• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung

mbar 4.3. Pe a pada Kabu

5.1. Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung

Menurut Analisa Segitiga Kebijakan

Hasil dari suatu kebijakan bermuara pada out put yang dihasilkan dari implementasi kebijakan itu sendiri dalam bentuk suatu kegiatan, data statistik serta keputusan yang diambil berkenaan dengan kebijakan tersebut. Kebijakan kesehatan itu adalah tujuan dan sasaran, sebagai instrumen, proses dan gaya dari suatu keputusan oleh pengambil keputusan, termasuk implementasi serta penilaian (Lee, Buse dan Fustukian, 2002). Sesuai dengan harapan dan akibat dari kebijakan yang dirasakan (DeLeon, 1999). Implementasi kebijakan cenderung untuk memobilisasi keberadaan lembaga (Blakie dan Soussan, 2001). Lembaga yang diarahkan dalam kebijakan penanggulangan bencana ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Rumah Sakit Umum Kabupaten Karo.

Tujuan dari Kepmenkes Nomor 145 Tahun 2007 tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan adalah untuk memberikan gambaran tentang peran semua unit dan jajaran kesehatan dalam penanggulangan bencana, sedangkan tujuannya adalah agar semua unit jajaran kesehatan tersebut dapat mempelajari, memahami dana melaksanakan tugas penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Maksud dan tujuan tersebut akan tercapai jika semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan Erupsi

Gunung Sinabung pada masa tanggap darurat memiliki persepsi yang sama dan tujuan yang sama yaitu melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik dan sesuai dengan pedoman kebijakan. Untuk menilai hal tersebut akan dianalisa implementasi kebijakan dengan metode analisa segitiga kebijakan kesehatan berdasarkan konteks, aktor, isi dan proses.

5.1.1. Konteks

Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu dibuat dan diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thompson, 1996). Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994).

Dalam upaya penanggulangan bencana Erupsi Gunung Sinabung, seluruh informan menyetujui bahwa kebijakan pedoman penanggulangan bencana sangat membantu. Kebijakan tersebut dapat dijadikan dasar dan latar belakang dalam mengambil keputusan dan menurunkan kebijakan daerah yang berpedoman pada Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Nomor 145 Tahun 2007. Namun dalam pelaksanaanya tidak semuanya kebijakan tersebut dapat dilakukan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sosial kultur, politik dan organisasi itu sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa KMK Nomor 145 belumlah dilaksanakan sepenuhnya oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan Rumah Sakit Umum dikarenakan kurang memahami kebijakan tersebut. Kebijakan

penanggulangan bencana seharusnya menjadi pedoman bagi Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana secara lokal di Kabupaten Karo dan menurunkan kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan tersebut, misalnya membuat SOP tentang penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Jarang sekali kebijakan ini menjadi dasar dalam suatu kegiatan. Sebagai contoh, pelaksanaan imunisasi campak pada situasi bencana masih dilaksanakan pada usia maksimal 5 (lima) tahun, padahal Kebijakan Kepmenkes Nomor 145 mengamanatkannnya sampai usia 15 tahun.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya juga diakibatkan oleh perbedaan karakteristik setiap daerah dalam menghadapi bencana. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, dimana Kabupaten Karo sedang ada dalam situasi yang unik yaitu, masalah politis terkait pemakzulan Bupati Karo, dan ketiadaan BPBD Karo yang berdampak pada ketiadaan perencanaan anggaran untuk bencana.

Kabupaten Karo memang sedang dalam masalah pergolakan politik dimana masyarakat menaruh rasa apatis dan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Masalah politik mengganggu penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Dinas Kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karo. Isu pemakzulan mengakibatkan tidak disahkannya APBD Kabupaten Karo tahun 2014 (sampai wawancara dengan informan pada April 2014).

