• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 The Ottawa Charter for Health Promotion

Saat ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang semakin penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah promosi kesehatan. Pada 21 November 1986, World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Konferensi Internasional Pertama bidang Promosi Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada. Konferensi ini dihadiri oleh para ahli kesehatan seluruh dunia, dan menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut Ottawa Charter (Piagam Ottawa). Piagam ini menjadi rujukan bagi program promosi kesehatan di tiap negara, termasuk Indonesia.

2.2 Promosi Kesehatan

Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatan mereka (Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and to improve, their health, WHO, 1998). Jadi, tujuan akhir promosi kesehatan adalah kesadaran di dalam diri orang-orang tentang pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga mereka sendirilah yang akan melakukan usaha-usaha untuk menyehatkan diri mereka.

Dokumen tersebut menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau

(2)

untuk memenuhi kebutuhannya dan agar mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya). Kesehatan adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber daya pada pribadi dan masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu, promosi kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan tetapi jauh melampaui gaya hidup secara sehat untuk kesejahteraan (WHO, 2014).

Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan bahwa kesehatan yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2003).

Dari paparan di atas, tampak bahwa lingkup promosi kesehatan bukan semata-mata pendidikan, penyuluhan, atau serangkaian kampanye mengenai masalah kesehatan. Pendidikan atau penyuluhan kesehatan memang memiliki sasaran yang sama, yaitu perubahan perilaku individu atau kelompok untuk peningkatan derajat kesehatan. Namun sebenarnya keduanya hanya merupakan bagian kecil dari promosi kesehatan. Promosi kesehatan bersifat lebih luas atau lebih makro lagi dan lebih menyentuh sisi advokasi pada level pembuat kebijakan di mana promosi kesehatan berusaha melakukan perubahan pada lingkungan dengan harapan terjadinya perubahan perilaku yang lebih baik (Kapalawi, 2007). Menurut Green dan Ottoson (1987)

(3)

promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan, dan peraturan perundangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan.

2.2.1 Kegiatan Promosi Kesehatan dalam Ottawa Charter

Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber daya dan kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter), pendidikan (education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang stabil (a stable eco-system), sumber daya yang berkesinambungan (a sustainable resources), serta kesetaraan dan keadilan sosial (social justice and equity) (WHO, 2014). Upaya-upaya peningkatan promosi kesehatan harus memerhatikan semua prasyarat tersebut . Menurut Piagam Ottawa, kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:

1. Membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public policy)

Promosi kesehatan lebih daripada sekadar perawatan kesehatan. Promosi kesehatan menempatkan kesehatan pada agenda dari pembuat kebijakan di semua sektor pada semua level, mengarahkan mereka supaya sadar akan konsekuensi kesehatan dari keputusan mereka dan agar mereka menerima tanggung jawab mereka atas kesehatan.

Kebijakan promosi kesehatan mengombinasikan pendekatan yang berbeda namun dapat saling mengisi termasuk legislasi, perhitungan fiskal, perpajakan, dan perubahan organisasi. Ini adalah

(4)

kegiatan yang terkoordinasi yang membawa kepada kesehatan, pendapatan, dan kebijakan sosial yang menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Kegiatan terpadu memberikan kontribusi untuk memastikan barang dan jasa yang lebih aman dan lebih sehat, pelayanan jasa publik yang lebih sehat dan lebih bersih, dan lingkungan yang lebih menyenangkan.

Kebijakan promosi kesehatan memerlukan identifikasi hambatan untuk diadopsi pada kebijakan publik di luar sektor kesehatan, serta cara menghilangkannya. Hal ini dimaksudkan agar dapat membuat pilihan yang lebih sehat dan lebih mudah untuk pembuat keputusan.

2. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environments)

Masyarakat kita kompleks dan saling berhubungan. Kesehatan tidak dapat dipisahkan dari tujuan-tujuan lain. Kaitan yang tak terpisahkan antara manusia dan lingkungannya menjadikan basis untuk sebuah pendekatan sosio-ekologis bagi kesehatan. Prinsip panduan keseluruhan bagi dunia, bangsa, kawasan, dan komunitas yang serupa, adalah kebutuhan untuk memberi semangat pemeliharaan yang timbal-balik —untuk memelihara satu sama lain, komunitas, dan lingkungan alam kita. Konservasi sumber daya alam di seluruh dunia harus ditekankan sebagai tanggung jawab global.

Perubahan pola hidup, pekerjaan, dan waktu luang memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan. Pekerjaan dan waktu luang

(5)

harus menjadi sumber kesehatan untuk manusia. Cara masyarakat mengatur kerja harus dapat membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan menciptakan kondisi hidup dan kondisi kerja yang aman, yang menstimulasi, memuaskan, dan menyenangkan.

Penjajakan sistematis dampak kesehatan dari lingkungan yang berubah pesat terutama di daerah teknologi, daerah kerja, produksi energi dan urbanisasi sangat esensial dan harus diikuti dengan kegiatan untuk memastikan keuntungan yang positif bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan alam dan lingkungan yang dibangun serta konservasi dari sumber daya alam harus ditujukan untuk promosi kesehatan apa saja.

3. Memperkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions)

Promosi kesehatan bekerja melalui kegiatan komunitas yang konkret dan efisien dalam mengatur prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi dan melaksanakannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah memberdayakan komunitas –-kepemilikan mereka dan kontrol akan usaha dan nasib mereka.

Pengembangan komunitas menekankan pengadaan sumber daya manusia dan material dalam komunitas untuk mengembangkan kemandirian dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memerkuat partisipasi publik dalam

(6)

masalah kesehatan. Hal ini memerlukan akses yang penuh serta terus menerus akan informasi, memelajari kesempatan untuk kesehatan, sebagaimana penggalangan dukungan.

4. Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills) Promosi kesehatan mendukung pengembangan personal dan sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan kesehatan, dan pengembangan keterampilan hidup. Dengan demikian, hal ini meningkatkan pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk melatih dalam mengontrol kesehatan dan lingkungan mereka, dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan. Memungkinkan masyarakat untuk belajar melalui kehidupan dalam menyiapkan diri mereka untuk semua tingkatannya dan untuk menangani penyakit dan kecelakaan sangatlah penting. Hal ini harus difasilitasi dalam sekolah, rumah, tempat kerja, dan semua lingkungan komunitas. 5. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)

Tanggung jawab untuk promosi kesehatan pada pelayanan kesehatan dibagi di antara individu, kelompok komunitas, profesional kesehatan, institusi pelayanan kesehatan, dan pemerintah.

