• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut. Penggunaan Model AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat digunakan oleh Pemda Provinsi atau Kabupaten maupun pengusaha se-Jawa Tengah, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penggunaan Model AGRIPAL dapat mengikuti langkah-langkah pada Lampiran 1.

Hasil verifikasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah disajikan berurutan yaitu (1) Pengelompokan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan; (2) Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (3) Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (4) Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut; (5) Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut; dan (6) Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut.

A. Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan

Sub model kawasan merupakan sub model yang dirancang untuk membantu proses klasterisasi kawasan dan pusat pertumbuhan. Sub model ini menggunakan metode meminimumkan jarak pada matriks euclidean distance.

Operasionalisasi sub model kawasan pada klasterisasi kawasan pengembangan dan klasterisasi pusat pertumbuhan secara teknis memiliki prosedur dan metodologi yang sama, hanya saja pada klasterisasi kawasan pengembangan masukan berupa jarak absolut antar wilayah yang diuji. Penggunaan model ini dengan asumsi bahwa kondisi antar wilayah kajian dianggap memiliki kemiripan karakteristik, seperti potensi sumber daya alam (perikanan), perkembangan wilayah, keadaan sosial kependudukan, dan sarana prasarana khususnya aksesibilitas masing-masing wilayah tidak jauh berbeda.

(2)

Pada klasterisasi pusat pertumbuhan masukan data dimulai dari pendapat pakar terhadap objek berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Pada penelitian ini perumusan pusat pertumbuhan dibangun dari 11 kriteria yang pada tahap sebelumnya dirumuskan oleh para pakar pada proses identifikasi faktor pengembangan. Pada proses identifikasi kriteria tersebut sekaligus ditetapkan nilai bobot masing-masing kriteria. Adapun kriteria untuk menentukan pusat pertumbuhan tersebut adalah (1) kebijakan dan peraturan pemda, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) biaya produksi, (6) konflik sosial, (7) tenaga kerja, (8) sumber air, (9) sumber daya energi/listrik, (10) sarana transportasi, dan (11) sarana komunikasi. Tingkat kepentingan atau bobot kriteria diformulasikan dengan aturan Minkowski, untuk kemudian diagregasi menjadi bentuk euclidean distance. Berikutnya matriks euclidean distance diolah dengan metodologi dan ditampilkan dengan keluaran yang identik.

1. Pengelompokan Kawasan Pengembangan

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan total areal seluas 32.548,20 km2 yang terletak diantara 5°40’ - 8°30’ Lintang Selatan dan 108°30’ - 111°30’ Bujur Timur. Wilayah ini berupa daratan yang di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur dengan Provinsi Jawa Timur, di sebelah selatan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudera Hindia, serta di sebelah barat dengan Provinsi Jawa Barat (Lampiran 2).

Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten (Daerah Tingkat II), yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Selain itu terdapat enam Kota (Daerah Tingkat II), yaitu Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Pekalongan dan Tegal, serta Semarang sebagai ibukota provinsi. Dalam wilayah Dati I Jawa Tengah terdapat tiga kota administratif (kotif), yaitu Kotif Cilacap, Purwokerto, dan Klaten, serta 532 Kecamatan dan 8.496

(3)

kelurahan/desa. Daerah yang memiliki potensi sumber daya kelautan sebanyak 15 Kabupaten/Kota, yaitu 10 Kabupaten dan 3 Kota yang membentang di daerah Pantai Utara Jawa dan 2 Kabupaten di Pantai Selatan Jawa. Kabupaten dan Kota di Pantai Utara Jawa tersebut meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Kota Tegal, Pekalongan dan Semarang. Dua Kabupaten yang terletak di Pantai Selatan Jawa, meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen (Lampiran 3 dan 4). Daerah yang berada pada pesisir pantai utara Jawa memiliki keuntungan, yaitu berada pada jalur jalan arteri primer yang menghubungkan kota-kota utama di Pulau Jawa, yaitu kota Jakarta, kota Semarang dan kota Surabaya.

Berdasarkan kondisi geografis tersebut, maka perencanaan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu dengan membentuk kawasan pengembangan. Kesamaan potensi dan jenis komoditas yang dihasilkan dalam satu kawasan pengembangan, serta sifat komoditas perikanan laut yang mudah rusak menjadi pertimbangan penting diperlukannya pengelompokan suatu kawasan. Terbentuknya suatu kawasan pengembangan didasarkan pada kedekatan jarak antar wilayah, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam pengembangan industri penanganan/pengolahan hasil perikanan laut. Selain itu, pembentukan kawasan pengembangan juga diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan sarana dan prasarana pendukungnya. Pengelompokan Kawasan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut di Provinsi Jawa Tengah didasarkan kedekatan/jarak antar wilayah yang memiliki potensi perikanan laut. Pengujian dilakukan berdasarkan metode Analisis Klaster (Cluster Analysis) dalam sub model Kawasan, sub-sub model Kawasan Pengembangan dengan hasil pada Gambar 10 dan Lampiran 5.

(4)

Gambar 10. Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agro-industri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah

Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa berdasarkan jarak antar kabupaten/kota yang memiliki potensi perikanan laut, Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi dalam tiga kawasan pengembangan, yaitu dua kawasan di wilayah Pantai Utara Jawa dan satu kawasan di wilayah Pantai Selatan Jawa. Kawasan Pengembangan I meliputi 5 daerah, yaitu Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten/Kota Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A3), Kabupaten/Kota Pekalongan (A4) dan Kabupaten Batang (A5). Kawasan Pengembangan II meliputi 6 wilayah, yaitu Kabupaten Kendal (A6), Kota Semarang (A7), Kabupaten Demak (A8), Kabupaten Jepara (A9), Kabupaten Pati (A10) dan Kabupaten Rembang (A11). Kawasan Pengembangan III meliputi 2 daerah, yaitu Kabupaten Kebumen (A12) dan Kabupaten Cilacap (A13).

Dilihat dari volume produksi ikan per kawasan pengembangan (Gambar 11) terlihat bahwa secara umum volume produksi terbesar berada di Kawasan Pengembangan I, diikuti dengan Kawasan Pengembangan II dan selanjutnya Kawasan Pengembangan III.

(5)

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e ( Ton ) Kawasan I Kawasan II Kawasan III Jateng

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Gambar 11. Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2003) ada kecenderungan terjadinya penurunan volume produksi di seluruh Kawasan Pengembangan, yaitu masing-masing dengan laju berturut-turut 2,53%, 0,55%, 0,24% untuk Kawasan Pengembangan I, II dan III (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Demikian pula total volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan 1,43% (Lampiran 6).

Berdasarkan total volume produksi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003, yaitu 236.235 ton, persentase volume produksi ikan di masing-masing Kawasan Pengembangan I, II dan III pada tahun yang sama adalah 51,52%, 43,18% dan 5,21%. Total nilai produksi perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 tersebut adalah Rp 773,6 M (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Dari data tersebut terlihat hampir 95% hasil perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah diproduksi di 2 Kawasan Pengembangan yang terletak di wilayah pantai utara Jawa, yaitu oleh 13 Kabupaten/Kota yang keseluruhannya memiliki 68 tempat pelelangan/pendaratan ikan. Kualifikasi tempat pelelangan ikan tersebut terdiri dari 14 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan), 18 TPI Kelas II, 19 TPI Kelas III dan 17 TPI Kelas IV. Produksi perikanan laut Pantai Selatan Jawa Tengah hanya 5% dihasilkan oleh 2 Kabupaten yang memiliki 10 tempat pelelangan/pendaratan

(6)

ikan, yang terdiri dari 5 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap), 4 TPI Kelas II dan 1 TPI Kelas IV (Lampiran 7).

2. Penentuan Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan

Dari setiap kawasan pengembangan selanjutnya ditetapkan pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat produksi dan pintu keluar untuk memasarkan hasil-hasil produk agroindustri perikanan laut, serta wilayah-wilayah pendukung yang berfungsi sebagai daerah produksi atau pemasok bahan baku ke pusat-pusat produksi. Daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan juga harus merupakan daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah. Daerah tersebut harus memiliki sektor unggulan yang mampu mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, baik dalam daerah itu sendiri dan daerah pendukungnya. Selain itu, daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan memungkinkan terbukanya pasar bagi produk-produk unggulnya dan keterkaitan ke belakang memungkinkan pusat pertumbuhan tersebut mendapat pasokan bahan baku untuk kegiatan produksinya. Ciri lain dari daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah harus memiliki sarana dan prasarana bagi pengembangan agroindustri perikanan laut yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya.

Penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan untuk pengembangan agroindustri perikanan laut ditentukan berdasarkan 11 kriteria, yaitu (1) kebijakan/peraturan Pemerintah Daerah, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) tingkat biaya produksi, (6) tingkat konflik sosial, (7) ketersediaan tenaga kerja, (8) ketersediaan sumber air, (9) ketersediaan sumber energi/listrik, (10) ketersediaan sarana transportasi dan (11) ketersediaan sarana komunikasi. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode OWA Operator (Tabel 9 dan Lampiran 8) dengan data pendukung pada Lampiran 9.

(7)

Tabel 9. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut

No Kriteria Deskripsi Agregat

1 Kebijakan/per

aturan pemda Kebijakan/peraturan pemerintah daerah yang terkait dengan RUTR/W, kemudahan perijinan dan kepastian hukum dalam berusaha

Tinggi

2 Tingkat

investasi Besarnya investasi yang diperlukan dalam pembangunan industri pasca panen perikanan laut di suatu daerah seperti biaya lahan dan bangunan

Tinggi

3 Kedekatan

bahan baku Kedekatan lokasi usaha dengan lokasi pemasok komoditas perikanan sebagai bahan baku industri

Tinggi

4 Kedekatan

pasar Kedekatan lokasi usaha dengan pasar produk, baik lokal, nasional dan pintu ekspor bagi produk yang dihasilkan

Tinggi

5 Biaya

produksi Tingkat biaya produksi di suatu daerah yang terkait dengan harga bahan baku, harga bahan pembantu, upah tenaga kerja, biaya transportasi, dan lain-lain

Tinggi

6 Konflik sosial Tingkat konflik sosial yang muncul di suatu

daerah akibat berdirinya suatu usaha industri Tinggi 7 Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja terampil di suatu

daerah bagi industri pasca panen komoditas perikanan laut

Sedang

8 Sumber air Ketersediaan sumber air yang diperlukan dalam proses produksi, seperti pencucian bahan baku, proses pengolahan dan sanitasi

Tinggi

9 Sumber daya

energi/listrik Ketersediaan sumber daya listrik atau energi lain bagi mesin pengolah dan peralatan lain, penerangan dan peralatan administratif

Tinggi

10 Sarana

transportasi Ketersediaan sarana transportasi untuk pengangkutan bahan baku dan produk yang dihasilkan, serta diperlukan untuk mobilitas pekerja

Tinggi

11 Sarana

komunikasi Ketersediaan sarana komunikasi untuk berbagai keperluan seperti pemesanan bahan baku, pemasaran, dan sebagai alat bantu yang memudahkan dalam proses pengambilan keputusan yang diperlukan

Tinggi

Berdasarkan hasil pembobotan pada Tabel 9 terlihat bahwa kriteria-kriteria yang diujikan memiliki bobot tinggi, kecuali kriteria-kriteria tenaga kerja, yaitu dengan bobot sedang. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menentukan pusat pertumbuhan agroindustri, wilayah yang diuji harus memenuhi banyak

(8)

kriteria dengan tingkat kepentingan yang tinggi, agar industri yang akan dikembangkan dapat menjaga keberlangsungannya dalam berusaha. Kriteria tenaga kerja memiliki bobot sedang; hal ini sesuai dengan pendapat pakar terkait yang diwawancarai yang menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja bagi pengembangan agroindustri perikanan laut cukup tinggi terkait dengan tingginya angka pencari kerja. Adapun permasalahan yang terkait dengan ketrampilan bagi para pekerja dapat diberikan apabila diperlukan mengingat teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah hasil perikanan laut relatif sudah dikuasai dengan baik.

Penilaian untuk penentuan pusat pertumbuhan terhadap masing-masing daerah dilakukan dengan memberikan nilai l - l0 (sangat rendah sekali – sangat tinggi sekali) terhadap 15 Kabupaten/Kota. Pengujian dilakukan menggunakan metode Cluster Anaysis dalam sub model Kawasan sub-sub model Pusat Pertumbuhan (Lampiran 10).

Berdasarkan potensi dan kondisi yang dimiliki, wilayah-wilayah tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu sebagai wilayah kurang potensial (A), potensial (B) dan sangat potensial (C). Wilayah A meliputi Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A4), Kabupaten Pekalongan (A5), Kabupaten Batang (A7), Kabupaten Kendal (A8), Kabupaten Demak (A10), Kabupaten Jepara (A11) dan Kabupaten Kebumen (A14). Wilayah B meliputi Kota Semarang (A9) dan Kabupaten Cilacap (A15). Wilayah C meliputi Kota Tegal (A3), Kota Pekalongan (A6), Kabupaten Pati (A12) dan Kabupaten Rembang (A13) (Gambar 12).

Pengkategorian wilayah secara khusus didasarkan atas potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki oleh kelompok wilayah tersebut. Besarnya volume produksi perikanan laut dari suatu daerah memperlihatkan ketersediaan bahan baku agroindustri untuk daerah tersebut juga besar (Tabel 10). Dari Tabel 10 terlihat bahwa Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang (Kelompok C) memperlihatkan potensi volume hasil tangkapan yang sangat besar dibanding kabupaten/kota lainnya, sehingga kelompok ini dikategorikan sebagai wilayah yang sangat potensial.

(9)

Gambar 12. Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah

Kelompok B, terdiri dari Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang, dikategorikan sebagai wilayah potensial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Cilacap memiliki potensi produksi perikanan laut yang cukup besar di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Potensi produksi perikanan laut di Kota Semarang kecil, akan tetapi memiliki nilai yang tinggi pada berbagai kriteria lain seperti ketersediaan sumber air, sumber energi, sarana transportasi dan sarana komunikasi yang sangat penting dalam memfasilitasi pengembangan agroindustri perikanan laut. Besarnya ketersediaan sarana prasarana dan kedekatan dengan pasar produk yang dimiliki oleh Kota Semarang menempatkan wilayah ini dalam kategori potensial.

Wilayah lain yang tergabung dalam kelompok A, yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara dan Kebumen, dikategorikan sebagai wilayah yang kurang potensial. Hal ini disebabkan volume produksi hasil tangkapan tidak terlalu besar, sedangkan sektor penunjangnya juga tidak terlalu menonjol.

(10)

Tabel 10. Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1999 – 2003 (dalam Ton) Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 Kab. Brebes 2.375,0 2.403,9 2.568,9 3.742,8 5.269,6 Kab Tegal 677,7 649,6 723,9 845,3 1.106,9 Kota Tegal 22.172,3 44.819,1 36.849,0 34.513,3 29.564,4 Kab. Pemalang 6.095,3 7.226,4 8.592,1 11.279,8 9.925,2 Kab. Pekalongan 2.014,3 1.438,2 1.973,2 2.163,9 1.978,9 Kota Pekalongan 65.034,6 66.628,7 73.124,1 53.161,9 62.008,9 Kab. Batang 23.368,9 19.038,1 20.452,7 17.656,9 11.863,6 Kab. Kendal 1.819,9 1.601,9 1.245,2 1.111,4 1.055,2 Kota Semarang 602,1 652,0 566,0 331,6 174,3 Kab. Demak 2.559,6 2.264,2 1.598,7 1.181,5 1.208,6 Kab. Jepara 3.072,3 2.147,0 1.798,3 2.206,1 3.729,8 Kab. Pati 42.339,5 44.969,1 49.624,2 59.889,3 63.457,2 Kab. Rembang 35.953,7 50.783,3 60.200,1 78.825,7 32.370,7 Kab. Kebumen 3.226,3 1.470,8 1.988,2 5.349,8 4.180,0 Kab. Cilacap 10.100,1 15.153,2 13.123,9 8.944,6 8.140,1 Total 221.411,7 261.243,5 274.328,5 281.203,9 236.235,0 Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Pertimbangan lanjut dalam penentuan pusat pertumbuhan untuk masing-masing kawasan adalah kuantitas dan kontinuitas produksi perikanan laut masing-masing wilayah dalam kategori yang sama (Lampiran 10). Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada Gambar 13 terlihat bahwa di Kawasan Pengembangan I, produksi perikanan Kota Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kota Tegal. Namun demikian data series selama 10 tahun (1994 - 2003) menunjukkan adanya penurunan laju produksi di Kota Pekalongan sebesar 5,95%, sedangkan Kota Tegal mengalami peningkatan laju produksi sebesar 2,84%.

Wilayah yang memiliki potensi besar dalam produksi perikanan di Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati dan Rembang. Gambar 13 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1994 – 1999, volume produksi Kabupaten Pati lebih tinggi dibanding Kabupaten Rembang, kemudian pada tahun 2000 - 2002 volume produksi di Kabupaten Rembang sedikit mengungguli tingkat volume produksi Kabupaten Pati, tetapi pada tahun 2003 Kabupaten Pati kembali menjadi kabupaten dengan volume produksi terbesar

(11)

di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah. Selama 10 tahun (1994 - 2003), laju pertumbuhan produksi perikanan di Kabupaten Pati mengalami penurunan sebesar 1,98%, sebaliknya laju pertumbuhan produksi Kabupaten Rembang mengalami peningkatan sebesar 4,36%. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2002-2003, produktivitas ikan Kabupaten Pati hampir menyamai Kota Pekalongan yang sampai tahun 2001 mendominasi volume produksi ikan di Provinsi Jawa Tengah.