Pelaksanaan Kebijakan Kepmenkes Nomor 145 memang tidak sebaik kebijakan Kementerian Kesehatan yang lain seperti tentang Jamkesmas, Jampersal maupun BOK. Pada kebijakan tersebut seluruh tenaga kesehatan tahu tujuan dan maksud dari pemanfaatannya. Hampir seluruh tenaga kesehatan akan paham isi dari kebijakan tersebut bahkan menjadi pelaku kebijakan. Ini merupakan hasil dari sosialisasi yang baik dan diikuti dengan pelatihan. Sehingga, seluruh tenaga kesehatan turut berperan dalam menyukseskan kebijakan tersebut. Sementara untuk kebijakan bencana itu sendiri sangat kurang dan jarang dilakukan pelatihan. Padahal meskipun waktu terjadinya bencana tidak diketahui, bencana juga dapat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan secara sistemik. Oleh karenanya kebijakan bencana perlu diterapkan karena merupakan kebijakan yang menyangkut kehidupan banyak orang.

Ke depannya penting sekali melakukan pemberdayaan masyarakat, pemerintah dan politik sehingga ada komitmen bersama untuk perduli terhadap kesiapsiagaan bencana (Nugroho, 2008). Sebagai contoh akankah ke depannya Kabupaten Karo menyediakan dana untuk mengantisipasi bencana di masa yang akan datang? Apakah pemerintah Kabupaten Karo akan mendukung dan memfasilitasi pegawainya khususnya di lingkungan Dinas Kesehatan untuk mempersiapkan diri melalui pelatihan dan pendidikan tentang bencana? Dan seberapa besar komitmen pemerintah daerah untuk mempersiapkan anggaran yang ramah terhadap kejadian bencana? Tentu jawaban dari semua itu berorientasi pada kemampuan penyelenggara

daerah untuk bekerjasama dan berkomitmen serta melakukan advokasi untuk kepentingan bersama dan didukung oleh kestabilan politik di daerah.

5.1.2. Aktor

Aktor atau user kebijakan adalah aspek penting dalam implementasi kebijakan karena dipengaruhi oleh persepsi aktor terhadap kebijakan (Agustino, 2008). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa semua informan menyatakan sudah melakukan tugas dan fungsinya sebagai pelaku kebijakan tersebut. Namun apa yang diungkapkan oleh PMI dan Camat Tiga Nderket belum menunjukkan hal tersebut karena yang dilakukan oleh informan masih berfokus pada pelayanan kesehatan yang kuratif saja belum preventif.

Budaya memiliki peran penting dalam setiap upaya penanggulangan bencana. Karena budaya di Kabupaten Karo sangatlah kuat. Meskipun dana untuk biaya operational bagi tenaga kesehatan yang melayani di pos pengungsian belum turun, namun semua tenaga kesehatan tetap rela membuka pos kesehatan dan menjaganya dengan sarana dan prasarana seadanya. Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Rumah Sakit, Kepala Puskesmas Payung dan Tiga Nderket sepakat bahwa budaya Karo yang memiliki keterikatan dengan marga, membuat mereka menyadari bahwa pengungsi yang mereka layani dan bantu adalah Saudara mereka. Perasaan seperti itulah yang menguatkan mereka untuk tidak bergerak berdasarkan ketersediaan dana, namun memberikan pelayanan sebaik mungkin meskipun dana yang diterima belum dapat dikatakan menutupi biaya operasional yang telah dikeluarkan.

Selain faktor budaya, latar belakang pendidikan juga memengaruhi kemampuan aktor kebijakan dalam menyerap dan melaksanakan maksud dan tujuan kebijakan serta mengaplikasikannya dalam situasi bencana. Latar belakang Pendidikan para aktor kebijakan adalah dari bidang kesehatan minimal strata 1 dan gelar S2 yang dimiliki Ka. Dinas Kesehatan dan Ka. Bidang Yankes tentunya membantu dalam menerpakan ilmu manajemen yang baik. Helena (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa ada pengaruh kepemimpinan dan latar belakang pendidikan dalam mengimplementasikan kebijakan publik.

Persepsi para aktor tentang kebijakan bencana dapat menghambat proses imlementasi (Agustino, 2008). Persepsi yang menghambat adalah kebijakan tidaklah harus dicapai 100% karena situasi yang darurat asalkan pelayanan kesehatan pengungsi terlayani. Kita dapat memahami bahwa bencana merupakan kondisi yang di luar dugaan, tapi tetap harus berdasarkan perencanaan yang baik, proses yang baik juga. Kebijakan akan baik dilaksanakan bila pelaku kebijakan melaksanakannya dengan 100%. Bagi Kepala Puskesmas Brastagi dan Tiga nderket, tanggung jawab moral adalah faktor kuat yang membantunya untuk menjalankan kebijakan ditambah rasa saling mendukung dengan sesama staf di Puskesmas.

