• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pengembangan Sistem Agroindustri Perikanan Laut

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 79-86)

Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Agar sumber daya alam tersebut dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan wilayah yang bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini mampu memberikan manfaat pembangunan agroindustri berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas (cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999).

Produksi perikanan tangkap laut periode 2000-32003 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,58% per tahun, yakni 4.521 juta ton pada tahun 2000 menjadi 4.728 juta ton pada tahun 2003. Berdasarkan data badan pangan dunia FAO tahun 1994, disebutkan Indonesia menempati urutan ke 7 sebagai produsen perikannan dunia, setelah China, Peru, Jepang, Chile, USA dan India.

Sejak tahun 2002, dengan produksi 5,6 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen ikan terbesar ke-6 dunia, setelah China, Peru, India, Jepang dan USA (DKP, 2004c). Produksi perikanan tangkap yang besar tersebut tersebar di sepanjang pesisir pantai wilayah Indonesia yang panjangnya mencapai 81.000 km dengan jenis komoditas perikanan yang juga sangat beragam. Berdasar kondisi inilah maka pengembangan sistem agroindustri perikanan laut membutuhkan implementasi Sub Model Kawasan, yaitu dengan dibentuknya kawasan-kawasan pengembangan yang berbasis pada produksi perikanan laut. Tujuan pembentukan kawasan pengembangan ini lebih bersifat fungsional administratif, seperti pola pembinaan teknologi yang menyesuaikan komoditas potensial, pola pembinaan mutu, pola pembinaan manajerial usaha yang menggunakan prinsip usaha profesional tanpa meninggalkan sistem nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku, efektivitas penggunaan sarana prasarana, pengembangan riset dan membangun kemitraan dalam proses pemasaran di masing-masing kawasan pengembangan. Implementasi Sub Model Pemilihan terhadap komoditas dan produk dalam satu kawasan pengembangan diperlukan agar pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat direncanakan jenis agroindustri yang tepat bagi komoditas tersebut dan menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan nilai manfaat (benefit value) sebesar-besarnya.

Implementasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa kemiripan produksi hasil perikanan laut di dua kawasan pengembangan yang terhampar di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, juga memberikan kemiripan dalam usaha agroindustri yang dijalankan. Komoditas potensial di kedua kawasan tersebut adalah ikan layang dan kembung, sedangkan jenis produk agroindustri yang diunggulkan adalah hasil olahan tradisional pengeringan/penggaraman di kawasan bagian barat dan pemindangan di kawasan bagian timur. Komoditas potensial di kawasan yang terbentang di pantai selatan Pulau Jawa adalah tuna, cakalang dan udang, sedangkan produk unggulannya dihasilkan menggunakan teknologi modern yang padat modal, yaitu industri pengalengan.

Hingga saat ini usaha pengolahan hasil tangkapan di laut masih didominasi oleh pengolahan tradisional seperti penggaraman/pengeringan, pemindangan,

pengasapan dan fermentasi yang hampir mencapai 90% dari usaha pengolahan. Data nasional menyebutkan tercatat sebanyak 4.270 unit pengolahan tradisional (DKP, 2003). Apabila dilihat dari nilai manfaat, pengolahan tradisional merupakan upaya yang tepat untuk penyelamatan komoditas ikan yang ketika didaratkan mutu komoditas telah mengalami banyak kemundurun. Hal ini dikarenakan pengolahan tradisional menggunakan teknologi dan peralatan sederhana. Dari aspek keterbatasan permodalan, usaha ini juga dipandang tepat karena usaha ini tidak membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga dapat diusahakan oleh industri kecil dan rumah tangga yang merupakan usaha padat karya sehingga sekaligus memperluas peluang lapangan kerja. Dari sisi konsumen domestik, tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini daya beli masyarakat terhadap produk hewani masih sangat terbatas. Total pengeluaran per kapita untuk pangan kurang dari Rp 1 juta per tahun (BPS, 2004), sehingga ikan asin, ikan pindang atau hasil olahan tradisional lain bisa dijadikan prioritas alternatif sumber protein hewani. Usaha pengolahan tradisional umumnya merupakan usaha dengan skala kecil dengan tingkat keterampilan yang berasal dari warisan atau turun menurun dari keluarga. Tanpa pembinaan pola manajerial dan adopsi teknologi untuk perbaikan mutu produk akan berdampak negatif dalam upayanya untuk mengakses modal yang diperlukan untuk pengembangan usahanya. Disini diperlukan dukungan pemerintah yang dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk program pelatihan, kemitraan, konsultasi dan advokasi. Hasil analisis kelayakan finansial pada setiap jenis produk agroindustri menunjukkan bahwa baik usaha pengolahan tradisional maupun modern memberikan prospek kelayakan finansial. Hasil ini penting diketahui oleh investor dan lembaga keuangan sebagai penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai bisnis dengan resiko tinggi.

