• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Pada Masa Kini

AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA

4. Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Pada Masa Kini

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri

muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan

pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana

seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.18

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin sedangkan di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah hanya bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan. Dalam kehidupan keseharian, ada dua hal yang akan membawa masyarakat pada keteraturan. Pertama adalah adanya seperangkat sistem, tata tertib, atau ketentuan yang mengatur kehidupan manusia. Kedua adanya sikap ketaatan manusia atau sistem atau ketentuan tersebut. Dua hal

18

Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011

pukul 16.48, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.

tersebut sesungguhnya merupakan persyaratan umum agar tercipta keteraturan dalam berkehidupan.19

Sebuah sistem sekuat dan sebagus apapun tidak pernah memberikan pengaruh apabila tidak ada kedisiplinan untuk mentaatinya. Rambu-rambu lalu lintas baru akan membawa maslahat apabila ditaati oleh pengguna jalan. Peraturan sekolah baru akan bermanfaat bila ditaati oleh seluruh masyarakat sekolah. Aturan perekonomian di pasar atau dalam dunia usaha pada umumnya baru akan bermanfaat apabila dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Akan tetapi sebuah aturan baru layak dipatuhi, apabila aturan tersebut membawa kemaslahatan bagi kehidupan secara umum. Jika aturan tersebut cenderung menguntungkan satu kelompok yang sempit, dengan memberikan kemudaratan atau bahkan memunculkan kezaliman bagi sebagian besar masyarakat, aturan tersebut tidak layak ditaati. Itulah sebabnya beberapa aturan pemerintah orde baru banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas karena dianggap merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan sekelompok kecil konglomerat.

KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang „sekadar‟ demonstrasi, hingga yang

19

http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls, diakses pada Selasa, 8 Maret 2011, pukul 15.00 WIB.

berwujud pemberontakan fisik. Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syari‟at yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar. Yang paling menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadaikan tameng untuk melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. 20

Ketaatan kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keimanan dan ikrar syahadat “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan demikian setiap muslim dituntut untuk mentaati ajaran-ajaran kenabian, dalam berbagai macam aspek kehidupan.

Kewajiban mentaati pemerintah adalah selama pemerintah tersebut berada dalam keadaan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin untuk mentaati pemerintah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah telah kehilangan legitimasi dan sebab untuk diberikan kepercayaan kepada mereka.

Representasi dari pemerintahan Islam di zaman kenabian adalah sebuah sistem kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi saw, sedangkan sepeninggal Nabi pemerintahan Islam diwujudkan dalam bentuk kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang khalîfah atau Amîrul Mu‟minîn. Di zaman sekarang, pemerintah yang

20

Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011

pukul 16.48 WIB, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.

mengurusi kepentingan kaum muslimin wajib ditaati selama pemimpin tersebut taat kepada Allah dan rasul-Nya.

Ibn Umar ra menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

Artinya:

“Setiap muslim wajib mendengar dan taat pada pemimpinnya dalam hal yang

disenangi maupun tidak disenangi, kecuali jika diperintah untuk maksiat.

Apabila diperintah melakukan maksiat maka tidak ada mendengar dan taat.”

(HR. Al-Bukhâri dan Muslim)

Dalam aplikasi di zaman sekarang, kepemimpinan tersebut bisa dalam bentuk kepemimpinan organisasi Islam, atau partai Islam, atau harakah Islamiyah yang melandaskan diri pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin sektoral seperti ini wajib ditaati, selama berada dalam kebenaran sesuai petunjuk al Qur‟an dan sunnah Rasul-Nya. Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta‟ala. Allah ta‟ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah

dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati

amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS:

al-Anfal:27)

Jika kita menemui pemimpin yang zalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada al-Qur‟an, as-Sunnah ash-Shahîhah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin zalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw, semenjak empat belas abad silam.

Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat.

Beliau shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda :

وحلا لع نوقلت تح اور صاف ًرثأ دعب وقلتس مكنإ

Artinya:

“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu :

pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat’). Maka bersabarlah hingga

kalian menemuiku di haudl” (HR. Al-Bukhâri no.7075 dan Muslim no.1845)

Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma‟ruf nahi

munkar kepada siapapun, termasuk kepada penguasa atau pemimpin sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma‟ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat; dan yang semisalnya.21

Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma‟ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari‟at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma‟ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila ini berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah, imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum.

Bahkan Rasulullah Saw mengukuhkan, walaupun kemudian yang memimpin itu boleh jadi mungkin dari status sosialnya lebih rendah, tetap bahwa dia adalah pemimpin kita, sesuai dengan kewenangannya, sesuai dengan wilayahnya yang menjadi tanggung jawabnya kita harus taat kepadanya. Ini yang

21

http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls. diakses pada Senin, 7 Maret 2011 pukul 08.00 WIB.

harus dipahami oleh kita bersama bahwa apabila menjadi anggota sebuah organisasi, sebuah kelompok, rakyat sebuah negara, menjadi bagian dari sebuah masyarakat, maka kita harus taat kepada pemimpin.