-20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun V ol um e ( To n) Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap

Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 13. Volume produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Meskipun pada tahun 2000 – 2002 dari sisi volume produksi Kabupaten Rembang sempat mengungguli Kabupaten Pati, dari nilai produksinya Kabupaten Pati tetap lebih unggul dibanding Kabupaten Rembang (Gambar 14). Nilai produksi Kabupaten Rembang pada tahun 2002, yang menjadi puncak produksi selama kurun waktu 10 tahun (55.282 ton), adalah Rp 118,9 M, sedangkan volume produksi Kabupaten Pati pada tahun yang sama hanya 50.905 ton tetapi mampu menghasilkan nilai produksi sebesar Rp 165,1 M. Hal ini berarti bahwa ikan yang didaratkan di Kabupaten

(12)

Pati memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibanding Kota Rembang (Gambar 15). Pada tahun 2002, harga rataan ikan di Kabupaten Pati Rp 3.244,00 sedangkan di Kabupaten Rembang Rp. 2.152,00.

-50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N ila i ( x R p . 1 000) T egal Pekalongan Pati R embang Cilacap

Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 14. Nilai produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Gambar 14 menunjukkan selama tahun 1994 - 2003 seluruh wilayah yang diunggulkan mengalami peningkatan nilai produksi. Peningkatan laju nilai produksi tertinggi adalah Kota Tegal 28,15%, diikuti oleh Kabupaten Rembang, Pati, Cilacap dan Kota Pekalongan masing-masing 23,10%, 18,47%, 17,06% dan 16,88%.

Diantara wilayah unggulan lain, Kabupaten Cilacap yang berada di Kawasan Pengembangan III menghasilkan volume produksi ikan yang paling kecil. Secara keseluruhan selama 10 tahun (1994 - 2003), laju volume produksi Kabupaten Cilacap juga mengalami penurunan 4,33%. Namun demikian, Gambar 15 menunjukkan bahwa harga rataan ikan hasil tangkapan Kabupaten Cilacap lebih besar dibandingkan harga ikan di kota-kota lain. Hal ini didukung dengan laju peningkatan harga rataan ikan Kabupaten Cilacap 45.28%, sedangkan Kota Tegal dan Pekalongan serta Kabupaten Pati dan Rembang, masing-masing 27,54%, 23,87%, 22,22% dan 19,76%.

(13)

-2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H ar ga r at aa n ( R p/ K g) Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 15 Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Besarnya harga rataan ikan di Kabupaten Cilacap, yang terletak di Pantai Selatan Jawa, dikarenakan ikan yang didaratkan merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas ini menjadi andalan Kabupaten Cilacap sebagai komoditas ekspor, baik dalam bentuk gelondongan (segar) maupun bentuk olahan. Jenis ikan hasil tangkapan di wilayah Pantai Utara Jawa pada umumnya adalah pelagis kecil seperti layang, selar, tembang, kembung, tongkol dan lemuru, yang umumnya memiliki nilai ekonomis rendah.

Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (Lampiran 11 dan 12), tingkat pertumbuhan volume produksi perikanan masing-masing daerah di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 1994 – 2003 (10 tahun) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16, secara keseluruhan menunjukkan terjadinya penurunan produksi 1,43%. Tingkat pertumbuhan positif tertinggi dicapai oleh Kabupaten Kebumen (64,12%) dan terendah dengan laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh Kota Semarang (20,43%).

(14)

-20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 La ju P en in gkat an P roduk si

A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 Total

Kabupaten/Kota Keterangan :

A1: Kab. Brebes; A2: Kab. Tegal; A3: Kota Tegal; A4: Kab. Pemalang; A5: Kab. Pekalongan; A6: Kota Pekalongan; A7: Kab. Batang; A8: Kab. Kendal ; A9: Kota Semarang; A10: Kab.Demak; A11: Kab. Jepara; A12: Kab. Pati; A13: Kab. Rembang; A14: Kab. Kebumen; A15: Kab. Cilacap

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Gambar 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Selain Kota Semarang dan Pekalongan, laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh volume produksi Kabupaten Batang (3,14%), Kendal (7,25%), dan Demak (6,20%). Salah satu penyebabnya adalah bahwa kapal penangkap ikan laut yang didaratkan di wilayah tersebut pada umumnya merupakan kapal kecil dengan wilayah penangkapan di Laut Jawa. Tingkat eksploitasi perikanan laut di wilayah Laut Jawa diketahui telah mencapai ambang kritis, sementara pantai utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah yang padat nelayan (Atmadja et al., 2003). Kasus pendangkalan muara sungai dan rusaknya dermaga tempat pelelangan ikan (TPI) juga menjadi kendala dalam proses pendaratan ikan. Faktor kesulitan keuangan pada TPI berkaitan dengan pembayaran nelayan (kekurangan pembayaran lelang ikan/KPLI) menjadi pemicu lain dari penurunan produksi perikanan laut di beberapa TPI di daerah-daerah tersebut.

Peningkatan/penurunan volume produksi di tiap-tiap wilayah juga dipengaruhi oleh tingkatan harga ikan yang diterima oleh nelayan pada saat lelang dan banyaknya pembeli (bakul) yang sebagian besar sekaligus

(15)

bertindak sebagai pengolah. Dengan demikian apabila agroindustri perikanan laut di suatu daerah berkembang dengan baik akan memberi peluang bagi daerah tersebut untuk dijadikan tempat pendaratan ikan, sehingga volume produksi daerah tersebut juga akan meningkat. Peningkatan volume dan nilai produksi (raman) yang diikuti dengan pengembangan agroindustri akan memberikan kontribusi positif bagi PAD, baik yang secara langsung disumbangkan oleh industri perikanan (industri penangkapan dan pengolahan) maupun industri penunjangnya (penyedia sarana penangkapan, pengolahan, pengemasan, transportasi, komunikasi dan perdagangan).

Berdasarkan kedua analisis yang dilakukan, yaitu pengelompokan kawasan pengembangan dan penentuan pusat pertumbuhan, maka wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi untuk pengembangan agroindustri perikanan laut dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 11.

Tabel 11. Kelompok wilayah dan pusat pertumbuhan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah

Kelompok Wilayah Pusat Pertumbuhan

Kawasan

Pengembangan I 1 Kab. Brebes 2 Kab/Kota Tegal 3 Kab. Pemalang 4 Kab/Kota Pekalongan 5 Kab. Batang

Kota Pekalongan

Kawasan

Pengembangan II 1 Kab. Kendal 2 Kota Semarang 3 Kab. Demak 4 Kab. Jepara 5 Kab. Pati 6 Kab. Rembang Kabupaten Pati Kawasan

Pengembangan III 1. Kab. Kebumen 2. Kab. Cilacap Kabupaten Cilacap

Kawasan Pengembangan I terdiri dari Kabupaten Brebes, Kab/Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten/Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang dengan pusat pertumbuhannya adalah Kota Pekalongan. Kawasan Pengembangan II terdiri dari Kabupaten Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang dan Kota Semarang dengan pusat pertumbuhan Kabupaten Pati.

(16)

Kabupaten Cilacap merupakan pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan III yang terdiri dari Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Persentase produksi perikanan laut terhadap total produksi di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2003 untuk Kota Pekalongan adalah 26,2%, Kabupaten Pati 26,9% dan Kabupaten Cilacap 3,4%.

3. Gambaran Umum Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan

Dari analisis sebelumnya diketahui bahwa pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan I adalah Kota Pekalongan, Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati, dan Kawasan Pengembangan III adalah Kabupaten Cilacap. Berikut ini merupakan gambaran umum dari masing-masing pusat pertumbuhan.

Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I). Kota Pekalongan

terletak diantara 6°50’42” - 6°55’44” Lintang Selatan dan 109 °37’55” - 109°42’19” Bujur Timur. Batas wilayah admini stratif kota ini terdiri dari Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Pekalongan dan Batang di sebelah selatan, Kabupaten Pekalongan di sebelah barat, serta Kabupaten Batang di sebelah timur. Kota Pekalongan mencakup areal seluas 44,96 km2 yang terdiri dari 4

kecamatan. Tahun 2003, jumlah penduduk Kota Pekalongan adalah 271.418 jiwa, sehingga kepadatan penduduk Kota Pekalongan adalah 6.036 orang/km2. Jumlah angkatan kerja pada tahun yang sama adalah 124.405 orang (BPS Prov. Jateng, 2004).