Mereka harus bekerja sama melalui suatu sistem perawatan kesehatan yang berkontribusi untuk pencapaian kesehatan. Peran sektor kesehatan harus bergerak meningkat pada arah promosi kesehatan, di samping tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan klinis dan pengobatan. Pelayanan kesehatan harus

(7)

memegang mandat yang meluas yang merupakan hal sensitif dan ia juga harus menghormati kebutuhan kultural. Mandat ini harus mendukung kebutuhan individu dan komunitas untuk kehidupan yang lebih sehat, dan membuka saluran antara sektor kesehatan dan komponen sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik yang lebih luas.

Reorientasi pelayanan kesehatan juga memerlukan perhatian yang kuat untuk penelitian kesehatan sebagaimana perubahan pada pelatihan dan pendidikan profesional. Hal ini harus membawa kepada perubahan sikap dan pengorganisasian pelayanan kesehatan dengan memfokuskan ulang kepada kebutuhan total dari individu sebagai manusia seutuhnya.

6. Bergerak ke masa depan (moving into the future)

Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh manusia di antara pengaturan dari kehidupan mereka sehari-hari di mana mereka belajar, bekerja, bermain, dan mencintai. Kesehatan diciptakan dengan memelihara satu sama lain dengan kemampuan untuk membuat keputusan dan membuat kontrol terhadap kondisi kehidupan seseorang, dan dengan memastikan bahwa masyarakat yag didiami seseorang menciptakan kondisi yang memungkinkan pencapaian kesehatan oleh semua anggotanya.

Merawat, kebersamaan, dan ekologi adalah isu-isu yang penting dalam mengembangkan strategi untuk promosi kesehatan. Untuk itu, semua yang terlibat harus menjadikan setiap fase

(8)

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan promosi kesehatan serta kesetaraan antara pria dan wanita sebagai acuan utama.

2.2.2 Strategi Promosi Kesehatan

Berdasarkan Depkes (2008) strategi promosi kesehatan di Indonesia terdiri dari 3 hal yaitu:

1. Pemberdayaan

Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya dapat dibedakan adanya :

(a) pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga dan

(c) pemberdayaan kelompok/masyarakat. 2. Advokasi

Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini berupa tokohtokoh masyarakat (formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber

(9)

(opinion leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana. Juga berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media massa yang dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik dan dorongan (pressure) bagi terciptanya tujuan yang dikehendaki.

Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan melalui advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat.

3. Bina Suasana

Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/mahasiswa, serikat pekerja/ karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola, kelompok arisan, majelis agama dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana.

Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan. Yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Dengan kerjasama, melalui pembagian tugas dan saling-dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk sampai kepada tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan media advokasi pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan baik (Depkes, 2008)

(10)

2.3 Advokasi

2.3.1 Pengertian Advokasi

Advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat (Reyes, 1997).

Advokasi terdiri atas sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi itu juga berisi aktifitas-aktifitas legal dan politis yang dapat mempengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi (Schuler, 2003).

Advokasi adalah aksi kolektif yang terencana untuk mengubah iklim politik yang melibatkan semua pengemban kepentingan (stakeholder), yang diarahkan untuk mengatasi isu-isu dan problem-problem spesifik melalui kebijakan publik. Advokasi melibatkan berbagai strategi yang ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan publik baik di tingkat lokal, nasional dan internasional; dalam advokasi itu secara khusus harus memutuskan: siapa yang memiliki kekuasaan dalam membuat keputusan; bagaimana cara mengambil keputusan itu; dan bagaimana cara menerapkan dan menegakkan keputusan” (The Asia Foundation, 2002).

(11)

Advokasi adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukkan suatu masalah ke dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah tersebut sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang di buat untuk mengatasi masalah tersebut. (IDEA, 2003)

Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan atau maksud tertentu. Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik, pengertian advokasi yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang di advokasi adalah sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.

Pengertian advokasi selalu berubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Setidaknya ada beberapa pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi advokasi, yaitu:

(12)

1. Advokasi adalah upaya yang ditujukan untuk melakukan perubahan social/ social transformation (Sasongko T, 2006)

2. Advokasi sebagai suatu kegiatan mendesakkan terjadinya perubahan sosial secara bertahap melalui serangkaian perubahan kebijakan (Topatimasang, 2000)

3. Advokasi adalah proses seseorang mendukung atau menentang demi kepentingan orang lain (Brooker, 2008)

4. Advokasi adalah paket KIE yang ditujukan untuk mengubah sikap atau mitos yang berkembang pada diri individu atau kelompok-kelompok masyarakat atau dapat juga ditujukan untuk mengubah kebijakan pemerintah (Muninjaya, 1998)

5. Advokasi adalah pendekatan yang memiliki mandat yang jelas untuk berkontribusi terhadap perubahan, terutama dengan mempengaruhi kebijakan publik atau merumuskan undang-undang serta dengan mempengaruhi perubahan sosial. Hal ini memainkan kritis peran dalam mengidentifikasi isu-isu, mengumpulkan bukti, merumuskan strategi, mengkomunikasikan pesan dan mempengaruhi aktor-aktor lain yang terlibat (Samuel, 2007)

6. Advokasi adalah tindakan kolektif untuk melakukan perubahan sistemik, fokus pada mengubah faktor hulu, dan keterlibatan dalam proses politik. Dokumen lanjut menyatakan bahwa advokasi membutuhkan pengetahuan dan keterampilan individu bersama dengan melibatkan beragam rangkaian pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah yang kompleks. keterampilan termasuk strategis

(13)

dan analisis kritis dalam membingkai isu-isu, dan jelas advokasi memerlukan pengetahuan individu dan keterampilan bersama dengan beragam set pemangku kepentingan untuk berkolaborasi pada kompleks masalah yang ada (AHS, 2011).

Kurang berhasil atau kegagalan suatu program kesehatan, sering di sebabkan oleh karena kurang atau tidak adanya dukungan dari para pembuat keputusan, baik di tingktak nasional maupun lokal (provinsi, kabupaten, atau kecamatan). Akibat kurangnya dukungan itu, antara lain rendahnya alokasi anggaran untuk program kesehatan, kurangnya sarana dan prasarana, tidak adanya kebijakan yang menguntungkan bagi kesehatan dan sebagainya. Untuk memperoleh atau meningkatkan dukungan atau komitmen dari para pembuat kebijakan, termasuk para pejabat lintas sektoral diperlukan upaya disebut advokasi.

Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula digunakan dibidang hukum atau pengadilan. Sesorang yang sedang tersangkut perkara atau pelanggaran hukum, agar memperoleh keadilan yang sesungguh-sungguhnya. Mengacu kepada istilah advokasi dibidang hukum tersebut, maka advokasi dalam kesehatan diartikan upaya untuk memperoleh pembelaan, bantuan, atau dukungan terhadap program kesehatan. Menurut Wesbter Encyclopedia advokasi adalah "act of pleading for supporting or recommending active espousal" atau tindakan pembelaan, dukungan, atau rekomendasi : dukungan aktif. Menurut ahli retorika (Foss dan Foss, 2011) advokasi diartikan sebagai upaya persuasi

(14)

yang mencakup kegiatan : penyadaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut mengenai sesuatu hal.

Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dari beberapa catatan tersebut dapat disimpulkan secara ringkas, bahwa advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh komitmen yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat.

2.3.2 Advokasi Kebijakan Kesehatan

Advokasi adalah proses aktif yang menggunakan tindakan strategis mempengaruhi orang lain untuk mengubah opini, memulai perubahan positif, dan mengatasi faktor-faktor yang mendasari untuk berkontribusi pada masyarakat agar menjadi lebih sehat. Hal ini berbeda dari Informasi (information), pendidikan (education) and komunikasi (communication)/ (IEC) karena advokasi berfokus pada perubahan kebijakan kesehatan untuk mengatasi masalah lingkungan sosial, bukan perubahan perilaku individu (CPHA, 2009).

Literatur akademis tentang bentuk-bentuk khusus dari advokasi kebijakan cukup mudah diidentifikasi (misalnya lobi, kerja media, kampanye, dll) sedangkan konsep yang lebih luas telah luput dari perhatian kritis saat ini. Reid (2000) mengemukakan bahwa advokasi adalah sesuatu yang kita menyadari ketika kita melihatnya, tetapi kurang memiliki definisi yang sebenarnya, maka Reid mendapatkan hasil:

(15)

“Advocacy activities can include public education and influencing public opinion; research for interpreting problems and suggesting preferred solutions; constituent action and public mobilizations; agenda setting and policy design; lobbying; policy implementation, monitoring, and feedback; and election-related activity. However, there is no agreement on which activities constitute advocacy, and no one source gives a full account of the many kinds of activities and strategies , groups use to leverage influence in the policy process. Each research project must define the activities important to the question under study” .

Maksud advokasi yang diungkapkan Reid adalah kegiatan advokasi dapat mencakup pendidikan umum dan mempengaruhi opini publik, penelitian dilakukan untuk menafsirkan masalah dan menyarankan solusi yang lebih disukai, tindakan konstituen dan mobilisasi publik; pengaturan dan desain kebijakan agenda, lobi, implementasi kebijakan, monitoring, dan umpan balik, dan aktivitas pemilu terkait. Namun, tidak ada kesepakatan di mana kegiatan merupakan advokasi, dan tidak ada satu sumber memberikan laporan lengkap dari berbagai jenis kegiatan dan strategi, kelompok gunakan untuk meningkatkan pengaruh dalam proses kebijakan. Setiap proyek penelitian harus menentukan kegiatan penting untuk pertanyaan yang diteliti.

Namun, ketika kita melihat ke literatur profesional pada advokasi kebijakan, beberapa karakteristik dalam mendefinisikannya telah muncul. Yang paling penting, kegiatan advokasi kebijakan yang diprakarsai oleh

(16)

perorangan dan kelompok. Mereka secara proaktif terlibat dalam proses kebijakan, seringkali tanpa undangan dari pemerintah. Landasan hukum bagi kegiatan mereka umumnya dalam “Bill of Rights” untuk kebebasan berbicara, berkumpul, dan petisi. Hal ini terletak pada kontras dengan public partisipasi kegiatan yang diprakarsai oleh badan-badan pemerintah termasuk alat-alat penjangkauan familiar seperti dengar pendapat publik, survei warga, juri warga, dll. Ini merupakan pendekatan top-down partisipasi masyarakat, di mana badan-badan pemerintah aktif meminta masukan dari warga negara dan kelompok (McLaverty, 2011). Kedua, upaya-upaya advokasi kebijakan yang disengaja. Orang-orang berpartisipasi dalam kegiatan advokasi karena mereka mengharapkan efek dari usaha mereka. Partisipasi adalah bukan tujuan itu sendiri, melainkan alat untuk tujuan. Dengan demikian, untuk tujuan kita dalam penelitian, advokasi kebijakan ini didefinisikan sebagai kegiatan yang disengaja diprakarsai oleh kelompok swasta untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.

Advokasi adalah fungsi inti dari semua asosiasi kesehatan masyarakat. Advokasi adalah proses menghasilkan suatu pengaruh, termasuk kebijakan publik dan keputusan alokasi sumber daya dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial serta lembaga-lembaga yang secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Advokasi terdiri dari upaya terorganisir dan tindakan yang berusaha untuk menyoroti isu-isu kritis yang telah diabaikan dan tersembunyi, untuk mempengaruhi sikap publik, dan untuk memberlakukan serta menerapkan hukum dan kebijakan

(17)

publik sehingga visi yang ada seharusnya layak menjadi kenyataan. Advokasi memiliki tujuan yang menghasilkan kemungkinan untuk:mengaktifkan orang-orang dan masyarakat untuk mendapatkan akses dan suara dalam proses pengambilan keputusan dari instansi terkait dan organisasi, untuk mengubah hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga dan orang-orang yang terkena dampak keputusan yang mereka ambil, sehingga akan mengubah lembaga itu sendiri dan untuk membawa perbaikan yang jelas pada kehidupan masyarakat (Chauvin dkk., 2005: 168) .

Advokasi dapat dicapai melalui berbagai pendekatan. Terkadang advokasi dilakukan melalui proses keterlibatan konstruktif . Di lain waktu, advokasi dapat dilakukan dengan cara yang sangat kritis dan konfrontatif , namun, pendekatan halus dapat digunakan pula. Pendekatan yang dilakukan tergantung pada berbagai faktor dan tergantung kepada keputusan pengadvokasi untuk menentukan pendekatan politik apa yang akan menjadi paling efektif dan paling bijaksana.

