B. Kewarisan
3. Hak Waris Perempuan
Setelah menjelaskan tentang harta peninggalan pada bagian di atas, kini saatnya untuk membicarakan hak atas bagian dari harta peninggalan yang akan diterima oleh para ahli waris. Mengenai besarnya bagian untuk ahli waris dalam hukum adat pada prinsipnya, sama dengan ketentuan hukum Islam atau sebagaimana yang diatur secara umum dalam KHI.Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat Aceh diakui sangat besar. Namun, pelaksanaan ketentuan hukum semacam itu tidak terlalu ketat sepanjang ada kesepakatan antara semua ahli warisberkaitan dengan jumlah bagian dari harta warisan yang akan diterima.
Mempertimbangkan fokus utama dan tujuan penelitian ini, bagian ini tidak akan menguraikan semua pihak-pihak ahli waris, tetapi akan membatasi pada ahli waris berkelamin perempuan saja.
a. Anak Perempuan
Menurut pasal 176 KHI, anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri, dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Apabila anak perempuan tersebut bersama anak laki-laki sebagai pewaris, maka bagian anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Norma adat Aceh mengenai hak waris anak perempuan ini tidak banyak berbeda. Dengan demikian, jika terdapat hanya seorang anak perempuan ia akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih
mereka akan mendapatkan 2/3 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Begitupun, bila anak perempuan itu bersama-sama dengan anak laki-laki, maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh anak laki-laki. Tapi pada dasarnya pembagian harta warisan di gampong amat bergantung pada pertimbangan orang-orang tua adat dan atau persetujuan sesama anak-anak (laki-laki dan perempuan). Malah dalam adat Aceh, terdapat konsep harta peunulang, yaitu rumah dan tanah pekarangannya diberikan kepada anak perempuan pada saat ia menikah, yang salah satu tujuannya adalah untuk perimbangan dari kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki pada saat pembagian harta warisan sepeninggal pewaris. Melalui konsep harta peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki.
Posisi anak perempuan dalam praktek kewarisan di gampong terlihat lemah khususnya jika ia adalah satu-satunya, atau lebih, anak perempuan yang masih hidup sementara ahli waris utama lainnya (e.g. anak laki-laki, ayah dan ibu, janda atau duda) sudah meninggal dunia. Dalam keadaan seperti ini, dimana anak perempuan tidak dapat menjadi `asabah (ahli waris yang menghabiskan seluruh harta warisan), timbul kecenderungan bahwa wali, khususnya pihak keluarga ayah dari anak perempuan tersebut, datang dengan alasan perwalian untuk menguasai harta peninggalan para pewaris. Terlebih lagi apabila anak perempuan tersebut masih di bawah umur dan belum mengerti akan hak-haknya. Aparat gampong pada umumnya tidak menghalangi tindakan yang diambil oleh wali tersebut, karena itu memang merupakan praktek yang berlaku luas. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan bagaimana posisi anak perempuan yang sebatangkara sepeninggal kedua orangtuanya berhadapan dengan wali yang merupakan saudara laki-laki ayahnya (paman).
Diagram 2.
Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, terdapat seorang anak perempuan (E) yang tidak mendapatkan sama sekali harta warisan dari ayahnya (C) karena pamannya (D) menguasai seluruh harta peninggalan AB (lihat diagram di bawah). Harta warisan berupa 150 juta rupiah mulanya merupakan milik kakek nenek (AB) yang meninggal sebelum kejadian Tsunami. Kakek nenek ini mempunyai dua orang putra (C dan D) sebagai ahli waris. Akan tetapi, salah satu ahli waris ini, yaitu C, meninggal dalam Tsunami. Akhirnya seluruh harta peninggalan kakek diambil oleh paman (D) dan tidak memberikan hak sedikitpun kepada anak perempuan itu yang sesungguhnya
A D
C B
merupakan ahli waris yang sah dari harta milik ayahnya yang diterimanya dari AB.49
Diagram 3.