Pengalaman bencana erupsi Gunung Sinabung di tahun 2010 menjadi salah satu faktor yang membantu kesiapan Dinas Kesehatan dan SDM-nya dengan segera membentuk pos kesehatan di pengungsian. Kendalanya adalah ada dari puskesmas terdampak yang turut menjadi pengungsi ditambah jumlah pos pengungsi yang cukup banyak mencapai 42 titik.

5.1.3. Konten (Isi)

Konten kebijakan berhubungan dengan pelaksanaan teknis yang dilakukan institusi Dinas Kesehatan dalam penanggulangan bencana. Aspek ini berfokus pada bagaimana Dinas Kesehatan dapat melaksanakannya dengan bertanggung jawab. Pelaksanaannya juga harus berdampak secara sistemik dan selalu berupaya untuk mecari instrumen dan alternatif yang dapat meningkatkan fungsi pelayanan Dinas Kesehatan dalam penanggulangan bencana. Yang dinilai dari aspek ini adalah sarana dan parasarana, tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pembentukan satgas, mobilisasi SDM dengan sektor lain yang terkait, bantuan/donasi, pengorganisasian kegiatan selama masa tanggap darurat, dan pelaksanaan kegiatan. a. Sarana dan Prasarana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan memang mengalami kekurangan sarana dan parasarana khususnya yang digunakan untuk pelayanan kesehatan seperti stetoskop, tempat/ruang pemeriksaan, tensi meter, thermometer, dan meja pemeriksaan. Kenyataan di lapangan, pos kesehatan didirikan seadanya dengan peralatan seadanya juga. Idealnya adalah setiap pos kesehatan harus memiliki ruangan tersendiri untuk memberi privasi dan kenyamanan pada pengungsi dalam memeriksakan kesehatannya. Setiap Pos kesehatan harus memiliki tempat tidur, meja pemeriksaan, dan tempat penyimpanan obat tersendiri. Namun di lapangan kebanyakan pos kesehatan berada pada ruang terbuka, dengan meja pemeriksaan bersatu dengan obat-obatan. Tentunya hal ini tidak memenuhi rasa aman dan nyaman.

Kekurangan sarana dan prasarana tersebut memang wajar terjadi mengingat jumlah pos pengungsi banyak hingga mencapai 42 titik pengungsian. Rata-rata setiap pos pengungsi memiliki satu pos kesehatan yang dengan Puskesmas setempat sebagai penanggungjawabnya. Selain itu, banyak sarana dan parasarana kesehatan yang mengalami kerusakan akibat erupsi bahkan ada yang turut mengungsi seperti puskesmas Simpang Empat, Tiga nderket dan Puskesmas Payung.

Secara umum, kekurangan sarana dan prasarana yang ada tidak secara signifikan mengganggu pelayanan kesehatan karena penyakit yang ditangani di pengungsian bukanlah efek langsung dari kejadian erupsi. Pasien yang tidak dapat ditangani di puskesmas dan pengungsian mendapat kemudahan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karo, Rumah Sakit Swasta Efarina Etaham dan Rumah Sakit Amanda. Alasan sarana dan prasarana jugalah yang menjadi bahan pertimbangan bagi pengungsi dalam memilih rujukan. Karena berdasarkan wawancara dengan koordinator kesehatan di Pos Pengungsi GBKP kota dan klasis kebanyakan pengungsi dirujuk ke Rumah Sakit swasta dengan alasan fasilitas yang lebih lengkap.

b. Tenaga Kesehatan

Untuk tenaga kesehatan yang sangat kurang adalah tenaga dokter. Pada umumnya setiap puskesmas hanya memiliki satu dokter, kecuali puskesmas yang berada di daerah perkotaan. Untuk menanggulangi masalah ini, Dinas Kesehatan mengambil kebijakan untuk mengikutsertakan Puskesmas yang tidak terdampak bencana dalam memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Dinas Kesehatan

sebenarnya terbantu dengan adanya kegiatan pengobatan massal yang dilakukan oleh beberapa Institusi, LSM, ataupun Rumah Sakit Swasta. Sementara Puskesmas Payung mengalami kekurangan tenaga supir ambulan.