“Advocacy is a catch-all word for the set of skills used to create a shift in public opinion and mobilize the necessary resources and forces to support an issue, policy, or constituency. Advocacy seeks to increase the power of people and groups and to make institutions more responsive to human needs. It attempts to enlarge the range of choices that people can have by increasing their power to define problems and solutions and participate in the broader social and policy arena (Wallack dkk., 1993).

(18)

Inti advokasi yang diungkapkan Wallack adalah peningkatan kapasitas masyarakat serta membuat suatu lembaga lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan kekuatan mereka untuk berpartisipasi dalam arena kebijakan sosial yang lebih luas.

Komunikasi dalam rangka advokasi kesehatan menurut Abdullah (2012) memerlukan kiat khusus agar komunikasi tersebut efektif antara lain sebagai berikut:

a. Jelas (clear): pesan yang disampaikan kepada sasaran harus disusun sedemikian rupa sehingga jelas, baik isinya maupun bahasa yang digunakan.

b. Benar (correct): apa yg disampaikan (pesan) harus didasarkan kepada kebenaran. Pesan yang benar adalah pesan yang disertai fakta atau data empiris.

c. Kongkret (concrete): apabila petugas kesehatan dalam advokasi mengajukan usulan program yang dimintakan dukungan dari para pejabat terkait, maka harus dirumuskan dalam bentuk yang kongkrit (bukan kira-kira) atau dalam bentuk operasional.

d. Lengkap (complete): timbulnya kesalahpahaman atau mis komunikasi adalah karena belum lengkapnya pesan yang disampaikan kepada orang lain.

e. Ringkas (concise): pesan komunikasi harus lengkap, tetapi padat, tidak bertele-tele.

(19)

f. Meyakinkan (convince) : agar komunikasi advokasi kita di terima oleh para pejabat, maka harus meyakinkan, agar komunikasi advokasi kita diterima

g. Kontekstual (contextual): advokasi kesehatan hendaknya bersifat kontekstual. Artinya pesan atau program yang akan diadvokasi harus diletakkan atau di kaitkan dengan masalah pembangunan daerah bersangkutan. Pesan-pesan atau program-program kesehatan apapun harus dikaitkan dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pemerintah setempat.

h. Berani (courage): seorang petugas kesehatan yang akan melakukan advokasi kepada para pejabat, harus mempunyai keberanian berargumentasi dan berdiskusi dengan para pejabat yang bersangkutan.

i. Hati-hati (contious): meskipun berani, tetapi harus hati-hati dan tidak boleh keluar dari etika berkomunikasi dengan para pejabat, hindari sikap "menggurui" para pejabat yang bersangkutan.

j. Sopan (courteous): disamping hati-hati, advokator harus bersikap sopan, baik sopan dalam tutur kata maupun penampilan fisik, termasuk cara berpakaian.

Advokasi adalah suatu kegiatan untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem dari para pembuat keputusan atau pejabat pembuat kebijakan (WHO, 2014).

(20)

Oleh karena itu, tujuan utama advokasi adalah memberikan dorongan dan dukungan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan program-program kesehatan.

2.3.3 Prinsip Dasar Advokasi

Advokasi adalah kompetensi kritis spesialis pendidikan kesehatan dan strategi penting dalam upaya peningkatan keprofesian untuk mendorong peningkatan kesehatan individu dan populasi di semua bidang (Coalition of National Health Education Organizations.) Advokasi adalah kombinasi antara pendekatan atau kegiatan individu dan sosial, untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan adanya sistem yang mendukung terhadap suatu program kesehatan. Untuk mencapai tujuan advokasi ini, dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan atau pendekatan. Untuk melakukan kegiatan advokasi yang efektif memerlukan argumen yang kuat. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip advokasi ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan, dan argumentasi-argumentasi advokasi (Dempsey, 2011).

Dari batasan advokasi tersebut, secara inklusif terkandung tujuan-tujuan advokasi, yakni: political commitment, policy support, social aceptance dan sistem support (Carlisle, 2000):

a. Komitmen politik (political comitment)

Komitmen para pembuat keputusan atau alat penentu kebijakan di tingkat dan disektor manapun terhadap permasalahan kesehatan tersebut. Pembangunan nasional tidak terlepas dari pengaruh kekuasaaan politik yang sedang berjalan.

(21)

b. Dukungan kebijakan (policy support)

Dukungan kongkrit yang diberikan oleh para pemimpin institusi disemua tingkat dan disemua sektor yang terkait dalam rangka mewujudkan pembangunan di sektor kesehatan. Dukungan politik tidak akan berarti tanpa dilanjutkan dengan dikeluarkannya kebijakan kongkret dari para pembuat keputusan tersebut.

c. Penerimaan Sosial (social acceptance)

Penerimaan sosial, artinya diterimanya suatu program oleh masyarakat. Suatu program kesehatan apapun hendaknya memperoleh dukungan dari sasaran utama program tersebut, yakni masyarakat, terutama tokoh masyarakat.

d. Dukungan Sistem (System Support)

Adanya sistem atau organisasi kerja yang memasukkan uinit pelayanan atau program kesehatan dalam suatu institusi atau sektor pembangunan adalah mengindikasikan adanya dukungan sistem.

2.3.4 Metode dan Teknik Advokasi

Seperti yang diuraikan di atas, bahwa tujuan utama advokasi di sektor kesehatan adalah memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan para penentu kebijakan atau pembuat keputusan di segala tingkat. Metode atau cara dan tehnik advokasi untuk mencapai tujuan itu semua ada bermacam-macam (Buckley, 2010):

(22)

Lobi adalah bincang-bincangsecara informal dengan para pejabat untuk menginformasikan dan membahas masalah dan program kesehatan yang dilaksanakan

2. Serminar/Presentasi

Seminar /presentasi yang di hadiri oleh para pejabat lintas program dan sektoral. Petugas kesehatan menyajikan maslah kesehatan diwilayah kerjanya, lengkap dengan data dan ilustrasi yang menarik, serta rencana program pemecahannya. Kemudian dibahas bersama-sama, yang akhirnya dharafkan memproleh komitmen dan dukungan terhadap program yang akan dilaksanakan tersebut.

3. Media

Advokasi media (media advocacy) adalah melakukan kegiatan advokasi dengan mengumpulkan media, khususnya media massa. 4. Perkumpulan (asosiasi) Peminat

Asosiasi atau perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat atau interes terhadap permaslahan tertentu atau perkumpulan profesi, juga merupakan bentuk advokasi.