Situasi yang agak menguntungkan bagi anak perempuan di bawah umur adalah jika di gampong di mana anak perempuan itu menetap terdapat proses sertifikasi tanah yang dilakukan oleh program RALAS yang berada di bawah kendali BPN dan mengikutsertakan Mahkamah Syar’iyah dalam program tersebut. Dalam keadaan ini, kemungkinan besar anak perempuan tersebut mendapatkan hak penuh atas tanah yang ditinggalkan oleh orang tuanya, termasuk sertifikat tanah akan diterbitkan atas nama anak perempuan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah dalam menetapkan perwalian bagi seorang anak di bawah umur di suatu gampong seringkali juga menginformasikan kepada warga masyarakat dan aparat gampong bahwa anak perempuan dapat mewarisi seluruh harta peninggalan milik pewaris. Penting kiranya dicatat di sini bahwa terdapat yurisprudensi di Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang tidak habis itu (½) kepada seorang anak perempuan, dan tidak lagi diberikan, misalnya, kepada paman (wali) yang masih hidup.50 Dengan kata lain, seorang anak perempuan yang sebatangkara dapat menghabiskan seluruh harta peninggalan pewaris.Yurisprudensi ini jelas bertentangan secara diametral dengan bunyi pasal 176 KHI yang sudah disebutkan di atas. Tampaknya suatu terobosan hukum baru (ijtihad) sudah dilakukan dalam praktek khususnya untuk mengatasi persoalan yang dipandang kurang menguntungkan bagi posisi anak perempuan. Oleh sebab itu, sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, anak perempuan di bawah umur yang ditetapkan perwaliannya oleh Mahkamah Syar’iyah melalui program RALAS dapat dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, sementara pengelolaan tanah tersebut tetap akan di bawah kontrol wali yang sudah ditunjuk oleh Mahkamah hingga anak yatim itu dewasa. Hasyim juga menambahkan bahwa dalam hal terdapat dua orang anak di bawah umur yang berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, maka bagian tanah untuk anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Perbedaan ukuran luas tanah bagi anak laki-laki dan perempuan tersebut terlihat dalam sertifikat yang diterbitkan oleh BPN atas nama mereka masing-masing.51
b. Janda
49
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
50
Wawancara Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho (27 April 2006).
51
Wawancara Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006).
AB
C D
Posisi janda merupakan contoh lain yang tidak jauh berbeda dengan kasus anak perempuan di atas. Menurut KHI, seorang janda mendapat ¼ bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 bila pewaris meninggalkan anak (KHI, 180). Selain itu, janda akibat cerai mati juga berhak atas harta bersama sebesar separoh bagian (KHI, 96:1). Hak janda atas harta peninggalan pewaris menurut adat Aceh tidak berbeda dengan ketentuan formal dalam KHI itu. Akan tetapi, hak seorang janda atas harta bersama, menurut adat, besarnya boleh seperdua bagian atau sepertiga bagian seperti sudah diterangkan di atas dalam pembahasan Harta Bersama.
Seorang janda tanpa anak ataupun hanya mempunyai anak perempuan sesungguhnya dalam beberapa kasus berada dalam posisi yang relatif lemah berhadapan dengan keluarga pihak suami (e.g. ipar dan mertua). Sungguhpun seorang janda memperoleh 1/8 (3/24), seorang anak perempuannya memperoleh ½ (12/24), sementara keluarga pihak suami yaitu ibu mertua mendapat 1/6 atau 4/24 dan ipar akan memperoleh 5/24, seringkali terjadi keluarga pihak suami ini mengontrol seluruh harta kekayaan yang diwariskan dengan pertimbangan bahwa mereka berkedudukan sebagai wali yang nantinya akan menikahkan anak perempuan tersebut. Kondisi semacam ini lebih tampak khususnya jika anak-anak perempuan tersebut masih di bawah umur. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan posisi janda dengan seorang anak perempuan berhadapan dengan pihak keluarga suami yang terdiri dari ipar laki-lakinya dan ibu mertuanya.
Diagram 4. Pembagian warisan: Janda (B) = 3/24 Anak (E) = 12/24 Ibu (C) = 4/24 Saudara laki-laki (D) = 5/24
Dalam hal janda tersebut tidak mempunyai anak sama sekali, kedudukannya betul-betul menjadi lemah sekali berhadapan dengan satu-satunya ipar laki-lakinya yang masih hidup. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, ditemukan kasus seorang janda dan seorang ipar laki-laki sebagai ahli waris. Masalah kewarisan ini sudah diajukan kepada Geuchik untuk diselesaikan. Geuchik kemudian memberikan ¼ bagian dari harta warisan kepada janda karena tidak ada anak, sedang sisanya yaitu ¾ bagian menjadi milik saudara laki-laki dari almarhum suami janda tersebut.52 Ilustrasi kasus ini dapat dilihat pada diagram di bawah.
Diagram 5.
52
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
A D E B C A C B
Sesungguhnya janda tersebut tidak hanya memperoleh ¼ bagian, karena harta warisan yang ditinggalkan pewaris merupakan harta bersama. Seharusnya janda itu memperoleh ½ dari harta bersama dan ¼ dari harta warisan suaminya yang meninggal (karena mereka tidak punya anak). Dengan demikian, sebetulnya janda memperoleh total ¾ bagian dari keseluruhan harta peninggalan, sementara iparnya hanya memperoleh ¼ bagian.
