• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Esmi Warassih ( 2005: 4 ) bahwa Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang – bidang kehidupan masyarakat menyebabkan perkaitannya dengan masalah – masalah sosial juga semakin intensip.Hal ini menjadikan hubungan antara tertib hukum dan tertib sosial yang lebih luas kian menjadi permasalahan pokok di dalam ilmu hukum.Dalam kerangka pemahaman yang demikian itu, maka kompleksitas hubungan yang berlangsung antara tertib hukum dan tertib sosial tersebut harus mendapat perhatian yang serius agar dapat memahami secara baik seluk beluk masalah yang diaturnya.Pengaturan oleh hukum

itu tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia, misalnya tata aturan mengenai jual beli, perkawinan dan sebagainya bersumber pada tingkah laku manusia.

Hukum sebagai suatu proses tidak dapat dilihat sebagai suatu perjalanan penetapan peraturan – peraturan hukum saja. Melainkan, hukum sebagai proses perwujudan tujuan sosial di dalam hukum.Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial sudah tidak dapat lagi mengandalkan sepenuhnya pada kemampuan peraturan – peraturan hukum formal.Hukum dimanfaatkan sebagai saluran untuk merumuskan kebijakan dalam berbagai bidang sosial,ekonomi,politik dan sebagainya.

Menurut pendapat Satjipto Rahardjo (dalam Esmi Warassih, 2005: 11), menegaskan dengan diterimanya pengetahuan yang mendalam tentang hasil karya ilmu – ilmu sosial,hukum akan lebih mudah dan mampu menghayati fenomena sosial.Suatu pendobrakan terhadap kesadaran semacam itu akan terjadi apabila mereka mulai menyadari bahwa sekalipun hukum itu nampak sebagai seperangkat norma – norma hukum, tetapi ia selalu merupakan hasil daripada suatu proses sosial.Itu berarti,usaha manusia untuk membuat dan merubah tatanan hukum itu senantiasa berada di dalam konteks sosial yang terus berubah.

Begitu pentingnya hukum dalam kehidupan sosial masyarakat,maka terkait dengan bidang pertanahan diperlukan adanya pembangunan hukum tanah nasional,khususnya dalam pembentukan peraturan perundang – undangan, diperlukan pendekatan yang mencerminkan pola pikir yang proaktif dilandasi sikap kritis yang obyektif, yang dipergunakan untuk menunjang pembangunan hukum tanah nasional dengan upaya pemahaman hukum dan aspirasi yang melekat pada asas hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan,kepastian hukum,dan manfaat bagi masyarakat.

Dalam hubungan antara masyarakat dan tanah, maka menurut Maria S.W. Sumardjono ( 2006:178), bahwa sebagai konsekuensi pengakuan negara terhadap

hak atas tanah seseorang atau suatu masyarakat hukum adat,maka negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut sehingga lebih mudah bagi seseorang untuk mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain.

Upaya pendaftaran tanah secara sistematis, pendaftaran secara sporadik perlu dipertahankan dengan meningkatkan mutu pelayanan aparat sehingga tercapai tujuannya berupa alat bukti hak yang akurat, yang diperoleh dalam jangka waktu dan dengan biaya yang wajar.Pemberian jaminan kepastian hukum tersebut, negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah yang dipunyai perseorangan atau masyarakat hukum adat.Kegiatan pendaftaran tanah akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat.

Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah, berisi data fisik yang mencangkup keterangan tentang letak,batas,luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya dan data yuridis yang meliputi keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar,pemegang hak atas tanah, dan hak – hak pihak lain,serta beban – beban lain yang berada di atasnya. Dengan memiliki sertifikat hak atas tanah, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subyek hak, dan obyek haknya menjadi nyata.

Dalam memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat, layanan merupakan suatu aktifitas yang berlangsung berurutan dan dapat diukur dari segi penggunaan waktu.Pengukuran ini penting karena dari pengukuran yang berulang – ulang dapat diambil waktu rata – rata yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu rangkaian aktifitas atau proses dan menjadi standar.Menurut C.L. Littlefield dkk (dalam Moenir, 1995:20), dinyatakan:

Time standards established through work measurement aid management both in planning and controlling. They are actually plans of a special sort; they are standing plans as to how long any given work or phase of work should take.”

Standar waktu dapat ditetapkan pada waktu dilakukan pengukuran kerja, karena memang dalam pengukuran kerja termasuk pengukuran waktu yang dipelukan untuk penyelesaian tahap pekerjaan.Akan tetapi pengukuran waktu itu itu sendiri adalah suatu bentuk penelitian yang dapat berdiri sendiri yang hasilnya dapat dipakai bahan untuk penentuan tingkat produktifitas kerja, menentukan urutan prioritas pekerjaan, pengaturan beban kerja dan mengantisipasi keadaan serta perencanaan selanjutnya. Jadi standar waktu suatu proses banyak manfaatnya dalam pekerjaan apapun tak terkecuali pada pekerjaan yang bersifat pelayanan, dengan standar waktu manajemen dapat merencanakan lebih lanjut tenaga kerja,peralatan dan bahan yang diperlukan dan juga dapat melakukan pengawasan yang efektif dari segi waktu , agar supaya hasil akhir dapat memuaskan para pihak – pihak yang mendapatkan pelayanan.