Industri pengolahan modern memberi harapan besar bagi perolehan devisa negara. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat dua permasalahan besar yang menghambat profil industri ini yaitu dari aspek produksi terhambat dengan ketersediaan bahan baku dan aspek pemasaran dimana preferensi pasar atau konsumen global menuntut peningkatan kualitas dan ragam olahan.

Melalui analisis yang merupakan implementasi dari Sub Model Strategi teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan agroindustri perikanan laut, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut. Implementasi Sub Model Kelembagaan yang berfungsi dalam proses identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk merevitalisasi agroindustri perikanan laut menunjukkan elemen kunci dari pelaku, kebutuhan program, kendala yang dihadapi, tolok ukur pencapaian tujuan dan aktivitas yang diperlukan (Gambar 49).

Prioritas utama alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan laut adalah memperkuat agroindustri yang ada, diikuti dengan optimalisasi industri penangkapan. Prioritas keputusan ini dapat dipahami bahwa strategi pengembangan harus mampu merevitalisasi dan merestrukturisasi industri yang bergerak di bidang usaha pascapanen perikanan laut sehingga akan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Daya saing produk perikanan laut dapat ditingkatkan melalui pengelolaan berbasis teknologi serta pengelolaan yang menekankan pada efisiensi produksi, sehingga tuntutan mutu dan harga yang kompetitif dapat terpenuhi.

Penguatan agroindustri yang ada membutuhkan dukungan kesinambungan pasokan bahan baku yang berarti strategi optimalisasi industri penangkapan harus berjalan dengan baik. Terdapat banyak kasus industri pengolahan modern tidak mampu meneruskan usahanya karena kesulitan bahan baku. Disinilah diperlukan peran pemerintah pusat dan daerah yang menjadi elemen kunci pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut untuk bertindak sebagai fasilitator dan regulator dalam mengatasi kelangkaan bahan baku. Sejalan dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 24, opsi untuk mengatasi kelangkaan bahan baku tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan seperti :

1. Penetapan peraturan dengan mengatur sejumlah quota tertentu yang memprioritaskan agar ikan yang ditangkap di perairan Indonesia diproses pengolahannya di dalam negeri, sehingga ada pembatasan ijin ekspor ikan dalam bentuk gelondongan.

Gambar 49. Elemen kunci yang mendukung strategi pengembangan agroindustri perikanan laut. PENGEMBANGAN AGROINDUST RI PERIKANAN LAUT Pelaku Pengembangan : • Pemerintah Daerah • Pemerintah Pusat • Nelayan

• Pelaku Usaha AIPL • Pelaku Usaha Alat Produksi • Bakul Ikan

• T enaga Kerj a AIPL • Distributor Produk AIPL • Konsumen

Kendala dalam Pengembangan : • Keterbatasan Modal

• Keterbatasan Sarana dan Prasarana

• Kuantitas, Mutu dan Kontinuitas Bahan Baku • Kestabilan Harga Bahan Baku

• Akses Informasi T erhadap T eknologi Pascapanen

Kebutuhan untuk Pelaksanaan Program : • Jaminan Kesinambungan Bahan Baku • Permodalan

• SDM T erampil dan T erdidik • Sarana dan Prasarana

• Standar Mutu dan Keamanan Produk • T eknologi T epat Guna

• Pemasaran T erj amin

T olok Ukur untuk Pencapaian T ujuan Pengembangan :

• Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran • Peningkatan Volume Produksi

• Peningkatan Pendapatan Daerah • Peningkatan Pangsa Pasar Domestik • Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor T ujuan Pengembangan :

• Peningkatan Lapangan Kerj a • Peningkatan Kesempatan Berusaha • Peningkatan Nilai T ambah • Peningkatan Pendapatan Daerah • Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi • Peningkatan Konsumsi Ikan

Strategi Pengembangan : • Memperkuat AIPL yang Ada • Optimalisasi Industri Penangkapan • Menumbuhkan AIPL yang Baru Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan T indakan dalam Pengembangan :

• Identifikasi Produk AIPL yang Layak Dikembangkan • Koordinasi antar Sektor yang T erlibat

• Perumusan Perda Pendukung

• Kemudahan Akses Informasi dan T eknologi • Pemenuhan Sarana dan Prasana

• Kemudahan Akses T erhadap Lembaga Permodalan • Kej elasan Proses Perij inan

• Pembinaan Cara Pengolahan yang Baik dan Higienis • Pembinaan Manaj erial

• Minimalisasi IUU Fishing • Penerapan Sistem Kapal Carrier

2. Pemberian insentif bagi industri penangkapan yang menjual ikannya di dalam negeri, misal dengan pengurangan pajak atau restribusi;

3. Penurunan tarif bea masuk bahan baku industri pengolahan modern juga perlu mendapat pertimbangan, khususnya bahan baku hasil tangkapan dan hasil produksinya ditujukan untuk pasar ekspor. Berkembangnya usaha pengolahan dalam negeri ini akan memberikan mulplier effect yang sangat besar, seperti penyerapan tenaga kerja dan terbukanya peluang usaha pendukung produksi, serta peningkatan pendapatan daerah dari pajak industri.