Untuk mendukung pembangunan sebuah daerah industri diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya adalah kelancaran transportasi. Kota Pekalongan memiliki jalan darat dengan kondisi baik. Selain itu, kebanyakan jalur kereta api rute Jakarta/Bandung yang menuju Jawa Tengah/Jawa Timur berhenti di stasiun Pekalongan. Untuk kegiatan ekspor, barang industri dikirim melalui Pelabuhan Laut Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Priok di Jakarta.

(17)

Potensi investasi di Kota Pekalongan yang paling besar adalah industri tekstil dan perikanan. Batik Pekalongan telah mampu menembus pasar ekspor dan pasar lokal di seluruh Indonesia. Sektor perikanan Kota Pekalongan mengha- silkan 54.956 ton ikan laut pada tahun 2003 dengan nilai raman Rp 168,4 M.

Tempat pendaratan ikan satu-satunya di Kota Pekalongan adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP). Jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha produksi perikanan laut di Kota Pekalongan pada tahun 2002 berjumlah 22.999 orang yang pada umumnya tergabung dalam KUD Makaryo Mino, sedangkan nelayan luar daerah (pendatang) yang aktif bergiat di PPNP sebagai anak buah kapal (ABK) kurang lebih berjumlah 20.000 orang. Jenis alat tangkap pada kapal yang mendaratkan ikannya di Kota Pekalongan pada tahun 2003 adalah pukat cincin (purse seine) 538 unit dan jenis lainnya (gillnet dan cantrang/cotok) 132 unit. Nilai produksi hasil tangkapan alat tangkap purse seine, gillnet dan cantrang/cotok secara berurutan berkontribusi 90,05% (Rp 151,6 M), 7,72% (Rp 13,0 M) dan 2,22% (Rp 3,7 M).

Ukuran kapal penangkap ikan di Kota Pekalongan 17% di atas 100 GT, 38% berukuran antara 51-100 GT (Gross Tonnes) dan selebihnya berukuran lebih kecil dari 50 GT. Wilayah penangkapan (fishing ground) nelayan Kota Pekalongan pada umumnya adalah perairan Karimun, Bawean, Masalembo, Lumu-lumu, Matasiri dan Laut China Selatan.

Bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di PPNP + 105 orang dengan 10% bermodal lebih dari Rp 25 juta/lelang, 40% bermodal Rp 5-25 juta/lelang, selebihnya merupakan bakul kecil dengan modal kurang dari Rp 5 juta/lelang. Dari 105 orang tersebut, 70 orang (70%) diantaranya merupakan bakul lokal yang berasal dari Kota Pekalongan. Ikan hasil lelang selanjutnya dilakukan penanganan dengan peng-es-an (dijual segar) oleh 20% bakul, 30% pemindangan dan 50% diolah menjadi ikan asin. Pada umumnya peserta lelang (bakul) sekaligus bertindak sebagai pengolah ikan.

(18)

Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II). Kabupaten Pati

memiliki luas wilayah sebesar 1.491 km2 dan terbagi dalam 21 kecamatan. Secara geografis Kabupaten Pati terletak pada 110•50’ - 111•15’ Bujur T imur dan 6•25’ - 7•00’ L intang Selatan, dan sebagian wilayahnya merupakan daerah pantai dengan batas sebelah utara Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah selatan Kabupaten Grobogan dan Blora, sebelah timur Kabupaten Rembang dan Laut Jawa dan sebelah barat Kabupaten Kudus dan Jepara.

Jumlah penduduk Kabupaten Pati pada akhir tahun 2003 adalah 1.187.646 jiwa, dengan 19.811 jiwa diantaranya bermata pencaharian di sektor kelautan dan perikanan. Kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan erat dengan pantai dan laut adalah nelayan, petambak ikan dan petambak garam. Kegiatan lain yang memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir adalah pariwisata, budidaya laut, pertambangan dan konservasi.

Kabupaten Pati memiliki 7 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersebar di 4 kecamatan, yaitu Dukuhseti, Juwana, Batangan, dan Tayu. Pelelangan ikan terbesar terdapat di PPI Bajomulyo – Juwana. Volume total produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 adalah 51.193 ton. Volume pelelangan tertinggi pada tahun 2003 terdapat di PPI Bajomulya - Juwana, yaitu 94,44% dari total produksi, diikuti TPI Banyutowo - Dukuhseti 3,35%, dan TPI Sambiroto - Tayu 1,97%, serta sisanya tersebar di TPI Pecangaan – Batangan, Margomulyo – Tayu, Puncel – Dukuhseti, dan Alasdowo – Dukuhseti.

Peningkatan jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Pati tidak terlepas dari meningkatnya sarana dan prasarana penangkapan. Dalam kurun waktu 1998 – 2002, jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan jumlah nelayan mengalami peningkatan (Tabel 12). Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Pati terdiri dari pukat cincin (purse seine), dogol, jaring insang (gill net), trammel net, cantrang, pancing dan bundes. Wilayah penangkapan nelayan yang mendaratkan ikannya di Kabupaten Pati adalah perairan Selat Karimata, Selat Makasar, Bawean, Masalembo dan Kep. Natuna.

Untuk mendukung terwujudnya peningkatan nilai tambah industri perikanan di Kabupaten Pati dibuat sentra industri pengolahan ikan di

(19)

Kecamatan Juwana. Sentra industri ini selain diarahkan untuk efisiensi produksi juga diharapkan dapat menjadi sarana pembinaan para industri pengolahan ikan skala rumah tangga dan menjadi pusat pemasarannya.

Tabel 12. Jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan nelayan di Kabupaten Pati pada tahun 1998-2002

Tahun Armada Tangkap

(Kapal Motor) Alat Tangkap Nelayan

1998 1.325 1.661 5.190 1999 1.751 2.085 5.225 2000 1.804 2.334 5.409 2001 2.410 2.422 5.711 2002 2.621 2.563 6.197 Pertumbuhan 2,88% 1,87% 2,23%

Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2003.

Kabupaten Cilacap (Kawasan Pengembangan III). Kabupaten

Cilacap mempunyai luas wilayah 2.138 km2 merupakan daerah terluas

diantara 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap terbagi dalam 24 Kecamatan dan 11 Kecamatan diantaranya memiliki wilayah pantai. Pada tahun 2003, Kabupaten Cilacap berpenduduk 1.641.849 jiwa, mempunyai potensi industri besar seperti kilang bahan bakar minyak Pertamina, pabrik semen, industri pupuk kantong, biji coklat, bahan karet, tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu, dan pasir besi, serta sentra industri jamu tradisional terbesar di Jawa Tengah. Potensi lain adalah pertanian, perkebunan rakyat dan pariwisata.

Potensi kelautan di Kabupaten Cilacap sangat besar, garis pantai + 201,9 km dan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia + 80 km. Potensi perikanan pantai 56.380 ton, dan pada tahun 2001 baru dimanfaatkan 29.841 ton (52,9%). Potensi perikanan lepas pantai 852.600 ton dan baru dimanfaatkan 13.508,9 ton (1,6%) (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003). Daerah penangkapan meliputi perairan Teluk Penyu, teluk Penunjang (Pangandaran)

(20)

dan selatan Yogyakarta sampai Pacitan. Luas daerah penangkapan + 5.200 km2. Jumlah nelayan di Kabupaten Cilacap + 21.348 orang.

Sarana dan prasarana penangkapan yang ada di Kabupaten Cilacap adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dengan kapasitas 250 kapal, tempat pelelangan ikan sebanyak 11 unit (6 TPI Provinsi dan 5 TPI Kabupaten), pabrik es kapasitas 236 ton sebanyak 5 unit, cold storage kapasitas 75 ton sebanyak 3 unit, serta kawasan industri dan zona pengembangan seluas 16,81 ha. Armada penangkapan sebanyak 4.538 buah yang terdiri dari motor tempel 1.139 unit, perahu tanpa motor 649 unit, kapal motor 2.635 unit dan kapal longline 115 unit (Diskanlut Kab. Cilacap, 2003).

Pengolahan pasca panen produksi hasil perikanan di Kabupaten Cilacap dengan menggunakan teknologi modern dan tradisional. Daerah pemasaran produk yang dihasilkan adalah pasar lokal sampai ekspor. Jumlah pengolah yang menggunakan teknologi modern sebanyak 11 perusahaan, sedangkan secara tradisional yang dikelola oleh Kelompok Tani Wanita nelayan dan perorangan sebanyak 28 buah. Tahun 2002 perusahaan eksportir yang mendapat sertifikat kelayakan mutu dari LPPMHP Cilacap sebanyak 7 perusahaan.