Meskipun tentu saja ada pemimpin yang tidak layak untuk didengar dan ditaati. Ketaatan itu memang wajib, namun ada batasannya sebagaimana

Rasulullah Saw mengatakan,

فورع لا ف عاَّلا ا َنإ قلاخلا ي عم ف قولخ ل عاط ا

Artinya:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.”

(HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari shahabat „Ali bin Abi Thalib ra).

Maka jika ada pemimpin yang menyuruh berbuat maksiat atau berbuat zalim, berbuat salah, maka tidak ditaati. Jika kita cermati wasiat Rasulullah ini, ternyata memang dimasa sekarang banyak kelompok atau partai yang mengaku Islam, atau yang mayoritas Islam, namun bertengkar satu sama lain, saling menjatuhkan, dan saling melecehkan dan ini menjadi bermasalah dalam kaitannya sebagai contoh teladan yang baik bagi masyarakat.

Sehingga akhirnya banyak orang yang menjadi tidak suka kepada Islam, karena ulah beberapa kelompok Islam, partai Islam, ormas Islam yang tidak mencerminkan adanya persatuan, kesatuan, ketaatan, kepatuhan yang seharusnya dilakukan oleh para pengikutnya kepada pemimpin, padahal bagi kita umat Islam sangat jelas bahwa mendengar dan mentaati pemimpin adalah kewajiban yang diwasiatkan Rasulullah saw kepada kita semua.

Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan, baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma‟ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan.

Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin atau penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah saw, yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdo‟a kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya.

Namun amat sangat berbahaya jika loyalitas hanya diartikan secara parsial, apa yang akan diberikan kontituen lambat laun akan timbul sifat fanatisme terhadap wadah yang menaungi mereka. Harus ditegaskan bahwa loyalitas yang kita berikan untuk organisasi bukanlah untuk menjauhkan kita dari amanah yang lain. Itulah loyalitas sempit yang mana menimbulkan fanatisme berlebih.

Banyak kasus yang sudah terjadi, ambilah contoh seorang kritikus negara. Berbicara terus menerus ketika kebijakan pemerintah menodai rakyat, namun begitu ia masuk dalam jajaran pemerintahan suara yang keluar pun berbeda. Itu dikarenakan loyalitasnya pada negara atau wadah yang menaunginya. Amanah yang diberikan rakyat ia tinggalkan demi membela jabatan yang diberikan oleh pemimpinnya.

Itulah yang banyak terjadi saat ini, memang loyalitas sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun terkadang banyak yang salah mengartikannya. Loyalitas yang dibutuhkan adalah loyalitas natural yang memang timbul karena adanya sense organisasi yang mana adanya rasa ingin bersama-sama mencapai cita-cita dengan bantuan semua aspek, artinya tidak mengesampingkan amanah lain, apalagi sampai terbentuknya fanatisme.22

Rasa ini dapat timbul dengan salah satunya adalah ikatan emosional yang terjadi antara sesama kontituen dan antara kontituen dan pemimpinnya. Pemimpin pun sangat berperan ketika memang loyalitas yang diberikan adalah loyalitas sempit, maka disinilah peran terbesarnya dalam mengawasi, mengarahkan dan mengayomi mereka. Ketika loyalitas yang ada bukanlah loyalitas sempit, bukan tidak mungkin totalitas pun akan mereka berikan sampai terwujudnya cita-cita bersama.

22

Eko Wardhaya, kaderisasikammibgr.multiply.com, diakses pada tanggal 08 Maret 2011 pukul 19.00 WIB.

Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid‟ah, dan maksiatan maka, terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Siddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa.

90

A. Kesimpulan

Dari pembahasan dan uraian di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut konsep Islam adalah kesetiaan, ketaatan, kepatuhan rakyat terhadap pemerintahan dalam Islam. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas

keiltizamannya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan

penanggung jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka. Rakyat wajib melaksanakan ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-batas syariah dan kepentingan umum.

Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiat dan tidak

menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin.

Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam yang mana kehidupan politik tidak akan tegak kecuali dengannya. Akan tetapi kewajiban taat kepada pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terikat dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadlan di tengah kehidupan manusia dan tidak mengajak rakyat kepada kemaksiatan.

2. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi adalah rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaan pemimpin jika ia telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak rakyat. Jika pemimpin telah menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka emban. Saat itu pemimpin mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat kepada pemerintahnya dan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah sifatnya.