Disamping memiliki fleksibilitas, implementasi Model AGRIPAL pada penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan.

Sub Model Kawasan. Sub Model Kawasan menggunakan metode

Analisis Klaster (Cluster Analysis) dapat diaplikasikan untuk pemetaan perwilayahan tertentu, baik berbasis jarak atau klasifikasi wilayah yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat diberikan atau tidak diberikan bobot. Pada kajian ini keseluruhan penilaian terhadap masing-masing alternatif dan kriteria diserahkan kepada interpretasi pakar yang dianggap kompeten dan memiliki kewenangan dalam menilai kondisi Jawa Tengah, yaitu BAPPEDA dan Diskanlut Jateng. Namun demikian, bilamana diperlukan sub model ini dapat menggabungkan sekaligus pendapat pakar pada kriteria kualitatif dan nilai/skor pada kriteria yang memiliki data kuantitatif.

Sub Model Pemilihan. Sub Model Pemilihan menggunakan metode

Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluastion/IPE) dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM) yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasar kriteria yang telah ditetapkan. Model ini pada prinsipnya dapat diaplikasikan untuk membuat prioritas alternatif komoditas/produk lebih dari 250 jenis/altenatif. Kriteria yang digunakan mampu mengakomodasi lebih dari 250 kriteria untuk masing-masing alternatif. Namun demikian, untuk menghindari kejenuhan pakar dalam proses penilaian, dalam kajian ini telah dilakukan seleksi awal terhadap komoditas/alternatif, yaitu

sebanyak 18 jenis. Seleksi awal ini dilakukan berdasarkan data produksi dan hal lain yang didiskusikan dengan pakar.

Sub Model Kelayakan. Sub Model Kelayakan ini mengintegrasikan

berbagai operasi dalam penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, IRR, Net B/C, PBP dan BEP. Selain itu, sub model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang, analisis sensitivitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan dapat dilakukan dengan cepat. Sub Model ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dapat digunakan untuk menganalisis maksimal 4 jenis komoditas/produk, dengan struktur biaya yang telah ditentukan pada program. Oleh karena itu, pengguna yang ingin melakukan input dengan jumlah komoditas/produk lebih dari 4 jenis atau ingin melakukan perubahan dalam struktur pembiayaan, maka perlu melakukan penyesuaian dengan membuka tombol designer yang kewenangannya pada program ini ditujukan bagi pengguna berkategori tertentu sebagaimana diatur dalam program.

Sub Model Strategi. Sub Model Strategi dirancang dengan menggunakan

metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pengguna dapat melakukan input hirarki dan elemen, sehingga keseluruhannya berjumlah lebih dari 250 elemen. Hirarki yang terlalu panjang atau elemen yang terlalu banyak dapat menimbulkan kejenuhan dalam proses penilaian. Untuk itu, diperlukan seleksi awal terhadap elemen-elemen penting di masing-masing hirarki yang dapat dilakukan melalui grup diskusi atau metode OWA Operator.

Sub Model Kelembagaan. Sub Model Kelembagaan dirancang dengan

metode Intepretative Structural Modelling (ISM) dan digunakan untuk melakukan identifikasi struktur elemen (unsur) dalam sistem. Penetapan elemen yang mengacu pada rumusan Saxena dalam Eriyatno (1999) meliputi 9 elemen, tetapi pada penelitian ini hanya dikaji 5 elemen, yaitu pelaku/lembaga yang terlibat dalam pengembangan, kebutuhan dari program, kendala, tolok ukur untuk menilai pencapaian tujuan dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Hal

ini didasarkan pada pertimbangan rasional dan kemudahan operasional dalam pengelolaan kelembagaan yang terkait dengan industrialisasi di sektor perikanan, terutama pelaku usaha/investor dan pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan berusaha dan pengembangan wilayah.

Sistem Informasi Agroindustri Perikanan Laut Provinsi Jawa Tengah. Pada bagian ini pengguna dapat memperoleh beberapa informasi

mengenai gambaran umum Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten/Kota yang memiliki potensi perikanan laut, produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan dan Kabupaten/Kota, kependudukan, sarana dan prasarana, serta data lain yang terkait dengan agroindustri perikanan laut.

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 79-86)

Dokumen terkait