-MS sampai akhirnya masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.

Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan diketahui bahwa tidak semua tahapan tersebut dilaksanakan dengan baik. Aparatur puskesmas ternyata tidak melakukan sosialisasi sebagaimana mestinya seperti sosialisasi dalam

bentuk spanduk, brosur atau poster-poster yang diletakkan di tempat yang bisa dilihat oleh orang banyak. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, puskesmas hanya meletakkan sebuah papan yang bertuliskan menerima rawat jalan bagi peserta Jamkesmas dan JPK-MS. Tidak dilakukannya proses sosialisasi secara intensif dikarenakan menurut mereka masyarakat sudah cukup pintar sehingga mereka sudah mengetahui tentang program ini dari berbagai media baik media massa seperti surat kabar ataupun media elektronik seperti televisi. Berikut jawaban humas puskesmas Kota Matsum:

“..Tapi kami kemarin tidak melakukan sosialisasi karena warga disini sudah cukup pintar dan lebih kritis dari yang kami duga, mereka kebanyakan sudah tau sebelumnya mungkin tau dari koran atau dari berita di TV..”

Berdasarkan hasil wawancara diketahui pula bahwa penyaluran kartu bukti peserta JPK-MS kepada masyarakat hingga saat ini belum dilakukan padahal kartu peserta sudah ada di tangan pihak puskesmas. Tidak dilakukannya penyaluran kartu peserta diungkapkan pegawai puskesmas karena adanya proses pemeriksaan ulang terhadap kartu peserta tersebut agar tidak ada kesalahan dalam penulisan nama dan data-data lain pada kartu peserta JPK-MS sedangkan menurut kepala puskesmas kartu belum bisa didistribusikan karena kartu tersebut belum lengkap. Hal ini jelas menunjukkan inkonsistensi dalam implementasi sebuah kebijakan yang telah memiliki petunjuk pelaksana.

5.2.2. Sumber Daya

Mengimplementasikan kebijakan dengan cermat, jelas dan konsisten tidaklah cukup untuk menghasilkan implementasi yang efektif tanpa didukung oleh sumber daya. Sumber daya yang dibutuhkan dalam implementasi JPK-MS adalah sumber daya manusia sebagai pelaksana kegiatan, informasi mengenai bagaimana

melaksanakan suatu kebijakan, wewenang yang dimiliki dalam pelaksanaan program dan fasilitas-fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan.

a. Staf

Sumber daya manusia pelaksana dalam implementasi program ini ialah pegawai puskesmas yang merupakan pelaksana kebijakan dan pemberi pelayanan kesehatan. Ketersediaan 35 orang pegawai aktif di puskesmas secara kasat mata dinilai sebagai sesuatu yang positif di dalam implementasi kebijakan karena dianggap sangat memadai untuk melaksanakan semua tahap-tahap implementasi JPK-MS. Satu hal yang harus diingat bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong agar implementasi berjalan dengan baik. Tanpa adanya rasa tanggung jawab dan komitmen yang kuat dari implementor untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan sebaik-baiknya maka mustahil suatu kebijakan dapat berjalan semestinya.

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada masyarakat diketahui bahwa komitmen, kinerja, dan tanggung jawab puskesmas dalam mengimplementasikan JPK-MS tidak baik (tabel 17 dan 18). Seperti halnya sosialisasi yang tidak dilakukan secara benar, pendataan yang tidak dilakukan secara intensif dan akurat semakin mendukung jawaban masyarakat atas kinerja aparatur puskesmas. Dan penilaian terhadap kinerja aparatur puskesmas semakin negatif manakala kartu peserta tidak didistribusikan langsung setelah kartu itu mereka terima dan akibatnya sampai saat ini belum ada masyarakat yang dapat merasakan manfaat dari program JPK-MS tersebut.