Hasil pengolahan produksi perikanan secara modern yang umumnya merupakan produk ekspor, diantaranya produk beku seperti tuna, udang, keong, dan layur; produk kering/asin seperti ubur-ubur, teri dan ebi; serta produk kaleng dari ikan cakalang dan tuna. Negara tujuan utama ekspor produk perikanan Cilacap adalah Amerika Serikat, Jepang dan China. Pada jenis ikan dan udang tertentu untuk komoditas ekspor, tidak diolah di Cilacap, tetapi diolah di luar daerah seperti Jakarta, sehingga mengurangi nilai jual dari produk tersebut, berkurangnya peluang kerja bagi warga Cilacap dan berkurangnya PAD.

(21)

B. Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut

Sub Model Pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan komoditas dan produk unggulan yang diunggulkan. Sub Model Pemilihan menggunakan metode Independent Preference Evaluation dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making, yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasarkan kriteria – kriteria yang telah ditetapkan dan bobot masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan / prioritas alternatif.

Mengingat komoditas perikanan laut beragam jenisnya, penanganan pascapanen dan kriteria untuk menghasilkan produk unggulan agroindustri juga beragam, maka diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem agroindustri perikanan laut, komoditas perikanan akan menjadi bahan baku bagi kegiatan agroindustri sehingga jumlah dan kontinuitas menjadi faktor penting bagi keberlangsungan agroindustri yang dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan adalah dengan menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga akan mempengaruhi keberlangsungan agroindustri adalah mutu dan nilai ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih tiga jenis komoditas potensial, selanjutnya dikombinasikan dengan 12 jenis penanganan pascapenen, sehingga terdapat 36 alternatif produk agroindustri.

Sedangkan untuk menetapkan produk unggulan agroindustri perikanan laut pada suatu wilayah harus memenuhi berbagai kriteria agar agroindutri tersebut mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha agroindustri, juga bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat. Terdapat 10 kriteria untuk menentukan produk unggulan agroindustri. Kriteria pemilihan komoditas dan produk ditentukan oleh pakar, dan pembobotannya ditentukan melalui metode OWA Operator.

(22)

1. Pemilihan Komoditas Potensial Agroindustri Perikanan Laut

Ketersediaan bahan baku merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. Berdasarkan alasan tersebut, untuk pengembangan agroindustri perikanan laut di suatu daerah perlu memperhatikan komoditas potensial yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga diharapkan persoalan bahan baku dapat diatasi. Mengingat jenis komoditas perikanan laut sangat beragam, pemilihan komoditas yang dianggap potensial di suatu daerah harus didasarkan pada kriteria yang jelas.

Pemilihan komoditas potensial di Provinsi Jawa Tengah ditentukan berdasarkan enam kriteria, yaitu (1) volume produksi, (2) kontinuitas produksi, (3) mutu hasil tangkapan, (4) nilai ekonomis komoditas, (5) peluang diversifikasi, dan (6) keterpusatan lokasi pendaratan. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas potensial menggunakan OWA Operator dengan hasil seperti pada Tabel 13 dan Lampiran 14.

Tabel 13 Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial

No Kriteria Deskripsi Agregat

1 Volume Volume hasil tangkapan Tinggi 2 Kontinuitas Ketersediaan komoditas sepanjang

tahun Tinggi

3 Mutu Kesegaran dan keamanan konsumsi

komoditas hasil tangkapan Sangat Tinggi 4 Nilai ekonomis Harga jual komoditas dan

kemudahan dalam pemasaran Tinggi 5 Peluang

diversifikasi Peluang komoditas diproses menjadi berbagai ragam produk olahan

Tinggi

6 Lokasi

(23)

Berdasarkan hasil pada Tabel 13 diketahui bahwa mutu bahan baku mendapat nilai sangat tinggi, artinya kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan merupakan kriteria terpenting bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Mutu bahan baku merupakan parameter yang sangat penting untuk menghasilkan produk bermutu tinggi. Lima kriteria lainnya memiliki derajat kepentingan yang sama tinggi. Volume dan kontinuitas bahan baku/komoditas merupakan faktor yang penting untuk keberlangsungan suatu industri agar dapat beroperasi sesuai kapasitas mesin terpasang sepanjang waktu. Faktor nilai ekonomis bahan baku merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan agroindustri. Pada pengembangan agroindustri diharapkan tidak hanya industri pasca panen saja yang diuntungkan, tetapi juga harus menguntungkan pihak nelayan sebagai penghasil bahan baku.

Komoditas perikanan yang memungkinkan adanya diversifikasi produk mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan komoditas perikanan yang tidak mempunyai peluang diversifikasi. Hal ini penting untuk mengantisipasi adanya kejenuhan terhadap satu produk agroindustri, baik dari segi permintaan maupun harga. Komoditas yang berpeluang dilakukan diversi fikasi produk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan tuntutan pasar.

Faktor keterpusatan lokasi pendaratan komoditas harus diperhitungkan di dalam pengembangan suatu agroindustri. Komoditas yang produksinya terpusat akan memudahkan dalam pengumpulan bahan baku sehingga, akan menghemat biaya transportasi; sedangkan komoditas yang produksinya tersebar akan menyulitkan di dalam pengumpulan, sehingga meningkatkan biaya transportasi. Terkait dengan sifat-sifat fisik dan kimiawinya, komoditas perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (perishable). Terpusatnya lokasi pendaratan dan kedekatannya dengan lokasi pengolahan akan mengurangi laju kerusakan ikan dan memudahkan penanganan hasil tangkapan, dengan asumsi bahwa ikan setibanya di tempat pengolahan langsung diolah atau diawetkan, misalnya dengan pengesan atau pendinginan. Dengan demikian, tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan, sekaligus akan menghemat biaya produksi yang dikeluarkan untuk proses pengawetan.

(24)

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah dipilih 18 alternatif komoditas perikanan laut yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku agroindustri, yaitu (1) peperek, (2) manyung, (3) cucut, (4) pari, (5) layang, (6) tigawaja, (7) layur, (8) tuna, (9) cakalang, (10) selar, (11) teri, (12) tembang, (13) lemuru, (14) kembung, (15) tengiri, (16) tongkol, (17) udang dan (18) ubur-ubur. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun 1994 – 2002 disajikan pada Lampiran 15 dan 16.

Prioritas komoditas potensial di masing-masing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Komoditas. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing kawasan pengembangan. Proses pemilihan komoditas di masing-masing kawasan dilaksanakan di kota/kabupaten yang menjadi pusat pertumbuhannya. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 14 serta Lampiran 17, 18 dan 19.

Tabel 14. Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan

No. Jenis Ikan Pekalongan (KP I) Pati (KP II) Cilacap (KP III ) 1 Peperek Sangat Rendah Rendah Rendah

2 Manyung Rendah Sedang (3) Sedang

3 Cucut Rendah Rendah Sedang

4 Pari Rendah Rendah Sedang

5 Layang Sedang (1) Sedang (1) Rendah 6 Tigawaja Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah

7 Layur Rendah Rendah Sedang

8 Tuna Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (1) 9 Cakalang Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi (2)

10 Selar Rendah Sedang (4) Rendah

11 Teri Sangat Rendah Rendah Rendah 12 Tembang Rendah Sedang (5) Rendah 13 Lemuru Sedang (2) Sedang (6) Rendah 14 Kembung Sedang (3) Sedang (2) Sedang

15 Tengiri Rendah Rendah Sedang

16 Tongkol Sedang (4) Rendah Sedang 17 Udang Sangat Rendah Rendah Tinggi (3) 18 Ubur-ubur Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan komoditas potensial

(25)

Komoditas Perikanan Laut Potensial Kota Pekalongan.

Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan prioritas komoditas potensial, yaitu volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan bagi masing-masing komoditas diketahui bahwa komoditas potensial dari Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I/KP I) adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol. Volume produksi keempat jenis ikan potensial yang menjadi unggulan Kota Pekalongan tersebut selama tahun 1994 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 20.

-20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e ( Ton) Layang Kembung Lemuru Tongkol Total

Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004.

Gambar 17. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003

Gambar 17 menunjukkan bahwa produksi hasil tangkapan Kota Pekalongan dalam kurun waktu 10 tahun (1994 - 2003) mengalami penurunan dengan laju 5,95%. Dari keempat jenis ikan yang potensial, ikan layang mengalami laju penurunan terbesar 10,20%, diikuti ikan tongkol yang juga mengalami penurunan 3,04%. Volume produksi ikan kembung dan lemuru meningkat masing-masing dengan laju 3,09% dan 3,68%. Meskipun mengalami penurunan, ikan layang masih merupakan hasil tangkapan utama di Kota Pekalongan, yaitu 23% – 67% dari total tangkapan.