Meskipun Kepala Rumah Sakit Umum menyatakan tidak mengalami kekurangan tenaga, namun KMK nomor 066/Menkes/ SK/II/2006 menetapkan standar tenaga kesehatan yang harus dimiliki pada bencana Gunung Meletus adalah Dokter spesialis bedah umum, penyakit dalam, anastesi dan ahli intensive care, bedah plastik, forensik, dental forensik, dan kesehatan jiwa. Untuk D3 perawat mahir yang dibutuhkan adalah anastesi, perawat mahir gawat darurat, perawat mahir jiwa, OK, dan ICU, dan ahli rontgent. Mengenai jumlahnya, harus sesuai dengan rekomendasi tim RHA.

Dinas kesehatan menyatakan memiliki kekurangan dalam tenaga entomolog dan kesehatan jiwa. Pada situasi bencana sangat dibutuhkan tenaga dokter jiwa dan psikolog. Waktu mengungsi yang cukup lama dan ketidakpastian akan masa depan telah meningkatkan tekanan yang memicu stress. Camat Tiga nderket mengakui adanya masalah kejiwaan yang diderita pengungsi, meskipun beberapa orang memang telah memiliki riwayat penyakit tersebut sebelumnya. Pentingnya penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial pada masyarakat akibat bencana dan konflik telah ditetapkan dalam KMK nomor: 048/MENKES/SK/I/2006. Bantuan dari Kementerian Kesehatan telah membantu meringankan masalah ini dengan mendatangkan ahli kesehatan jiwa.

Tenaga untuk melakukan RHA (Rapid Helath Assesment) sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi kebutuhan tenaga dan keadaan bencana. Dinas Kesehatan mengakui telah memiliki tim yang difungsikan khusus untuk menilai kegiatan bencana namun tidak ada yang sudah dibekali dengan pelatihan sebelumnya. Kenyataan ini tentunya memengaruhi pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat hingga tidak heran jika pengungsi lebih memilih berobat ke rumah sakit swasta. Selain itu beban kerja juga akan memengaruhi kesiapan dan ketanggapan petugas dalam melayani pengungsi. Hal ini sesuai dengan penelitian Indriana (2009) bahwa beban kerja yang tidak sesuai akan mengurangi kemampuan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Penting untuk membekali tenaga kesehatan dengan pendidikan dan pelatihan agar memiliki kemampuan dan kapasitas untuk melakukan analisa dampak bencana bagi kesehatatan. Namun ketiadaan pendidikan dan pelatihan tersebut mengakibatkan ketidakmampuan tenaga kesehatan untuk melakukan analisa tersebut seperti diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Tiga nderket. Pemerintah sebenarnya telah memberikan kesempatan bagi pegawai di lingkungan Departemen kesehatan dan instansi terkait seperti Dinas Kesehatan dalam mengikuti pelatihan dan pendidikan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 tentang Kebijakan pengembangan tenaga kesehatan tahun 2000-2010.

c. Obat dan Perbekalan

Pada awalnya Dinas Kesehatan mengkhawatirkan kecukupan obat dan perbekalan terutama masker untuk pelayanan kesehatan di pengungsian. Hal itu

disebabkan persediaan yang sudah menipis apalagi situasi bencana tidak termasuk dalam perencanaan pengusulan pengadaan obat Kabupaten selama setahun. Padahal Dinas Kesehatan sudah memiliki pengalaman bencana sebelumnya, ditambah lagi Kabupaten Karo adalah daerah rawan bencana alam terutama longsor.

Kekhawatiran akan ketersediaan obat dan perbekalan dapat diatasi karena kesediaan Kementerian Kesehatan melalui Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk memberikan bantuan obat-obatan. Oleh karenanya kebutuhan akan obat tidak menjadi masalah besar yang mengganggu. Memang ada masalah dalam hal pendistribusian juga mengalami kendala karena banyaknya pos kesehatan dan titik pengungsian. Selain itu tidak ada penyakit yang secara khusus ditangani dengan menggunakan obat-obatan tertentu.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 059 tahun 2011 mengamanatkan tentang pentingnya buffer stock obat dan perbekalan kesehatan untuk situasi bencana. Kebijakan tersebut juga menjelaskan tentang jumlah, jenis dan cara perhitungan kebutuhan obat dalam situasi bencana sekaligus metode pendistribusiannya. Dinas Kesehatan kurang memanfaatkan pedoman ini menjadi dasar/latar belakang dalam memenuhi kebutuhan obat dan perbekalan.