Hal ini semakin memperjelas bahwa banyaknya jumlah staf didalam implementasi sebuah kebijakan tidak menjamin implementasi kebijakan tersebut

dapat berjalan dengan baik kecuali staf yang ada benar-benar menunjukkan komitmen dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan suatu kebijakan.

b. Informasi

Informasi merupakan sumber daya terpenting setelah staf atau SDM dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk yakni bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan data-data ketaatan personil terhadap peraturan pemerintah.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan informan kunci diketahui bahwa pelaksana kebijakan sudah dibekali dengan suatu buku pedoman diantaranya petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana program. Namun ketika penulis mencoba menanyakan perihal keberadaan juknis dan juklak tersebut kepada pihak puskesmas mereka mengatakan bahwa buku itu tidak lagi berada di puskesmas dan sudah dikembalikan ke Dinas Kesehatan ketika mereka menyerahkan daftar nama calon peserta JPK-MS.

Penulis juga memperoleh keterangan bahwa semua peraturan yang ada di juklak dan juknis tidak semuanya dapat dilaksanakan dengan baik terutama dari segi waktu pelaksanaan program yang terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Kemudian sosialisasi program yang tidak dilaksanakan implementor karena menurut mereka masyarakat sudah cukup pintar untuk mencari tahu mengenai program yang dibuat pemerintah. Berikut kutipan wawancaranya:

“Yang pertama adalah melakukan sosialisasi, dengan cara mengumumkannya melalui spanduk-spanduk yang diletakkan di tempat yang bisa dibaca orang banyak, menempelkan poster juga boleh pokoknya yang bisa dibaca warga. Tapi kami kemarin tidak melakukan sosialisasi karena warga disini sudah cukup pintar dan lebih kritis dari yang kami duga, mereka kebanyakan sudah tau sebelumnya mungkin tau dari koran atau dari berita di TV”.

Tidak dilaksanakannya sosialisasi oleh para implementor menunjukkan ketidaktaatan mereka terhadap peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah. Keterangan lain yang semakin menunjukkan ketidaktaatan implementor tersebut adalah kartu peserta yang hingga saat ini tidak dibagikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat hingga saat ini belum bisa menikmati program pemerintah di bidang kesehatan tersebut.

Ketika melakukan analisa terhadap transmisi telah penulis uraikan data mengenai ketidaktaatan implementor terhadap peraturan yang telah ada sebelumnya yakni pelaksanaan program yang dimulai dari bulan Desember 2008 dan berakhir pada bulan Februari 2009. Keterlambatan tersebut berlanjut hingga proses pendistribusian kartu peserta dan sampai ketika penulis menyelesaikan penelitian di puskesmas kartu tersebut belum juga dibagikan kepada masyarakat.

Ketidaktaatan puskesmas terhadap peraturan pemerintah semakin mereka tunjukkan dengan menyatakan bahwa masa berakhir program ini jatuh pada bulan November 2009. Berikut kutipan wawancaranya:

“...Di puskesmas ini saja, program ini masih berjalan dan akan langsung di sambung dengan JPK-MS tahun 2009 yang kemungkinan akan dimulai November 2009”.

c. Wewenang

Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Wewenang yang penulis ingin lihat disini adalah dalam menyegerakan suatu tugas yang seharusnya memang segera dilakukan karena kebutuhan yang mendesak terutama menyangkut kepentingan umum.

Keterlambatan pelaksanaan program di puskesmas dikatakan karena perintah pelaksanaan baru ada pada bulan Februari 2009. Alasan lain yang dikatakan menyangkut kendala peraturan dan pertentangan siapa yang layak menerima program JPK-MS. Padahal di luar itu semua, kebutuhan masyarakat miskin akan pelayanan kesehatan semakin mendesak. Banyaknya masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat miskin di kota Medan seperti gizi buruk, Demam Berdarah Dengue (DBD) yang telah menelan banyak korban jiwa khususnya anak-anak semakin menuntut agar program ini secepatnya dilaksanakan.