(26)

Meskipun secara kuantitatif volume produksi mengalami penurunan, pada kurun waktu yang sama, nilai produksi perikanan laut Kota Pekalongan mengalami kenaikan 16,88%. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan layang 21,17%, diikuti ikan kembung 20,77%, ikan lemuru 17,90% dan ikan tongkol 11,33%. Peningkatan nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 18). Hal ini terkait dengan anjloknya nilai rupiah terhadap mata uang asing, yang terjadi pada saat krisis moneter pada tahun 1998. Krisis tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan harga-harga barang dan jasa, termasuk harga komoditas perikanan laut.

-50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N ila i ( R p. 1 000 ) Layang Kembung Lemuru Tongkol Total

Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004.

Gambar 18. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003

Perkembangan harga rataan ikan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa harga ikan layang per kilogram meningkat dari Rp 622,00 (1994) menjadi Rp 1.958,00 pada awal krisis (1998) dan Rp 4.064,00 pada tahun 2003 (Gambar 19). Laju peningkatan harga ikan layang adalah 31,35%. Angka ini menunjukkan laju peningkatan harga ikan layang lebih besar dibanding harga ikan secara total sebesar 23,87%.

Berdasarkan grafik pada Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dinyatakan bahwa kenaikan nyata dari nilai produksi terjadi bukan disebabkan karena peningkatan volume pelelangan, tetapi lebih diakibatkan karena meningkatnya

(27)

nilai jual masing-masing ikan. Laju peningkatan nilai produksi sebanding dengan laju peningkatan harga komoditas perikanan yang dapat dilihat dari peningkatan harga ikan per satuan kilogram, yaitu ikan lemuru 25,63%, kembung 24,86% dan tongkol 16,41%. Pada tahun 2003, kontribusi nilai produksi ikan layang adalah Rp 51,9 M atau senilai 30,81% dari total nilai produksi Kota Pekalongan sebesar Rp 168,4 M.

-1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H ar ga r at aa n k om odi ta s ( R p/ K g) layang Kembung Lemuru Tongkol Total

Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004.

Gambar 19 Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003

Dari sudut pandang nelayan, peningkatan harga ikan sangat diharapkan untuk menutupi ongkos perbekalan melaut dan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, di sisi lain peningkatan harga ini dikhawatirkan akan menjadi beban tersendiri bagi usaha pasca panen, yaitu terjadinya peningkatan ongkos produksi sehingga harga produk agroindustri menjadi kurang kompetitif di pasaran.

Berdasarkan wawancara dengan nelayan diketahui bahwa waktu melaut kapal-kapal dengan alat tangkap pukat cincin umumnya berkisar 30 - 40 hari. Panjangnya masa melaut inilah yang mengakibatkan ongkos perbekalan sangat tinggi. Kondisi ini sulit dihindari akibat Laut Jawa telah mengalami over fishing, sehingga wilayah penangkapan meluas sampai ke perairan Selat Makasar dan Laut China Selatan.

(28)

Namun demikian, hal ini memberikan keuntungan tersendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Widodo (2003) bahwa kondisi tersebut secara tidak langsung merupakan pola penangkapan dengan “regulasi penangkapan” secara alamiah. Dengan tiadanya aktivitas di Laut Jawa tatkala sebagian besar nelayan pukat cincin menangkap ikan di Laut Cina Selatan dan Selat Makasar, telah memberi peluang bagi sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa untuk melakukan semacam “ recovery”. Dengan asumsi inilah pelagis kecil di Laut Jawa sepertinya berkesinambunga (sustained) selama lebih dari dua dekade. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi perikanan rakyat, dimana nelayan yang hanya memiliki kapal kecil dan memiliki keterbatasan ongkos perbekalan masih dapat mencari tangkapan di Laut Jawa.

Komoditas Potensial Kabupaten Pati. Hal yang tidak jauh berbeda

ditunjukkan oleh kinerja hasil tangkapan di Kabupaten Pati yang dalam periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan kecenderungan menurun, dengan laju 1,98%. Total volume produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 51.193 ton dengan nilai Rp 149,7 M (Diskanlut Kabupaten Pati, 2004).

Komoditas potensial bagi pengembangan produk agroindustri yang menjadi prioritas di Kabupaten Pati (Kawasan Pengembangan II/KP II) adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru. Ikan layang, kembung, selar, tembang dan lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil, sedangkan manyung merupakan jenis ikan demersal. Volume produksi ikan pelagis yang dilelang di Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 29.720 ton (58,06%).

Ikan layang merupakan hasil tangkapan utama Kabupaten Pati, yaitu 14 992 ton (29,28 %) pada tahun 2003, namun demikian selama kurun waktu 1994 – 2003 volume produksi terus mengalami penurunan dengan laju 5,53% (Gambar 20 dan Lampiran 21). Komoditas potensial lain yang juga mengalami penurunan adalah ikan tembang (3,25%) dan lemuru (0,70%). Sedangkan volume produksi ikan kembung, manyung dan selar terjadi peningkatan sebesar 2,72%, 27,54% dan 2,62%.

(29)

-20,000 40,000 60,000 80,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e ( Ton ) Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total

Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004.

Gambar 20. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003

Keberadaan jenis tangkapan yang hampir sama pada 2 (dua) wilayah (KP I dan KP II) yang terletak pada lokasi sejalur, yaitu Pantai Utara Jawa (pantura) diantaranya disebabkan oleh dominasi jenis alat tangkap yang sama, yaitu pukat cincin (purseine/mini purseine), serta lokasi penangkapan (fishing ground) yang hampir sama (Laut Jawa, Laut China Selatan, Selat Karimata, Selat Makasar, dan Kepulauan Natuna). Sumber daya ikan pelagis Laut Jawa, yang merupakan fishing ground terdekat dengan wilayah sepanjang pantai utara jawa, terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai dan ikan pelagis neritik dan oseanik, seperti ikan lemuru, selar, kembung, tongkol dan layang. Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp) merupakan komponen utama di perairan ini (Atmadja, et al., 2003).

Atmadja, et al., (2003) menyatakan bahwa komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya adalah layang, bentong (selar), kembung, sero (lemuru) dan juwi (tembang). Keenam spesies tersebut memberi kontribusi lebih dari 90%, dan kelompok jenis ikan layang menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari total hasil tangkapan. Volume produksi ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin Kabupaten Pati tahun 2002 adalah 40.264 ton (79,19%) dengan nilai Rp 127,5 M (77,19%).

(30)

Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September – Februari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret – Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 0/

00)

memasuki Laut Jawa melalui Selat Makasar dan Laur Flores, sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<320/

00) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong

massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa (Veen dan Wyrki di dalam Atmadja, et al., 2003). Kondisi ini menyebabkan kelompok ikan oseanik, khususnya ikan layang dan kembung cenderung bergerak ke arah timur mengikuti pergerakan massa air bersalinitas tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Atmadja, et al. (2003), bahwa pada musim peralihan dari musim timur dan musim barat (September – November) di perairan bagian timur Laut Jawa hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan volume produksi Kabupaten Pati, yang termasuk dalam wilayah bagian timur Laut Jawa, dimana puncak produksinya pada tahun 2003 terjadi pada bulan Agustus – November (Gambar 21). 0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000

Januari Maret Mei Juli September November

Bulan V ol um e ( K g)

Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, 2004.

Gambar 21. Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003

(31)

Ikan manyung yang merupakan jenis ikan demersal merupakan hasil tangkapan utama dari pancing (longline). Jenis ikan lain yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap pancing diantaranya adalah cucut, pari, kakap dan tongkol. Volume hasil tangkapan dengan alat tangkap pancing Kabupaten Pati pada tahun 2002 adalah 6.348 ton (12,47%) dengan nilai produksi sebesar Rp. 32,6 M. Lokasi penangkapan nelayan Kabupaten Pati yang menggunakan alat tangkap pancing adalah Laut Jawa (sekitar Pulau Bawean dan Kepulauan Masalembo), Selat Makasar dan Kepulauan Natuna.

Dari sisi ekonomis nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati selama kurun waktu 1994 - 2003 mengalami kenaikan, yaitu 18,47%. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan manyung 46,13%, diikuti ikan kembung 30,95%, lemuru 27,96%, tembang 26,02%, selar 23,21% dan layang 19,67%. Peningkatan laju nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut Kabupaten Pati secara mencolok juga terlihat dimulai pada tahun 1998 (Gambar 22). -4 0 ,0 0 0 ,0 0 0 8 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 2 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 6 0 ,0 0 0 ,0 0 0 2 0 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 9 9 4 1 99 5 1 99 6 1 99 7 1 99 8 1 99 9 2 00 0 2 00 1 2 00 2 2 00 3 T a h u n N il a i ( R p . 1 000) L a ya n g K e m b u n g M a n yu n g S e la r T e m b a n g L e m u ru T o ta l

Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004.

