• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.12. Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan (Nugroho, 2012).

Kebijakan rumah sakit adalah penetapan Direktur / Pimpinan rumah sakit pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang mengikat. Kebijakan bersifat garis besar maka untuk penerapan kebijakan tersebut disusun pedoman / panduan dan prosedur sehingga ada kejelasan langkah-langkah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012).

Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu : (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) sasaran yang memenuhi specific, measurable, aggressive but attainable, result oriented dan time bound, (3) cara mencapai sasaran

tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program, ke proyek dan ke kegiatan. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya : siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan ? apa yang mereka kerjakan ? apa dampak dari isi kebijakan ? (Nugroho, 2012).

Menurut Nugroho (2012), bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Dengan demikian bahwa tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Paparan sekuensi implementasi kebijakan publik yaitu kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain kemudian dimulai dari program, ke proyek, ke kegiatan dan dirasakan oleh pemanfaat (beneficiaries).

Persentase keberhasilan kebijakan terdiri dari 20% rencana, 60% implementasi dan 20 % sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalah-masalah yang

kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah inkonsistensi implementasi.

Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pendapat Peter Deleon dan Linda Deleon (2001), pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Graham T. Allison (1971, 1999). Generasi kedua, yaitu pada tahun 1980-an adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat ”dari atas ke bawah / top – downer perspective”. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Disamping itu pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat “ bottom – upper “ yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern (1982, 1983). Generasi ketiga, yaitu pada tahun 1990- an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksanaan implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Di samping itu pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat kontijensi atau situsional yaitu implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini antara lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997). Menurut Deleon (2000), studi tentang implementasi kebijakan secara intelektual berada di ujung buntu (the study of

policy implementation has reached an intellectual dead end). Nugroho (2012) menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan pada saat ini bukan berada di ujung buntu, namun pada suatu muara dimana begitu banyak cabang ilmu pengetahuan memberikan konstribusi pada studi implementasi kebijakan. Masuknya pengaruh berbagai cabang ilmu pengetahuan, memang, membawa implikasi praktikalitas.

Nugroho (2012) memaparkan bahwa model-model implementasi kebijakan sangat bervariasi dan tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kegiatan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri dan harus menampilkan keefektifan kebijakan itu sendiri berupa tepat kebijakannya, tepat pelaksananya, tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses, yang didukung dengan dukungan politik, dukungan strategik, dan dukungan teknis. Model-model implementasi kebijakan berupa (1) model Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975) dengan implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik, (2) model Danield Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) dengan implementasi adalah upaya melaksanakan kebijakan, (3) model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan sepuluh syarat, (4) model Malcolm L. Goggin, Ann Bowman dan James Lester (1990) dengan “communication model “ untuk implementasi kebijakan, yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan”, (5) model Merilee S. Grindle (1980) implementasi kebijakan ditentukan oleh enam isi kebijakan dan tiga konteks implementasinya, (6) model Richard Elmore (1979),

Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981) dengan implementasi kebijakan yang berdasarkan jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah, (7) model George Edward III (1980) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication / komunikasi, resources / sumber daya, disposition or attitudes / disposisi, dan bureaucratic structures / birokrasi. George Edward III (1980) memperkenalkan pendekatan masalah implementasi kebijakan dengan mempertanyakan faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan pertanyaan retorika tersebut dirumuskan 4 (empat) faktor sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni :

a) Komunikasi

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Dimensi transmisi, menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransmisikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima

dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut. Dimensi konsistensi, menghendaki konsisten dan jelasnya kebijakan publik dalam penafsiran oleh pelaksana kebijakan.

b) Sumber Daya

1) Sumber Daya Manusia

Efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur) yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia ini harus cukup (jumlah) dan cakap (ahli). Selain itu sumber daya manusia tersebut harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan tersebut juga membutuhkan informasi yang tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat didalam peraturan berlaku. Tidak cukupnya sumber daya berarti peraturan (law) tidak akan bisa ditegakkan (enforced), pelayanan tidak disediakan, dan peraturan yang digunakan tidak bisa dikembangkan.

2) Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, selain sumber daya manusia adalah dana (anggaran) dan peralatan yang diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Karena kurangnya insentif yang diberikan kepada

pelaksana kebijakan dapat menyebabkan para pelaku kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Terbatasnya insentif tersebut tidak akan mampu mengubah sikap dan perilaku (disposisi) para pelaku kebijakan. Oleh karena itu, agar para pelaku kebijakan memiliki disposisi (sikap dan perilaku) tinggi dalam melaksanakan kebijakan diperlukan insentif yang cukup. Besar kecilnya insentif tersebut dapat mempengaruhi sikap dan perilaku (disposisi) pelaku kebijakan. Insentif tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rewards and punishment.

3) Sumber Daya Fasilitas

Sumber daya fasilitas merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan didalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan.

4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki.

c) Disposisi

Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan menguntungkan organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup pengetahuan (cognitive), dan mereka sangat mendalami dan memahaminya (comprehension and understanding). Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima (acceptance), acuh tak acuh (neutrality), dan menolak (rejection) terhadap kebijakan.

d) Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasional yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

Nugroho (2012) memaparkan bahwa di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama di antara lembaga-lembaga negara dan / atau pemerintahan. Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan George Edward III.

(8) Model Nakamura dan Smallwood (1980) dengan environments influencing implementation yang terdiri atas tiga elemen dan masing-masing mempunyai actors and arenas, (9) model jaringan oleh Walter Kickert, Erik Hans Klijn dan Joop Koppenjan (1997) dengan proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang independen.

Implementasi kebijakan perlu diketahui paradigma kebijakan mana yang digunakan, kebijakan sebelum di implementasikan, harus disosialisasikan, dicoba, diperbaiki, diterapkan, dan kelak dievaluasi dalam proses yang “berwaktu” dan adanya diskresi, atau ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak mengatur atau mengatur berbeda dengan kondisi lapangan (Nugroho, 2012).

Dokumen terkait