Penyimpanan obat di posko kesehatan di lokasi pengungsian masih belum layak karena tidak memiliki penyimpanan khusus dan ditempatkan bersamaan dengan meja pemeriksaan. Dalam buku buku pedoman teknis penanggulangan krisis akibat bencana (Depkes, 2008) untuk menjaga mutu maka penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan harus dilakukan pada tempat dan kondisi yang sesuai

persyaratan dan dikelola oleh petugas yang berkompeten. Dalam situasi gawat darurat,daerah juga diperbolehkan untuk meminta bantuan kepada daerah lain di sekitar Kabupaten yang terkena bencana.

d. Pembentukan Satgas

Satuan tugas merupakan elemen penting dalam penanggulangan bencana. Satuan tugas akan memfokuskan dirnya untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh bencana erupsi Gunung Sinabung secara lebih detail dan terstruktur. Dinas Kesehatan berdasarkan Keputusan Bupati Karo Nomor: 361/032/Bakesbang/2013 tentang penetapan status tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung dan pembentukan Tim Tanggap Darurat erupsi Gunung Sinabung tahun 2013 telah membentuk tim Satgas tersendiri. Tim tersebut dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan yaitu Dr.Jansen Peranginangin, MM dengan Nomor: 2.11330/SK/IX/2013 tentang Satuan Tugas Tim Kesehatan Tanggap Darurat Penanganan Bencana Gunung Sinabung Kabupaten Karo Tahun 2013 dan Beliau menjadi penanggung jawab, Kepala Bidang P2PL sebagai Ketua Tim Sekretariat, Kepala Bidang Penyuluhan dan PSM sebagai Sekretaris dan Koordinator bidang terdiri dari: ketenagaan, logistik, ambulans dan mobil operasional, sanitasi, laporan data dan informasi. Kepala Puskesmas menjadi Koordinator di wilayah kerjanya masing-masing.

Kelemahan Satgas tersebut adalah tidak adanya penjabaran tupoksi atau jobdescription pada masing-masing koordinator. Tim Satgas yang terbentuk juga berperan ganda sebagai tim satgas sekaligus tugas yang melekat secara struktural di Dinas Kesehatan. Oleh karena itu, banyak kegiatan-kegiatan penanggulangan

bencana yang membutuhkan penanganan khusus seperti halnya promosi kesehatan, kegiatan imunisasi, gizi, dan surveilans dilaksanakan seperti halnya tidak terjadi bencana. Upaya kesehatan tersebut lebih banyak dibebankan pada Puskesmas setempat. Penelitian Silalahi (2010) tentang penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung juga mendapatkan hal yang sama yaitu ketiadaan job description yang jelas mengakibatkan penanggulangan bencana dikerjakan secara sporadis. Pengalaman masa lalui seharusnya dapat dijadikan perbaikan di masa yang akan datang.

e. Mobilisasi SDM dengan sektor lain yang terkait

Secara umum banyak sektor lain yang memberikan apresiasi kepada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dalam perannya untuk memberikan pelayanan kesehatan. Namun, tetap saja ada kekurangan dalam beberapa hal khususnya koordinasi dengan instansi lain. Dalam penanggulangan bencana harus dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan sektor lain yang terkait terutaman dalam memobilisasi SDM. Hal ini penting karena tidak mungkin upaya penanggulangan bencana dilakukan oleh satu instansi saja. Dinas Kesehatan maupun Rumah Sakit menyatakan tidak memiliki masalah dan kendala dengan hal ini.

