B. Kewarisan
4. Implementasi Pembagian Warisan
Pasal 188 KHI menyatakan bahwa para ahli waris baik kolektif ataupun individual dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk dilakukan pembagian harta warisan. Ahli waris yang telah mandiri atau telah menikah dapat berinisiatif untuk meminta pembagian warisan segera dilakukan. Hal ini terjadi lebih-lebih apabila orang tuanya (janda atau duda) telah kawin lagi dengan orang lain. Apabila belum ada anak yang telah mandiri, maka pihak keluarga, terutama keluarga pihak ayah (wali) akan segera meminta pembagian warisan dan wali itu akan menjadi pengawas atau pengelola terhadap bagian warisan yang menjadi hak anak yang belum dewasa atau belum mampu tersebut.
Masyarakat Aceh melakukan pembagian harta peninggalan pewaris biasanya setelah 100 hari sejak kematian pewaris. Tapi ketentuan waktu ini sesungguhnya agak longgar, karena banyak juga keluarga yang tidak membagi harta warisan, kecuali kalau seluruh ahli waris sudah dewasa atau kawin. Jika jumlah harta peninggalan pewaris itu tidak seberapa banyak, pembagian harta warisan itu biasanya dilakukan sendiri secara damai dalam keluarga atau dibantu oleh sanak famili lain. Apabila pembagian harta warisan itu cukup banyak dan dikhawatirkan menimbulkan persengketaan di antara ahli waris, Imam Meunasah dan geuchik seringkali juga diundang untuk memfasilitasi proses
60
Wawancara dengan ibu A (10 Mei 2006).
B C
K D E F G H
pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu.61 Pembagian itu biasanya dilakukan dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai.
Sebagaimana dinyatakan oleh pasal 183 KHI, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Dalam adat Aceh pun, para ahli waris dapat melakukan persetujuan tentang besarnya bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli waris. Antara anak laki-laki dan anak perempuan membagi secara sama dan tidak diperhitungkan jumlah nilainya (harga), melainkan secara innatura. Rumah dan pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila ditaksir harganya, kemungkinan harta rumah yang diperoleh anak perempuan lebih besar karena mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akan tetapi, anak laki-laki umumnya tidak membantah hal ini, karena adalah suatu keaiban bagi mereka apabila saudara-saudara perempuan mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau menumpang di rumah orang lain.62
Penyelesaian masalah kewarisan secara damai di atas lebih dikehendaki oleh semua pihak karena tidak menimbulkan pembiayaan yang tinggi dan membawa kemudahan dalam implementasi pembagian harta untuk para ahli waris. Sebuah kasus dari gampong Lamteh (lihat diagram) kiranya relevan untuk diketengahkan di sini untuk menunjukkan bagaimana pembagian harta waris yang berlangsung secara damai.
Diagram 9.
A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. A meninggalkan seorang anak perempuan (F) dan saudara laki-laki (C) sebagai ahli waris. Sementara itu, D seorang saudara laki-laki dari A juga meninggal dalam Tsunami dan meninggalkan seorang anak laki-laki (E). Menurut ketentuan hukum Islam dan juga adat Aceh, C berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh A (saudara laki-lakinya) apalagi cuma terdapat seorang anak perempuan sebagai ahli waris. Akan tetapi, C tidak mengambil sedikitpun dari harta peninggalan A dan menyerahkan semuanya kepada F. Dalam pandangan adat, E dapat bertindak sebagai wali bagi F jika kelak akan melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, kepada E ditawarkan juga bagian dari harta peninggalan A, tetapi E menolak dan memilih untuk menyerahkan semua harta warisan kepada sepupunya (F).63
61
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Depdikbud Atjeh, 1970, h. 100.
62
Ibid. h. 102.