Gambar 22. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003

Laju kenaikan nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati tidak terlepas adanya peningkatan harga rataan ikan yang cukup nyata selama 10 tahun (1994 – 2003), yaitu 22,22%. Laju kenaikan harga ikan terbesar adalah ikan tembang 33,19%, diikuti oleh ikan layang 31,28%, selar 25,34%, lemuru 24,95%, kembung 19,88% dan manyung 19,37% (Gambar 23).

(32)

-1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H ar ga r at aan k om odi ta s ( R p/ K g) Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total

Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004.

Gambar 23. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003

Berdasarkan grafik pada Gambar 23 terlihat bahwa ikan manyung memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibandingkan jenis ikan lainnya. Harga tertinggi ikan manyung terjadi pada tahun 2001, yaitu Rp. 5.942,00 per kilogram. Jenis ikan yang relatif memiliki nilai ekonomis rendah adalah ikan tembang dan lemuru.

Komoditas Potensial Kabupaten Cilacap. Komoditas perikanan

potensial di Kabupaten Cilacap dengan prioritas tinggi adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas perikanan tersebut dipilih, karena pada seluruh kriteria pemilihan didapatkan nilai tinggi – sangat tinggi, artinya memiliki dukungan besar terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut baik, dari sisi volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan.

Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap (2004), data produksi Kabupaten Cilacap pada tahun 2003 menunjukkan total persentase ikan tuna, cakalang dan udang sebesar 67.81% dari total produksi 7.671,7 ton, yaitu ikan tuna 669,7 ton (8,73%), ikan cakalang 3.756,1 ton (48,96%) dan udang 776,4 ton (10,12%). Namun demikian, produktivitas hasil tangkapan Kabupaten Cilacap selama periode

(33)

1994 – 2003 mengalami pertumbuhan negatif 4,39%. Penurunan produktivitas ini juga dialami oleh udang dengan laju 3% (Gambar 24 dan Lampiran 22). -5,000.0 10,000.0 15,000.0 20,000.0 25,000.0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun vo lu m e ( Ton ) Tuna Cakalang Udang Total

Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 24. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003

Data statistik ikan tuna sampai dengan tahun 2000 dijadikan satu data produksi dengan ikan cakalang. Mulai tahun 2001, data produksi ikan tuna dan cakalang dipisahkan. Selama tiga tahun, produktivitas ikan tuna mengalami penurunan cukup besar (40,17%), dan produksi ikan cakalang mengalami peningkatan dengan laju 3,76%. Puncak produksi perikanan laut Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, yaitu 23.149 ton.

Meskipun puncak produksi di Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, tetapi puncak nilai produksi terjadi pada tahun 1998 yang diakibatkan penurunan oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terlebih komoditas perikanan laut hasil tangkapan Kabupaten Cilacap merupakan komoditas ekspor. Secara umum nilai produksi Kabupaten Cilacap periode 1994 – 2003 meningkat dengan laju 11,87%. Dari total nilai produksi Rp 37,8 M pada tahun 2003, 71,69% disumbangkan oleh ikan tuna, cakalang dan udang. Gambar 25 menunjukkan bahwa nilai ekonomis terbesar disumbangkan oleh udang, dengan laju pertumbuhan 21,99%, kemudian

(34)

diikuti oleh ikan cakalang 8,44%. Seiring dengan penurunan volume produksi, nilai produksi ikan tuna selama 3 tahun 2001 – 2003 juga mengalami kemerosotan dengan laju 31,85%.

-20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N ila i ( Rp . 100 0) Tuna Cakalang Udang Total

Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 25. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003

Udang yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomis tinggi, harga rataannya selama periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan laju kenaikan 23,70% dan secara nyata memperlihatkan nilai yang lebih besar dibandingkan kedua jenis komoditas lainnya (Gambar 26). Namun demikian, grafik pada Gambar 26 tersebut menunjukkan harga yang fluktuatif dengan nilai harga tertinggi per kilogramnya pada tahun 1998 dan 2000. Fluktuasi ini terjadi karena komposisi jenis udang hasil tangkapan yang bervariasi. Mengacu data statistik provinsi, ada 6 jenis udang produksi Kabupaten Cilacap yang dihitung dalam satu data statistik ini, terdiri dari udang jerbung, dogol, tiger, lobster, barat dan krosok. Udang jerbung, tiger dan lobster memiliki kisaran harga Rp 50.000 – Rp 75.000,00. Harga udang dogol berkisar Rp 25.000 - Rp 30.000,00. Sedangkan harga udang barat dan krosok rataan kurang dari Rp 10.000,00.

(35)

Harga udang selain ditentukan oleh jenis, juga dipengaruhi oleh ukuran dan mutu udang tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya udang merupa- kan bahan baku industri yang produknya berupa udang beku untuk ekspor ke berbagai negara tujuan. Mutu udang menjadi faktor paling determinatif bagi bahan baku industri, diikuti oleh ukuran udang. Semakin segar dan semakin besar ukurannya, umumnya memiliki harga yang lebih tinggi. Grading dan sizing sangat selektif dilakukan dalam industri pembekuan udang, karena proses tersebut akan menentukan harga masing-masing kelompok udang. -10,000 20,000 30,000 40,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H ar g a R at aa n K om o di tas ( R p ./K g ) Tuna Cakalang Udang Total

Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 26. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003

Grafik harga rataan ikan cakalang relatif landai dengan laju kenaikan 11.08%. Kisaran harga ikan cakalang sejak tahun 1998 berkisar Rp 2.200 - Rp 3.400,00. Sedangkan harga ikan tuna selama 3 tahun meningkat dengan laju 15,26%, dengan kisaran harga Rp 6.900 - Rp 9.200,00.

Kabupaten Cilacap secara langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Samudera Hindia adalah salah satu Samudera terbesar di dunia, yang di dalamnya tersimpan kekayaan sumber daya ikan tuna yang besar. Sumber daya tersebut terdiri dari beberapa jenis, baik tuna besar (madidihang, mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan, tongkol abu-abu dan cakalang), tuna kecil (kawakawa, tongkol, lisong, tongkol gigi anjing, kenyar dan selengseng) dan paruh panjang (layaran, pedang, serta setuhuk hitam, biru dan loreng).

(36)

Ikan tuna umumnya ditangkap dengan kapal tuna longline yang ukurannya bervariasi. Kapal tuna kecil yang berukuran kurang dari 10 GT umumnya beroperasi untuk menangkap tuna segar untuk diekspor. Oleh karena itu, tripnya tidak lama (sekitar 10 hari) (Merta et al. 2003).

Potensi sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia masih cukup besar dan armada kapal tuna longline yang beroperasi di perairan tersebut sebenarnya mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan tuna yang dilelang di Kabupaten Cilacap kemungkinan disebabkan oleh faktor tidak berkembangnya industri pasca panen tuna (khususnya pembekuan). Ikan tuna yang didaratkan di Cilacap umumnya langsung dibawa ke Jakarta untuk proses pengolahan lanjutan. Penurunan produksi di Kabupaten Cilacap kemungkinan juga disebabkan pertimbangan efisiensi dan menjaga kesegaran ikan, sehingga pendaratan ikan bergeser ke Muara Baru Jakarta atau ke Benoa Bali. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan dalam pelayanan proses pembongkaran ikan dengan wilayah lain, dimana kapal umumnya akan memilih TPI yang memberi pelayanan pembongkaran ikan secepatnya.

2. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut

Penentuan jenis produk unggulan di setiap kawasan pengembangan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal dari jenis-jenis produk yang memungkinkan untuk dikembangkan. Bila suatu daerah memilki beberapa alternatif produk yang mungkin untuk dikembangkan, maka harus dipilih jenis produk yang didasarkan kepada jenis produk yang mampu memberikan nilai lebih berdasarkan berbagai kriteria.

Kriteria yang digunakan untuk pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut (AIPL) adalah (1) volume, kontinuitas dan mutu bahan baku; (2) kesesuaian teknologi pasca panen; (3) nilai tambah produk; (4) daya serap pasar; (5) penyerapan tenaga kerja; (6) permodalan; (7) dampak ganda terhadap sektor lain; (8) ketersediaan sarana dan prasarana; (9) kebijakan pemerintah daerah; dan (10) dampak terhadap lingkungan. Hasil

(37)

pembobotan kriteria yang dianalisis dengan metode OWA Operator disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 23. Setelah proses pembobotan dari sepuluh kriteria tersebut, selanjutnya dilakukan proses pemilihan alternatif produk dengan memberikan penilaian (skor) pada masing-masing produk alternatif.