Berbeda halnya dengan yang diutarakan oleh PMI dan Basarnas, dan Kepala Puskesmas Brastagi dan Tiga nderket. Menurut mereka banyaknya orang yang berperan dalam kegiatan penanggulangan bencana mengakibatkan kurangnya komunikasi dan keterkaitan dengan satu sama lain. Sehingga sulit untuk melakukan kerjasama. Banyak hal yang dikerjakan sendiri-sendiri dan merasa menjadi instansi yang lebih banyak perannya. Dinas Kesehatan memang sedikit terlambat dalam

mendirikan posko kesehatan di Pos Pendampingan sementara banyak pihak bahkan di luar Kabupaten Karo yang sudah mendirikan Posko sejak bulan Oktober 2013. Pos Kesehatan baru berdiri sejak beberapa hari sebelum kunjungan Presiden SBY ke Tanah Karo tanggal 23 Januari 2014. Padahal keberadaaan posko akan memudahkan koordinasi, penyampain informasi dan pelaporan antara Satuan Kerja Komando Tanggap Darurat. Penanggulangan bencana bidang kesehatan, bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan sebagi “leading sector”, tetapi tidak terlepas dari peranan berbagai unsur pemerintah, swasta dan lembaga masyarakat (Ristiani, 2011).

Secara khusus koordinator PMI menyoroti pentingnya kerjasama antara Dinas Kesehatan dengan PMI dan Basarnas sebagai tim untuk mengawasi kelayakan posko pengungsi dari segi sanitasi serta kegiatan pelayanan reproduksi sesuai dengan kerjasama yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan PMI yang tertuang dalam buku Pedoman Praktis tahun 2008. Namun tidak terlaksananya program tersebut sangat disayangkan karena kenyataannya pelayanan kesehatan reproduksi menjadi hal yang krusial di pengungsian. IASC (2005) menyatakan dalam setiap keadaan darurat, ada kelompok-kelompok individu yang lebih rentan terhadap kekerasan seksual dan kekerasan pada umumnya, mereka adalah perempuan, anak-anak, yang cacat, dan orang tua. Jadi perlu penanganan dan perhatian khusus terhadap mereka.

Untuk Basarnas dan PMI, kerjasama dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu yang sudah menjadi produk umum pada kegiatan bencana maupun non bencana tidak terlalu terlihat. Hal itu dapat dibuktikan dengan kasus korban awan panas yang menelan korban jiwa 17 orang. Banyak pihak yang merasa memiliki

wewenang dan paling berperan dalam penanganan kasus tersebut. Semestinya SPGDT dilaksanakan dengan keterpaduan dan satu sistem.

Dalam penanggulangan bencana koordinasi merupakan sektor penting sehingga sangat ditekankan pada setiap peraturan tentang bencana. KMK nomor 064 tahun 2006 tentang Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana menekankan agar penyelenggaraan sistem informasi ini melibatkan sektor lain. Secara khusus kebijakan KMK Nomor: 066/MENKES/SK/II/2006 menjelaskan tentang koordinasi yang harus dilakukan dari tingkat pusat, provinsi, Kabupaten hingga Puskesmas. Semua aturan itu membuktikan bahwa jika tidak ada koordinasi maka tidak ada kebijakan yang akan berjalan dengan sempurna seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fakhriyani (2011) yang mengatakan bahwa kebijakan mitigasi bencana yang ditetapkan di Sumatera Barat tidak berjalan dengan baik karena kurangnya koordinasi yang berefek pada kurangnya kerjasama termasuk dalam hal memobilisasi SDM bersama dengan sektor lain yang terkait. Sementara penelitian Ristrini (2011) koordinasi antar lembaga sangat mendukung dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Provinsi Sumatera Barat sudah terjalin sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok masing-masing lembaga, meskipun belum optimal.

f. Bantuan dan Donasi

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang saling bergotong royong dan penuh dengan keinginan untuk saling membantu. Demikian juga di tanah Karo yang mendapat perhatian cukup banyak dari berbagai pihak dengan banyaknya bantuan

dan donasi yang diterima dari berbagai pihak. Dinas Kesehatan mendapatkan bantuan dari perusahaan obat dan Kementerian Kesehatan melalui PPKK berupa obat dan makanan tambahan. Selain itu Kementerian Kesehatan juga memberikan bantuan dana berdasarkan permintaan yang dibuat oleh Dinas Kesehatan.

Kepala Puskesmas juga turut berinisiatif mencarikan bantuan dari pihak lain secara khusus teman sejawat terkait kebutuhan obat dan peralatan yang diperlukan seperti yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Brastagi dan Tiga nderket. Semua bantuan yang diterima diperiksa label, petunjuk penggunaan, dan komposisinya.

Kepala Puskesmas Brastagi sangat ketat dalam menerima bantuan dari pihak luar. Beliau mengatakan tidak mau menerima bantua jika dilakukan dengan syarat.