Namun penulis tidak melihat kemauan pihak puskesmas untuk segera melaksanakan program tersebut sebagai upaya memberikan pengobatan preventif kepada masyarakat. Padahal didorong oleh kebutuhan masyarakat miskin ini puskesmas dapat segera melaksanakan program ini dengan alasan kemanusiaan dan kebutuhan yang mendesak.

d. Fasilitas-Fasilitas

Sumber daya terakhir namun tak kalah penting dalam implementasi JPK-MS ialah fasilitas yang mendukung kelancaran dan kesuksesan kegiatan-kegiatan JPK-MS. Fasilitas yang dibutuhkan antar lain kantor tempat memusatkan kegiatan implementor.

Berdasarkan hasil pengamatan saya ke sejumlah fasilitas-fasilitas seperti puskesmas, dapat saya simpulkan bahwa fasilitas-fasilitas tersebut sangat mendukung proses implementasi program JPK-MS ini. Terlebih lagi, puskesmas Kota Matsum berada di daerah yang mudah dijangkau dan strategis sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengunjungi tempat tersebut.

Menurut pengakuan informan, fasilitas puskesmas masih layak pakai dan memiliki berbagai peralatan yang sangat mendukung implementasi program JPK-MS ini. Berikut kutipan wawancaranya:

“Fasilitas yang dimiliki puskesmas juga masih dalam kondisi yang sangat baik, karena dana untuk fasilitas alat-alat kesehatan juga tersedia, tapi dana itu di luar dana operasional JPK-MS…”

Kantor merupakan pusat informasi kegiatan bagi sebuah lembaga dan merupakan hal yang cukup penting bagi keberlangsungan kegiatan. Fasilitas-fasilitas fisik memang hanya pendukung, namun dari jawaban diatas tersirat bahwa dengan adanya fasilitas pendukung, aparatur puskesmas menjadi bersemangat dalam beraktivitas di puskesmas Kota Matsum.

5.2.3. Disposisi/Kecendrungan

JPK-MS merupakan program yang muncul karena sebelumnya telah terjadi penyimpangan pendataan pada program Jamkesmas, sehingga untuk program JPK-MS pihak puskesmas menjadi pemegang kunci dalam keefektifan implementasi program. Kecendrungan-kecendrungan implementor dalam melaksanakan kebijakan bisa menjadi penghambat. Kecendrungan yang dimaksud disini ialah watak dan karakteristik implementor, seperti kejujuran, keikhlasan, komitmen, tanggung jawab dan sikap demokratis.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa informan kunci didapati bahwa dalam pelaksanaan program JPK-MS ada suatu ketidakjujuran yang ditunjukkan oleh aparatur puskesmas. Ketidakjujuran ini terlihat jelas ketika penulis menanyakan perihal kartu peserta yang tidak juga didistribusikan. Selain memberikan jawaban yang berbeda sebagai alasan mengapa tidak mendistribusikan

kartu secepatnya ternyata aparatur puskesmas juga memberi jawaban yang berbeda kepada masyarakat yakni bahwa kartu peserta belum ada pada mereka. Berikut jawaban pegawai puskesmas Kota Matsum:

“Kami melakukan beberapa pemeriksaan ulang terhadap kartu-kartu tersebut, takutnya ada yang salah dalam pencetakan nama atau data-data lainnya..”

Kutipan jawaban dari humas puskesmas Kota Matsum:

“Agak mandeg ya, nggak tau kenapa. Kata teman saya sih karna terlalu banyak masyarakat yang mendaftar untuk mendapatkan program ini sehingga Dinas Kesehatan kewalahan mencetak kartunya”.

Kutipan jawaban dari salah satu masyarakat:

“..Gak ada satu pun dari kami yang udah dapat kartu peserta JPK-MS itu, pernah ada yang nanya ke puskesmas trus orang puskesmas bilang kartunya belum ada sama mereka.