2.3.5 Kerangka Advokasi “A” Frame

Advokasi kesehatan yang berhasil menuntut kemampuan seseorang atau kemampuan tim bertindak secara advokator. Kemampuan sebagai advokator kesehatan dapat dipelajari dan dibina. Secara umum menurut

Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health's Center for Communication Programs advokasi kesehatan ditempuh melalui kerangka advokasi yang memuat 6 langkah (PLC, 2008):

(23)

1. Melakukan analisis

Upaya advokasi didesain untuk memiliki impact pada kebijakan public mulai dari adanya informasi akurat dan pemahaman yang mendalam mengenai masalah. Yang temasuk dalam analisis antara lain:

- Identifikasi masalah

- Identifikasi kebijakan yang ada

- Program-program komunikasi yang telah dilaksanakan dalam mendukung kebijakan kesehatan

- Perubahan kebijakan yang diinginkan oleh tingkat tertentu

- Stake holder (mitra kerja) yang terkait dengan perubahan kebijakan - Jejaring untuk penentu kebijakan

- Sumber daya yang memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan kesehatan

2. Menyusun strategi

Fase strategi ini dibangun berdasarkan fase analisis untuk perencanaan langsung dan fokus pada tujuan spesifik untuk menempatkan upaya advokasi dengan arah yang jelas dalam mencapai goals dan objectives 3. Mobilisasi

Tahap ini merupakan penguatan pembentukan koalisi untuk advokasi yang akan dilaksanakan. Events, activities, messages, and materials, harus didesain sesuai dengan tujuan, khalayak, kemitraan dan sumberdaya yang memadai.

(24)

Setelah 3 langkah awal dilakukan dengan seksama dan cermat, tindakan/pelaksanaan mengacu pada rencana yang telah disusun berdasarkan hasil analisis, persiapan strategi yang telah dituangkan dalam plan of action yang dipersiapkan bersama mitra yang telah terlibat mulai pada tahap analisis. Beberapa tindakan dalam pelaksanaan advokasi adalah melaksanakan rencana advokasi (plan of action), mengumpulkan pesan mitra, menyajikan pesan yang tepat, menepati jadwal, dan mengembangkan jaringan komunikasi dengan mitra. Adapun kegiatan yang bernuansa advokasi seperti seminar sehari, orientasi, lobby, kampanye, sarasehan dan kegiatan lain yang sesuai dengan kondisi setempat. Sedangkan waktu untuk melakukan advokasi dapat dipilih sesuai dengan pesan yang akan disampaikan atau disesuaikan dengan kebutuhan mitra dan masyarakat setempat. 5. Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan mengukur pencapaian tujuan (proses dan output) melalui pengecekan dokumentasi tentang kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilaksanakan, materi KIE yang telah diterbitkan dan disebarluaskan.

6. Kesinambungan proses

Pelaksanakan proses komunikasi secara terus-menerus dengan memanfaatkan hasil evaluasi.

Dalam merancang suatu advokasi kesehatan, perlu juga dipikirkan rumusan pesan yang tepat bagi sasaran yang diadvokasi sehingga program PHBS yang kita kembangkan dapat diterima

(25)

oleh sasaran. Perumusan pesan dibedakan antara pesan untuk advokasi kesehatan dengan pesan untuk kelompok ilmuwan (Depkes RI, 2008).

Tabel 2.1 Perbedaaan Advokasi Kesehatan dengan Penyajian Ilmiah

ADVOKASI KESEHATAN PENYAJIAN ILMIAH

1. Pesan sederhana, dan tepat sasaran 1. Perlu penjelasan rinci 2. Penjelasan tambahan dapat

mengaburkan pesan pokok 2. Penjelasan tambahan diperlukansupaya mantap 3. Bahasa teknis membingungkan

sasaran 3. Bahasa teknis dapat menambahkejelasan dan ketepatan. 4. beberapa pesan pokok sudah cukup 4. pesan pokok dapat menjadibeberapa makalah 5. fakta keseharian ditampilkan 5. harus objektif dan tidak bias 6. mendahulukan kesimpulan untuk

penyajian 6. uraian didahulukan, barukesimpulan 7. terlalu banyak fakta dan gambaran

tidak menyenangkan sasaran 7. bukti-bukti yang mendukungsangat penting 8. persiapan dan kegiatan yang cepat

dan tepat lebih efisien 8. persiapan dan penelitian yangburu- buru tidak akan berharga 9. fakta bahwa selebriti yang terkenal

mendukung kegiatan bisa menguntungkan

9. fakta bahwa selebriti terkenal mendukung penelitian tidak relevan

10. banyak yang percaya dilapangan bahwa kebenaran politis itu subjektif

10. banyak yang percaya bahwa kebenaran ilmiah itu objektif. Sumber: Pusdiklat Depkes RI, 2008

2.4 Kebijakan Kesehatan

2.4.1 Konsep Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Konsep dari kebijakan publik dapat diartikan sebagai adanya suatu negara yang kokoh dan memiliki kewenangan serta legitimasi, di mana mewakili suatu masyarakat dengan menggunakan administrasi dan teknik yang berkompeten terhadap keuangan dan implementasi

(26)

dalam mengatur kebijakan. Kebijakan adalah suatu konsensus atau kesepakatan terhadap suatu persoalan, di mana sasaran dan tujuannya diarahkan pada suatu prioritas yang bertujuan, dan memiliki petunjuk utama untuk mencapainya (Evans & Manning, 2003). Tanpa ada kesepakatan dan tidak ada koordinasi akan mengakibatkan hasil yang diharapkan sia-sia belaka.

Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai suatu cara atau tindakan yang berpengaruh terhadap perangkat institusi, organisasi, pelayanan kesehatan dan pengaturan keuangan dari sistem kesehatan (Walt,1994). Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan (Bornemisza & Sondorp, 2002). Komponen sistem kesehatan meliputi sumberdaya, struktur organisasi, manajemen, penunjang lain dan pelayanan kesehatan (Cassels, 1995).

