• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 31-40)

2.4 Kebijakan Kesehatan

2.4.3 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah tahap yang paling penting dan kritis dalam lingkaran kebijakan (policy cycle). Tanpa implementasi, sebuah kebijakan tujuan sulit untuk dipahami. Dalam mengimplementasikan setiap kebijakan, tentunya menempatkan sesuatu hal yang harus disaring pada organisasi dan individu yang ditargetkan. Mereka (target kebijakan) mungkin bersedia untuk mematuhi kebijakan ketika perubahan yang diperlukan kecil atau hanya berupa tambahan, tapi tidak mau mematuhi kebijakan ketika ada perubahan besar diperlukan.

Studi Implementasi secara sungguh-sungguh dianggap muncul pertamakali pada tahun 1970-an saat Pressman & Wildavsky (1973) menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh : Implementation, dan

Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Misssing link : The Study of Implementation of Social Policy yang mempertanyakan “missing link” antara formulasi kebijakan dan evaluasi dampak kebijakan dalam studi kebijakan publik. Sejak saat itu studi tentang Implementasi mulai marak, terutama karena fakta menunjukkan berbagai intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah sosial terbukti tidak efektif.

Hargrove menyatakan selama ini studi tentang Public Policy hanya menitik beratkan pada studi tentang proses pembuatan kebijakan dan studi –studi tentang evaluasi, tapi mengabaikan permasalahan-permasalahan pengimplementasian. Proses administrasi antara formulasi kebijakan dan hasil kebijakan dianggap sebagai kotak hitam (black box) yang tidak berhubungan dengan kebijakan (terutama karena budaya administrasi di negara Inggris yang bersifat relatif tertutup) Sampai akhir tahun 1960-an anggapan umum adalah bahwa mandat politik dalam policy sudah sangat jelas dan orang-orang administrasi akan melaksanakannya sesuai dengan yang diinginkan oleh “bos” mereka.

Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauh mana implementasi terpisah dari formulasi kebijakan, Yakni apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah (bersifat Top-Down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya (Bottom-Up). Padahal persoalan ini

hanya merupakan bagian dari permasalahan yang lebih luas, yakni bagaimana mengidentifikasikan gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya.

Para penulis studi implementasipun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel variabel tersebut, namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai, karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori “tindakan” atau teori “melaksanakan” bukan teori Implementasi Kebijakan.

Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan :

Keragaman isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula, karena ada jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi

dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana.

Keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan.

Kendati demikian, manfaat teori atau model-model implementasi kebijakan yang berkembang pesat sejak tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an ini cukuplah besar, setelahnya mengalami kemunduran dan tak ada lagi pendekatan-pendekatan baru yang dihasilkan. Darinya kita dapat mengelaborasi dan memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengelola proses implementasi agar dapat meningkatkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan kebijakan.

Implementasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan merupakan proses yang rumit. Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Subarsono (2005: 89) menyebutkan beberapa teori implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam variabel tersebut. Pakar-pakar tersebut antara lain: George C. Edwards III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van

Meter dan Carl Van Horn, Cheema dan Rondinelli, dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining. Berikut ini model keberhasilan implementasi kebijakan menurut beberapa pakar:

a. Model Edwards III

Menurut Edwards III (1980: 9-11), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumber daya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi.

b. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005: 99) terdapat lima variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (1)standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.

c. Model Grindle

Menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005: 93) terdapat dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Masing-masing variabel tersebut masih dipecah lagi menjadi beberapa item. Disebutkan oleh Subarsono (2005: 93).Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh

target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

d. Model Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2005: 94) dan Tilaar dan Dwijowijoto (2008: 215), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi:

1) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem).

Kategori tractability of the problem mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 95-96): (1) tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan (2) tingkat kemajemukan kelompok sasaran (3) proporsi kelompok sasaran terhadap total

populasi (4) cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

.2) Kemampuan Kebijakan untuk menstrukturisasi proses implementasi,

kategori ability of satute to structure implementation mencakup variabel yang disebutkan Subarsono (2005: 97-98) (1) kejelasan isi kebijakan (2) seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis (3) besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut (4) seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar instansi pelaksana (5) kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana (6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan (7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan ...

3) Variabel di luar kebijakan / variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Advokasi (termasuk koalisi advokasi) memainkan peran yang penting pada tahap implementasi kebijakan. Keberhasilan tahap pembuatan kebijakan akan menjaga kebijakan untuk terus bergerak ke depan. Namun, tahap pembuatan kebijakan yang tidak berhasil berkesempatan untuk menghalangi kepatuhan maupun perubahan kebijakan. Keterlibatan dari koalisi advokasi mempengaruhi implementasi kebijakan (Marzotto, 2000).

Salah satu hal mendasar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah advokasi. Penggunaan advokasi kebijakan telah nampak terlihat dari periode kolonial sampai saat ini. Hal ini membantu dalam memahami bagaimana advokasi sangat diperlukan dalam agenda kebijakan, menganalisis masalah sosial, penyusunan proposal kebijakan, implementasi kebijakan serta dalam menilai suatu kebijakan (Jansson, 2009)

Faktor krusial pertama untuk keberhasilan implementasi adalah kebijakan itu sendiri,yakni dilihat dari segi kejelasan tujuan kebijakan (clear policy objectives). Kegagalan kebijakan mungkin disebabkan oleh desain kebijakan yang buruk. Oleh karena itu jika mengharapkan keberhasilan kebijakan, maka kebijakan tidak boleh ambigu, dan berdasarkan teori yang valid serta hubungan langsung antara penyebab dan akibat suatu hal. Hal utama lainnya adaah legal resource untuk pengimplementasi kebijakan. Ketersediaan waktu dan sumberdaya memerlukan kombinasi yang baik untuk sumberdaya (resources) sebagai pre condition kedua untuk implementasi kebijakan. Kondisi ainnya yang harus dikukan adalah koordinasi dan kontrol, misalnya komunikasi dan koordinasi antara beberapa elemen dari agensi yang terlibat. Koordinasi difasilitasi oleh angka minimal dari ketergantungan hubungan dan menjadikan sambungan antara

agensi implementor dan agensi yang terlibat dari struktur implementasi (Glachant, 2001)

Selanjutnya, Kontrol dari aktor pemegang kekuasaan juga menjadi penentu keberhasilan implementasi. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka komitmen juga perlu dibuat secara resmi oleh pihak pengimplementasi kebijakan.

Implementasi Kebijakan didefinisikan sebagai apa yang terjadi sesuai dengan harapan dan akibat dari kebijakan yang dirasakan (DeLeon, 1999). Implementasi kebijakan cenderung untuk memobilisasi keberadaan lembaga (Blaikie & Soussan, 2001).

Pada kebijakan dilihat apakah ada kesenjangan antara yang direncanakan dan yang terjadi sebagai suatu akibat dari kebijakan. Pendekatan pengembangan kebijakan oleh pembuat kebijakan biasanya berdasarkan hal-hal yang masuk akal dan mempertimbangkan informasi informasi yang relevan. Namun apabila pada implementasi tidak mencapai apa yang diharapkan, kesalahan sering kali bukan pada kebijakan itu, namun kepada faktor politik atau managemen implementasi yang tidak mendukung (Juma & Clarke, 1995). Sebagai contoh, kegagalan dari implementasi kebijakan bisa disebabkan oleh karena tidak adanya dukungan politik, managemen yang tidak sesuai atau sedikitnya sumber daya pendukung yang tersedia (Sutton, 1999).

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 31-40)

Dokumen terkait