Tabel 15. Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut

No Kriteria Deskripsi Agregat

1 Bahan baku Kuantitas, kontinuitas dan mutu komoditas

perikanan laut sebagai bahan baku industri Tinggi 2 Teknologi

pasca panen Kesesuaian dan tingkat penguasaan teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah komoditas menjadi produk agroindustri

Tinggi

3 Nilai tambah Nilai tambah produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat keuntungan yang diperoleh akibat diterapkannya teknologi pasca panen terhadap komoditas

Tinggi

4 Pasar Peluang dan daya serap pasar terhadap produk yang dihasilkan di pasar domestik dan global

Tinggi

5 Tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja oleh kegiatan

agroindustri Tinggi

6 Permodalan Ketersediaan fasilitas kredit untuk investasi

dan operasional usaha Tinggi

7 Dampak

ganda Dampak ganda terhadap sektor lain (industri penangkapan ikan, bahan penolong, pengemasan, transportasi, komunikasi, dll)

Tinggi

8 Sarana dan

prasarana Ketersediaan utilitas produksi (air, listrik/sumber energi lain, telepon) dan infrastruktur (transportasi, pergudangan, dll)

Tinggi

9 Kebijakan

pemda Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam sistem insentif/tarif, kemudahan berinvestasi, kemudahan ekspor, UMR dan kepastian hukum

Tinggi

10 Lingkungan

hidup Terjaganya mutu lingkungan hidup melalui pengaturan eksploitasi sumber daya perikanan dan proses produksi berwawasan lingkungan

Tinggi

Dari pembobotan kriteria, terlihat bahwa seluruh kriteria yang disusun untuk pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut memiliki bobot tinggi. Bahan baku merupakan faktor penentu yang akan sangat mempengaruhi kelangsungan agroindustri yang akan dikembangkan. Tanpa

(38)

didukung oleh pasokan bahan baku secara kontinyu, sulit bagi agroindustri dapat berlangsung dengan baik.

Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (highly perishable), sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat untuk mencegah proses pembusukan atau segera dilakukan pengolahan yang sekaligus merupakan upaya untuk pengawetan. Secara teknis, hasil perikanan laut dimanfaatkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk segar dan olahan. Komoditas perikanan baik yang segar maupun olahan membutuhkan teknologi untuk penanganan yang tepat. Kesesuaian teknologi pasca panen bagi komoditas potensial sangat penting agar produk yang dihasilkan memberikan nilai tambah yang optimal bagi komoditas tersebut.

Nilai tambah sangat penting untuk diperhatikan bagi usaha agroindustri, karena menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh apabila produk unggulan tersebut dikembangkan. Suatu usaha industri selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Keyakinan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan suatu kegiatan usaha akan meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan agroindustri perikanan laut. Dalam hal ini, peluang pasar sangat penting karena dapat menunjukkan prospek kebutuhan akan produk agroindustri yang akan diunggulkan, baik pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor ini merupakan faktor yang sangat mendukung upaya pengembangan, mengingat nelayan selalu kesulitan dalam memasarkan hasil tangkapan, sementara produk perikanan sangat rentan dengan penyimpanan yang cukup lama tanpa perlakuan. Potensi pasar menjadi kriteria determinatif penting, karena akan menggambarkan prospek produk, baik pemenuhan kebutuhan dalam negeri (lokal) maupun untuk pasar ekspor. Besarnya peluang pasar bagi produk unggulan agroindustri dapat menggambarkan besarnya potensi untuk pengembangan dan investasi.

Pemilihan produk unggulan di masing-masing pusat pertumbuhan Kawasan Pengembangan didasarkan pada tiga jenis komoditas pada urutan teratas pemilihan komoditas potensial. Prioritas produk unggulan di masing-masing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam

(39)

kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Produk. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing pusat pertumbuhan.

Masing-masing jenis ikan dipasangkan pada alternatif perlakuan pasca panen yang umum diterapkan pada komoditas perikanan. Berdasarkan klasifikasi cara perlakuan dalam buku Statistik Perikanan Indonesia, studi pustaka dan wawancara dengan pakar, ditentukan 12 alternatif teknologi pasca panen yang dapat menghasilkan produk agroindustri perikanan laut, yaitu (1) penanganan hidup, (2) pendinginan (segar), (3) pembekuan (termasuk fillet dan loin), (4) pengeringan/pengasinan, (5) pemindangan (termasuk presto), (6) pengasapan/ pemanggangan, (7) fermentasi (terasi, kecap ikan, petis dan peda), (8) pengalengan, (9) pembuatan tepung ikan, (10) pembuatan surimi, (11) pengolahan produk dari daging lumat (bakso, otak-otak, nugget, kaki naga, dan lain-lain), dan (12) pembuatan kerupuk ikan.

Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut di Kota Pekalongan (Kawasan Pengembangan I). Pemilihan produk unggulan

Kota Pekalongan didasarkan pada tiga komoditas potensial, yaitu ikan layang, lemuru dan kembung. Hasil penilaian terhadap produk agroindustri unggulan yang potensial untuk dikembangkan di Kota Pekalongan yang berada diurutan pertama adalah Ikan Layang Asin (Tabel 16 dan Lampiran 24).

Hasil penelitian ini didukung oleh data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan (2003) yang menunjukkan bahwa secara umum cara perlakuan dengan pendinginan (ikan segar) di Kota Pekalongan pada periode tahun 1993 – 2002 mengalami penurunan dengan laju 10%, sebaliknya pengasinan dan pemindangan mengalami peningkatan dengan laju 20% dan 4% (Gambar 27 dan Lampiran 25).

(40)

Tabel 16. Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan

No Penanganan Pasca

Panen Layang Lemuru Kembung

1 Hidup Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 2 Segar/Dingin Sedang (4) Rendah Sedang (3) 3 Beku Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 4 Kering/Asin Sedang (1) Rendah Rendah

5 Pemindangan Sedang (2) Sedang (5) Sedang (6) 6 Pemanggangan/asap Rendah Rendah Rendah

7 Fermentasi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 8 Pengalengan Rendah Rendah Sangat Rendah 9 Tepung ikan Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 10 Surimi Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 11 Olahan daging lumat Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah 12 Kerupuk ikan Sangat Rendah Rendah Rendah

Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan produk unggulan terpilih

-20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun V ol um e ( To n) Segar Pindang Asin

Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2003.

Gambar 27. Volume produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002

Komposisi produk agroindustri tersebut sesuai dengan komposisi bakul ikan yang menangani ikan hasil tangkapan Kota Pekalongan. Pada tahun 2002, terdapat 105 bakul ikan yang aktif mengikuti lelang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, dimana 70 orang bakul diantaranya berdomisili di Kota Pekalongan dan selebihnya berasal dari daerah lain, terutama dari Kabupaten Rembang. Dari 70 orang tersebut, 16 orang

Gambar

Gambar 13. Volume produksi perikanan di kabupaten/kota  unggulan pada  masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah  pada tahun 1994-2003
Gambar 14. Nilai produksi perikanan di kabupaten/kota  unggulan pada  masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah  pada tahun 1994-2003
Gambar 15  Harga    rataan  komoditas  perikanan  laut  di  kabupaten/kota   unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi  Jawa Tengah pada tahun 1994-2003
Gambar 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota   Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Besarnya nilai rentabilitas pada usahatani Jagung Hibrida apabila dibandingkan nilai suku bunga bank yang berlaku saat penelitian yaitu sebesar 3 persen per

Dengan demikian, berarti debitor sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian kredit yang dilakukan antara debitor dengan bank

Pemerintah pusat harus menyediakan sarana bagi sekolah dan pemerintah daerah untuk menilai dan memberikan umpan balik mengenai kinerja siswa dan guru, melakukan reformasi

Sampel pada Penelitian ini yaitu mahasiswa jurusan Manajemen semester ganjil semester 3 angkatan 2011, semester 5 angkatan2010, dan semester 7 angkatan 2009 yang berjumlah

Masalah pokok dalam penelitian ini para mufasir umumnya menafsirkan kata ‘abdan dalam surah al-Kahfi ayat 65 sebagai seorang Nabi, sedangkan Quraish Shihab

Di pihak lain, seorang muslim harus mengatasi al-nafs ammarah ( seks atau dorongan biologis lainnya ) bukan dengan mengingkari, membuang malainkan dengan memahami

lingkungan Sekertariat daerah Propinsi Sulawesi Tengah terlihat kopi paste dari usulan tahun lalu sehingga menyulitkan dalam menetapkanya dari fakta tersebut dapat

Dari hasil percobaan dapat diketahui bahwa air limbah pengolahan tempe dan tahu telah memenuhi baku mutu air limbah industri pengolahan