63
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
A
F B E D Cb. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong
Dalam menyelesaikan masalah warisan yang muncul di gampong, Geuchik beserta Imam Meunasah mempunyai peranan yang cukup penting. Apalagi, menurut pasal 12 Qanun nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Geuchik dan Imam Meunasah adalah pimpinan Rapat Adat Gampong, suatu wadah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan permasalahan yang terjadi di gampong. Dalam Rapat Adat Gampong inilah perselisihan antara ahli waris dicoba diselesaikan dengan damai. Pimpinan rapat dalam mengambil keputusan lebih banyak mengandalkan saksi sebagai alat bukti. Di sini kejujuran seorang saksi amat menentukan keputusan akhir musyawarah tersebut. Selain itu, pengetahuan aparat gampong juga ikut menentukan hasil keputusan rapat itu. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini mencakup pengetahuan tentang materi hukum yang berkaitan dengan kewarisan dan pengetahuan tentang asal usul harta dan silsilah keluarga dari para ahli waris. Untuk menunjang pengetahuan aparat gampong tentang materi hukum, tak jarang seorang teungku dari dayah diundang untuk menyampaikan ilmunya mengenai kewarisan Islam dalam rapat tersebut. Keputusan yang dibuat pada akhir rapat itu tidak selalu memuaskan semua pihak, dan karenanya Geuchik dan Imam Meunasah sering mewanti-wanti pihak-pihak yang bertikai untuk dapat menerima keputusan akhir dengan hati ikhlas.64
Harus diakui bahwa keputusan-keputusan yang dibuat dalam musyawarah gampong ataupun berdasarkan petunjuk yang disampaikan oleh aparat gampong pada saat pembagian warisan di antara ahli waris cenderung untuk mengutamakan ahli waris pihak laki-laki daripada ahli waris pihak perempuan, dan lebih memprioritaskan keluarga dari pihak suami daripada keluarga dari pihak istri. Selain itu, terhadap anak perempuan tunggal yang menjadi ahli waris, harta warisan peninggalan orang tuanya tidak diberikan seluruhnya tetapi hanya separuhnya saja. Adapun sisanya diserahkan kepada wali anak perempuan itu jika masih ada. Tapi sekiranya anak perempuan itu tinggal sebatangkara, sisa harta peninggalan orang tuanya dikuasai oleh baitul mal.65 Akan tetapi, patut dicatat di sini bahwa terdapat inisiatif penting yang dilakukan oleh Geuchik gampong Kajhu mengenai hak anak perempuan terhadap harta peninggalan orang tuanya. Berbeda dari kebanyakan gampong yang mempraktekkan hukum waris yang berlaku umum, di mana seorang anak perempuan hanya mendapatkan ½ harta warisan, Geuchik Kajhu membuat keputusan luar biasa bersama aparat gampong lainnya dan tokoh masyarakat dalam sebuah musyawarah yang memutuskan bahwa anak perempuan tunggal itu berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya. Dalam kasus itu, anak perempuan yang dimaksud masih berusia 17 tahun dan berada di bawah perwalian. Pihak wali pun tidak berkeberatan dengan keputusan musyawarah gampong itu dan membiarkan anak perempuan tersebut untuk mengurus sendiri harta warisan miliknya.66
Seperti sudah pernah diuraikan di muka bahwa karakteristik hukum adat adalah penyelesaian perselisihan dengan cara damai melalui kesepakatan kedua belah pihak. Prinsip ini amat dihormati dan lebih sering diimplementasikan oleh aparat gampong dalam pembagian harta warisan, walaupun penentuan hak bagian untuk masing-masing
64
Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006); Imam Meunasah Lampaseh Kota (3 Mei 2006); Geuchik Lambung (2 Mei 2006); Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006).
65
Wawancara Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006); Geuchik Lamteh (6 Mei 2006); Geuchik Mon Ikeun (7 Mei 2006);
66
ahli waris akan berbeda dari apa yang sudah ditentukan oleh hukum formal maupun syariat Islam. Di gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, ada sebidang tanah yang dibeli oleh sepasang suami isteri. Suami isteri ini beserta anaknya meninggal dunia dalam bencana Tsunami. Ahli waris yang masih hidup adalah seorang saudara laki-laki dari isteri dan ibu kandung dari suami, seperti terlihat dalam diagram di bawah.
Diagram 10.