Masih di gampong Meunasah Balee, terdapat kasus janda lain yang berhadapan dengan ipar laki-lakinya. Dalam kasus ini, pembagian harta warisan sebetulnya sudah dapat dilakukan secara musyawarah keluarga. Akan tetapi, muncul persoalan pada harta warisan berupa barang bergerak yaitu kendaraan mobil. Mobil itu ditaksir harganya sebesar 35 juta rupiah. Janda itu diminta untuk membayar sebesar sepuluh juta rupiah kepada saudara laki-laki suaminya kalau ia ingin memiliki sepenuhnya kendaraan tersebut. Tapi janda tersebut tidak mau melakukannya. Setelah mendapat laporan kasus ini, oleh pihak gampong, janda tersebut akhirnya ditetapkan berhutang kepada iparnya sebesar 10 juta rupiah dan wajib melunasinya. Janda tersebut tidak punya pilihan lain dan terpaksa mengusahakan agar mobil itu lekas terjual untuk dapat melunasi hutangnya.53
c. Cucu perempuan (patah titi)
Ahli waris perempuan lainnya yang patut didiskusikan di sini adalah cucu perempuan yang ayah ibunya meninggal terlebih dahulu daripada pewaris (kakek cucu perempuan). Menurut ketentuan formal, ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan bagian ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (KHI, 185:1-2). Hukum positif ini mengatur bahwa hubungan saling mewarisi antara seorang kakek dan cucunya, walaupun orang tua dari cucu itu sudah meninggal lebih dulu, adalah sesuatu yang dibenarkan secara hukum. Adapun jumlah bagian harta warisan yang diterima oleh cucu itu tidak dapat melebihi bagian harta warisan yang diterima oleh masing-masing saudara-saudari dari orang tuanya. Kemungkinan besar jumlah yang bakal diterima cucu itu setidaknya sama banyaknya dengan bagian saudara-saudari orang tuanya. Diagram di bawah mencoba menjelaskan kasus ini.
Diagram 6. Keterangan gambar:
F adalah cucu perempuan
D adalah orang tua F yang meninggal lebih dulu dari A dan B yg merupakan kakek dan nenek dari F yang meninggal dalam Tsunami E dan C adalah anak kandung dan merupakan ahli waris dari A dan B
F menggantikan kedudukan ayahnya (D) sebagai ahli waris yang sejajar dgn E dan C
53
Wawancara Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
A C E B F D
Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan pasal 185 KHI di atas sehingga mencakup juga kondisi patah titi ke samping (anak dari saudara).54 Maksudnya, seseorang keponakan, baik perempuan atau laki-laki, yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada pewaris, dapat menempati posisi orang tuanya sebagai ahli waris ‘saudara kandung’ dari pewaris. Meskipun sudah terdapat putusan Mahkamah Agung seperti ini, Mahkamah Syar’iyah NAD tidak berencana untuk mempraktekkan hal ini di wilayah hukumnya.55
Adapun menurut hukum Adat Aceh, seseorang yang lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris (ayahnya) tidak dapat digantikan oleh anak perempuan dari orang yang meninggal tersebut sebagai ahli waris untuk menerima harta warisan dari pewaris. Hal ini dikenal di Aceh dengan istilah Patah Titi, yang maksudnya adalah titian yang menyambungkan pewaris dengan cucu perempuannya telah hilang karena orang tua dari cucu itu meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Oleh sebab itu, penggantian kedudukan ahli waris, dalam hal ini cucu perempuan menggantikan ayahnya, tidak dianggap berlaku menurut Adat Aceh. Namun, menurut Teuku Djuned, guru besar hukum Adat dari Fakultas Hukum Unsyiah, patah titi bukanlah suatu konsep yang murni berasal dari adat Aceh.56 Sesungguhnya konsep patah titi
berasal dari pengaruh mazhab fikih Syafi’iyah terhadap praktek hukum kewarisan Islam di Aceh,57 yang lama kelamaan kemudian menjadi norma dan dipraktekkan dalam adat Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, dalam praktek adat dewasa ini, biasanya cucu perempuan dari seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari kakek (pewaris) akan memperoleh bagian bukan sebagai ahli waris tetapi karena diberikan secara sukarela oleh ahli waris yang lain. Berkat sosialisasi informasi yang dilakukan oleh para hakim Mahkamah melalui berbagai kesempatan di tengah masyarakat di Banda Aceh,58 konsep patah titi mulai ditinggalkan. Akan tetapi, aparat gampong di beberapa tempat di Aceh Besar yang belum pernah mendapatkan pelatihan dan peningkatan pengetahuan masalah waris oleh hakim Mahkamah, masih mengamalkan patah titi ketika memecahkan masalah waris yang diajukan oleh anggota masyarakatnya.