Selain ketidakjujuran, terlihat pula bahwa aparatur puskesmas belum memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam melaksanakan program JPK-MS di puskesmas Kota Matsum. Karena dari awal program ini dijalankan sudah memiliki masalah yakni adanya keterlambatan pelaksanaan program, kemudian masalah pendataan yang dikatakan masyarakat tidak baik karena menurut mereka ada masyarakat yang mampu dan sangat mampu mendaftar sebagai peserta program ini (tabel 13), kemudian masalah kartu yang belum ada diberikan kepada masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat sampai saat ini belum dapat menikmati fasilitas berobat gratis ke puskesmas. Dan hal ini membuat komitmen dan tanggung jawab dari pihak puskesmas patut dipertanyakan.

5.2.4. Struktur Birokrasi

a. Standard Operating Procedurs (SOP)

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur organisasi yang standar (Standard Operating Procedurs atau SOP). Dan SOP ini menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Standar operasional dan prosedur dalam implementasi JPK-MS ialah kejelasan petunjuk pelaksanaan, terkait dengan bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dari hasil wawancara kami dengan pihak puskesmas, untuk mengimplementasikan JPK-MS mereka diatur oleh buku pedoman dan juknis serta juklak JPK-MS. Menurut mereka, segala langkah yang dilakukan berdasarkan buku tersebut. Mulai dari sosialisasi JPK-MS, pendataan warga, proses distribusi kartu dan pemberian pelayanan kesehatan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala puskesmas Kota Matsum berikut:

“Sudah, sesuai dengan petunjuk pelaksanan dan petunjuk teknis. Tugas kami adalah melakukan sosialisasi program dan pendataan kemudian mendistribusikan kartu JPK-MS. Sedangkan tugas kami yang utama yakni memberikan pelayanan kesehatan belum dapat kami lakukan karena hingga saat ini pendistribusian kartu belum dapat kami lakukan karena kartu peserta JPK-MS belum lengkap, sedangkan pelayanan akan kesehatan dapat dilakukan apabila pasien dapat menunjukkan bukti kepesertaannya yakni berupa kartu JPK-MS tersebut.”

Namun yang menjadi salah satu masalah dalam implementasi JPK-MS ini selain berbagai masalah yang telah diungkapkan sebelumnya adalah aparatur puskesmas yang tidak tahu mengenai kriteria keluarga miskin karena tidak terdapat dalam buku pedoman ataupun juknis. Program JPK-MS ini mereka

berikan saja kepada setiap warga yang datang ke puskesmas untuk mendaftar tanpa dilihat dulu apakah warga tersebut termasuk keluarga miskin atau tidak.

b. Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Dalam implementasi JPK-MS di puskesmas Kota Matsum, penulis menemukan pandangan yang sempit ini pada aparatur puskesmas. Program JPK-MS yang seharusnya dilaksanakan puskesmas bekerja sama dengan kecamatan atau kelurahan dianggap puskesmas sebagai tugas mereka saja. Seperti yang diungkapkan oleh kepala puskesmas Kota Matsum berikut ini:

“Tidak ada, program JPK-MS ini kami yang menanganinya. Seluruh kegiatan dalam pelaksanaan JPK-MS menjadi tanggung jawab puskesmas. Kecamatan dan kelurahan tidak terlibat dalam program JPK-MS ini.”

Sementara itu, didalam buku pedoman JPK-MS penulis menemukan bahwa dalam hal proses sosialisasi dan pendataan masyarakat menjadi tanggung jawab pihak puskesmas bekerja sama dengan kelurahan. Fragmentasi dari pihak puskesmas ini pada akhirnya menyebabkan terhambatnya koordinasi di antara pelaksana kebijakan sehingga puskesmas dan kelurahan tidak dapat menjadi mitra dalam mengimplementasikan JPK-MS

Kerumitan prosedur yang dirasakan masyarakat pun terjadi karena kurangnya koordinasi serta komunikasi antara puskesmas dan Dinas Kesehatan yang menyediakan kartu peserta JPK-MS. Komunikasi yang tidak dilakukan secara intensif antara puskesmas dan Dinas Kesehatan menyebabkan terjadinya masalah ketidaklengkapan kartu peserta JPK-MS

5.3. Hambatan-Hambatan dalam Mengimplementasikan JPK-MS di Puskesmas

Dokumen terkait