Dalam buku al-Mawardi kewajiban yang harus dipenuhi oleh para Mujahidin dalam berjihad dijelaskan kewajiban tentara terhadap panglima perang, yaitu:

a. Selalu taat kepada pemimpin dan tunduk dalam kekuasaannya karena kekuasaaanya atas mereka sah serta mereka harus taat kepadanya sesuai status jabatannya itu, dan taat kepada pemimpin adalah wajib.

b. Menyerahkan wewenang dan mandat itu kepadanya untuk mengatur strategi perang mereka sehingga tidak banyak pendapat yang saling berbenturan, yang mengakibatkan persatuan mereka menjadi hilang dan mereka menjadi terpecah belah.

c. Segera menjalankan instruksinya dan menaati larangannya karena kedua hal itu adalah dimensi utama ketaatan terhadapnya.

d. Tidak menentangnya dalam pembagian ghanimah jika ia telah menetapkan pembagiannya dan secara rela menerima pembagian yang dilakukan olehnya

3. Menurut Hasan al-Banna, loyalitas adalah ketaatan. Yaitu, menunaikan perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas. Hal demikian itu karena tahapan dakwah ini ada tiga, yakni :

a. Takrif, dakwah dalam tahapan ini dilakukan dengan menyebarkan fikrah

islam di tengah masyarakat. Adapun sistem dakwah untuk tahap ini adalah sistem kelembagaan. Urgensinya adalah kerja social bagi kepentingan umum. Medianya adalah memberikan nasehat dan bimbingan (sekali waktu) dan membangun berbagai tempat yang berguna (di waktu yang lain), serta berbagai media aktivitas lainnya.

b. Takwin, dakwah dalam tahapan ini ditegakkan dengan melakukan seleksi

terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada. Sistem dakwah pada tahapan ini

bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk kedua aspek ini adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan.

c. Tanfidz, dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap

plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap

menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan kecuali dengan “ketaatan yang total” juga.

Hasan al-Banna menulis pada bukunya mengenai tanggung jawab pemerintahan (kabinet) Perihal tanggung jawab pemerintah menurut Islam, pada dasarnya yang memilikinya adalah presiden (kepala pemerintahan) betapapun keadaanya. Dia punya hak untuk melakukan apa saja untuk kemudian menyerahkan penilaian perilakunya kepada masyarakat. Jika ia baik, rakyat wajib mendukungnya.

Namun sebaliknya, jika ia tidak baik, maka rakyat harus meluruskanya. Islam tidak melarang seorang presiden melimpahkan wewenang eksekutifnya kepada yang lain untuk megemban tanggung jawab ini, sebagaimana dalam pemerintahan Islam masa lalu dikenal dengan “wizâratut tafwid” (maksudnya kurang lebih sama dengan sistem kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana mentri sekarang ini dan membolehkannya sepanjang tetap dalam kerangka menegakkan maslahat).

4. Perbedaan pendapat antara al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin:

perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

5. Implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini.

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim

Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan-baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma‟ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam

haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan.

B. Saran

1. Bahwa loyalitas rakyat terhadap pemimpin hukumnya wajib bagi rakyat, namun demikian bukan berarti mutlak, tetapi ada batasannya juga. Ketika pemimpin menyuruh kita kepada kemaksiatan, maka jangan diikuti, maka dari itu jika kita menemui pemimpin yang mengajak kemaksiatan, perintah Allah dan Rasul-Nya dilanggar.

2. Tetap sabar terhadap pemimpin yang dzalim, tetap menasihatinya dsn mendoakannya. karena kalau tidak, akan timbul berbagai macam pemberontakan tehadap pemerintahan akibatnya sangat merugikan sekali. 3. Dari pendapat dua tokoh Islam ini yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna yang

berbeda zaman tetapi pemikirannya mengenai loyalitas ini tidak jauh berbeda, kita dapat mengambil dan mengikuti pendapat keduanya karena menurut penulis pendapat keduanya sesuai dengan Syariah Islam.

96

Abdul Hamid Mahmud, Ali, Rukun Jihad Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan Al-Banna, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.

Abdul Khaliq, Farid, Fikh Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 1999.

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Ali Muhammmad, Rusdji, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004.

Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2008. Al-Jundi, Anwar, Biografi Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003.

Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah Fi Al-Wilâyat Ad-Dinîyyah, Beirut: Dâr el -Kitabal-Araby, t.th.

Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, Jakarta: Darul Falah, 2007 Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta:

Gema Insani Press, 2000.

Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995.

Al-Nabhani, Taqiyudin, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996. Al-Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Abdu, Etika Pengkritik Penguasa, Surabaya:

Atiqul Haque, M., 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia, 2007.

Aziz bin Baz, Abdul, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, Jakarta: Darul Haq, 2006. Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Kariem, Bandung: J-ART, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Dzajuli, H.A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hasbi Ash Shiddiqy, T.M., Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hasjmy, A., Di Mana Letaknya Negara Islam, Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984. Hawwâ, Sa‟id, dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.

Dokumen terkait