Seharusnya, ibu kandung suami (F) menerima 1/3 dari harta warisan dan saudara laki-laki (E) menerima seluruh sisanya (2/3). Akan tetapi, Geuchik Lamteh mengambil inisiatif untuk membagi dua harta peninggalan para pewaris untuk masing-masing ahli waris. Dengan demikian, baik E dan F masing-masing akan menerima ½ dari keseluruhan luas tanah. Kedua pihak (E dan F) menyetujui petunjuk Geuchik dan akhirnya mengakhiri persoalan itu secara damai.67
Hal terakhir yang penting dicatat di sini adalah tentang kemampuan Geuchik dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Agaknya Geuchik yang baru diangkat setelah bencana Tsunami atau masih berusia muda kurang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Minimnya pengalaman yang dimiliki Geuchik baru itu turut mempengaruhi kemampuan mereka dalam menerapkan hukum secara tepat. Sedangkan Geuchik yang sudah terangkat sejak sebelum Tsunami, apalagi mereka yang telah puluhan tahun menjabat sebagai Geuchik, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup baik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di gampong.
c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah
Sampai bulan Maret tahun 2006, penyelesaian perkara waris akibat bencana Tsunami oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho kebanyakannya mengambil bentuk pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris sebagaimana dapat dilihat pada dua tabel di bawah. Berbeda dengan pemeriksaan atas sengketa kewarisan yang melibatkan pihak-pihak ahli waris yang saling bertikai, pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris itu merupakan perkara volunteer, yang artinya tidak ada pihak lawan dalam perkara itu. Meski begitu, bukan tidak mungkin suatu saat nanti jika ada pihak lain yang dirugikan oleh penetapan ahli waris yang sudah dikeluarkan dapat mengajukan gugatan keberatan ke Mahkamah dan meminta pembatalan penetapan ahli waris tersebut.
67
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
A E
C D
F
Tabel 14. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH PENGESAHAN AHLI WARIS SENGKETA KEWARISAN Januari 2005 - - Februari 2005 - - Maret 2005 22 - April 2005 101 - Mei 2005 118 - Juni 2005 110 1 Juli 2005 69 1 Agustus 2005 91 4 September 2005 123 2 Oktober 2005 104 - November 2005 55 - Desember 2005 134 1 Januari 2006 83 1 Februari 2006 70 - Maret 2006 39 2 TOTAL 1119 12
Tabel 15. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Jantho
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH PENGESAHAN AHLI WARIS SENGKETA KEWARISAN Januari 2005 2 - Februari 2005 18 - Maret 2005 116 - April 2005 71 1 Mei 2005 80 - Juni 2005 93 1 Juli 2005 64 1 Agustus 2005 64 - September 2005 39 1 Oktober 2005 24 - November 2005 40 2 Desember 2005 67 1 Januari 2006 56 - Februari 2006 39 1 Maret 2006 30 1 TOTAL 803 9
Sampai penelitian ini selesai dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar, sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah di dua lokasi tersebut boleh dibilang dapat dihitung dengan jari. Perkara kewarisan yang terlihat dalam kolom sebelah kanan di atas sebagian besarnya tidak berkait dengan perkara waris pasca Tsunami. Pada umumnya, perkara waris tersebut melibatkan orang-orang yang berada di luar bencana Tsunami dan diajukan sebelum Tsunami terjadi. Sengketa kewarisan yang berkaitan dengan bencana Tsunami baru mulai muncul satu-satu di awal tahun 2006. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, perkara sengketa kewarisan tersebut masih dalam tahap awal proses pemeriksaan dan belum ada yang mencapai tahap akhir, yaitu pembacaan hasil keputusan oleh majelis hakim.68 Sebuah perkara sengketa kewarisan
68
antara ahli waris (anak perempuan vs. paman) di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh malah berakhir dengan perdamaian, setelah majelis hakim berhasil membujuk pihak-pihak yang bertikai itu untuk berdamai.69
Minimnya sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah adalah akibat hampir seluruh masalah waris dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh aparat gampong. Sesungguhnya masih cukup banyak masalah waris yang tak dapat ditangani dengan baik oleh gampong, dan oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait, khususnya perempuan, tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Geuchik atau Imam Meunasah. Akan tetapi, walaupun tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh aparat gampong, pihak-pihak yang dirugikan itu pada umumnya tidak mengerti jalur dan mekanisme untuk mencari keadilan di lembaga-lembaga formal,70 sehingga akhirnya mereka cenderung apatis seolah-olah menerima nasib.