Kebijakan kesehatan bertujuan untuk mendisain program-program di tingkat pusat dan lokal, agar dapat dilakukan perubahan terhadap determinand- determinan kesehatan (Davies 2001; Milio 2001). Kebijakan-kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta. Kebijakan merupakan produk pemerintah, walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu kemitraan, kebijakannya disiapkan oleh pemerintah di mana keputusannya mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May &Walt, 2005). Jelasnya kebijakan kesehatan adalah kebijakan publik yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi kebijakan

(27)

kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departemen Kesehatan (WHO, 2000). Pengembangan kebijakan biasanya top-down di mana Departemen Kesehatan memiliki kewenangan dalam penyiapan kebijakan. Implementasi dan strateginya adalah bottom-up. Kebijakan seharusnya dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang terlibat dalam kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut realistik dan dapat mencapai sasaran. Untuk itu perlu komitmen dari para pemegang dan pelaksana kebijakan.

Kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang menggunakan pendekatan problem solving secara linear. Penelitian kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan bukti yang akurat. Setelah dilakukan penelitian kesakitan dan penyakit dari masyarakat, termasuk kebutuhan akan kesehatan, sistem kesehatan, tantangannya selanjutnya adalah mengetahui persis penyebab dari kesakitan dan penyakit itu. Walaupun disadari betapa kompleksnya pengertian yang berbasis bukti untuk dijadikan dasar dari kebijakan (Fafard, 2008).

Tujuan dari kebijakan kesehatan adalah untuk menyediakan pola pencegahan, pelayanan yang terfokus pada pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan perlindungan terhadap kaum rentan (Gormley and Weymer, 1999). Kebijakan kesehatan juga peduli terhadap dampak dari lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kesehatan (Poter, Ogden and Pronyk, 1999). Kebijakan kesehatan

(28)

dapat bertujuan banyak terhadap masyarakat. Untuk kebanyakan orang kebijakan kesehatan itu hanya peduli kepada konten saja.

Kebijakan kesehatan berpihak pada hal-hal yang dianggap penting dalam suatu institusi dan masyarakat, bertujuan jangka panjang untuk mencapai sasaran, menyediakan rekomendasi yang praktis untuk keputusan-keputusan penting (WHO, 2000). Kebijakan kesehatan dapat bermanifestasi dalam berbagai hal dan tidak selalu dalam bentuk dokumen-dokumen). Kebijakan kesehatan diekspresikan dalam bentuk suatu konstitusi, undangu-ndang dan peraturan-peraturan termasuk juga platform dari partai-partai politik atau kertas-kertas kebijakan (Ritsatakis, 2009).

Kebijakan kesehatan tidak saja terdiri dari dokumen-dokumen strategi dalam suatu negara, tetapi juga bagaimana kebijakan itu diimplementasi oleh pengambil keputusan dan pemegang program kesehatan, dan bagaimana melakukannya secara praktis pada masing-masing tingkatan pemerintahan.

2.4.2 Komponen Kebijakan

Para ahli kebijakan kesehatan membagi kebijakan ke dalam empat komponen yaitu konten, process, konteks dan aktor (Frenk J. 1993; Buse, Walt and Gilson, 1994; May & Walt, 2005).

1. Konten

Konten kebijakan berhubungan dengan teknis dan institusi. Contoh aspek teknis adalah penyakit diare, malaria, typus, promosi kesehatan.

(29)

Aspek insitusi adalah organisasi publik dan swasta. Konten kebijakan memiliki empat tingkat dalam pengoperasiannya yaitu:

a. Sistemik atau menyeluruh di mana dasar dari tujuan dan prinsip-prinsip diputuskan.

b. Programatik adalah prioritas-prioritas yang berupa perangkat untuk mengintervensi dan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk pelaksanaan untuk pelayanan kesehatan.

c. Organisasi di mana difokuskan kepada struktur dari institusi yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan.

d. Instrumen yang menfokuskan untuk mendapatkan informasi demi meningkatkan fungsi dari system kesehatan.

2. Proses

Proses kebijakan adalah suatu agenda yang teratur melalui suatu proses rancang dan implementasi. Ada perbedaaan model yang digunakan oleh analis kebijakan antara lain:

a. Model perspektif (rational model) yaitu semua asumsi yang mengformulasikan kebijakan yang masuk akal berdasarkan informasi yang benar.

b. Model incrementalist (prioritas pilihan) yaitu membuat kebijakan secara pelan dan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok yang berminat untuk menyeleksi kebijakan yang diprioritaskan.

c. Model rational (mixed scanning model) di mana penentu kebijakan mengambil langkah mereview secara menyeluruh dan membuat suatu

(30)

negosiasi dengan kelompok-kelompok yang memprioritaskan model kebijakan.

d. Model puncuated equilibria yaitu kebijakan difokuskan kepada isu yang menjadi pokok perhatian utama dari penentu kebijakan. Masing-masing model di atas memilah proses kebijakan ke dalam komponen untuk mengfasilitasi analisis. Meskipun pada kenyataannya, proses kebijakan itu memiliki karakteristik tersendiri yang merujuk kepada model-model tersebut.

3. Konteks

Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu dibuat dan diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thompson, 1996). Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak lagi bentuk yang dikategorikan ke dalam konteks kebijakan yaitu peran tingkat pusat yang dominan, dukungan birokrasi dan pengaruh aktor-aktor international juga turut berperan.

4. Aktor

Aktor adalah mereka yang berada pada pusat kerangka kebijakan kesehatan. Aktor-aktor ini biasanya memengaruhi proses pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Mereka merupakan bagian dari jaringan, kadang-kadang disebut juga mitra untuk mengkonsultasi dan memutuskan kebijakan pada setiap tingkat tersebut (Walt, 1994). Hubungan dari aktor dan peranannya (kekuasaannya) sebagai

(31)

pengambil keputusan adalah sangat tergantung kepada kompromi politik, daripada dengan hal-hal dalam debat-debat kebijakan yang masuk diakal (Buse, Walt and Gilson, 1994). Kebijakan itu adalah tentang proses dan power (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan adalah efektif apabila pada tingkatan maksimal dapat diimplementasikan dengan biaya yang rendah (Sutton, 1999). Efisiensi dalam hal ini karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam investasi untuk memantapkan status kesehatan. Jadi adalah sangat penting untuk untuk mengalokasikan sumber daya itu kepada masyarakat yang membutuhkan dan tentu saja berdasarkan bukti-bukti (Peabody dkk., 1999).