Sistem dan prosedur merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan karena satu sama lain saling melengkapi, sistem merupakan kerangka mekanismenya organisasi, sedangkan prosedur adalah merupakan rincian dinamikanya mekanisme sistem.jadi tanpa sistem prosedur tidak ada landasan berpijak untuk berkiprah dan bergerak, dan tanpa prosedur suatu mekanisme sistem tidak akan berjalan.Begitu juga lemahnya salah satu akan mengakibatkan lemahnya yang lain, sehingga dengan eratnya hubungan antara sistem dan prosedur sehingga keduannya sering digabung dan dipergunakan secara bersamaan.Prosedur juga sering diartikan sebagai tata cara yang

berlaku dalam organisasi. Menurut Louis A. Allen ( dalam Moenir, 1995:106 ) dinyatakan

sebagai berikut: “ Procedures prescribe the manner or method by which work is to be performed”, yang berarti bahwa prosedur dibuat atas dasar penelitian di lapangan lebih dahulu, agar supaya dapat memenuhi keperluan memperlancar mekanisme kerja.

Pada hakekatnya manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Pemenuhan kebutuhan itu tidak dapat dilakukan dengan mengandalkan akifitas dan kemampuan sendiri. Oleh karena itu , pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas memerlukan aktifitas orang lain. Pada kenyataannya manusia tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Menurut Moenir (1995:16), bahwa aktifitas orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan orang lain disebut dengan pelayanan, dan lebih lanjut juga disebutkan bahwa timbulnya aktifitas pelayanan disebabkan oleh hal – hal sebagai berikut, yang meliputi: Pertama, adanya rasa cinta dan kasih sayang di antara manusia, Kedua, adanya keyakinan untuk saling tolong menolong, Ketiga, adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu bentuk amal sholeh.

Pelayanan umum merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik

disebutkan bahwa Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerimaan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang – undangan. Berdasarkan pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) unsur dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu sebagai berikut: Pertama, penyelenggaraan pelayanan adalah instansi pemerintah yang meliputi satuan kerja/ satuan organisasi Kementrian, Departemen,Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan Instansi Pemerintah lainnya, baik di pusat maupu di daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Kedua, pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang – undangan, Ketiga, penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.

Dalam pelaksanaan pelayanan publik adanya 10 (sepuluh) prinsip pelayanan publik yang meliputi: kesederhanaan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggungjawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan dan keramahan serta kenyamanan. Dari kesepuluh prinsip pelayanan publik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur pelayanan yang diselenggarakan tidak berbelit – belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh penerima pelayanan;

2. Kejelasan, dalam arti persyaratan pelayanan publik, baik tehnis maupun administratif. Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/sengketa

dalam pelaksanaan pelayanan publik, Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayarannya;

3. Kepastian waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;

4. Akurasi dalam arti produk pelayanan publik diterima dengan tepat, benar dan sah;

5. Keamanan dalam arti proses dan produk pelayanan publik dapat memberikan rasa aman dan kepastian hukum;

6. Tanggungjawab dengan maksud bahwa pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik;

7. Kelengkapan sarana dan prasarana, bahwa dengan tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika ( telematika); 8. Kemudahan akses, bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang

memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika;

9. Kedisiplinan,kesopanan dan keramahan.Di dalam memberikan pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas;

10. Kenyamanan, bahwa lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan lainnya.

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63 Tahun 2003 tersebut juga mengatur tentang standar pelayanan publik. Dijelaskan bahwa setiap penyelenggara pelayana publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan publik merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan

pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi atau penerima pelayanan. Adapun ketentuan yang harus diatur dalam standarisasi pelayanan publik minimal meliputi prosedur pelayanan baik bagi pemberi maupun penerima pelayanan, waktu penyelesaian sejak saat pengajuan permohonan sampai penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan, biaya pelayanan termasuk rinciannya, produk pelayanan yang diberikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, penyediaan sarana dan prasarana penunjang dalam pemberian pelayanan dan kompetensi petugas pemberi pelayanan yang didasarkan atas keahlian, ketrampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

Menurut Moenir (1995:88), menyebutkan adanya enam (6) faktor pendukung pelayanan umum yang saling berpengaruh dan secara bersama – sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan secara baik , yaitu:

1. Faktor kesadaran, bahwa para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan publik, dengan adanya kesadaran diharapkan mereka melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin;

2. Faktor aturan, yang menjadi landasan kerja pelayanan.Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah pernggunaan kewenangan yang harus diikuti dengan pemenuhan hak, kewajiban dan tanggungjawab.Adanya pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk mengantisipasi masa depan dan mempunyai kemampuan bahasa yang baik, serta memahami berbagai aturan pelaksana juga disiplin dalam pelaksanaan tugas dalam bentuk ketaatan terhadap aturan yang telah ditetapkan;

3. Faktor organisasi, yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan. Dalam hal ini suatu sistem merupakan satu kesatuan yang utuh dengan sifat – sifat yang saling tergantung, saling mempengaruhi dan saling berhubungan.Selain sistem yang juga perlu

diperhatikan adalah metode dan prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan;

4. Faktor pendapatan, yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.

Pendapatan merupakan batas jasa atau imbalan bagi seseorang yang telah mengorbankan tenaga dan pikirannya;

5. Faktor kemampuan dan ketrampilan petugas atau dalam istilah lain disebut dengan “ skill” atau berarti “kecakapan” yang meliputi technical skill, human skill dan conceptual skill sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap pejabat agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik;

6. Faktor sarana pelayanan yaitu segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas lainnya yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu pelaksana pekerjaan.

C. Tugas dan Wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dalam

Dokumen terkait