Sesungguhnya tertutupnya akses kepada harta warisan tidak selamanya berlaku hanya untuk cucu perempuan, melainkan juga dapat berakibat pada cucu laki-laki. Di gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, terdapat kasus patah titi yang terjadi pada cucu laki-laki dan Geuchik gampong tersebut mengalami kebimbangan dalam memberikan harta warisan kepada cucu laki-laki tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.
54
Lihat Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005, h. 8.
55
Diskusi dengan Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2 Juni 2006. Lihat juga Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 15-16.
56
Tanggapan T. Djuned dalam Workshop Hasil Penelitian IDLO (30 Mei 2006).
57
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 7.
58
Misalnya, hakim diundang sebagai narasumber dalam pelatihan peningkatan pengetahuan aparat gampong tentang masalah waris yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Oktober 2005.
Diagram 7.
Dalam diagram di atas, seorang pewaris (A) memiliki 2 orang istri (B dan C) dengan 7 orang anak (D, E, F, G, H, I dan J). Pewaris, kedua orang istrinya dan tiga orang anaknya (F, G dah H) semuanya meninggal dalam Tsunami, sementara salah seorang anaknya (D) sudah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Yang menjadi ahli waris atas semua peninggalan milik pewaris adalah E, I dan J, sementara O dan P terhalang (mahjub) oleh orang tua mereka yang telah menjadi ahli waris. D tidak dapat menerima warisan dari A karena meninggal dunia lebih dulu. Berhubung patah titi dianggap telah terjadi dalam kasus ini, Geuchik Lambada Lhok masih bingung untuk memutuskan apakah akan memberi bagian harta warisan kepada dua orang cucu (K dan L) dari pewaris atau tidak sama sekali.59
d. Ibu
Pasal 178 (1) KHI menentukan bahwa seorang ibu memperoleh 1/3 dari harta warisan bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara atau lebih, dan menerima 1/6 dari harta warisan bila pewaris memiliki anak atau dua saudara atau lebih (KHI, 178:1). Selain itu, pasal 178 (2) KHI juga mengatur bahwa Ibu mendapat 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. Dengan demikian, maksimal perolehan harta warisan untuk seorang ibu hanyalah sepertiga. Yang menjadi masalah adalah jika ibu merupakan satu-satunya ahli waris yang masih hidup, dan telah mendapatkan bagian maksimalnya sebanyak 1/3, kepada siapa sisa harta warisan sebesar 2/3 itu akan diberikan? Sayang sekali, peneliti tidak menemukan adanya kasus semacam ini di lapangan. Namun, besar dugaan bahwa sisa harta tersebut tidak akan diserahkan kepada ibu melainkan dikuasai oleh Baitul Mal gampong. Hal ini karena ibu tidak dapat berfungsi sebagai `asabah yang dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta warisan.
Sebagai ahli waris atas harta peninggalan anak-anaknya, seorang ibu tak jarang menghadapi masalah khususnya jika anak perempuannya yang sudah menikah meninggal dunia bersama suaminya dan mempunyai harta bersama dari pernikahannya sementara anak-anak pun meninggal dalam Tsunami. Masalah yang dihadapi ibu tersebut adalah pengabaian hak-hak kewarisannya oleh ahli waris yang lain, khususnya dari pihak keluarga menantu laki-lakinya. Padahal sebagai ahli waris yang sah, ibu tersebut berhak mendapatkan 1/3, atau 1/6 bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, dari harta peninggalan (harta bersama dan
59
Wawancara Geuchik Lambada Lhok (9 Mei 2006).
A D E F G H I C B J K L M N P O
harta bawaan) milik anak perempuannya itu. Namun, yang terjadi adalah saudara laki-laki dari suami anak perempuannya mengambil alih seluruh harta dan tidak memberikan sedikitpun hak kepada ibu itu. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan kasus seperti terlihat dalam diagram di bawah:
Diagram 8.
K adalah abang kandung dari C yang menikah dengan B yang merupakan anak perempuan dari A. K mengambil semua harta peninggalan pasangan suami istri A dan B dan tidak memberikan bagian apapun kepada A selaku ibu kandung B dan merupakan salah satu ahli waris yang sah. Saudara-saudari B yang lain (D, E, F, G dan H) yang selamat dari Tsunami dan berhak juga menerima warisan, sama sekali diabaikan juga hak-hak kewarisannya.60
4. Implementasi Pembagian Warisan