2.4.3 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah tahap yang paling penting dan kritis dalam lingkaran kebijakan (policy cycle). Tanpa implementasi, sebuah kebijakan tujuan sulit untuk dipahami. Dalam mengimplementasikan setiap kebijakan, tentunya menempatkan sesuatu hal yang harus disaring pada organisasi dan individu yang ditargetkan. Mereka (target kebijakan) mungkin bersedia untuk mematuhi kebijakan ketika perubahan yang diperlukan kecil atau hanya berupa tambahan, tapi tidak mau mematuhi kebijakan ketika ada perubahan besar diperlukan.

Studi Implementasi secara sungguh-sungguh dianggap muncul pertamakali pada tahun 1970-an saat Pressman & Wildavsky (1973) menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh : Implementation, dan

(32)

Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Misssing link : The Study of Implementation of Social Policy yang mempertanyakan “missing link” antara formulasi kebijakan dan evaluasi dampak kebijakan dalam studi kebijakan publik. Sejak saat itu studi tentang Implementasi mulai marak, terutama karena fakta menunjukkan berbagai intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah sosial terbukti tidak efektif.

Hargrove menyatakan selama ini studi tentang Public Policy hanya menitik beratkan pada studi tentang proses pembuatan kebijakan dan studi –studi tentang evaluasi, tapi mengabaikan permasalahan-permasalahan pengimplementasian. Proses administrasi antara formulasi kebijakan dan hasil kebijakan dianggap sebagai kotak hitam (black box) yang tidak berhubungan dengan kebijakan (terutama karena budaya administrasi di negara Inggris yang bersifat relatif tertutup) Sampai akhir tahun 1960-an anggapan umum adalah bahwa mandat politik dalam policy sudah sangat jelas dan orang-orang administrasi akan melaksanakannya sesuai dengan yang diinginkan oleh “bos” mereka.

Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauh mana implementasi terpisah dari formulasi kebijakan, Yakni apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah (bersifat Top-Down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya (Bottom-Up). Padahal persoalan ini

(33)

hanya merupakan bagian dari permasalahan yang lebih luas, yakni bagaimana mengidentifikasikan gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya.

Para penulis studi implementasipun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel variabel tersebut, namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai, karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori “tindakan” atau teori “melaksanakan” bukan teori Implementasi Kebijakan.

Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan :

Keragaman isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula, karena ada jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi

(34)

dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana.

Keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan.

Kendati demikian, manfaat teori atau model-model implementasi kebijakan yang berkembang pesat sejak tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an ini cukuplah besar, setelahnya mengalami kemunduran dan tak ada lagi pendekatan-pendekatan baru yang dihasilkan. Darinya kita dapat mengelaborasi dan memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengelola proses implementasi agar dapat meningkatkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan kebijakan.

Implementasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan merupakan proses yang rumit. Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Subarsono (2005: 89) menyebutkan beberapa teori implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam variabel tersebut. Pakar-pakar tersebut antara lain: George C. Edwards III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van

(35)

Meter dan Carl Van Horn, Cheema dan Rondinelli, dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining. Berikut ini model keberhasilan implementasi kebijakan menurut beberapa pakar:

a. Model Edwards III

Menurut Edwards III (1980: 9-11), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumber daya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi.

b. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005: 99) terdapat lima variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (1)standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.

c. Model Grindle

Menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005: 93) terdapat dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Masing-masing variabel tersebut masih dipecah lagi menjadi beberapa item. Disebutkan oleh Subarsono (2005: 93).Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh

(36)

target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

d. Model Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2005: 94) dan Tilaar dan Dwijowijoto (2008: 215), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi:

1) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem).

Kategori tractability of the problem mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 95-96): (1) tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan (2) tingkat kemajemukan kelompok sasaran (3) proporsi kelompok sasaran terhadap total

(37)

populasi (4) cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

.2) Kemampuan Kebijakan untuk menstrukturisasi proses implementasi,

kategori ability of satute to structure implementation mencakup variabel yang disebutkan Subarsono (2005: 97-98) (1) kejelasan isi kebijakan (2) seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis (3) besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut (4) seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar instansi pelaksana (5) kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana (6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan (7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan ...

3) Variabel di luar kebijakan / variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Advokasi (termasuk koalisi advokasi) memainkan peran yang penting pada tahap implementasi kebijakan. Keberhasilan tahap pembuatan kebijakan akan menjaga kebijakan untuk terus bergerak ke depan. Namun, tahap pembuatan kebijakan yang tidak berhasil berkesempatan untuk menghalangi kepatuhan maupun perubahan kebijakan. Keterlibatan dari koalisi advokasi mempengaruhi implementasi kebijakan (Marzotto, 2000).

(38)

Salah satu hal mendasar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah advokasi. Penggunaan advokasi kebijakan telah nampak terlihat dari periode kolonial sampai saat ini. Hal ini membantu dalam memahami bagaimana advokasi sangat diperlukan dalam agenda kebijakan, menganalisis masalah sosial, penyusunan proposal kebijakan, implementasi kebijakan serta dalam menilai suatu kebijakan (Jansson, 2009)

Faktor krusial pertama untuk keberhasilan implementasi adalah kebijakan itu sendiri,yakni dilihat dari segi kejelasan tujuan kebijakan (clear policy objectives). Kegagalan kebijakan mungkin disebabkan oleh desain kebijakan yang buruk. Oleh karena itu jika mengharapkan keberhasilan kebijakan, maka kebijakan tidak boleh ambigu, dan berdasarkan teori yang valid serta hubungan langsung antara penyebab dan akibat suatu hal. Hal utama lainnya adaah legal resource untuk pengimplementasi kebijakan. Ketersediaan waktu dan sumberdaya memerlukan kombinasi yang baik untuk sumberdaya (resources) sebagai pre condition kedua untuk implementasi kebijakan. Kondisi ainnya yang harus dikukan adalah koordinasi dan kontrol, misalnya komunikasi dan koordinasi antara beberapa elemen dari agensi yang terlibat. Koordinasi difasilitasi oleh angka minimal dari ketergantungan hubungan dan menjadikan sambungan antara

(39)

agensi implementor dan agensi yang terlibat dari struktur implementasi (Glachant, 2001)

Selanjutnya, Kontrol dari aktor pemegang kekuasaan juga menjadi penentu keberhasilan implementasi. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka komitmen juga perlu dibuat secara resmi oleh pihak pengimplementasi kebijakan.

Implementasi Kebijakan didefinisikan sebagai apa yang terjadi sesuai dengan harapan dan akibat dari kebijakan yang dirasakan (DeLeon, 1999). Implementasi kebijakan cenderung untuk memobilisasi keberadaan lembaga (Blaikie & Soussan, 2001).

Pada kebijakan dilihat apakah ada kesenjangan antara yang direncanakan dan yang terjadi sebagai suatu akibat dari kebijakan. Pendekatan pengembangan kebijakan oleh pembuat kebijakan biasanya berdasarkan hal-hal yang masuk akal dan mempertimbangkan informasi informasi yang relevan. Namun apabila pada implementasi tidak mencapai apa yang diharapkan, kesalahan sering kali bukan pada kebijakan itu, namun kepada faktor politik atau managemen implementasi yang tidak mendukung (Juma & Clarke, 1995). Sebagai contoh, kegagalan dari implementasi kebijakan bisa disebabkan oleh karena tidak adanya dukungan politik, managemen yang tidak sesuai atau sedikitnya sumber daya pendukung yang tersedia (Sutton, 1999).

(40)

2.5 Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

2.5.1 Konsep Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Nomor 188/Menkes/Pb/I/2011 dan Nomor 7 Tahun 2011, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah area yang dinyatakan dilarang untuk berbagai hal menyangkut rokok baik itu penggunaan, kegiatan produksi, penjualan, iklan, penyimpanan atau gudang, promosi dan sponsorship rokok.

Undang-Undang Kesehatan RI No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang peredaran dan konsumsinya harus dikendalikan. Dalam pasal 115 Undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan adalah kawasan tanpa rokok (KTR). Artinya tempat-tempat tersebut adalah kawasan yang dilindungi oleh Undang-undang yang di dalamnya dilarang penggunaan rokok dalam bentuk apapun. Undang-Undang ini merupakan bentuk komitmen negara untuk melindungi masyarakat dari bahaya negatif paparan asap rokok dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan kuat.

2.5.2 Tujuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok menurut Kemenkes, 2011 adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan/ atau angka

(41)

kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok, serta menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula. Sehingga akhirnya mewujudkan generasi muda yang sehat.

2.6 Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

(42)

para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

2.6.1 Amal Usaha Muhammadiyah

Dalam perjuangan menegakkan dan mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya Muhammadiyah memiliki berbagai amal usaha dalam berbagai bidang kehidupan.Secara tegas rumusan usaha tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADRT) Muhammadiyah Bab III pasal 7 .

Muhammadiyah dalam mengelola amal usahanya didasarkan pada mencari ridlo Allah semata demi kemaslahatan masyarakat, bergemanya syri'ah islam. hal ini dapat dibuktikan banyaknya sekolah, madrasah, rumah sakit, rumah yatim, pesantren, masjid, musholla, poliklinik, penerbit buku, Baitul Mall Wa Tanwil (BMT),serta berbagai amal usaha lain yang tersebar diseluruh Indonesia.

Gerakan dakwah Islamiyah melalui amal usaha ini secara langsung telah dirasakan dan dikenyam manfaatnya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Segala amal usaha Muhammadiyah berjalan

(43)

yang sebenarnya. Keikhlasan, kesabaran, serta ketekunan menjadi model utama para pengelola amal usaha Muhammadiyah ini.

2.6.2 Majelis Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah) Muhammadiyah

Majelis Pendidikan Muhammadiyah memiliki dua cabang yang melaksanakan garis besar program bidang pendidikan, yakni Majelis Pendidikan Tinggi dan Majelis Pendidikan dasar dan Menengah untuk tertatanya manajemen dan jaringan pendidikan yang efektif sebagai gerakan Islam yang maju, profesional dan modern serta untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi peningkatan kualitas pendidikan Muhammadiyah.

2.6.3 Penelitian Sebelumnya di Muhammadiyah tentang KTR

Penelitian tentang KTR (Kawasan Tanpa Rokok) sudah dilakukan oleh beberapa peneliti di lingkungan amal usaha Muhammadiyah, terutama Majelis Pendidikan Muhammadiyah tingkat perguruan tinggi di beberapa daerah yang telah menerapkan KTR (Kawasan Tanpa Rokok), antara lain penelitian yang dilakukan Ari Lestari (2013) yang berjudul Perilaku Merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang merupakan studi pada mahasiswa kampus 2 UNIMUS (Universitas Muhammadiyah Semarang), dengan subyek penelitian seluruh mahasiswa kampus 2 UNIMUS sebanyak 442 mahasiswa, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan mahasiswa mengenai KTR dengan perilaku merokok mahasiswa, ada hubungan antara sikap tentang KTR dengan perilaku

(44)

merokok mahasiswa serta tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap tentang KTR pada mahasiswa.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK-UMY) yang bekerja sama dengan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) dan didukung oleh Indonesian Institute for Social Development, menyebutkan 68% dari 377 responden perokok mendukung Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diruang tertutup. Artinya dengan KTR sudah mendapatkan sambutan baik dari seluruh kalangan.

Sedangkan penelitian mengenai dukungan mahasiswa mengenai legislasi KTR (Kampus Tanpa Rokok) yang dilakukan oleh Munayah Fauziyah (2013), dari 267 responden menyatakan 96,0 % mengetahui bahaya rokok; 93,3 % menyetujui bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan bebas asap rokok; 85,8 % butuh lingkungan bebas asap rokok.

Mengenai diberlakukannya KTR di kampus 88,8 % menyetujui hal tersebut; 76,4 % menyetujui adanya Tim pengawas KTR di kampus 60,7 % menyetujui ada sanksi pada pihak yg melanggar aturan KTR.

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaaan Advokasi Kesehatan dengan Penyajian Ilmiah

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang

Seterusnya, penilaian terhadap disfungsi tidur pada siang hari dinilai apakah seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda tetap terjaga sadar saat

Selanjutnya berdasarkan nilai Exp(B) variabel faktor usia kehamilan memliki nilai Exp(b) paling besar yaitu 4064,791 dibandingkan dengan faktor ibu yang lainnya, sehingga

dengan pendekatan supervisi klinis yang dilakukan oleh guru pamong pada SMK.. Teknologi di Sulnatera barat berada dalam criteria tinggi, di atas rata-rata

Didalam penelitian yang dilakukan oleh reginaldi dalam skripsinya berjudul “Analisis Akad Pembiayaan murabahah perumahan (KPR Syariah) pada BTN Syariah Menurut

[r]

129 2.Uji Linieritas Iklim (X2)Organisasi Terhadap Produktivitas Sekolah (Y)... Uji Linierias data Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Terhadap Iklim Organisasi

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA